• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sufi di Era Modern dalam Tafsir Al-Azhar

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS

D. Sufi di Era Modern dalam Tafsir Al-Azhar

Kata doa yang terdapat dalam ayat ini, oleh sufi nadzari tidak diartikan sebagai berdoa pada arti doa yang lazimnya dipakai. Mereka mengartikan berdoa mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka. Dan golongan merekalah yang memercayai adanya penyatuan antara makhluk dan Tuhan “Wahdah al-Wujud”.101

Para pengkaji gagasan, menyebutkan bahwa “Wahdah al-Wujud”

mengarah pada dua sisi. Pertama menuju kepada Tuhan, dan kedua menunjukan pada alam semesta, selain Tuhan “Wahdah al-Wujud”, dalam pengertian pertama adalah bermakna “Wujud Hakiki” (Wujud Sejati), “al-Wujud al-Haq”, “Wajib al-“al-Wujud”. Dan pada intinya menegaskan bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya Eksistensinya yang Real dan Absolut. Al-Wujud (Keber-Ada-an-Nya) tidak membutuhkan yang lain. Dialah yang awal dan yang akhir. Singkatnya adalah “اللّ وه لكلا” semua yang ada adalah (karena, hanya, oleh) Allah swt.102

al-Qur’an dalam kehidupan modern.103 Dalam tafsir ini, Buya Hamka seolah-olah menunjukkan keluasan ilmunya dari berbagai sudut pandang ilmu agama, serta pengetahuannya tentang ilmu sejarah dan ilmu non-agama yang objektif dan informatif.104

Sejalan dengan pendahuluan di atas, kita melihat bahwa dewasa ini, kita sedang menapaki era perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Informasi, globalisasi di semua bidang, di samping era kemajuan industrialisasi yang semakin mendatangkan berbagai problema di samping harapan yang terpampang untuk masa depan. Tentu saja bangsa Indonesia juga bertekad untuk menjadi bangsa yang maju dan modern sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Pada era ini dapat digambarkan bahwa kondisi kehidupan bangsa Indonesia secara umum memiliki ciri khas sebagai berikut ;

1. Masyarakat yang berubah dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, yang dibarengi dengan makin derasnya urbanisasi.

2. Perkembangan yang semakin maju dari era industri menuju era perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Informasi dan Era Society 5.0.

3. Globalisasi informasi, yang semakin menuntut keterbukaan di samping kehati-hatian.

103 Husnul Hidayati, Metodologi Tafsir Kontekstual Al-Azhar Karya Buya Hamka (Mataram : Jurnal Umdah, 2018), hlm. 41.

104 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar (Singapura : Pustaka Nasional, 1982), hlm. 40, jilid 1.

4. Makin tingginya tingkat intelektual masyarakat, yang disertai semakin cairnya pergaulan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.105

Islam sebagai salah satu agama samawi membawa pesan perdamaian, kerukunan antar umat manusia (beragama), bahkan kerukunan antar makhluk Allah swt (rahmatan lil al-Alamiin). Baik dalam al-Quran maupun al-Hadits tidak memiliki satu teks pun yang mengarahkan para pengikutnya untuk melakukan hal yang sebaliknya. Pertanyaan ini dijelaskan oleh para ulama terdahulu dari berbagai aliran dan sudut pandang pemikiran.106 Oleh karena itu, semua umat agama Islam sepakat bahwa Islam datang tidak untuk memperkeruh suasana. Tetapi sebagai kedamaian yang akan menjadi rahmat dan berkah bagi seluruh dunia (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur).

Artinya Islam menghormati martabat semua makhluk hidup.107

Berdasarkan refleksi di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana “Konsep Bersufi Di Era Modern Perspektif Buya Hamka Dalam Tafsir al-Azhar”. Sebagai seorang tokoh agama yang mencintai tanah airnya Indonesia, Buya Hamka memiliki semangat Pancasila.

Oleh karena itu, beliau selalu memberikan solusi berpikir jernih untuk mengatasi masalah nasional. Di antara isu-isu nasional yang masih hangat diperdebatkan saat ini adalah “moderasi beragama”.108 Kesadaran akan

105 Muhammad Sholikhin, Sufi Modern (Mewujudkan Kebahagiaan, Menghilangkan Keterasingan) (Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2013), hlm. 25.

106 Harapandi Dahri, Moderasi Islam Perspektif Sufi (Brunei Darussalam : Jurnal Fuaduna, 2020), hlm. 126.

107 Sulaiman W, Konsep Moderasi Beragama Dalam Pandangan Pendidikan Hamka (Aceh : Jurnal Ilmu Pendidikan, 2022), hlm. 2706.

108 Sulaiman W, Konsep Moderasi Beragama Dalam Pandangan Pendidikan Hamka (Aceh : Jurnal Ilmu Pendidikan, 2022), hlm. 2704.

nilai ketuhanan dan kemanusian dalam segala bentuk eksistensinya yang ada di alam fana ini, adalah tujuan yang harus dicapai oleh para sufi. Seperti yang dikatakan Seyyed Hossein Nasr, spiritualitas adalah kebutuhan manusia seumur hidup. Oleh karena itu, umat manusia perlu menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual seperti “nlai-nilai sufi tradisional (ilmu tasawuf) yang tidak akan pernah punah oleh perkembangan zaman”.109

Perlunya kolaborasi (kombinasi) antara modernisme dan tradisionalitas akan mampu menyelamatkan krisis modernitas di ambang kelumpuhan peradaban hegemoni Barat dewasa ini. Pada tahap ini, manusia harus memulainya dari “titik nol” peradaban.110 Untuk memahami bagaimana Buya Hamka sebagai seorang sufi melalui tasawuf modern-Nya mempresentasikan kedua nilai tersebut dalam pemikiran dan praktek moderasi agama kaum sufi saat ini akan ditinjau dari pembahasan “Analisis Ayat yang berhubungan dengan Nilai-Nilai Sufistik di Era Modern dalam Tafsir al-Azhar”

berikut ini;

1. Surah Al-Baqarah Ayat 153-157



















































































109 Harapandi Dahri, Moderasi Islam Perspektif Sufi (Brunei Darussalam : Jurnal Fuaduna, 2020), hlm. 130.

110 Muhammad Sholikhin, Sufi Modern (Mewujudkan Kebahagiaan, Menghilangkan Keterasingan) (Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2013), hlm. 49.





































“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.111

Pada tafsir ayat ini, Buya Hamka menjelaskan bahwa sikap sabar untuk mencapai sebuah cita-cita yang baik (mulia) sangat dibutuhkan.112 Seperti halnya ungkapan beliau, “Suatu perubahan dan kejadian yang akan diberikan Tuhan kelak kepadamu itu bukanlah terletak di atas talam perak, lalu dihidangkan saja kepadamu. Melainkan amat bergantung kepada usaha (ikhtiar) dan semangat (ghirah) kegiatanmu sendiri. Maka peristiwa-peristiwa yang dahsyat (cita-cita yang baik) akan bertemulah (tercapai) oleh kamu dalam Shirathal Mustaqim (konsisten, istiqamah) yang kamu lalui itu. Dengan syarat utamanya, Kamu haruslah sabar dalam setiap kondisi”.

Sabar merupakan maqam (tingkatan) dari beberapa tingkatan

spiritualitas agama, dan suatu kedudukan dari beberapa kedudukan ahlus

111 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : Pustaka Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2008).

112 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar (Singapura : Pustaka Nasional, 1982), hlm. 347, jilid 1.

suffah yang berjalan menuju kepada Allah swt (orang-orang salikin).113 Semua maqam (tingkatan) agama dan kedudukan ahlus suffah bisa berjalan baik oleh tiga hal yaitu, ma’rifah, hal-ikhwal, dan amal perbuatan. Ma’rifah adalah pokok, yang mewariskan hal-ihwal dan dari hal-ihwal itulah yang membuahkan amal perbuatan. Maka sabar pada hakikatnya adalah sebuah hal-ikhwal yang keluar dari ma’rifah itu. Dan sesunguhnya sabar itu merupakan karakter khas dari insan yang tidak ada pada hewan dan malaikat. Tidak ada pada hewan karena kekurangannya, dan pada malaikat karena kelebihannya.

Dari Anas bin Malik dikatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Sabar yang sempurna adalah pada pukulan (saat menghadapi cobaan) yang pertama”. Sabar terbagi menjadi dua, yaitu sabar yang berkaitan dengan usaha hamba dan sabar yang tidak berkaitan dengan usaha. Sabar yang berkaitan dengan usaha terbagi menjadi dua, yaitu sabar terhadap apa yang diperintah oleh Allah dan sabar terhadap apa yang dilarang-Nya.

Sedang sabar yang tidak berkaitan dengan usaha adalah sabar terhadap penderitaan yang terkait dengan hukum (ujian) karena mendapatkan kesulitan (cobaan untuk memperteguh iman).114

Junaid mengatakan, “Perjalanan dari dunia menuju akhirat adalah mudah dan menyenangkan bagi orang yang beriman, dan berat bagi yang memutus hubungannya dengan Allah swt. Perjalanan dari diri sendiri

113 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, Terjemahan Ihya’

Ulumuddin fi Maktabah Syamilah (Beirut : Darul Ma’rifah, 1965), hlm. 62, jilid 4.

114 Abdul Karim bin hawazin bin Abdul Malik Al-Qusyairi, Terjemahan Ar-Risalah Qusyairiyah fi Maktabah Syamilah (Kairo : Darul Ma’arif, 1867), hlm. 322, jilid 1.

(jiwa) menuju Allah swt sangat berat, dan sabar kepada Allah swt, tentu akan lebih berat. “Dia ditanya tentang sabar, lalu dijawab, “Menelan kepahitan tanpa bermasam muka”.115

Menurut satu pendapat, yang dimaksud ayat itu adalah sabarlah dengan diri kalian untuk taat kepada Allah swt. Sabarlah dengan hati kalian untuk menerima ujian-Nya, dan sabarlah dengan tabir rahasia hati kalian untuk rindu kepada-Nya. Sedang menurut sebagian ulama yang lain, yang dimaksud ayat itu adalah sabarlah kalian karena Allah swt, sabarlah kalian dengan-Nya, dan sabarlah kalian bersama-Nya.116

Kebanyakan orang bahagia dikala dia mendapatkan risky, jabatan, kesuksesan dengan berbagai bentuknya, akan tetapi ia langsung down (berkeluh kesah) pada saat menerima ujian hidup. Hal ini sangat wajar terjadi sebab umumnya perasaan orang memang begitu. Namun sebenarnya ada cara yang dapat meminimalisir keluhan tersebut dengan cara berfikir universal. Berfikir universal maksudnya bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah melalui rencana Allah swt dan manusia hanya menjalani saja. Keadaan yang tidak (terkena musibah) bisa jadi hal itu hanya menurut orang yang terkena musibah tersebut, dan bisa jadi hal itu merupakan bentuk ujian dari Allah swt agar sesorang tersebut bisa lebih dekat kepada-Nya.117

115 Abdul Karim bin hawazin bin Abdul Malik Al-Qusyairi, Terjemahan Ar-Risalah Qusyairiyah fi Maktabah Syamilah (Kairo : Darul Ma’arif, 1867), hlm. 322, jilid 1.

116 Abdul Karim bin hawazin bin Abdul Malik Al-Qusyairi, Terjemahan Ar-Risalah Qusyairiyah fi Maktabah Syamilah (Kairo : Darul Ma’arif, 1867), hlm. 325, jilid 1.

117 Abdur Rahman, Sufi Modern (kombinasi dan Landingisasi Gagasan Sufi) (Yogyakarta : Divo Nusantara, 2016), hlm. 164.

Terkadang sebagian orang terlalu berfikir negatif (berprasangka buruk) dan mengeluh pada saat menerima ujian hidup, akan tetapi dibalik semua itu selalu ada hikmah yang telah dirancang oleh Tuhan untuk kepentingan universal (kemaslahatan). Contohnya adalah jika dunia ini tidak ada orang yang sakit sama sekali, lalu dokter, suster, dan pegawai rumah sakit yang ada, pegawai apotek, petugas kebersihan dan sebagainya, mereka dapat penghasilan darimana? Padahal untuk menjadi seorang dokter dibutuhkan biaya yang sangat besar, untuk menjadi seorang suster butuh perjuangan panjang, untuk memiliki sebuah apotek butuh dana yang tidak sedikit. Jika tiada orang yang sakit sama sekali, mereka mau makan apa?.118

Dengan demikian harus di sadari bahwa hidup ini adalah siklus yang diciptakan oleh tuhan untuk saling berbagi. Namun demikian bukan berarti seseorang dengan bebas berbuat semaunya sendiri, jika sakit (mendapatkan ujian hidup) di sadari seperti itu? Tidak! Dia tetap harus berhati-hati (ikhtiar), sebab mencegah itu lebih baik daripada mengobati.

Yang penting jika dalam keadaan terpuruk, seseorang mesti bersabar karena di balik nasib dirinya ada hikmah bagi yang lainnya.119 Seorang ahli hadits Imam al-Sakhawi mengutip nasihat Nabi Muhammad saw bersabda;

ْتَجَرَخ ِءاَعِو ٍيَأ ْنِم َكُّرُضَي َلََو ُةَمْكِحْلا ِذُخ

118 Abdur Rahman, Sufi Modern (kombinasi dan Landingisasi Gagasan Sufi) (Yogyakarta : Divo Nusantara, 2016), hlm. 165.

119 Abdur Rahman, Sufi Modern (kombinasi dan Landingisasi Gagasan Sufi) (Yogyakarta : Divo Nusantara, 2016), hlm. 166.

Artinya ; “Ambillah hikmah, dan dia (hikmah) tidak akan merugikanmu, dari manapun dia (hikmah) lahir”.120

Teladan terbaik dalam masalah kesabaran adalah Rasulullah saw, pernah suatu ketika beliau menangis karena anak tercintanya, Ibrahim meninggal dunia. Beliau ditanya oleh ‘Abd Rahman bin Auf‘; “Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis?”. Rasulullah saw, ngendikan (menjawab); “Sungguh mata ini berlinang dan hati ini sedih, namun kami tidak boleh mengeluarkan kata-kata, kecuali yang diridhai Allah swt.

Sungguh kami bersedih atas kepergianmu, Ibrahim”.121

Pernah pula Rasulullah saw, dilempari kotoran oleh ‘Uqbah bin Abi Mu’ith atas perintah Abu Jahal. Tidak lama kemudian ia pergi menuju kepada Rasulullah saw, dan melemparinya dengan kotoran itu pada saat Rasululah saw sedang sujud di Masjid al-Haram. Hingga akhirnya Fatimah, putri beliau datang dan membersihkan kotoran tersebut dari masjid dengan hati pilu bercucuran air mata. Rasulullah saw, tak pernah mempermasalahkan perlakuan ini, namun tangis yang keluar dari kedua mata sayu putrinya membuat beliau pilu. Hati terasa pedih, lebih pedih daripada menahan siksaan apapun, dan untuk menenangkan putrinya beliau ngendikan (berkata) ; “Jangan menangis putriku, Allah swt akan selalu melindungi ayahmu ini”.122

120 Muhammad al-Sakhawi, al-Maqasid al-Hasanah (Beirut : Dar Al-Kitab al-Arabi, 1985), hlm. 311.

121 Abdur Rahman, Sufi Modern (kombinasi dan Landingisasi Gagasan Sufi) (Yogyakarta : Divo Nusantara, 2016), hlm. 167.

122 Sejarah Atsar, Lentera Kegelapan Untuk Mengenal Pendidik Sejati Manusia (Kediri : Pustaka Gerbang Lama, 2021), hlm. 194-195.

2. Surah At-Tahrim Ayat 08





























































































“Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami;

Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu”.123

Pada tafsir ayat ini, Buya Hamka menjelaskan bahwa, Orang yang telah beriman disuruh memeliharakan diri dan keluarganya dari azab api neraka. Demikian pula pada ayat ini ; orang yang telah beriman disuruh supaya taubat, sebenar-benar Taubat. Dalam ayat yang tengah ditafsirkan ini disebutkan Taubat Nasukha, Buya Hamka memberi arti dengan Taubat sejati. Asal arti kata Nashuukh yaitu bersih, tulus, jujur, setia. Menjadilah Taubat yang bersih.124

Seterusnya Allah swt berfirman ; “Mudah-mudahanlah Tuhan kamu akan menghapuskan keburukan yang ada pada kamu”. Pengertian

123 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : Pustaka Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2008).

124 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar (Singapura : Pustaka Nasional, 1982), hlm. 7514, jilid 10.

“mudah-mudahan” kita salinkan dari kalimat bahasa Arab yang terdapat dalam ayat itu, yaitu 'asaa. Menurut ahli-ahli tafsir kalau 'asaa yang berarti mudah-mudahan itu dipakai dari pihak Allah swt, artinya adalah pasti. Tegasnya kalau seseorang telah benar-benar taubat nasukha, pastilah Allah swt akan mengampuni dosanya dan menghapuskan perihal buruk yang selama ini lekat dalam pribadinya. “Dan akan dimasukkannya kamu ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”.125

Di sini terdapatlah dua janji yang pasti dari Tuhan. Janji pertama untuk di atas dunia. Yaitu bahwa orang-orang yang benar-benar taubat (Taubat Nasukha) hidupnya akan diperbaiki oleh Tuhan ; kalau sekiranya selama ini dirinya telah cacat karena dosa, tetapi karena wajah hidupnya telah dihadapkannya kepada Tuhan dan dengan segera Tuhan akan merubah dirinya dari orang buruk jadi orang baik, muka yang keruh karena dosa selama ini akan berganti berangsur-angsur menjadi jemih berseri karena sinar iman yang memancar dari dalam roh. Itulah janji pasti yang pertama dari Tuhan. 126

Adapun janji pasti yang kedua ialah akan dimasukkan ke dalam syurga sebagai ganjaran atas ikhtiar perjuangannya dalam berusaha hendak bebas dari pengaruh hawa nafsu dan syaitan. “Pada hari yang Allah swt tidak akan mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman yang besertanya”. Sebab segala kepayahan Rasulullah saw dan

125 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar (Singapura : Pustaka Nasional, 1982), hlm. 7514, jilid 10.

126 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar (Singapura : Pustaka Nasional, 1982), hlm. 7514, jilid 10.

keikhlasan pengikutnya selama di dunia berjuang menebarkan Agama Islam rahmatan lil al-Alamiin, menyeru umat manusia kepada agama Allah swt, di akhirat itu kelak akan disambut dengan sambutan yang layak, yang mulia dan penghargaan tertinggi, sehingga tidak ada yang mengecewakan, dan akan terobati semuanya.127

“Cahaya mereka akan berjalan di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka”, cahaya yang akan bersinar sekeliling diri di akhirat itu kelak, yang akan berjalan di muka orang-orang mukmin dan di sebelah kanannya, adalah lanjutan yang wajar dari cahaya yang telah dipupuk sejak kala hidup di dunia ini. Mereka akan berkata ; “Ya Tuhan kami!

Sempumakanlah atas kami, cahaya kami dan ampunilah kami”. Maka kaum yang beriman itu telah berjalan diterangi oleh cahaya Iman mereka sejak permulaan perjalanan sampai terus ke pintu maut dan sampai hari kiamat. Senantiasa mereka memohonkan kepada Tuhan agar cahaya itu yakni cahaya Iman disempumakan terus. ; “Sesungguhnya Engkau, atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Menentukan” (ujung ayat 8).128

Begitulah jiwanya orang yang beriman; meskipun mereka tidak berbuat dosa yang besar, namun mereka tetap memohon taubat nashuuha kepada Tuhan agar cahaya itu ditambah dan disempumakan lagi dan agar dia diberi ampun, karena yang Maha Sempuma hanyalah Allah swt

127 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar (Singapura : Pustaka Nasional, 1982), hlm. 7515, jilid 10.

128 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar (Singapura : Pustaka Nasional, 1982), hlm. 7515, jilid 10.

sahaja. Dalam kemajuan perjalanan itu mereka tidak mau melupakan bahwa Tuhan itu dapat saja merubah segala keadaan.129

Ulama-ulama Tasawwuf banyak membuat kesimpulan tentang maksud Taubat Nasukha. Taubat merupakan pintu masuk untuk seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah swt, sebab pada fase taubatlah seorang sufi mendaki maqam pertama yang harus di jalani seorang salik (penempuh jalan thariqah) untuk berlatih dan berjuang menuju ridha Allah swt sebagi tujuan yang hakiki.130 Dari Anas ibn malik, Rasulullah bersabda ; “Orang yang bertaubat dari perbuatan dosa seperti orang yang tidak mempunyai dosa (pengampunan), dan apabila Allah swt mencintai seorang hamba, maka allah swt tidak memberi mudharat kepada dosanya (rahmat)”. Selanjutnya, Anas berkata ; “Ya Rasulullah, apa tandanya taubat itu ?, beliau bersabda ; “Penyesalan”.131

Adapun taubat bagi orang awam dilakukan berkaitan dengan dosa-dosa yang dilakukan oleh tubuh jasmani. Bagi seorang pemula (mubtadi’), taubat dilakukan dalam usaha menyesali sifat-sifat tercela yang merusak seperti dengki, sombong, riya’ dan sebagainya. Pada tingkatan selanjutnya atau mutawassith, taubat dilakukan dalam rangka menolak bujukan dan

129 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar (Singapura : Pustaka Nasional, 1982), hlm. 7515, jilid 10.

130 Ali Ridho, Konsep Taubat Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Minhajul ‘Abidin (Yogyakarta : Jurnal Aqidah, 2019), hlm. 24.

131 Abdul Karim bin hawazin bin Abdul Malik Al-Qusyairi, Terjemahan Ar-Risalah Qusyairiyah fi Maktabah Syamilah (Kairo : Darul Ma’arif, 1867), hlm. 207, jilid 1.

rayuan setan. Pada tingkat paling atas (muntaha) taubat dilakukan karena kelengahannya dalam mengingat Allah swt.132

Imam Al-Ghazali merumuskan hakikat taubat sebagai tindakan kembali dari kemaksiatan menuju kepada kepatuhan kepada Allah dan meninggalkan jalan yang menjauhi Allah menuju kepada jalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. Untuk itulah diperlukan tiga perangkat pokok berupa ilmu, hal dan amal. Taubat, baginya, tidak pernah ada akhirnya karena pada hakikatnya ia merupakan pengulangan-pengulangan meskipun tidak ada dosa yang mendahului sebagai penyebabnya. Al-Ghazali menyarankan sebelum melakukan taubat dari perbuatan maksiat, hendaknya seseorang terlebih dahulu melepaskan diri dari cinta dunia secara berlebihan dan kekuasaan sebagai prasyarat mutlak.133

Orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsipahli sunnah mengatakan ; “Agar taubat diterima diharuskan rnemenuhi tiga syarat utama, yaitu menyesali atas semua pelanggaran yang pernah diperbuatnya, meninggalkan jalan yang membuat tergelincir pada (kelalaian) pada saat menjalani taubat, dan berketetapan hati untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran serupa”.134

132 Sutejo Ibnu Pakar, Tokoh-Tokoh Tasawwuf dan Ajarannya (Yogyakarta : DeePublish, 2013), Hlm. 166.

133 Sutejo Ibnu Pakar, Tokoh-Tokoh Tasawwuf dan Ajarannya (Yogyakarta : DeePublish, 2013), Hlm. 167.

134Abdul Karim bin hawazin bin Abdul Malik Al-Qushairi, Terjemahan Ar-Risalah Qushairiyah fi Maktabah Shamilah (Kairo : Darul Ma’arif, 1867), hlm. 208, jilid 1.

Saya pemah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata,“Taubat ada tiga bagian ; pertama taubat (kembali), kedua inabah(berulang-ulang kembali), dan ketiga aubah (pulang)”.135 Taubat bersifatpermulaan.

Aubah adalah akhir perjalanan. Dan inabah adalahtengah-tengahnya.

“Setiap orang yang taubat karena takut siksaan, maka dia adalahpelaku taubat. Orang bertaubat karena mengharapkan pahala adalahpelaku taubat yang mencapai tingkatan inabah. Sedangkanorang taubat yang termotivasi oleh sikap hati-hati dan ketelitianhatinya, bukan karena mengharapkan pahala, atau takut padasiksaan Allah swt, maka dia adalah pemilik aubah”.Dikatakan pula bahwa taubat adalah sifat orang-orangmukmin.

Allah berfirman ;

...

















Artinya ; “...Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung”. (QS. An-Nur[24]:31).

Dalam pandangan penulis, bertaubat adalah suatu tahapan yang tidak mudah untuk dilakukan, namun harus di upayakan. Karenanya seseorang haruslah sadar akan kodratnya sebagi insan biasa, insan yang tertitah dalam segala keterbatasan, dan tak luput dari salah dan lupa.

Dalam sebuah sya’ir disebutkan;

# ِهِيْسَنِل َّلَِإ ُناَسْنِلإا َّيِمُس اَمَو ُبَّلَقَتَي ُهَّنَأ َّلَِإ ُبْلَقلا َلََو

Artinya ; “Manusia disebut Insan hanya karena kealpaannya, Dan hati dinamakan Qalbu hanya karena inkonsistennya”.136

135 Abdul Karim bin hawazin bin Abdul Malik Al-Qusyairi, Terjemahan Ar-Risalah Qusyairiyah fi Maktabah Syamilah (Kairo : Darul Ma’arif, 1867), hlm. 211, jilid 1.

136 Tolhah Ma’ruf, dkk, Fiqih Ibadah (Kediri : Lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008), hlm.

350, juz 1.

3. Surah Ali Imron Ayat 31-32























































“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Katakanlah (Muhammad),

“Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir (Kufur ni’mat Allah swt)”.137

Pada tafsir ayat ini, Buya Hamka menjelaskan untuk selalu mencintai Allah swt dan Rasulnya, harus selalu taat terhadap apa yang diperintah Allah swt dan menjauhi segala larangannya untuk menghindari kekufuran. Beliau menganjurkan untuk selalu membaca al-Quran dengan baik dan benar, artinya dengan memfokuskan fikiran kepadanya. Dengan demikian akan terasa hubungan di antara satu ayat dengan ayat yang berkaitan. Sehingga orang yang pernah bersalah diberi kesempatan untuk lebih banyak berbuat baik dengan disertai untuk memohon ampunan kepada Allah swt. Tuhan selalu bersedia menerima kedatangan hamba-Nya. Maka apa kesan yang akan terasa dalam hati yang beriman bila membaca sampai di sini?, yaiturasa cinta, rahmat kasih-sayang Tuhan kepada hamba-Nya. Maka dengan sendirinyapun, dalam perasaan si hamba terasalah pula keinginan untuk membalas cinta tersebut.138

137 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : Pustaka Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2008).

138 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar (Singapura : Pustaka Nasional, 1982), hlm. 755, jilid 2.

Ungkapan rasa cinta (mahabbah) Buya Hamka dalam do’anya,“Ya Tuhanku dalam akhir ayatmu engkau telah berfirman, bahwa engkau tetap mengasihani aku, hambamu yang lemah, Tuhanku! aku mencintaimu, engkau memberi saya perasaan halus, suatu Iffah atau Wijdan.139 Saya merasa dalam hati kecil saya bahwa saya tidak pernah lepas dari penglihatanmu, engkau selalu membimbing saya, engkau miliki begitu banyak keni’matan hidup untuk saya. Aku hanya menerima saja, aku tidak bisa membalasmu. Bagaimana aku bisa membalas pemberianmu, sedangkan nyawa ditubuhku, engkau yang memilikinya. Itu sebabnya cintaku padamu tumbuh dengan kehangatan. Ya Tuhan aku takut padamu karenamu. Hanya dengan secangkang, saya menerima nikmatmu yang seluas lautan. Tapi meskipun aku takut, aku masih merindukanmu, saya khawatir, tetapi dalam kecemasan saya juga memiliki harapan. Tuhanku!

Engkau benar-benar ada! Hatiku merasakannya. Saya tidak sabar untuk melihat keagunganmu, tetapi saya tidak tahu ke mana harus pergi. Engkau takdirkan aku jadi manusia yang banyak kelemahan dan kekurangan. Itu sebabnya aku terkadang malu melihatmu, tapi aku juga ingin melihatmu.

Tuhan tolong saya. tolong bantu saya untuk memecahkan masalah ini”.

Dalam mencintai (mahabbah) kepada Allah swt hukumnya wajib.140Karena dialah Rabb yang memberi anugerah kepada segenap hamba-Nya dengan berbagai nikmat, baik lahir maupun batin.

139 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar (Singapura : Pustaka Nasional, 1982), hlm. 756, jilid 2.

140Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, Terjemahan Ihya’

Ulumuddin fi Maktabah Syamilah (Beirut : Darul Ma’rifah, 1965), hlm. 412, jilid 4.

Selanjutnya, setelah mencintai Allah swt, kita wajib pula mencintai Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw, sebab beliau adalah orang yang menuntunumat-Nya kepada Allah swt, yang mengenalkan kepada-Nya, menyampaikan syari’at-Nya dan yang menjelaskan hukum syari’at-Nya.

Karena itu, kebaikannya yang diperoleh kaum mukmuin, baik dunia maupun akhirat, adalah hasil dari kecintaan Rasulullahu alaihi wa sallam kepada umat-Nya.141 Kalau seorang hamba sudah bisa mecintai Allah dan Rasul-Nya, maka akan timbul sikap untuk mentha’ati (patuh) yang merupakan buah dari apa yang dia cintai. Maka seyogyanya adalah tidak akan muncul kecintaan seorang hamba yang berjalan menuju kepada Allah swt (salik), selain sesudah ma’rifah (dikenal) dan idrak (diketahui).142

Karena manusia itu tidak akan mencintai selain apa yang sudah dia ketahui. Dengan demikian kecintaan termasuk khasiat (sifat khas) bagi yang hidup untuk mengetahui-Nya. Jika setiap apa yang ada pada yang diketahui-Nya itu kelezatan dan kesenangan, niscaya itulah yang dicintai oleh yang mengetahui-Nya. Maka cinta itu ibarat dari kecenderungan (tabi’at) kepada sesuatu hal yang melezatkan. Kalau kecenderungan itu kokoh dan kuat, niscaya dinamakan ; “Asyik” (bergantung hati kepadanya).143

141 Akilah Mahmud, Akhlak Terhadap Allah swt dan Rasulullah saw (Jakarta : Artikel vol.11, 2017), hlm. 61.

142 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, Terjemahan Ihya’

Ulumuddin fi Maktabah Syamilah (Beirut : Darul Ma’rifah, 1965), hlm. 412, jilid 4.

143 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, Terjemahan Ihya’

Ulumuddin fi Maktabah Syamilah (Beirut : Darul Ma’rifah, 1965), hlm. 412, jilid 4.

Dokumen terkait