• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan mengenai perempuan, telah banyak diungkap oleh para cendekiawan dan fuqaha. Demikian pula mengenai kepemimpinan perempuan dalam segala aspek. Beberapa literatur yang penulis temukan sekaitan dengan pembahasan antara lain :

Murtadha Mutahhari dalam The Right of Women in Islam

mengemukakan bahwa Islam sangat menghargai perempuan. Oleh karenanya Islam memberikan hak-hak dan kewajiban kepada perempuan sebagaimana yang diberikannya kepada laki-laki. Salah satu di antaranya adalah dengan menghargai hak perempuan menikmati kemerdekaan sosialnya..37

Muhammad Anis Qasim Jafar dalam bukunya Huq­q al-Siyasiyah li al-Mar'ah f³ al-Islam wa al-Fikr wa al-Tasyri' al-Mu'a¡ir

mengemukakan : Orang yang mengatakan bahwa Islam tidak mengakui prinsip persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hak-hak politik, berarti telah keliru memahami syarai'at Islam. Jika dikatakan bahwa pekerjaan yang sebenarnya bagi perempuan yang bersuami adalah mengurus rumah dan memelihara anak, maka itu tidak berarti ia tidak pantas melakukan pekerjaan selain tugas penting ini. Akan tetapi, kadang-kadang ia lebih pantas mengerjakan tugas-tugas lainnya.38

Persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam menggunakan hak-hak politik adalah haknya yang ditetapkan syariat. Jika ia

meninggalkan haknya dalam beberapa masa dalam sejarah

kehidupannya karena tidak diperlukan atau karena laki-laki mengalahkannya dalam bidang itu, tidak berarti bahwa haknya tidak diakui.

Said Agil al-Munawwar, “Membongkar Penafsiran terhadap

surah al-Nisa’ ayat 1 dan 34”, dalam Syafiq Hasyim, Kepemimpinan

Perempuan Dalam Islam mengemukakan bahwa persoalan

kepemimpinan perempuan masih berada dalam wilayah yang

1981), h. 7-261.

38Lihat Muhammad Anis Qasim Jafar, al-Huq­q al-Siyasiyah li al-Mar'ah fi al-Islam wa al-Fikr wa al-Tasyri' al-Mu'a¡ir, dialihbahasakan oleh Ikhwan Ali Fauzi, Lc. Dengan judul Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam(Cet. I; Jakarta: Amzah, 2002), h. 96.

diperselisihkan. Tidak satupun dalil agama yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara. Dengan demikian, perempuan boleh saja menjadi seorang pemimpin (keluarga dan negara).

M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an

mengemukakan bahwa perempuan boleh saja aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Beliau menyimpulkan bahwa menyangkut pekerjaan, perempuan mempunyai hak selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya

dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.39

Demikian pula dalam bukunya Perempuan dikemukakan bahwa

pelarangan aktifitas perempuan sebagai kepala negara oleh para ulama dan pemikir masa lalu, tidak lain disebabkan oleh situasi dan kondisi perempuan pada masa tersebut. Perubahan fatwa dan pandangan pasti terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi, dan karenanya tidak

39Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat(Cet. III; Bandung: Mizan, 1996), h. 307.

relevan lagi perempuan di larang ikut serta dalam politik praktis

ataupun memimpin negara.40

Yunahar Ilyas dalam tesisnya yang berjudul Feminisme Dalam

Kajian Tafsir Al-Qur’an : Klasik dan Kontemporer41 mengangkat dan

mengupas pemikiran para mufassir –seperti al-Zamakhsyar³y, al-Al­si dan Sa’id Hawwa- dan feminis muslim –seperti Ashgar Ali Engineer, Riffat Hassan dan Amina Wadud Muhsin-. Dalam tesisnya ini beliau mengungkap tiga hal yang menjadi pokok kajiannya, yaitu mengenai konsep penciptaan perempuan, konsep kepemimpinan rumah tangga dan konsep kesaksian dan kewarisan perempuan. Ketiga hal tersebut ditelaah, dianalisis, dan dibandingkannya perbedaan pendapat para mufassir dengan feminis muslim lainnya.

Nasharuddin Umar dalam buku Argumen Kesetaraan Gender:

Perspektif Al-Qur’an mengatakan : …“Al-Qur’an mengakui adanya

perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi

perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang

menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung misi pokok Al-Qur’an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang

40Lihat M. Quraish Shihab,Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mjt’ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru(Cet. I; Jakarta: Lerntera Hati, 2005), h. 350.

41Judul asli adalah Isu-isu Feminisme dalam Tinjauan Tafsir Al-Qur’an, Studi Kritis terhadap Pemikiran Para Mufassir dan Feminis Muslim tentang Perempuan, H. Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an : Klasik dan Kontemporer,(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. viii.

(mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan. Hal ini semua dapat terwujud apabila terdapat pola

keserasian dan keseimbangan.42

Fatima Mernissi dalam The Veil and Male Elite. Buku ini

menarik, karena di samping merekam peristiwa historis yang berakibat darah kaum muslimin tertumpah dan ribuan sahabat terkapar dalam pertempuran adalah karena peran wanita dalam memainkan politik. Dikemukakan bahwa menurut Sa’id al-Afghani, Aisyah harus bertanggung jawab atas kekisruhan politik yang terjadi. Buku ini

mencoba menjernihkan keorisinilan sejarah dan memposisikan

kontroversi peran wanita dalam dunia politik.43

Sri Suhandjati Sukri dalam Perempuan Menggugat: Kasus

dalam al-Qur’an dan Realitas Masa Kini mengemukakan secara runtut

bagaimana Qur’an berdialog dengan budaya, dan bagaimana al-Qur’an memberikan petunjuk teoritis terhadap muslimah dalam pergaulan kesehariannya, bimbingan empirik al-Qur’an dan gugatan perempuan, serta perempuan dengan beragam problematika yang dihadapinya di masa sekarang. Dalam buku ini, Sri Suhandjati memaparkan secara detail tentang kisah Ratu Balqis yang sukses gemilang memimpin kerajaan Saba’ yang besar, adil, makmur dan

42Nasharuddin Umar,op. cit.,h. xxiv.

43Fatima Mernissi,The Veil and Male Elite(t.t.: Perseus Publishing, 1991), h. iii.

sejahtera. Hal ini merupakan pengungkapan realitas sejarah bahwa perempuan memiliki kemampuan memiliki kerajaan yang besar dan berhasil menciptakan kemakmuran rakyat. Ia memerintah secara demokratis (mengutamakan musyawarah) yang mendukung kokohnya

pemerintahan.44

Maria Ulfa Anshor mengatakan bahwa ada beberapa peluang berpolitik yang telah dimiliki perempuan. Hal ini dapat terlihat pada perjalanan politik perempuan di era-era sebelumnya, seperti era sebelum 1928, era 1928-1945, era 1945-1965, era 1970-sekarang, serta peluang kuota 30% yang telah dijamin oleh undang-undang. Meski

demikian, dalam buku Nalar Politik Perempuan Pesantren, Maria Ulfa

juga mengemukakan bahwa untuk memanfaatkan peluang yang ada, terlebih dahulu perempuan harus mengenali hambatan multidimensi yang menjadi penyebab rendahnya partisipasi politik perempuan, serta beberapa agenda politik yang harus disikapi oleh perempuan yang

mempersiapkan diri ikut serta dalam dunia politik.45

Asma’ Muhammad Ahmad Ziyadah dalam buku Daur al-Mar’ah

al-Siyasi f³ Ahd al-Ras­l wa al-Khulafa’ al-Rasyid³n. Dalam bukunya,

ia banyak mengemukakan peran politik perempuan dalam sejarah Islam, mulai dari tinjauan politisnya mengenai masuknya perempuan

44Sri Suhandjati Sukri,Perempuan Menggugat: Kasus dalam al-Qur’an dan Realitas Masa Kini(Semarang: Pustaka Adnan, 2002), h. 2-3.

45Maria Ulfa Anshor, Nalar Politik Perempuan Pesantren (cet. I; Cirebon: Fahmina Institute, 2006), h. 15-61.

dalam Islam, hijrahnya perempuan ke Habsyah dan Madinah, ba’iat perempuan pada Nabi saw., Khulafaur Rasyidin, dan dalam berbagai peristiwa, ikutnya para perempuan berjihad/berperang membela

agama Allah, dan perannya dalam kasus Usman dan Ali.46

Abdul Muin Salim dalam Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam

Al-Qur’an. Dalam bukunya beliau mengemukakan pengertian politik dan

kekuasaan politik, serta prinsip-prinsip kekuasaan politik dalam Islam

dengan menggunakan metode maudhu’iy.47

Mattulada dalam disertasinya Latoa: Satu Lukisan Analitis

terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Dalam disertasinya

Mattulada banyak mengemukakan kebudayaan orang Bugis dalam

pangadereng.

Andi Zainal Abidin Farid dalam Lontara Sulawesi Selatan

sebagai Sumber Informasi Ilmiah mengemukakan beberapa macam

lontara, yaitu Sure Attoriolong, Lontara Adek, Lontara Pabbura,

Lontara Laungruma, Lontara Bilang, dan Lontara Latoa. Salah satu

sub bahasan penulis adalah Lontara Latoa yang memuat aturan-aturan moral dalam masyarakat Bugis. Aturan-aturan moral inilah yang

apabila dilanggar, maka orang Bugis menyebutnya dengan pemmali,

yang –analisa awal penulis- menjadi salah satu penyebab yang cukup

46Asma’ Muhammad Ahmad Ziyadah, Daur Mar’ah Siyasi fi Ahd al-Ras­l wa al-Khulafa’ al-Rasyidin(Cet. I; Cairo: Dar al-Salam, 1421 H.), h. 1-350.

berpengaruh terhadap keikutsertaan perempuan Sulawesi Selatan dalam ranah politik.48

Tesis yang ditulis oleh St. Habibah dan Musdalia Mustajar dengan judul Partisipasi, Peran, dan Posisi Perempuan dalam Politik

(Kasus pada Partai Golkar, PPP, dan PDIP Kota Makassar) dan

Partisipasi Perempuan dalam Partai Politik di Sulawesi Selatan.

Beberapa buku lain yang juga membahas masalah perempuan

antara lain; Zaitunah Subhan dengan Tafsir Kebencian: Studi Bias

Gender dalam Al-Qur’an, Hibbah Rauf Izzat dengan Wanita dan

Politik Pandangan Islam, Nawal al-Sa’dawi dan Hibbah Rauf Izzat

dengan al-Mar’ah wa al-D³n wa al-Akhlaq, Najmah Sa’idah dan

Husnul Khatimah dalam Revisi Politik Perempuan: Bercermin pada

Shahabiyat ra.,Istibsyaroh dalamHak-hak Perempuan: Relasi Gender

menurut Tafsir al-Sya’rawi.

Beberapa tulisan dan artikel yang menjadi bahan bacaan penulis

antara lain; Nurnaningsih dalam Nilai-Nilai Budaya Bugis Dalam

Perspektif Budaya dan Agama, Rahman Rahim dalam Nilai-Nilai

Utama Kebudayaan Bugis Dalam La Galigo, Anhar Gonggong dalam

Sulsel dan Komunikasi: Dalam Rangka Proses Integrasi Bangsa

(Melangkah ke Pemahaman Diri Melalui Sejarah Lokal), Mukhlis (ed.)

48Lihat Andi Zainal Abidin Farid, “Lontara Sulawesi Selatan sebagai Sumber Informasi Ilmiah”, dalam Andi Rasdiyanah (ed.), Bugis Makassar Dalam Peta Islamisasi Indonesia(Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1401 H./1982 M.), h. 49-71.

dalam Dinamika Bugis Makassar, dan Maria E. Pandu dalam

Perempuan dan Pelestarian Nilai Sosial-Budaya.

Dari beberapa literatur yang telah ada, penulis belum

menemukan adanya penelitian khusus mengenai implementasi hak politik perempuan dalam masyarakat Islam di Sulawesi Selatan. Dua tesis yang ditulis oleh St. Habibah dan Musdalia Mustajar lebih banyak melihat peran dan partisipasi politik perempuan dalam partai politik dan menghubungkannya dengan gender dan sosiologi. Sementara, penulis menitikberatkan pembahasan pada kajian hukum Islam. Dengan demikian, penelitian ini belum pernah dikaji dan sangat perlu

dilaksanakan untuk menemukan format peran dan partisipasi

perempuan dalam dunia politik menurut hukum Islam, sekaligus menambah khazanah keilmuan.

Dokumen terkait