• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Perempuan dalam Islam

E. Teknik Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Untuk kepentingan tersebut, penulis hanya menyajikan data lapangan sebagaimana adanya dan menggunakan tabel frekuensi.

Data yang terkumpul diolah dalam beberapa tahap, yaitu: a) pengecekan kebenaran dan kelengkapan data, b) pembuatan tabel frekuensi sesuai data dengan mempergunakan rumus :

F x 100 = % N

Dimana :

F = Nilai yang diperoleh option N = Jumlah seluruh nilai (sampel) % = Prosentase

Setelah dihitung dengan prosentase, maka selanjutnya digunakan analisis deskriptif.

Dalam mengolah dan menganalisis data dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif adalah metode yang digunakan untuk mengkategorikan data menurut gambaran kualitas obyek yang diteliti, sedang metode

kuantitatif adalah metode yang digunakan dengan menggambarkan data yang berbentuk bilangan atau angka-angka. Di samping itu, penulis juga mempergunakan metode pengamatan langsung terhadap kondisi dan keberadaan perempuan Sulawesi Selatan.

Metode kualitatif mencakup :

a. Metode Induktif, yaitu suatu proses berfikir yang bertolak dari suatu atau sejumlah data spesifik untuk menurunkan suatu kesimpulan dengan cara generalisasi atau analogi atau hubungan kausal.

b. Metode Deduktif, yaitu suatu proses berfikir yang bertitik tolak dari suatu preposisi yang telah ada, untuk memperoleh suatu preposisi baru sebagai kesimpulan dengan cara silogisme.

c. Metode komparatif, yaitu dengan menguraikan persamaan dan perbedaan kedua obyek/data yang diteliti dan dianalisis.

Ketiga metode ini digunakan untuk menganalisis hak-hak politik perempuan menurut syariat Islam dan melihat implementasinya dalam masyarakat Islam Sulawesi Selatan.

Amina Wadud Mengembalikan Peran Perempuan seperti Islam Awal

- Tanggapan untuk Qotrun Nada

Dhea Dahlia

PEREMPUAN menempati peran sangat istimewa pada masa Islam awal sehingga para sejarawan Islam awal tidak membicarakan mereka hanya sebatas sebagai ibu, anak, dan istri, tetapi juga menyebutkan sumbangsih besar dan partisipasi aktif perempuan di seluruh aspek kehidupan dalam upaya menyerukan agama Allah.

HAL yang juga diamini Qotrun Nada dalam tulisannya (Kompas, 18/4/ 2005) yang menyebutkan peran perempuan dalam beberapa aspek sejarah Islam.

Sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil alamin yang menyebarkan kasih sayang kepada seluruh makhluk termasuk perempuan, tentu aspek memuliakan derajat perempuan di hadapan Tuhan dan makhluknya menjadi salah satu misi Islam (Al Hujurat[49]:13). Tidak heran Allah melalui Rasulullah SAW memberi kesempatan seluas-luasnya pintu surga kepada setiap hamba yang taat kepada-Nya, tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin.

Dalam beberapa argumen yang tidak menyetujui apa yang telah dilakukan Amina Wadud, otoritas kesucian laki-laki sebagai wakil manusia di hadapan Tuhan menjadi sebagian besar alasan mereka, termasuk argumen yang diajukan Qotrun Nada, yang ia kaitkan dengan simbol keimanan dan janji Tuhan pada hari pembalasan.

Dalam ranah fikih yang dihindari Qotrun Nada, pembahasan shalat merupakan pembahasan amat penting sehingga tidak heran kitab mu’tabarah dalam bidang hadis dan fikih membahas secara detail aspek ibadah yang menjadi hak Allah, yaitu salat. Namun, tidak bisa dinafikan terdapat perbedaan dalam setiap rinciannya karena berangkat dari epistemologi berbeda sehingga aplikasinya pun berbeda.

Hal tersebut disadari ulama terdahulu sehingga tidak ada sikap saling tuding pengkafiran, terkecuali karena didukung otoritas politik. Sikap moderat tersebut dilandaskan pada hadis Rasulullah SAW yang menyatakan perbedaan adalah rahmat bagi umat, dan juga karena kesadaran akan perbedaan bahwa setiap ulama mewakili zamannya (Nasaruddin Umar, 1999).

Apa yang dilakukan Amina, penulis yakin tidak didasarkan pada hawa nafsu yang semata-mata terinspirasi karena ada kebencian, tetapi juga dilandaskan pada dasar epistemologi dan keimanan yang kuat (lihat seluruh argumennya dalam www.muslimwakeup). Dalam kacamata Fachrizal Halim, Amina menjadi suara pada zamannya yang banyak memberi peluang dan kesempatan bagi perempuan.

Penulis sependapat pada apa yang ditulis Fachrizal Halim, tetapi ada benarnya juga apa yang ditulis Qotrun Nada, yaitu pada awal Islam kesempatan ruang publik juga diperoleh perempuan, termasuk di dalamnya mengenai persoalan keimaman perempuan (yang

diriwayatkan berdasarkan hadis shahih), yang sayangnya tidak disebutkan Qotrun Nada.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa peran publik begitu banyak dimiliki perempuan Islam pada masa Rasulullah SAW di tengah budaya yang begitu kuat menghinakan perempuan. Untuk memperoleh jawaban tersebut banyak sejarawan Muslim ataupun non-Muslim, perempuan maupun laki-laki, menunjukkan apresiasi mendalam terhadap apa yang menjadi semangat Islam pada masa awalnya, yaitu menjadi agama yang membela kaum mustadafin (kaum yang tertindas). Apakah perempuan termasuk di dalamnya?

Beberapa terobosan yang dilakukan Rasulullah dalam memuliakan perempuan merupakan nilai yang sangat ditentang kaum jahiliyah, seperti pemberian aqiqah kepada perempuan, ketika kelahiran bayi perempuan saat itu merupakan aib bagi suatu keluarga.

Lebih jauh, keteladanan Nabi Muhammad dalam membangun kesetaraan dan sikap santunnya kepada perempuan dibuktikan jauh sebelum ia menerima risalah kenabian. Hal ini mengisyaratkan, risalah kenabian yang membawa perubahan sosial pada kaum mustadafin dan umat Islam hendaknya dimulai dari sikap yang menghargai perempuan, sehingga tidak heran jika terobosan Islam untuk membentuk masyarakat "umah" dimulai dengan mengoreksi tradisi jahiliyah yang menindas perempuan (Fatima Mernisi: 1991).

Sikap inilah yang membuka peluang dan kesempatan para istri, anak, dan sahabat perempuan Nabi berperan menyeru agama Allah,

termasuk dalam aktivitas beribadah, karena perannya di wilayah publik dihargai dan tidak diabaikan dalam tingkat domestik.

DALAM penelitian tentang sejarah perempuan Islam, Leila Ahmed memaparkan bahwa visi etis Islam sejak awal tertuang dalam ayat-ayat Al Quran (Ali Imran: 195, An-Nahl: 97, Surat Al Ahzab: 35, Al Zariyat: 56, Al Hujurat: 13, Al Mu’min: 40) yang secara konsisten menegaskan egaliterianisme moral dan spiritual mutlak dimiliki laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, kualitas etis, seperti kemurahan hati, kehormatan, kejujuran, dan kesalehan, secara seimbang dimiliki perempuan dan laki-laki (Leila Ahmed: 1992).

Visi etis Islam yang menekankan konsep kesetaraan telah dipraktikkan pada zaman Nabi. Namun, dalam sepuluh tahun sesudah Rasulullah SAW wafat, perempuan kembali dihadapkan pada otoritas politik yang memapankan nilai androsentrisme. Masa inilah yang menjadi jembatan berlangsungnya sejarah androsentrisme dalam Islam dan dilembagakan secara halus melalui bahasa agama yang tercantum dalam kitab tafsir, hadis, dan fikih, serta dikembangkan pada masa kekuasaan Bani Umayah dan Abasiyah, bahkan hingga sekarang (Nasaruddin Umar, 1999).

Berbeda dengan tradisi tasauf yang jauh dari lingkaran otoritas politik, perempuan menempati tokoh sentral yang diakui ketinggian spiritualitasnya bisa melebihi laki-laki. Seperti dikatakan Ibnu Arabi, sufi sejati adalah mereka yang mengubah sifat dirinya menjadi perempuan. Hal ini disebabkan sifat jamaliyah yang dimiliki perempuan (Haidar

Baqir, 2002). Bahkan, Abu Abdurrahman as-Sulami (wafat 1021) merincikan kesalehan 82 perempuan "kekasih Tuhan" dalam bukunya, Dzikir an-Niswah al Muta’abbidat ash-Shufiyyat, yang menunjukkan kualitas spiritualitas perempuan tidak terhalang karena jenis kelaminnya.

Bukankah dalam ranah ini intensitas spiritual seorang hamba terjaga? Bukankah dalam shalat aspek yang paling diutamakan adalah kekhusyukan karena rasa khusyuk akan memberi ketenangan? Untuk mendekati kekhusyukan sangat diperlukan kecerdasan spiritual yang merupakan bagian dari kualitas feminin. Dalam hal ini syarat laki-laki menjadi ambigu karena notabene laki-laki mengunggulkan kualitas maskulin.

SYARAT laki-laki sebagai pemimpin shalat yang disebut beberapa ulama adalah karena sejumlah aspek yang mengutamakan laki-laki dan mendiskreditkan perempuan sehingga berimplikasi pada pengaturan secara ketat posisi shaf, pelarangan khotbah, dan tidak wajibnya perempuan melaksanakan shalat Jumat (Husein Muhammad, 2001) karena khawatir akan menimbulkan fitnah (khauf al-fitnah).

Menurut penulis, pendapat seperti ini merupakan alasan yang dihasilkan karena faktor ruang sosial, bukan alasan normatif, karena dalam beberapa literatur yang mengurai ayat Al Quran tentang kualitas ibadah seorang hamba, termasuk ayat-ayat tentang shalat, tidak disebutkan perbedaan derajat berdasarkan jenis kelamin secara khusus yang lebih disukai Tuhan, kecuali karena ketakwaannya.

Peluang perempuan untuk mengapresiasikan keimanan dan potensi religiusnya terganjal justru disebabkan pemahaman manusia karena persepsi yang tidak melihat perempuan sebagai makhluk yang setara di hadapan Tuhan. Bukankah justru tradisi itu yang ditentang Nabi SAW? Apa yang dilakukan Amina bukanlah hal yang merusak keimanan, tetapi justru mengajak kita merenung kembali atas ajaran pada masa Nabi Muhammad SAW yang membela kaum tertindas, antara lain perempuan yang mengalami kekerasan, penganiayaan, dan sikap zalim yang masih berlangsung hingga kini. Namun, perbedaan pendapat atas apa yang dilakukan Amina Wadud adalah hal lumrah saja karena perbedaan dasar epistemologi yang dijadikan pijakan meniscayakan adanya perbedaan. Wallahualam.

Dhea Dahlia Peneliti di Lembaga Kajian Neoklasik Ciputat; alumnus Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Jakarta

Senin, 9 Juli 2001

Islam dan Representasi Politik Perempuan

Sukidi

DALAM waktu dekat, jika tak ada aral melintang akan berlangsung Sidang Istimewa (SI) MPR. Selain mengagendakan pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid, MPR juga akan mengukuhkan Wakil Presiden Megawati sebagai Presiden RI bila pertanggungjawaban Presiden ditolak MPR. Jika dalam SI MPR nanti Megawati benar-benar dikukuhkan menjadi Presiden RI, maka tidak

saja menjadi bukti baru puncak kebangkitan perempuan di panggung politik, melainkan juga saksi terjadinya demokratisasi di negara Muslim seperti Indonesia. Maklum, selama ini, kita dicap tidak demokratis lantaran "ketidaksiapan teologis" dalam menerima kehadiran pemimpin perempuan di panggung politik. Terjungkalnya Megawati dari kursi pencalonan Presiden RI dalam Sidang Umum MPR lalu antara lain disebabkan kuatnya fatwa "ulama politik" akan keharaman perempuan menjadi presiden.

Fatwa itu misalnya selalu disandarkan pada, pertama, QS An-Nisa’:34 ("laki-laki adalah ’pemimpin’ bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain..."). Kedua, hadis Nabi yang diriwayatkan Akhmad Bukhari: al-Nasa’i, al-Tirmidzi ("tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan").

Menurut penulis, tafsir atas QS An-Nisa’:34 masih bisa diperdebatkan. Selama ini, ayat itu dipakai sepenuhnya sebagai pembenaran kepemimpinan laki-laki di hampir semua lini kehidupan, mulai sektor domestik sampai ranah publik. Padahal, sebab turunnya (asbab an-Nuzul) ayat itu adalah konteks kepemimpinan laki-laki dalam keluarga sehingga tidak argumentatif lagi melarang perempuan menjadi presiden. Lebih-lebih lagi, konteks kepemimpinan dalam ayat itu sangatlah tidak permanen. Mufasir masyhur, Muhammad Abduh dalam

Al-Manar, juga tidaklah memutlakkan kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Karena, di belakang ayat itu dikaitkan dengan "kelebihan

sebagian laki-laki" dan "kemampuan memberikan nafkah". Manakala kriteria ini lepas dari laki-laki, maka kepemimpinan itu jelas gugur dengan sendirinya.

Kedua, hadis "tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan" tidaklah serta-merta berlaku umum. Turunnya hadis ini (asbab al-wurud) adalah konteks khusus (bi al-khusus al-sababi) ketika Nabi merespons penggantian seorang Kisra Persia oleh anak perempuannya. Nabi bereaksi atas hal itu karena suatu ketika Nabi pernah mengirimkan surat kepada Raja Kisra Persia untuk masuk Islam dari agamanya semula, Majusi. Alih-alih surat itu dijawab secara sopan, Raja Kisra malah merobek-robek surat Nabi. Jadi, konteks situasi sejarah ketika hadis itu turun adalah sebagai reaksi atas pengangkatan putri Kisra (Bahran binti Syiruyah ibn Kisra) menjadi raja pengganti ayahnya yang wafat. Putri Kisra ini memang sejak awal sangat lemah, tidak saja secara intelektual melainkan juga dalam kepemimpinan politiknya sehingga dengan sendirinya (hukum alam) mengakibatkan ketidakjayaan dan bahkan kehancuran suatu negeri. Dalam konteks inilah, menjadikan hadis ini secara umum sebagai alasan pengharaman perempuan menjadi presiden, bukan saja tidak tepat dan salah alamat, melainkan juga tidak berhubungan dengan situasi sejarah ketika hadis itu turun.

Oleh karena itulah, pakar tafsir Al Quran termasyhur, Prof Dr HM Quraish Shihab dalam Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

yang secara tegas dapat dipahami sebagai pelarangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau membatasi bidang tersebut hanya kepada laki-laki. Dalih yang melarang keterlibatan perempuan dalam bidang politik kesemuanya dapat dilemahkan."

Fatwa Quraish Shihab yang luar biasa maju ini, paling tidak ikut berperan dalam mencairkan "hambatan teologis" di kalangan umat Islam untuk menerima presiden perempuan. Satu langkah kemajuan progresif sekarang ini adalah kita mulai "siap secara teologis" menerima kehadiran perempuan (Megawati) sebagai presiden, menggantikan Abdurrahman Wahid jikalau pertanggungjawabannya ditolak MPR. Dalam konteks inilah, umat Islam pun menapaki babak baru gelombang demokratisasi di negara Muslim, yang tidak lagi mempersoalkan "jenis kelamin" presiden, melainkan lebih kepada kualitas manajerial dan intelektual dalam menyelesaikan krisis bangsa.

Benazir Bhutto

Gelombang demokratisasi itu sudah dimulai, misalnya di Pakistan dengan hadirnya Benazir Bhutto yang dua kali menjabat perdana menteri (1988-1990 dan 1993-1996). Menariknya, ia adalah perempuan yang tampil di puncak karier politiknya sebagai PM justru di negara Islam seperti Pakistan. Karena itu, ia tidak saja sensitif terhadap tuduhan pejoratif bahwasanya Islam melarang perempuan memegang jabatan politik, melainkan juga membuktikan dirinya mampu tampil sebagai pemegang kekuasaan eksekutif di Pakistan. Pernah

mendekam di penjara, tahanan rumah dan pengasingan, Benazir pun lekat dengan wajah aktivis politik yang merepresentasikan peran perempuan dalam politik.

Yang lebih mengejutkan, Benazir dikategorikan oleh Charles Kurzman sebagai salah satu pemikir Islam liberal, selain misalnya Nasira Zain al-Din, Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin, dan Muhammad Shahrour. Dalam Liberal Islam: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 1998), Kurzman mengangkat hak-hak perempuan-sebagai salah satu tema penting dari enam wacana besar Islam liberal, seperti masalah teokrasi, demokrasi, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan mengenai faham kemajuan-menjadi isu sentral di dunia Islam kini, terutama dalam konteks politik. Di sinilah Benazir tidak saja lekat dengan wajah aktivis politik perempuan, melainkan juga pemikir perempuan yang andal terutama dalam konteks perjuangan representasi peran politik perempuan.

Dalam artikelnya berjudul Politik dan Perempuan Islam, di samping mengajukan proposal penafsiran konseptual yang lebih berperspektif keadilan jender ketimbang penafsiran kaku atas isu-isu kewarisan dalam Islam, persamaan dalam kesempatan, sanksi pencurian dan perzinahan, kesaksian, perceraian sampai poligami, Benazir secara tegas menyatakan bahwasanya Islam tidak memosisikan perempuan sebagai inferior terhadap laki-laki atau tidak mampu memimpin.

Benazir merujuk kepada pertama, Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad, yang benar-benar merepresentasikan perempuan

Dokumen terkait