• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Penelitian Terdahulu

1. Penelitian yang dilakukan oleh Unggul dari Universitas Brawijaya Malang (2001). Dalam penelitian Unggul di Kelurahan Dinoyo Kecamatan Lowok Waru Kota Malang dengan Judul “Pemberdayaan Pengusaha Industri ke kecil di Perkotaan” dinyatakan bahwa pemberdayaan usaha kecil di kelurahan Dinoyo harus lebih diarahkan untuk meningkatkan kemampuan (Capability Building) usaha kecil menjadi tangguh dan mandiri serta tumbuh berkembang. Usaha industri kecil keramik Dinoyo tidak hanya memberi manfaat dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pengusaha dan keluarganya, akan tetapi tetap juga memberi keuntungan dan manfaat bagi masyarakat sekitar Dinoyo. Model usaha merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting bagi pengusaha industri kecil keramik. Untuk lebih mengefektifkan pemberdayaan industri kecil keramik yang perlu mendapatkan perhatian dan kepedulian yang lebih besar dari administrasi publik terhadap pengembangan industri kecil keramik Dinoyo, perlu koordinasi dengan melibatkan instansi terkait dan perlu membentuk lembaga penjamin.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh unggul dari Universitas Brawijaya Malang dengan peneliti adalah terletak pada usaha pemberdayaan dalam meningkatkan kemampuan agar dapat meningkatkan pendapatan untuk mencapai taraf sejahtera.

Perbedaan kedua penelitian, penelitian yang dilakukan Unggul dari Universitas Brawijaya Malang menekankan pada pemberdayaan yang diarahkan pada pengusaha industri agar dapat lebih berkembang. Sedangkan peneliti menekankan pemberdayaan melalui pembinaan dengan pelatihan dan fasilitasi pemasaran pada pengrajin batik mangrove.

2. Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain dapat dipakai sebagai bahan pengkajian dan masukan yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain : Penelitian yang dilakukan oleh Nita Dwi Rahmadhani dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (2004), yang berjudul “Peran Pemerintah Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil Sepatu di Wedoro”. Hal ini dibuktikan dengan penetapan pola umum kebijakan yang ditulis dalam rencana program kerja Dinas Perindustrian dan Perdagangan Tahun 2004 mengenai usaha kecil sepatu di Wedoro yang meliputi peningkatan kualitas bahan baku sampai dengan produk jadi, peningkatan peran aktif masyarakat dalam pembangunan dan memperluas lapangan kerja terutama dalam sektor industri rumah tangga. Pemerintah juga memberi bantuan berupa pinjaman modal melalui Bank Jatim, dan segi pemasaran mengikutsertakan pengrajin sepatu Wedoro dalam pekan raya Jakarta selain itu pemerintah juga memberikan bantuan kepada pengrajin sepatu dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan di lembaga IFC, di Hotel Elmi di Graha Pena dan Tanggulangin yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas produksi sepatu, namun bantuan yang diberikan oleh pemerintah tersebut kurang merata, sehingga pengusaha dan pengrajin sepatu tidak mengetahui bantuan yang telah diberikan pemerintah tersebut, hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi antara pemerintah dengan ketua asosiasi sepatu di Wedoro. Melihat kondisi tersebut hendaknya Dinas Perindustrian dan Perdagangan melakukan koordinasi dan mencari solusi dengan anggota asosiasi di Wedoro sebelum memberikan bantuan agar bantuan yang akan diberikan tepat pada pengrajin yang membutuhkannya.

Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan Nita Dwi Rahmadhani adalah pelaksanaan peran pemerintah dalam pemberdayaan usaha kecil untuk meningkatkan peran aktif dari masyarakat dalam pembangunan.

Perbedaan kedua penelitian, penelitian yang dilakukan Nita Dwi Rahmadhani terletak pada usaha peningkatan kualitas dari bahan baku hingga proses terwujudnya barang jadi. Sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti adalah proses pemberdayaan usaha kecil melalui pelatihan dan pemasaran.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Catur Novidiana dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (2007), yang berjudul “Peran Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan dalam Pemberdayaan Industri Genteng di Desa Sukorejo Kecamatan Gandusari Kabupaten Trenggalek” menyatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia pengrajin genteng serta meningkatkan mutu genteng oleh Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Trenggalek mengacu pada Rencana Strategis (RENSTRA) Tahun 2001-2005 melaksanakan pendidikan dan latihan serta studi banding dan magang. Pelatihan teknologi produksi Dinas mengirimkan perwakilan pengrajin untuk mengikuti pelatihan dan memberikan bantuan peralatan secara revolving, pelatihan kewirausahaan diikuti oleh semua pengrajin, pelatihan pemasaran diikuti semua pengrajin didukung adanya pameran dan otlet penjualan di luar kota. Studi banding dan magang diikuti perwakilan pengrajin genteng dari kegiatan pengrajin dapat memproduksi genteng beraneka ragam. Namun Peran Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Trenggalek dalam pemberdayaan Industri Genteng di Desa Sukorejo dalam Pelatihan teknologi produksi, studi banding dan magang yang sudah dilaksanakan selama ini belum maksimal karena hanya diikuti perwakilan pengrajin dan adanya kendala di Desa Sukorejo belum adanya Asosiasi Pengrajin Genteng. Melihat kondisi tersebut hendaknya Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Trenggalek dalam memberikan pelatihan teknologi produksi, studi banding dan magang tidak hanya diikuti perwakilan pengrajin tetapi semua

pengrajin genteng dan khususnya di Desa Sukorejo harus terbentuk Asosiasi Pengrajin Genteng.

Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan Catur Novidiana adalah Pelaksanaan Peran Dinas Koperasi dalam pemberdayaan usaha kecil melalui pendidikan dan pelatihan.

Perbedaan kedua penelitian, penelitian yang dilakukan Catur Novidiana lebih menekankan pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia pengrajin genteng serta peningkatan mutu genteng yang dilakukan oleh Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Trenggalek. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih menekankan pada proses pemberdayaan usaha kecil melalui pembinaan dengan pelatihan dan fasilitasi pemasaran yang dilakukan oleh Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kota Surabaya.

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Peran

Menurut Soekanto (2002 : 243), peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan.

Linton dalam Soekanto (2002 : 224), mengemukakan pengertian peran mencakup 3 (tiga) hal, sebagai berikut :

a. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.

b. Peran adalah konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam

c. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi strukur sosial masyarakat.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peranan merupakan perilaku atau tindakan yang peting bagi struktur masyarakat dan dilakukan karena suatu kedudukan, jabatan, atau organisasi di lingkungan masyarakat bisa berupa suatu kantor yang mudah dikenal oleh masyarakat.

2.2.1.1. Macam-macam Peran

Menurut Suwandi (1997 : 67) peran dalam suatu sistem birokrasi ada dua yaitu : 1. Peran Inter-Individual

Peran untuk mengendalikan pola reaksi individual terhadap situasi tertentu. 2. Peran Sosial

Peran untuk mengatur tata kehidupan sosial. Yang mempunyai peran sosial dan tanggung jawab lebih besar yang ada dalam suatu sistem, maka dialah yang berhak memberi perintah serta wewenang tertinggi ada ditangan pimpinan tersebut.

2.2.2. Pemberdayaan

Pengertian pemberdayaan menurut Jamasy (2004 : 28) adalah upaya menumbuh kembangkan kekuatan pada masyarakat (masyarakat miskin) dengan tahapan dan strategi tertentu.

Menurut Mubyarto dalam Nugroho (2001 : 9) pengertian pemberdayaan masyarakat mengacu pada kata “empowerment” yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan masyarakat adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri.

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap

kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga serta mempengaruhi kehidupannya (Suharto, 2006 : 58).

Pengertian pemberdayaan masyarkat menurut Suhendra (2006 : 75) adalah sebuah konsep yang menekankan pada pembangunan ekonomi pada mulanya yang dikembangkan berdasarkan nilai-nilai masyarakat.

Pengertian pemberdayaan menurut Kartasasmita ( 1996 : 144 ) adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan dengan kata lain memberdayakan berarti memampukan dan memandirikan masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kedudukan harkat dan martabat masyarakat dari perangkap kemiskinan dan menumbuhkembangkan segala kemampuan yang dimiliki masyarakat untuk menjadi lebih baik dalam segala bidang kemampuannya.

2.2.2.1. Tujuan Pemberdayaan

Menurut Sumodiningrat seperti yang dikutip oleh Mashoed (2004 : 40) pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat bertujuan mencapai keberhasilan dalam :

1) Mengurangi jumlah penduduk miskin

2) Mengembangkan usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

3) Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan

kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya.

4) Meningkatkan kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin

berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok, makin rapinya system administrasi kelompok, serta makin luasnya interaksi kelompok dengan kelompok lain di dalam masyarakat.

5) Meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai oleh peningkatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan social dasarnya.

Menurut Jamasy (2004 : 42) dalam analisisnya menyatakan bahwa pemberdayaan yang merupakan prasyarat mutlak bagi upaya penanggulangan masalah kemiskinan memiliki tujuan :

1. Menekankan perasaan ketidak berdayaan (impotensi) masyarakat miskin bila

berhadapan dengan struktur social politis. Langkah konkretnya adalah meningkatkan kesadaran kritis pada posisinya.

2. Memutuskan hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap lapisan orang miskin perlu dilakukan bila terjadi reformasi social, budaya dan politik (artinya, biarkan kesadaran kritis orang miskin muncul dan biarkan pula melakukan reorganisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidupnya)

3. Tertanam rasa persamaan (egalitarian) dan berikan gambaran bahwa kemiskinan bukan merupakan takdir, tetapi sebagai penjelmaan konstruksi social.

4. Merealisasikan perumusan pembangunan dengan melibatkan masyarakat miskin

secara penuh (ini hanya bisa tercapai kalau komunikasi antara pemegang kekuasaan dengan kelompok-kelompok dari person strategis dan masyarakat miskin tidak mengalami distorsi).

5. Pembangunan social dan budaya bagi masyarakat miskin (seperti peranan hidup, perubahan kebiasaan hidup, peningkatan produktivitas kerja).

6. Distribusi infrastruktur yang lebih merata.

2.2.2.2. Upaya Pemberdayaan

Menurut Mashoed (2004 : 44), dilihat dari profil kemiskinan (proverty profile) masyarakat, terdapat beberapa masalah kemiskinan yang menjadi perhatian, diantaranya :

1) Masalah kemiskinan tidak hanya masalah kesejahteraan (welfer) akan tetapi juga masalah kerentanan. Disini berarti bahwa penanganan terhadap masalah kemiskinan masyarakat disamping diarahkan untuk menangani masalah kesejahteraan dengan memberikan sejumlah program peningkatan kesejahteraan, juga diarahkan untuk kemandirian masyarakat.

2) Masalah kemiskinan adalah masalah ketidakberdayaan (powerlessness) karena masyarakat tidak mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, tidak mendapat kesempatan untuk ikut menentukan keputusan yang menyangkut dirinya sendiri dan masyarakat tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.

3) Masalah kemiskinan adalah masalah tertutupnya akses masyarakat terhadap peluang kerja, karena hubungan produksi di dalam masyarakat tidak memberi peluang kepada mereka untuk berpartisipasi, baik disebabkan rendahnya tingkat kualitas sumber daya manusia maupun tidak terpenuhinya persyaratan kerja. 4) Masalah kemiskinan dapat terwujud dalam bentuk rendahnya akses masyarakat

pada pasar lantaran aksesbilitas yang rendah dan arena kondisi alam yang miskin.

5) Masalah kemiskinan yang teridentifikasi karena penghasilan masyarakat sebagian besar di habiskan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan dalam kuantitas dan kualitas yang terbatas, sehingga produktifitas mereka menjadi rendah.

2.2.2.3 Strategi Pemberdayaan

Pemberdayaan manusia tidak dapat diganti dengan ukuran kecepatan waktu dan tempat, melainkan harus dengan proses yang berkesinambungan dalam bentuk peningkatan kualitas partisipasi aktif dari semua unsur stakeholder. Pemberdayaan manusia membawa

misi dan amanat untuk meningkatkan kualitas partisipasi dan pemberdayaan dengan tujuan fungsional yang lebih terpadu, lebih menyeluruh dan mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap upaya menjawab segala kebutuhan pihak yang diberdayakan.

Pemberdayaan sebagai salah satu isu yang populer untuk menanggapi pendekatan manusia seutuhnya, selalu dikaitkan dengan upaya untuk menanamkan kekuatan tambahan kepada pihak yang diberdayakan, sehingga ketika pemberdayaan diarahkan kepada keinginan kuat untuk mengentaskan kemiskinan maka artinya dengan upaya terpadu untuk menanamkan kekuatan tambahan (kemampuan lebih) kepada masyarakat miskin, baik pemberdayaan pada aspek sosial, ekonomi, material dan fisik, intelektual sumber daya manusia dan sampai pada aspek manajerial dan pengelolaannya.

Menurut Kartasasmita (1996 : 159), untuk meraih keberhasilan dalam proses pemberdayaan masyarakat tersebut, diupayakan langkah pemberdayaan masyarakat :

1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang (enabling).

2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). 3. Pemberdayaan mengandung pula arti melindungi (protecting).

Hal-hal yang berkaitan dengan strategi tersebut akan dijelaskan sebagai

berikut :

1. Enabling

Adalah menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat terus berkembang. Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Pemberdayaan artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena kalau demikian akan sudah punah, pemberdayaan adalah untuk membangun daya. Itu yang mendorong, memotivasi dan

membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

2. Empowering

Adalah memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat, dalam kaitan ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Untuk itu diperlukan program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program yang umum yang berlaku untuk semua tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.

3. Protecting

Adalah pemberdayaan mengandung arti pula melindungi dalam proses pemberdayaan harus dicegah, yang lemah menjadi bertambah lemah karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat, oleh karena itu dalam konsep pemberdayaan masyarakat, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya, dalam rangka ini adanya peraturan perundangan yang secara jelas dan tegas melindungi golongan yang lemah sangat diperlukan, melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi tergantung pada berbagai program pemberian, karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri dan hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain.

Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007 : 119-120) mengemukakan terdapat minimal tiga strategi pemberdayaan yang umum dipahami atau dilaksanakan :

1. Pemberdayaan yang hanya berkutat di “daun” dan “ranting” atau pemberdayaan konformis. Karena struktur sosial, struktur ekonomi, dan struktur politik yang ada

sudah dianggap given, pemberdayaan masyarakat hanya dilihat sebagai upaya meningkatkan daya adaptasi terhadap struktur yang sudah ada. Bentuk aksi strategi ini adalah mengubah sikap mental masyarakat yang tidak berdaya dan pemberian bantuan, baik modal maupun subsidi.

2. Pemberdayaan yang hanya berkutat di “batang” atau pemberdayaan reformis. Konsep ini tidak mempermasalahkan tatanan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang ada. Yang dipersoalkan adalah praktik dilapangan atau pada kebijakan operasional. Dengan demikian, pemberdayaan difokuskan pada upaya peningkatan kinerja operasional dengan membenahi pola kebijakan, peningkatan kualitas SDM, penguatan kelembagaan, dan sebagainya.

3. Pemberdayaan yang berkitat di “akar” atau pemberdayaan stuktural. Strategi tersebut melihat bahwa ketidak berdayaan masyarakat disebabkan oleh struktur sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang kurang memberikan peluang bagi kaum lemah. Dengan demikian, pemberdayaan harus dilakukan melalui transformasi struktural secara mendasar dengan meredesign struktur kehidupan yang ada. Karena sifat revolusionernya, konsep terakhir ini disebut juga critical paradigm.

2.2.3. Koperasi

Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyebutkan Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Ada tiga pengertian Koperasi sebagai pegangan untuk mengenal Koperasi lebih jauh. Menurut Chaniago dalam Sitio dan Tamba (2001 : 17), mendefenisikan Koperasi sebagai suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum, yang memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk dan keluar, dengan bekerja sama secara

kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya.

Menurut Hatta dalam Sitio dan Tamba (2001 : 17), mendefinisikan Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasar tolong-menolong. Semangat tolong-menolong tersebut didorong oleh keinginan memberi jasa kepada kawan berdasarkan ‘seorang buat semua dan semua buat orang’.

Menurut International Labour Organization dalam Sitio dan Tamba (2001 : 16), Koperasi adalah suatu perkumpulan orang, biasanya yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas, yang melalui suatu bentuk organisasi perusahaan yang diawasi secara demokratis, masing-masing memberikan sumbangan yang setara terhadap modal yang diperlukan dan bersedia menanggung resiko serta menerima imbalan yang sesuai dengan usaha yang mereka lakukan.

Berdasarkan ketiga defenisi tersebut dapat diketahui bahwa dalam Koperasi setidak-tidaknya terdapat dua unsur yang saling berkaitan satu sama lain. Unsur pertama adalah ekonomi, sedangkan unsur kedua adalah unsur sosial.

Agar Koperasi tidak menyimpang dari tujuan itu, pembentukan dan pengelolaan Koperasi harus dilakukan secara demokratis. Pada saat pembentukannya, Koperasi harus dibentuk berdasarkan kesukarelaan dan kemauan bersama dari para pendirinya. Kemudian pada saat pengelolaanya tiap-tiap anggota Koperasi harus turut berpartisipasi dalam mengembangkan usaha dan mengawasi jalannya kegiatan Koperasi.

Bila dirinci lebih jauh beberapa pokok pikiran yang dapat ditarik dari uraian mengenai pengertian Koperasi tersebut adalah suatu perkumpulan yang didirikan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas, yang bertujuan untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi anggotanya yang bersifat sukarela mempunyai hak dan kewajiban

yang sama, berkewajiban untuk mengembangkan serta mengawasi jalannya usaha Koperasi dan Resiko dan Keuntungan Usaha Koperasi ditanggung dan dibagi secara adil.

Dasar hukum keberadaan Koperasi di Indonesia adalah pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Dalam penjelasan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 antara lain dikemukakan :

“….perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah Koperasi”.

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 1992, yang dimaksud dengan Koperasi di Indonesia adalah :

“…..badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas azas kekeluargaan”.

Berdasarkan kutipan penjelasan pasal 33 Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tersebut, dapat diketahui bahwa Koperasi di Indonesia tidak semata-mata dipandang sebagi bentuk perusahaan sebagaimana halnya Perseroan Terbatas, Firma, atau Perusahaan Komanditer (CV). Selain dipandang sebagai bentuk perusahaan yang memiliki asas dan prinsip tersendiri, Koperasi di Indonesia juga dipandang sebagai alat untuk membangun sistem perekonomian.

Hal itu sejalan dengan tujuan Koperasi sebagaimana di dalam pasal 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 disebutkan bahwa :

Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan tujuan seperti itu, mudah dimengerti bila Koperasi mendapat kehormatan sebagai satu-satunya bentuk perusahaan yang secara konstitusional dinyatakan sesuai dengan susunan perekonomian yang hendak dibangun di Indonesia.

2.2.3.1. Landasan Koperasi

Untuk mendirikan Koperasi yang kokoh perlu adanya landasan tertentu. Landasan ini merupakan suatu dasar tempat berpijak yang memungkinkan Koperasi untuk tumbuh dan berdiri kokoh serta berkembang dalam pelaksanaan usaha-usahanya untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Landasan-landasan Koperasi tersebut adalah :

1. Landasan Idiil Koperasi Indonesia yang dimaksud dengan landasan Idiil Koperasi adalah dasar atau landasan yang digunakan dalam usaha untuk mencapai cita-cita Koperasi. Koperasi sebagai kumpulan sekelompok orang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. Gerakan Koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang hak hidupnya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 akan bertujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Jadi tujuannya sama dengan apa yang dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia, karena itu Landasan Idiil Negara Republik Indonesia yaitu PANCASILA. Dasar Idiil ini harus diamalkan oleh Koperasi, karena pancasila memang menjadi falsafah Negara dan bangsa Indonesia.

2. Landasan Strukturil dan Gerak Koperasi Indonesia Landasan Strukturil Koperasi adalah Undang-Undang Dasar 1945, karena di Indonesia berlaku Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan ketentuan atau tata tertib dasar yang mengatur terselenggaranya falsafah hidup dan moral cita-cita suatu bangsa dan karena Koperasi di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945. Pada pasal 33 ayat 1 yang berbunyi : “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Dan di dalam penjelasan pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bangun usaha yang sesuai dengan itu ialah Koperasi. Dengan demikian Koperasi merupakan perwujudan dari pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, dan pasal 33

ayat 1 tersebut merupakan landasan gerak koperasi, artinya agar ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang Koperasi Indonesia harus berlandaskan dan bertitik tolak dari jiwa pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 ini hanya memuat ketentuan-ketentuan pokok perekonomian, oleh karena itu, maka koperasi masih perlu diatur secara khusus dalam suatu bentuk Undang-Undang Koperasi.

3. Landasan Mental Koperasi Indonesia, Landasan Mental Koperasi Indonesia adalah setia kawan dan kesadaran berpribadi. Rasa setia kawan haruslah disertai dengan kesadaran akan harga diri berpribadi, keinsafan akan harga diri sendiri dan percaya pada diri sendiri adalah mutlak untuk menaikkan derajat penghidupan dan kemakmuran. Oleh karena itu dalam Koperasi harus tergabung ke dua landasan mental diatas, yaitu setia kawan dan kesadaran

Dokumen terkait