• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.5 Kajian Relevan

Penelitian tentang ungkapan Bahasa Aceh pernah dilakukan oleh Athaillah dan Faridan (1984) dengan judul penelitian Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh. Penelitian ini mengungkap masalah yang berkaitan dengan pengklasifikasian ungkapan tradisional yang berlaku pada masyarakat Aceh secara keseluruhan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori James Dananjaya (1982) tentang metode pengumpulan folklore bagi pengarsipan. Dari hasil penelitian ini diperoleh klasifikasi ungkapan tradisional berdasarkan penggunaan dalam

kehidupan sosial masyarakat tersebut yaitu; ungkapan yang bersifat mendidik atau pendidikan, ungkapan yang digunakan dalam upacara perkawinan, ungkapan yang digunakan dalam upacara kematian pada zaman dahulu, ungkapan yang digunakan pada upacara pertanian, dan ungkapan yang digunakan pada upacara tolak bala.

Penelitian yang dilakukan oleh Athaillah dan Faridan bermanfaat bagi penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon sebagai bahan pembanding. Walaupun ke dua-dua kajian ini sama-sama mengkaji ungkapan-ungkapan bahasa Aceh, namun ke duanya berbeda karena penelitian yang dilakukan oleh Athaillah dan Faridan mengkaji semua bentuk ungkapan, termasuk kedalamnya bentuk puisi, sajak dan pribahasa dengan menyertakan arti kiasannya tanpa menjelaskan keterkaitannya dengan lingkungan alamnya dan kognitif masyarakat tuturnya. Selain itu penelitian ini dilakukan pada lokasi yang berbeda. Athaillah dan Faridan melakukannya di Lhokseumawe, Matang, Kabupaten Aceh Utara, sedangkan penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon dilakukan di Desa Trumon Kabupaten Aceh Selatan, dan teori yang diaplikasikan pada penelitian bertumpu kepada teori ekolinguistik.

Kajian ekolinguistik yang dilakukan oleh Mbete (2002) dengan topik penelitian Ungkapan-Ungkapan dalam Bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan. Penelitian ini bertumpu pada tiga masalah pokok, yang berkaitan dengan pertama bagaimana bentuk ungkapan verbal etnik Lio dalam kaitan fungsionalnya dengan pemeliharaan lingkungan. Ke dua, bagaimana fungsi, makna, dan nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tersebut.

Berikutnya bagaimana kaitannya dengan sistem budaya masyarakatnya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dalam perspektif linguistik budaya, khususnya etnografi berbahasa yang digunakan dalam konteks sosial budaya seperti dalam ritual keadatan, yang mengemban tujuan tertentu dan merupakan sumber budaya (sherzer, 1977 ). Kajian ini merupakan Kajian Isi (content analysis) dengan karakteristik data berupa data verbal yang berkaitan dengan makna-makna yang terkandung dalam teks dan konteks pemakaian tersebut.

Dari hasil penelitin ini diperoleh satu bentuk kebertahanan bahasa Lio yang berkaitan dengan lingkungan alam. Ini berlangsung disebabkan kandungan nilai, norma, dan fungsi penting ungkapan-ungkapan budaya verbal masyarakat etnik Lio secara kognitif dan konseptual cukup potensial dalam kaitan dengan pelestarian lingkungan alam dan lingkungan sosial. Ungkapan-ungkapan verbal yang berfungsi sebagai pemeliharaan keharmonisan hubungan manusia dengan alam semesta, terutama hubungan dengan Yang Maha Kuasa tetap dijunjung tinggi dan diikuti dengan ungkapan–ungkapan verbal kepada leluhur yang secara genitis melahirkan mereka.

Ungkapan-ungkapan verbal yang berfungsi melestarikan lahan dengan menggunakan teknik tradisional yang mendukung lingkungan alam, seterusnya ungkapan verbal yang mengamanatkan pemeliharan hutan lindung, sumber air, dan pelestarian pantai, dan laut yang diamanatkan oleh leluhur mereka masih digunakan oleh hanya sebagian dari mereka yang mengakibatkan kepedulian terhadap amanat ini mulai bergeser. Hal ini disebabkan merosotnya pemahaman

nilai dan norma pelestarian lingkungan akibat dari terjadinya kesenjangan kebahasaan antargenerasi.

Penelitian ini ditempatkan sebagai kajian relevan dengan penelitian metefora Bahasa Aceh di Desa Trumon disebabkan kedua- dua penelitian sama- sama berfokus kepada ungkapan-ungkapan bahasa yang berhubungan dan berkaitan dengan lingkungan alam, ekologi dan sosio kultural, sehingga penelitian yang dilakukakan oleh Mbete ini dapat dijadikan bahan masukan dalam pemerkayaan penelitian. Kendatipun demikian, penelitian metefora Bahasa Aceh di Desa Trumon tidak menggunakan teori dalam perspektif linguistik budaya, tetapi penelitian ini mengaplikasikan kolaborasi teori yang bersesuaian dengan data yang diperoleh di lapangan. Teori-teori tersebut adalah metafora konseptual linguistik kognitif (Kovecses 2006) berkolaborasi dengan teori tiga dimensi praksis sosial (Lindo dan Jeppe 2000) dan parameter ekolinguistik (Haugen 1972), sehingga hasil penelitian ini memberikan gambaran keterkaitan antara bahasa, lingkungan alam dan lingkungan sosial manusia pemilik bahasa tersebut yang berlabel kajian ekolinguistik.

Penelitian yang dilakukan oleh Mishra (2009), berkenaan dengan kegiatan ritual agama dan mitos pada suku-suku di India dengan judul, Sacred Worldview in Tribal Memory: Sustaining Nature through Cultural Actions. Penelitian ini berusaha memecahkan permasalahan penggunaan ungkapan verbal yang berkaitan dengan ritual agama dan mitos dalam kehidupan sosial masyarakat asli India. Ke dua bagaimana keterhubungan antara agama dan mitos dengan lingkungan alam di sekitar mereka. Dalam memecahkan ke dua-dua masalah tersebut Mishra melalui

kajian ekolinguistik, menitik-beratkan pada teori tiga dimensi praksis sosial dan teori sosiolinguistik. Teori yang digunakan tentang kebertahanan bahasa yang berkaitan dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial penutur asli dan perkembangan teknologi, melalui metode discovery and invention (Mishra 2009) dengan sumber data yang diperoleh secara langsung saat penelitian dilakukaknnya serta mengaitkannya dengan mitos dan agama pada penduduk asli India.

Penelitian ini menemukan bahwa ritual agama dan mitos berfungsi sebagai perekat dalam menyatukan pikiran dan tindakan penduduk asli India, dengan menghubungkan yang bernyawa dan yang tidak, serta mengaitkan masa lalu dan masa sekarang yang menyatu dengan alam sekitar mereka dalam ungkapan verbal, melalui doa dan harapan. Setiap kata mengandung makna yang dihubungkan dengan keempat hal tersebut. Namun seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, pengadaan transfortasi moderen dan ekploitasi lahan memaksa masyarakat lokal menerima budaya baru dan hampir melupakan alam yang tadinya merupakan bagian yang sarat dengan mitos dari sosio-kultural mereka.

Selanjutnya masuknya bahasa asing yang berimbas pula kepada masuknya budaya asing mengakibatkan bahasa dan budaya lokal semakin terdesak yang bermuara kepada pemusnahan tradisi lisan yang sarat dengan kearifan lokal. Kesemuanya ini menimbulkan perubahan prilaku penduduk asli dalam memerlakukan alam dan sumber daya yang mereka miliki.

Penelitian yang sudah dilakukan oleh Mishra ini dapat dijadikan bahan pembanding bagi penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon disebabkan

kedua- duanya merupakan penelitian yang berada di bawah payung ekolinguistik. Di mana ke duanya sama-sama berfokus kepada ungkapan-ungkapan bahasa yang berhubungan dan berkaitan dengan lingkungan alam, ekologi dan sosio kultural, namun penelitian yang di lakukan oleh Mishra ini tidak dapat sepenuhnya dijadikan bahan masukan pada penelitian metefora Bahasa Aceh di Desa Trumon, sebab penelitian tersebut hanya menitik beratkan penelitian pada ungkapan- ungkapan verbal yang ada hubungannya dengan mitos dan agama saja, serta menjelaskan ketergusuran bentuk ungkapan-ungkapan tersebut disebabkan oleh moderenisasi, kemajuan teknologi yang merusak hubungan harmonis antara mitos lingkungan alam, budaya masyarakat, bahasa dan agama mereka, sedangkan penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon menelusuri semua bentuk ungkapan yang dikodekan ke dalam metafora yang bernuansa lingkungan alam tempat masyarakat tutur itu berada, tanpa harus memilah-milahnya hanya pada mitos dan agama. Selain itu penelitian metefora Bahasa Aceh di Desa Trumon tidak berupaya mengaji pola pemertahanan, ketergerusan, dan pelesapan ungkapan-ungkapan. Sehingga teori sosiolinguistik tentang pemertahanan bahasa yang diaplikasikan oleh Mishra tidak digunakan pada penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon. Penelitian ini menggunakan teori metafora konseptual linguistik kognitif (Kovecses 2006) berkolaborasi dengan teori tiga dimensi praksis sosial (Lindo dan Jeppe 2000) dan parameter ekolinguistik (Haugen 1972), sedangkan Mishra hanya menggunakan teori sosiolinguistik yang berkaitan dengan pola pemertahanan bahasa.

Kajian ekolinguistik yang dilakukan pula oleh Mbete (2009) tentang Ragam Bahasa Bali Yang Sekarang Tidak Umum Dipergunakan. Penelitian ini mengkaji masalah yang berkaitan dengan pengaruh perilaku manusia terhadap ekologi yang berimbas kepada bergesernya nilai-nilai budaya, dan sekaligus mengakibatkan perubahan unsur bahasa, terutama pada leksikon. Hasil penelitian ini menyimpulkan dari fakta-fakta yang diperolehnya bahwa bahasa itu tidak hanya semata-mata dipengaruhi oleh manusia, tetapi ekologinya pun turut menunjang. Segala perubahan yang terjadi di dalam ekologi yang menunjang bahasa itu sendiri niscaya akan menyebabkan perubahan pada bahasa tersebut. Salah satu contoh yang sangat jelas terlihat saat ini di Bali adalah akibat dari penyusutan lahan sawah dan subak. Subak dan sawah adalah kesatuan hegemoni yang banyak melahirkan budaya di Bali. Jadi, dengan menyusutnya jumlah apalagi hilangnya subak dan menyusutnya lahan persawahan sudah tentu mengubah bahasa yang dipergunakan secara keseluruhan. Seperti istilah tenggala yang berati bajak digantikan oleh traktor sehingga disambut balik oleh generasi saat ini mengenal istilah bajak menjadi traktor atau dalam bahasa Bali menjadi traktor karena yang acap dilihat mereka saat ini adalah petani membajak sawah dengan mempergunakan traktor.

Kebermanfaatan penelitian ini kepada penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon terletak pada kesamaan di mana ke dua-duanya merupakan kajian ekolinguistik, yang menjadikan bahasa, ekosistem dan manusia sebagai lahan penelitian, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan pada penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon. Walaupun kedua-dua berada di

bawah payung ekolinguistik namun ke dua-duanya tetap berbeda karena penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon tidak mengkaji tentang perubahan, ketergeruran unsur-unsur leksikal Bahasa Aceh di Desa Trumon.

Kajian metafora dilakukan oleh Siregar (2005) dengan judul topik bahasan “Jeruk Kok Minum Jeruk”: Gejala Metaforisasi dan Metonimisasi dalam Bahasa Indonesia”. Penelitian ini berfokus pada metaforisasi konseptualisasi logika semantic yang berlaku untuk manusia ke dalam struktur konseptual benda. Teori yang digunakan sebagai landasan adalah teori metafora dari Lakoff (1993). Siregar menjelaskan bahwa metaforisasi jeruk kok minum jeruk ditandai dengan pemetaan makna dari struktur konseptual sumber (X) kepada stuktur konseptual lainnya (Y). Y dimaksud adalah BUAH yang dipetakan sebagai X yaitu MANUSIA. MANUSIA sebagai ranah konseptual sumber dipetakan kepada BUAH sebagai ranah konseptual sasaran. Metaforisasi ini melibatkan konseptualisasi logika semantik dan prakmatik yang berlaku untuk MANUSIA ke dalam struktur konseptual BUAH, yaitu JERUK.

Metafora Jeruk kok minum jeruk yang diperoleh dari iklan komersial dari produk minuman yang berasal dari jeruk berusaha menggambarkan secara visual animasi sebuah jeruk ingin minum sari jeruk yang dipromosikan. Kemungkinan pesan iklan yang ingin disampaikan adalah kenikmatan yang luar biasa dari sari jeruk tersebut sehingga jeruk sendiripun ingin meminumnya.

Penelitian ini bermanfaat bagi penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon sebagai bahan masukan karena ke dua-duanya sama-sama meneliti metafora, namun demikian terjadi perbedaan di antara keduanya disebabkan oleh,

penelitian yang dilakukan oleh Siregar terhadap gejala metaforisasi dan metonimisasi yang terjadi pada metafora Jeruk kok minum jeruk menggunakan teori (Lakoff 1993), dan bukan merupakan kajian yang berada pada ranah kajian ekolinguistik, sedangkan penelitian Bahasa Aceh di Desa Trumon, merupakan kajian yang berada pada ranah ekolinguistik. Kajian metafora ini mengupas masalah keterkaitan antara lingkungan alam sebagai ranah sumber dari lingkungan alam yang dipetasilangkan kepada manusia dan perilakunya sebagai ranah target membentuk metafora, disebabkan oleh adanya kesamaan ciri yang telah diamati sebagai suatu pengalaman empiris masyarakat tutur yang kemudian menjadi metafora atas dasar konvensi masyarakat tutur Aceh di Desa Trumon. Teori yang diaplikasikan bukan teori teori (Lakoff, 1993), tetapi teori (Kovecses, 2006) berkolaborasi dengan teori tiga dimensi praksis sosial (Lindo dan Jeppe, 2000) dan parameter ekolinguistik (Haugen 1972).

Kajian metafora yang dilakukan oleh Siregar (2007) dengan judul topik bahasan Metaphors of Governance in The Language Of The Indonesian Press’. Pokok bahasan penelitian ini adalah tentang bentuk metafora yang selalu ditampilkan dalam bahasa persuratkabaran Indonesia. Teori yang diaplikasikan pada penelitian ini adalah teori yang mengupas metafora generatif tentang isu sosial dan politik (Schon, 1979) dan (Howe, 1988). Data diperoleh dari Kompas, Republika, dan Waspada. Siregar menjelaskan bahwa bahasa persuratkabaran Indonesia banyak dibangun dalam konsep metafora. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang berkenaan dengan konsep diintegrasi nasional, pelaksanaan hukum,transparensi, dan akuntabilitas banyak menggunakan

metafora POLITIK, WILAYAH, MANUSIA, ORGANISASI dan metafora PERISTIWA. Sehingga metafora Api banyak dikaitkan dengan politik seperti POLITIK SEBAGAI API (POLITICS AS FIRE), POLITIK MEMANAS, API PERJUANGAN.

Selain dari metafora API, metafora PIKIRAN juga banyak ditemukan dalam bahasa persuratkabaran Indonesia. Dalam hal ini PIKIRAN diasosiasikan sebagai benda (IDEAS AS THING), seperti MENANGKAP PIKIRAN, PIKIRAN BUNTU. Dan PIKIRAN SEBAGAI PERJALANAN (IDEAS AS A JOURNEY). JALAN PIKIRAN. Kesemua metafora ini banyak dikaitkan dengan hukum, demokrasi, dan reformasi.

Penelitian metafora yang dilakukan oleh Siregar dan penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon sama-sama penelitian metafora yang melibatkan keadaan dan manusia berikut perilakunya sebagai sasaran, namun kedua-dua penelitian ini saling berbeda disebabkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Siregar tersebut mengupas metafora yang berkaitan dengan metafora Penguasaan (metaphors of governance) sedangkan penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon yang penulis lakukan sedikitpun tidak melibatkan metafora Penguasaan (metaphors of governance) dalam kajian. Sehingga teori metafora generatif tentang isu sosial dan politik (Schon, 1979) dan (Howe, 1988) tidak dapat diaplikasikan dalam penelitian metafora Bahasa Aceh di Desa Trumon. Kendati demikian teori tersebut dapat dijadikan bahan bandingan untuk penelitian ini.

Dokumen terkait