• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Linguistik Kognitif

Linguistik kognitif merupakan kajian linguistik yang dianggap masih baru kemunculannya. Walaupun tahun kelahirannya masih belum diketahui secara jelas tetapi Barcelona dan Javier (2007:17) menyatakan bahwa teori ini muncul sekitar tahun 1987. Pada tahun tersebut tiga buku ditulis oleh pakar linguistik seperti Lakoff (1987) yang menulis, Woman, Fire, and Dangerous Things, Langacker (1987) menulis, Foundation of Cognitive Grammar, dan Johnson (1987) menulis The Body in The Mind. Pada tahun 1989 mereka membentuk sebuah asosiasi yang bernama International Cognitive Linguistic Association (ICLA) dan pada tahun 1999 asosiasi ini mengadakan konferensi pertamanya.

Lebih lanjut Barcelona dan Javier (2007:18-22) menjelaskan bahwa linguistik kognitif mengganggap, kemampuan seseorang belajar dan menggunakan bahasa ibunya merupakan kemampuan yang unik yang berada pada mental seseorang yang khusus dibawa sejak lahir. Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan kognitif manusia secara umum (kemampuan ketajaman mata, sensori motorik, kemampuan kinesthetic seseorang atau kemampuan lainnya). Kemampuan manusia berbahasa dalam memahami makna ucapan dan kalimat banyak dipengaruhi oleh kultur, konteks, dan fungsi ucapan. Seseorang

membentuk, membangun dan mengerti ucapan pada umumnya berdasarkan pengalaman yang bersumber dari pengalaman tubuh manusia.

Arti kata atau kalimat dalam stuktur linguistik pada level bervariasi, bukan semata-mata gabungan seperangkat ciri-ciri simbol yang abstrak yang bersifat universal dan tidak pula secara arbitrer. Akan tetapi arti morfem, kata, dan struktur sintaksis pada umumnya lebih kepada bentuk-bentuk modifikasi yang bersumber dari pengalaman tubuh manusia yang seterusnya disetujui secara konvensional oleh masyarakat tutur. Itulah sebabnya linguistik kognitif beranggapan bahwa bahasa merupakan sebuah produk kemampuan kognitif yang mendasar berkaitan dengan pengalaman yaitu pengalaman berdasar pada pengalaman diri pribadi (bodily experience) dan juga pengalaman sosio- kultural (social/cultural experience).

Pada umumnya semua pakar linguistik kognitif setuju bahwa pengalaman diri manusia memainkan peranan yang paling utama dalam semantik dan struktur garamatikal sebuah bahasa yang berada dalam kognitif manusia. Teori linguistik dan metodologis linguistik kognitif harus konsisten sebagai studi empiris yang dikenal dengan terminologi, kognitif, otak dan bahasa. Studi ini juga beranggapan bahwa makna sebuah ujaran tidak muncul secara terpisah dengan orang yang menuturkannya. Bukti empiris dapat dilihat dalam kehidupan sosial masyarakat, orang-orang yang banyak berkecimpung dalam masalah-masalah politik lebih banyak mengukapkan kata-kata atau leksikon-leksikon yang berhubungan dengan hal-hal yang bertalian dengan politik. Bidang kajian pustaka kognitif banyak

mengarah kepada kajian metafora, metonimi, mental space, conceptual blending theory, iconic, dan image- scema.

2.3 Metafora

Sebuah metafora dibangun dari unsur-unsur leksikal dan adanya referensi yang dirujuknya. Monroe Beardsley, menurut Recoeur (2005:81) bahwa metafora adalah “sebuah puisi miniatur” dan menggolongkan metafora sebagai sebuah kiasan yaitu sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam penggunaan leksikal.

Teori metafora yang dikenal sebagai kajian linguistik, menurut Recoeur (2005:81), Sugiharto (2006: 102) sesungguhnya berasal dari pandangan para pakar retorika kuno yang sudah mengalami revisi. Kata metafora itu sendiri berasal dari bahasa Yunani metaforaa yang terdiri atas dua leksis yaitu meta yang berarti setengah atau sebagian atau tidak sepenuhnya dan phora yang berarti referensi atau acuan.

Lebih lanjut, Recoeur (2005:82) menjelaskan bahwa dalam kajian retorika kuno metafora diklasifikasikan sebagai sebuah kiasan, yaitu sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam penggunaan kata dalam proses denominasi. Kemudian Recoeur (2005:84) menambahkan bahwa pakar retorika kuno seperti Aristoteles dalam karyanya Poetic menyebutkan “sebuah metafora adalah pengaplikasian sesuatu dari sebuah nama yang menjadi milik sesuatu yang lain, suatu transfer yang terjadi dari genus ke spesies, dari spesies ke genus dan dari spesies ke spesies secara analogi”. Oleh sebab itulah

maka sudah berabad-abad lamanya metafora selalu dikaitkan dengan nomina saja dan tidak dikaitkan pada diskursus.

Menurut Sugiharto (2006:103) Aristoteles juga menandai metafora ke dalam tiga ciri penting. Pertama, metafora adalah sesuatu yang dikenakan pada nomina. Ciri kedua, metafora didefinisikan dalam konteks gerakan (epiphora) yaitu pemindahan atau pergerakan dari sesuatu kepada sesuatu lainnya dan berlaku bagi semua bentuk transposisi istilah. Ciri ketiga, metafora merupakan tranposisi sebuah nama yang ‘asing’ (allotrios) yaitu nama yang sesungguhnya milik nama sesuatu benda yang lain. Implikasi dari ketiga ciri tersebut bahwa istilah metafora mengandung tiga gagasan yang berbeda berpadu dalam sebuah kesatuan yang tak terpisahkan yaitu substitusi sebuah leksikon biasa yang semestinya ada dan peminjaman dari suatu ranah asal ke ranah lain.

Para filosof selain Aristoteles pada awalnya menganggap metafora hanya sebagai lahan kajian yang kurang diminati dan hanya dibicarakan pada kajian- kajian yang menyangkut bidang kesusasteraan, bidang seni, dan bidang retorika, karena dianggap tidak dapat menggambarkan atau menyatakan keadaan yang sebenarnya. Mereka menganggap arti yang dikandung oleh sebuah metafora selalu mengaburkan dan menimbulkan ketaksaan makna. Oleh sebab itu para filosof merasa bahwa penggunaan metafora dalam membicarakan filsafat sangat tidak dibenarkan, namun ketika mereka menemukan ihwal filsafat yang tidak bisa mereka selesaikan dengan menggunakan bahasa umum, mereka beralih ke metafora dan akhirnya penggunaan metafora dalam membicarakan kajian filsafat dibenarkan, seperti diungkap oleh Goatly (1997:1-3).

Hingga saat ini menurut Sugiharto (2006:102), metafora terus berkembang untuk memenuhi perannya sebagai perangkat bahasa manusia dalam semua aspek kehidupannya dan metafora merupakan karakter fundamental hubungan linguistik manusia dengan dunia alam sekitarnya dan bukanlah semata-mata sekedar bentuk semantik tertentu. Goatly (1997:1) berpendapat metafora sangat bergantung pada bahasa dan pikiran. Metafora dan proses mental saling bertalian yang berasal dari bahasa dan kognitif. Bahasa yang digunakan oleh orang yang sedang kasmaran untuk merayu, membujuk dan menyapa selalu dalam bentuk-bentuk metafora seperti, dear, honey, hi my sweet heart, you an apple of my eyes.

Bentuk metafora sebagai perangkat bahasa manusia yang bergayut dengan lingkungan berkembang pesat sampai merambah kepada media elektronik. Sebagai contoh adanya penayangan iklan produk makanan, minuman di televisi di antaranya iklan biskuit biskuat yang menampilkan harimau, macan sebagai ranah asal yang dipinjamkan ke ranah lain yaitu manusia yg memakan biskuit tersebut menjadi kuat.

2.3.1 Metafora Leksikal

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa metafora tercipta karena adanya persamaan kandungan maknawi antara leksikon yang satu dengan leksikon lainnya, dan dikatakan pula bahwa metafora milik bahasa yang menata penamaan sesuatu dalam penggunaan leksikal. Penggunaan leksikal dimaksud meliputi hubungan antara makna literal dan makna figuratif yang terkandung dalam leksikal tersebut, memberikan karakter tuturan sebagai sebuah keutuhan yang berada pada kognitif manusia. Secara sederhana metafora

dapat dipahami sebagai suatu transfer makna leksikal dari sebuah ekspresi kepada ekspresi lain disebabkan adanya bentuk persamaan ciri maupun sifat dari keduanya berdasar pada pengalaman kognitif masyarakat tutur suatu bahasa periksa Cruse (2000: 202).

Metafora leksikal merupakan pemaknaan lain dari sebuah leksikon dengan merujuk kepada gambaran sebagian sifat atau makna dari sebuah situasi. Gambaran sifat dan atau makna dari sebuah situasi tersebut tidak semata- mata hanya milik bahasa. Dalam pemerkayaan metafora leksikal pembentukan metafora melibatkan banyak unsur seperti pikiran, sosio-kultural, lingkungan alam dan lingkungan buatan, otak, dan bagian angggota tubuh makhluk sebagaimana yang diungkapkan oleh Kovecses (2006:126).

Lebih lanjut Kovecses memberi contoh metafora time (waktu) yang dalam lingkungan sosio-kultural dan kognitif masyarakat tutur bahasa Inggris menggandung makna sangat bernilai, sehingga banyak tuturan yang menggunakan time. Time is money. Tme and tide wait for no man, Time goes on, dan lain sebagainya. Dalam konstuksi struktur bahasa Inggris bentuk tenses atau penekanan kepada waktu sangat menentukan sehingga adakalanya penggunaan bentuk tenses yang salah akan berakibat kepada kesalahan interpretasi.

Dalam pustaka linguistik kognitif, metafora diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu metafora berdasarkan tingkat konvensional, metafora berdasarkan fungsi kognitif, metafora berdasarkan lingkungan alam, dan metafora berdasarkan kepada pengalaman inderawi dan pengalaman tubuh

(bodily experience) lihat Kovecses (2006:127-129). Saragih (2004:49), (2006:191) menjelaskan metafora leksikal menunjukkan bahwa makna satu kata dirujuk sebahagian untuk menyatakan atau memahami makna kata lain. Selanjutnya Saragih (2006:191) menjelaskan, metafora merupakan realisasi pengalaman secara tidak lazim atau merupakan ekspresi bertanda (marked) atau disebut juga makna figuratif yang melintasi ekspresi lazim (unmarked). Makna ini juga disebut sebagai makna harfiah atau makna literal dan makna tak lazim disebut pula makna figuratif. Untuk menjelaskan metafora ini dapat dilihat dari kedua tuturan berikut:

(a) Rini melihat seekor ular melilit di pohon kayu dekat rumahnya. (b) Rini itu ular, hati-hati berteman dengannya.

Tuturan (a) makna ular mengandung makna literal yaitu seekor binatang melata, berbisa, bersisik dapat membelit atau melilit. Pada tuturan (b) makna ular mengandung makna metafora. Rini adalah manusia bukan hewan melata. Sifat Rini yang diperbandingkan dengan sifat ular karena sebagian dari sifat ular dianggap ada pada Rini. Perkataan Rini contohnya, selalu menyakitkan dan meracuni orang seperti bisa ular. Sifat Rini yang gemar menipu dan berbohong pada orang diperbandingkan dengan sifat Ular yang suka membelit mangsanya.

Menurut Saragih (2006:191-193), metafora leksikal dapat wujud dalam beragam realisasi yang umumnya mengekspresikan satu fenomena dilihat dari dua perspektif dan dapat diurai ke dalam beberapa kriteria. Pertama, nomina dapat disandingkan dengan nomina pula, seperti internet merupakan jendela dunia bagi kita. Nomina jendela disandingkan dengan dunia. Nomina dapat

pula disandingkan dengan verba seperti Gunung Merapi memuntahkan laharnya tahun lalu. Verba memuntahkan disandingkan dengan nomina lahar. Nomina dapat pula disandingkan adjektiva seperti jadilah orang yang kaya hati. Adjektifa kaya disandingkan dengan nomina hati.

2.3.2 Metafora Gramatikal

Teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) dikemukakann oleh Halliday (2004:3), menetapkan bahasa adalah teks yang mereprentasikan makna kepada semua masyarakat tutur bahasa tersebut. Kemudian bahasa merupakan fenomena sosial yang terjadi dari dua unsur yaitu arti yang direalisasikan oleh ekspresi. Dalam mengekspresikan makna ini, bahasa melaksanakan tiga fungsi yaitu memaparkan pengalaman (ideational function), mempertukarkan pengalaman (interpersonal function), dan merangkai pengalaman (textual function) periksa Halliday (2004: 29), Eggins (1996:3), Saragih (2006:7), Sinar (2010:3), Saragih (2006: 193). Dalam memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman ini dapat muncul suatu pengalaman tertentu yang lazim digunakan kepada pengalaman yang lain yang disebut sebagai metafora gramatikal atau metafora tata bahasa. Banyak pakar LFS mengupas metafora gramatikal seperti Halliday dan murid-muridnya.

Saragih (2004:50), (2006:193), Eggins (1996), kumpulan karya Halliday yang disunting Webster (2006:7-10) menyatakan bahwa metafora gramatikal atau metafora tata bahasa merupakan wujud kesenjangan (discrepancy) dalam realisasi fungsi eksperensial, interpersonal, tekstual, dan logis bahasa. Pengalaman yang lazimnya digunakan untuk sesuatu pengalaman tertentu

digunakan untuk pengalaman yang lain. Dengan kata lain, metafora tersebut memberikan pengertian bahwa realisasi yang lazim dari pengalaman (eksperensial, logis, antarpesona, dan tekstual) dalam bentuk transivitas, klausa kompleks, modus, tema/rema, dan kohesi tertentu direalisasikan dengan atau dalam aspek (struktur) tata bahasa yang lain atau yang tidak lazim. Disebabkan oleh perealisasian pengalamam dari lokasi makna lazim kepada lokasi makna yang tidak lazim, para pakar tersebut menempatkan metafora ke dalam dua relokasi realisasi makna.

Pertama relokasi makna yang lazim ke dalam aspek tata bahasa yang lain dalam peringkat yang sama, misalnya kegiatan atau aktivitas yang lazimnya direalisasikan oleh proses direalisasikan sebagai nomina atau realisasi yang lazim dikodekan dalam beberapa kata yang disampaikan dalam satu kata saja, contoh:

a. Mereka bertemu di pantai. Kemudian, mereka makan malam bersama di Restoran Terapung. (lazim)

Pertemuan mereka di pantai diikuti makan malam di Restoran Terapung. (metafora)

b. Rini terlambat berangkat ke sekolah karena dia tertidur. (lazim) Keterlambatan Rini berangkat ke sekolah dikarenakan dia tertidur. (metafora)

Kedua relokasi realisasi makna yang lazim pada satu peringkat dikodekan dalam peringkat tata bahasa yang lain yang lebih rendah (seperti pada metafora paparan pengalaman) atau lebih tinggi (seperti pada metafora

pertukaran pengalaman). Misalnya makna yang lazimnya dikodekan dalam klausa dikodekan dalam grup atau frase dan makna yang lazimnya dikodekan dengan kata dimetaforakan menjadi klausa, contoh:

a. Rini sering datang terlambat. Keadaan ini membuat gurunya marah. (lazim)

Kedatangan Rini yang sering terlambat membuat gurunya marah. (metafora)

b. Tono sering pulang larut malam. Hal ini membuat istrinya resah. (lazim)

Seringnya Tono pulang larut malam meresahkan istrinya. (metafora)

Dalam merealisaikan pengalaman pada umumnya, bahasa metafora digunakan dalam kajian akademik, kajian ilmiah atau diplomasi.

2.3.3 Metafora Konseptual

Metafora dalam pustaka linguistik kognitif merupakan bagian dari bahasa yang memainkan peranan amat penting dalam kajian pikiran dan kultur masyarakat pemilik atau penutur bahasa tersebut. Itulah sebabnya metafora tidak hanya dianggap sebagai fenomena linguistik saja, namun lebih dari itu metafora juga merupakan fenomena sosiokultural dan lingkungan alam yang kadang- kadang melibatkan atau disebabkan oleh pengalaman inderawi penutur bahasa. Sebagai contoh masyarakat Inggris pada umumnya memandang kehidupan melalui dua konsep yaitu konsep perjalanan dan konsep kehidupan, sehingga contoh linguistik yang lazim mereka paparkan tentang kehidupan berdasarkan

hubungan yang paling erat antara dua konsep tersebut, yaitu kehidupan (life) dan perjalanan (journey) LIFE is A JOURNEY. Hubungan ke dua konsep ini terjadi secara sistematis sehingga setiap pembicaraan yang menyangkut tentang kehidupan akan selalu dikaitkan dan dihubungkan dengan konsep perjalanan, lihat Kovecses (2006:117). Relasi ke dua konsep ini merupakan hubungan yang sistematis yang dapat digambarkan dalam skema kognitif penuturnya dan dapat pula dijabarkan sebagai berikut:

Metafora PERJALANAN dan KEHIDUPAN:

PERJALANAN KEHIDUPAN

Pelancong manusia yang memimpin kehidupannya

perjalanan/bergerak bergerak/berusaha untuk tujuan hidupnya (mengarah ke satu tujuan)

tujuan (arah, tempat) cita-cita hidupnya

rintangan dalam perjalanan kesulitan-kesulitan yang dihadapi sampai ke tempat tujuan keberhasilan yang dicapai.

Terminologi metafora dalam pustaka linguistik kognitif adalah metafora konseptual karena metafora merupakan konseptual alamiah dalam hubungan antara unsur bahasa dan kognitif manusia. Lakoff dan Johnson (1980:267-268), Kovecses (2006:128) berpendapat, ada dua macam hubungan yang terlibat dalam suatu metafora, yaitu hubungan ontologi, yang melibatkan entitas dalam dua ranah dan hubungan epistimik, melibatkan hubungan pengetahuan tentang entitas tersebut. Lakoff mengilustrasikan contoh, ANGER IS HEAT OF FLUID IN CONTAINER.

Hubungan ontologis dari metafora tersebut adalah:

HEAT OF FLUID ANGER

kontener badan (tubuh) cairan panas kemarahan skala temperatur skala kemarahan

Hubungan epistemik dari metafora tersebut adalah:

Ketika cairan di dalam kontener di- Ketika kemarahan memuncak panaskan sampai batas tertinggi, te- sampai batas tertinggi tekanan

kanan meningkat yang mengakibat- meningkat yang mengakibat- kan kontener meledak kan kehilangan control

Secara garis besar pembentukan metafora konseptual selalu melibatkan dua ranah, yang pertama disebut ranah sumber (source domain) dan yang berikutnya disebut ranah target (target domain). Pada umumnya ranah sumber lebih bersifat fisik dan ranah target lebih bersifat abstrak. Seperti pada contoh LIFE is A JOURNEY. Pejalanan (journey) dijadikan ranah sumber yang bersifat fisik atau nyata dan kehidupan (life) dijadikan sebagai ranah target yang bersifat abstrak. Terbentuknya metafora ini karena berlangsung proses pemetaan silang.

Pemetaan silang terjadi karena ke dua-dua ranah tersebut memiliki ciri- ciri persamaan dalam beberapa hal. Ciri-ciri persamaan tersebut terekam dalam kognitif penutur bahasa, sehingga ranah sumber dan ranah target sebuah metafora sangat bergantung pada cara pandang penuturnya. Pemetaan silang juga dapat terjadi dari ranah sumber berdasarkan pengalaman tubuh atau

pengalaman inderawi manusia. Pengalaman non linguistik ini sudah terbentuk sejak usia dini seperti seorang anak merasa hangat ketika dipeluk oleh ibunya atau keluarganya dan saat itu si anak merasa senang, bahagia dan nyaman, serta menumbuhkan perasaan kasih sayang yang terhimpun dalam otak manusia, sebagai contoh HANGAT KASIH SAYANG ibu.

Hubungan antara ranah sumber dan ranah target tertata rapi di dalam kognitif penuturnya, sebuah ranah sumber dapat dipetakan kepada beberapa ranah target dan beberapa ranah sumber dapat pula dipetakan kepada satu ranah target saja, contoh, satu ranah sumber dipetakan kepada dua ranah target:

LIFE is A JOURNEY LOVE is A JOURNEY

Ranah sumber JOURNEY dipetakan kepada LIFE dan LOVE

Contoh beberapa ranah sumber dipetakan kepada satu ranah target: LOVE is A JOURNEY LOVE is AGAME LOVE is FIRE Ranah sumber JOURNEY, GAME, dan FIRE dipetakan kepada LOVE.

2.3.4 Klasifikasi Metafora

Berdasarkan pembentukan dan penggunaannya, menurut Kovecses (2006:120-130) bahwa metafora dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis metafora. Pertama metafora berdasarkan konvensi atau non konvensi. Dalam hal ini tidak ada hubungan istilah konvensi yang lazim digunakan dalam kajian linguistik yang mengacu kepada terminologi arbitrer yaitu hubungan arbitrari antara bentuk (form) linguistik dan makna. Konvensi dimaksud mengacu kepada suatu persetujuan dan kesepakatan yang mendasar dari anggota masyarakat tutur untuk menggunakan bahasanya pada komunikasi antar sesama. Terminologi

konvensi dalam penelitian ini ditujukan kepada kesepakatan dan persetujuan anggota komunitas bahasa di Desa Trumon dalam penggunaan metafora pada interaksi verbal dalam kehidupan sehari-hari.

Jenis ke dua adalah metafora secara alami, yaitu berdasarkan pengetahuan dari pengalaman yang terjadi berulang-ulang secara regular yang terekam dalam kognitif manusia. Manusia melihat sesuatu yang dirasakan mempunyai hubungan sifat yang sama atau hampir sama dengan sesuatu lainnya, yang terjadi secara alami kemudian kemiripan ini dijadikan sebagai dasar pembentukan metafora bahasa mereka.

Munculnya metafora juga dapat termotivasi oleh pengalaman diri atau rasa, dan dapat pula dari pengalaman yang didasari oleh pengalaman inderawi yang terekam dalam pikiran atau kognitif manusia. Rekaman yang ada dalam pikiran manusia ini yang menghubungkan antara ranah sumber dan ranah target.

Metafora ke tiga ini merupan klasifikasi metafora yang berkaitan dengan fungsi kognitif karena ranah sumber menentukan struktur ranah target melalui bentuk pemetaan silang yang ada di dalam pikiran manusia yang mencirikan metafora tersebut, seperti KASIH SAYANG IBU HANGAT. Seorang ibu memeluk bayinya dengan rasa sayang. Bayi yang dipeluk merasa hangat karena ketika di peluk fungsi afektif yang menghubungkannya dengan otak bekerja dan pada waktu yang bersamaan wilayah otak yang menghubungkan indera perasa juga bekerja sehingga pelukan itu terasa hangat.

Jenis ke empat adalah klasifikasi metafora yang dikategorikan sebagai bentuk umum. Klasifikasi ini terdapat pada hasil pemetaan silang dari ranah

sumber yang non manusia kepada ranah target manusia atau sebaliknya, sebagai contoh John is a LION. ‘John seekor singa’ Metafora seperti ini dianggap termasuk ke dalam klasifikasi metafora umum.

2.3.5 Metafora Ekosistem

Metafora ekosistem merupakan sebuah peristilahan yang banyak dibicarakan dalam pustaka ekolinguistik. Menurut Fill dan Muhlhausler (2001:43) bahwa ekolinguistik bermula dari sebuah metafora yang pertama sekali dibicarakan oleh Haugen (1970), yaitu tentang interaksi antara bahasa apa saja dengan lingkunganya. Haugen (1972:325) berusaha membandingkan hubungan ekologi antara spesies binatang dan tumbuhan tertentu dengan lingkungan alamnya. Dalam hal ini ekologis secara metaforis ditranformasikan ke dalam bahasa di dalam sebuah lingkungan.

Metafora ekosistem merupakan konsep atau bentuk yang sangat bergantung kepada beberapa aspek yaitu lingkungan alam, pengetahuan bahasa manusia serta penggunaan bahasa tersebut dalam penyampainnya di sebuah masyarakat tutur. Ketiga komponen ini berada di dalam kognitif pemakai bahasa dalam sebuah masyarakat tutur. Yang dimaksud dengan kognitif seperti yang diungkapkan oleh Kovecses (2006:5) adalah gambaran yang ada dalam pikiran manusia yang diekspresikan atau dinyatakan dalam bahasa manusia tersebut. Oleh sebab itu penggunaan metafora ekosistem tidak hanya bergantung kepada satu aspek saja.

Metafora ekosistem menurut Fill dan Muhlhausler (2001:104), banyak bergantung kepada sosiokultural, unsur kognitif masyarakat tutur bahasa tersebut. Waktu, situasi, dan ranah penggunaan bahasa juga memengaruhi bentuk metafora bahasa tersebut. Keterhubungan antara unsur-unsur ini jelas tergambar seperti yang terjadi pada awal abad ke sembilan belas, kebutuhan air sebagai bahan pokok kehidupan secara ekslusif disejajarkan dengan uang yang

supply’. Selanjutnya metafora water is money, sangat popular saat itu. Dalam praksisnya metafora Inggris water is money juga jelas menggambarkan betapa sumber air (mineral) dieksploitasi dan bernilai ekonomis tinggi, di antaranya juga merusak dan menggerus lingkungan.

Seorang pakar ekolinguistik yang bernama Wilhelm Trampe (1990) telah menggunakan metafora ekosistem dalam menjabarkan bahasa dan penggunaannya dalam interaksi bahasa tersebut dengan lingkungan alam, yaitu alam semesta. Penggunaan leksikon industri agrikultur pada kata produksi yang secara harfiah bermakna menghasilkan dan berkembang mengandung ideologi ekonomi sehingga memunculkan makna metaforis menghancurkan dan menghilangkan. Inilah efek penggunaan metafora yang sebenarnya terjadi. Metafora lain yang berkembang dalam masyarakat industri memposisikan bahasa sebagai alat atau instrumen komunikasi seperti dalam definisi bahasa “language is a tool or an instrument of communication”. Sesungguhnya alat atau pun instrumen merupakan benda-benda yang digunakan dan bermanfaat untuk kepentingan hidup dan kehidupan manusia seperti palu, gergaji, komputer dan alat-alat lainnya. Pemaknaan bahasa itu sendiri sudah dimetaforakan ke dalam

Dokumen terkait