• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PAPARAN DATA DAN ANALISIS PENELITIAN

5.3 Kelompok Fauna

Sama halnya dengan metafora yang berasal dari ranah sumber flora, metafora yang berasal dari ranah sumber fauna juga mengacu kepada fauna yang hidup dan berkembang biak di lingkungan alam Desa Trumon, seperti ayam,

anjing, cacing ikan dan sub-jenisnya, kambing, kerbau, kera, kepiting, dan lintah. Lingkungan alam Desa Trumon dimaksud adalah lingkungan desa dan lingungan hutan. Berikut ini akan dibicarakan metafora yang menjadikan fauna sebagai ranah sumber.

012. Abo (Amphidromus perversus)

Abo ‘siput’, secara linguistik merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, nama hewan yang tergolong dalam kelas spicies amfibi. Interdepensi antara abo dan lingkungan alam sangat dipahami oleh masyarakat tutur. Pemahaman tersebut ditandai dengan pengetahuan alami (bodily experience) dan pengenalan karakter biologis hewan ini yang dapat hidup pada dua alam yaitu dapat hidup di laut dan di darat. Disebabkan oleh karakter biologis yang ada pada abo muncul metafora; ABO UDEP DUA PAT, di mana nomina abo bersanding dengan frasa verba udep dua pat membentuk formula abo udep dua pat, yang secara harfiah mengandung makna siput hidup di dua tempat.

abo ‘siput’ udep ‘hidup’

dua ‘dua pat ‘tempat’

Karakter kehidupan abo dapat bertahan hidup di dalam dua lingkungan alam yang benar-benar berbeda yaitu di daratan dan di dalam air, ditandai dan dipahami melalui pengalaman inderawi masyarakat (bodily expirience) yang terekam secara verbal dalam kognitif (dimensi ideologis) masyarakat tutur. Kehidupan abo seperti ini memberi makna metaforis yang tertujukan kepada sifat dan perilaku seseorang yang supel, dapat bergaul kepada siapa saja dan selalu menghargai sesama. Orang yang demikian dikatakan sebagai abo.

Parameter keterhubungan (interrelationship) terjadi pada keterhubungan karakter biologis abo yang amphibi yang terjadi secara alamiah (parameter environment) dipetakan kepada seseorang yang supel dalam pergaulan di kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan siput secara biologis sebagai species amphibie (dimensi biological) sebagai ranah sumber dipetakan kepada sifat manusia yang supel dalam pergaulan dan senantiasa bersikap bijaksana dan disayangi oleh masyarakat Desa Trumon.

013. Eungkout Yee (Superordo selachimorpha)

Eungkout yee ‘ikan hiu’, secara linguistik kata majemuk yang menjadi nama hewan yang hidup di air (laut). Interaksi masyarakat khususnya nelayan dengan eungkout yee sangat dekat. Kedekatan tersebut tampak pada pemahaman karakter biologis dan perkembangbiakan hewan tersebut yang diperoleh melalui pengalaman inderawi (bodily experience) nelayan di sekitar Desa Trumon. Karakter biologis eungkout yee yaitu suatu kebiasaan alamiah bagi induk eungkout yee memasukkan anak-anak yang baru dilahirkannya ke dalam mulutnya, dan kemudian mengeluarkannya kembali yang dilakukannya berulang- ulang. Dari peristiwa alamiah ini terbentuk metafora ANEUK YEE TEUBIT TAMONG. Aneuk yee teubit tamong merupakan bentuk penggabungan nomina aneuk yee ‘anak ikan hiu’ dengan verba teubit ‘keluar’ dan verba tamong ‘masuk’, yang secara harfiah bermakna ‘anak ikan hiu keluar masuk.

Metafora ANEUK YEE TEUBIT TAMONG mengandung makna metaforis yang ditujukan kepada seseorang yang tidak menepati janji atau seseorang yang tidak setia pada ucapannya dan selalu menghindar jika bertemu

dengan seseorang yang dijanjikannya sesuatu. Bentuk tuturan yang sering digunakan oleh seseorang, khususnya ketika orang tersebut marah, apabila temannya tidak menepati janji adalah:

Kah ANEUK YEE TEBIT TAMONG

Atau cukup dengan menggunakan ANEUK YEE saja ketika seseorang dalam keadaan marah, seperti pada tuturan berikut:

Kah ANEUK YEE,

kah ‘kamu’

ANEUK YEE ‘penipu’ (suka ingkar janji)

Parameter keterhubungan (interelationship) dan parameter lingkungan (environtment) merupakan keterhubungan ranah sumber aneuk yee (yang berulang kali keluar masuk mulut induknya), dipetakan kepada ranah target yaitu manusia, atau seseorang yang selalu ingkar janji. Pemahaman tentang perbuatan ingkar janji (dimensi sosiologis) pada komunitas Desa Trumon sebagai suatu bentuk penipuan. 014. Asee (Canis melitaeus)

Asee ‘anjing’, secara linguistik merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, yang tergolong ke dalam spesies hewam. Interaksi hewan ini dengan masyarakat tutur dekat. Kedekatan interaksi ini dapat ditandai dengan banyaknya jumlah anjing dipelihara untuk menjaga ladang atau perkebunan pertanian masyarakat. Kedekatan ini juga tampak pada pemahaman sifat alamiah dan karakter biologis dari hewan ini. Pemahaman sifat dan karakter biologis hewan terekam secara verbal dalam kehidupan sosial masyarakat tutur yang

berimplikasi pada banyaknya jumlah metafora digunakan dalam interaksi verbal, yang menjadikan asee sebagai ranah sumber.

Metafora-metafora tersebut akan dibicarakan satu persatu. Metafora- metafora tersebut adalah:

ASEE DAK BAK TEUNGOH TUTUE ASEE LOP PAGEUE

MALEE KA ASEE HEU PEUTEUPAT IKUE ASEE.

Struktur Metafora ASEE DAK BAK TEUNGOH TUTUE, merupakan penggabungan nomina asee ‘anjing’ dengan frasa verba dak bak teungoh tutue. Secara harfiah bermakna:

asee ‘anjing’

dak ‘terdesak atau terperangkap’ bak ‘di-‘ atau ‘pada’

teungoh ‘ditengah’ tutue ‘jembatan’ Arti keseluruhan ungkapan ini adalah:

‘Anjing terdesak di tengah jembatan’

Makna metaforis dari metafora ASEE DAK BAK TEUNGOH TUTUE ditujukan pada seseorang yang sedang bingung karena terlilit hutang dan dipaksa untuk segera membayarnya. Untuk melunasi hutang tersebut, dia nekat melakukan tindakan atau perbuatan yang membahayakan dirinya.

Bentuk tuturan yang sering diucapkan oleh orang tua kepada anaknya yang sedang terdesak karena berhutang:

Sabai beu nak bek jade ASEE DAK BAK TEUNGOH

TUTUE arti metaforis yang terkandung di dalamnya adalah: ‘Sabar ya nak jangan nekat’

Parameter keterhubungan (interrelationship) dan parameter lingkungan (environment) memetakan ranah sumber asee dalam metafora ASEE DAK BAK TEUNGOH TUTUE kepada manusia sebagai ranah target yaitu seseorang yang nekat melakukan sesuatu karena sudah terdesak oleh hutang. Misalnya ia nekat mencuri untuk membayar hutangnya dan biasanya hutangan tersebut diperolehnya dari seorang rentenir sehingga dia harus membayar bunga hutangnya dalam jumlah yang sangat banyak.

Pemetaan ini terjadi disebabkan oleh adanya pengalaman alamiah masyarakat tutur yang terekam (dimensi ideologis) ketika melihat anjing terjebak di jembatan. Agar dapat lepas dan keluar dari jembatan tersebut dan anjing itu menggonggong dan menyerang manusia atau hewan lain yang menghalanginya di jembatan tersebut. Dalam kehidupan sosial (dimensi sosial) masyarakat desa Trumon menganggap sifat anjing yang terdesak di tengah jembatan mempunyai ciri-ciri kesamaan dengan orang bingung karena terlilit hutang, nekat melakukan pekerjaan yang membahayakan dirinya, seperti mencuri agar dia dapat melunasi hutangnya.

Metafora yang menempatkan anjing sebagai ranah sumber lainnya adalah ASEE LOP PAGEUE. Struktur metafora ASEE LOP PAGEUE, merupakan frasa verba yang berasal dari penggabungan nomina asee ‘anjing’ dengan verba lop ‘mengorek’ dan nomina pageu. Secara harfiah makna struktur ini adalah:

asee ‘anjing’

lop ‘menguruk atau mengorek’ pageu ‘pagar’

Makna metaforis yang dikandung oleh metafora ASEE LOP PAGEUE ditujukan kepada seseorang yang kalah dalam berdebat ataupun kepada seseorang yang menyerah dalam pertengkaran dengan cara meninggalkan tempat kejadian tanpa pamit sambil menggerutu.

Pengalaman inderawi (bodily experience) masyarakat Desa Trumon yang terekam dalam kognitif (dimensi ideologis) merupakan pengalaman alamiah, melihat keadaan seekor anjing yang masuk ke dalam wilayah anjing lain di sebuah kebun masyarakat. Secara spontan anjing- anjing penjaga kebun tersebut menyerang anjing nyasar yang masuk ke wilayah kebun itu. Jika anjing penyerang hanya seekor maka anjing tersebut akan berusaha melawan dengan menyalak. Akan tetapi jika jumlah penyerang lebih dari satu maka secara alamiah (dimensi biologis) moncong anjing tersebut akan menguruk ke depan dan langsung lari tunggang langgang, meninggalkan anjing-anjing penyerang sambil menyalak dan menggonggong.

Parameter keterhubungan (interreletionship) merupakan keterhubungan antara karakter alamiah (environment) seekor anjing yang jika diserang oleh beberapa ekor anjing lainnya, dia akan mengurukkan moncongnya dan berlari tunggang langgang sambil menyalak dan menggonggong. Pemetaan anjing sebagai ranah sumber kepada manusia sebagai ranah target mengacu kepada sifat alamiah anjing dan sifat seseorang yang bersitegang dalam mengemukakan

pendapatnya dan ketika dia tidak dapat membuktikan kebenarannya dalam perdebatan dia merasa kalah. Kalah dimaksud dapat ditujukan kalah dalam berdebat ataupun kalah dalam pertengkaran. Ketika dia kalah, dia meninggalkan tempat kejadian sambil mengerutu.

Metafora yang akan dibicarakan berikutnya adalah metafora MALEE KA ASEE HEU. Konstruksi malee kah asee heu merupakan penggabungan adjektiva malee’ malu’ dengan frasa adverbia ka asee heu ‘sudah diambil anjing’, secara harfiah bermakna:

malee ‘malu’

ka ‘sudah’ asee ‘anjing’ heu ‘mengambil, diambil.

Makna metaforis MALEE KA ASEE HEU dialamatkan kepada perilaku seseorang yang tidak bermoral, dan tidak merasa malu walaupun sudah melakukan perbuatan yang tercela. Perbuatan-perbuatan tercela yang dilakukannya adakalanya mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

Parameter keterhubungan (interelationship) dan parameter lingkungan (environtment) merupakaan pemetaan silang dari ranah sumber asee dalam metafora MALEE KA ASEE HEU kepada ranah target yaitu hilangnya sifat atau perasaan malu seseorang sudah melakukan perbuatan yang tidak terpuji, yang terkam secara verbal di dalam kehidupan sosial (dimensi sosiologis) komunitas Desa Trumon.

Dalam keseharian kanak-kanak juga sering memakai metafora MALEE KA ASEE HEU untuk mengejek teman yang sudah berbuat curang dalam permainan kelereng atau permainan- permainan lainnya. Biasanya mereka berteriak dengan menyebutkan MALEE KA ASEE HEU berulang-ulang sambil menunjuk kearah temannya yang melakukan kecurangan tersebut.

Selain dari ketiga metafora yang telah dibicarakan sebelumnya masih ada metafora yang menempatkan anjing sebagai ranah sumber. Namun kali ini ranah sumber bukan berasal dari anjing secara keseluruhan, tetapi hanya mengacu pada bagian dari tubuhnya yaitu ekor anjing, metafora tersebut adalah PEUTEUPAT IKUE ASEE. Konstruksi frasa pueteupat ikue asee terbentuk dari penyandingan verba peuteupat dan nomina ikue asee, secara harfiah bermakna ‘meluruskan atau menepatkan ekor anjing’, yaitu:

peteupat ‘meluruskan atau menepatkan’ ikue ‘ekor’

asee ‘anjing’

Secara alamiah (dimensi biologis) karakter biologis ekor anjing melengkung dan mustahil dapat diubah menjadi lurus. Ekor anjing hanya akan menjadi lurus apabila anjing tersebut terserang penyakit rabies. Karakter biologis dari ekor anjing sangat dipahami yang direkam secara verbal oleh masyarakat tutur (dimensi ideologis). Dari Pemahaman pada bentuk ekor anjing melengkung yang tidak mungkin diubah menjadi lurus, terbentuk metafora PEUTEUPAT IKUE ASEE yang mengandung mana metaforis ditujukan kepada watak atau tabiat seseorang yang tidak mungkin diubah sebab sudah mendarah daging.

Metafora ini dapat juga bermakna, ‘sulit sekali menginsafkan seseorang yang mempunyai kebiasaan melalaikan tanggung jawab dan kewajibannya’. Biasanya sifat dan watak yang demikian sudah terbentuk sejak usia dini. Dalam kehidupan sosial (dimensi sosiologis) masyarakat Desa Trumon terdapat sebuah anggapan atau pemahaman bahwa menginsafkan seseorang yang berwatak bengal dan yang berkeperibadian buruk yang sudah terbiasa dilakukannya sejak masa kanak-kanak, sangat sulit atau hampir tidak mungkin dilakukan. Orang tua sering sekali mengeluh atas sikap anaknya yang tidak bertanggung jawab akan tugas dan kewajibannya, dengan ucapan sebagai berikut:

Han jeut ta PEUTEUPAT IKUE ASEE, maknanya adalah: han jeut ‘tidak sanggup atau tidak dapat’

ta ‘kita’

PEUTEUPAT IKUE ASEE ‘menginsyafkan dia’ (supaya dia menjadi orang yang bertanggung jawab atas kewajibannya).

Parameter keterhubungan (interrelationship), parameter lingkungan (environtment), dan parameter keberagaman (deversity), merupakan pemetaan silang dari ranah sumber asee dalam metafora PEUTEUPAT IKUE ASEE kepada ranah target yaitu watak buruk seseorang yang sudah terbentuk sejak usia dini, yang tidak mungkin lagi dirubah atau diinsyafkan.

015. Bieng (Callinectes sapidus)

Bieng ‘kepiting’, merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, merujuk kepada nama hewan yang hidup di pinggir laut atau dirawa-rawa hutan kecil di Desa Trumon. Metafora yang menjadikan kepiting sebagai ranah

sumber adalah BIENG BAK BABAH BUBEE. Struktur frasa nomina bieng bak babah bubee merupakan pengabungan dari nomina being, preposisi bak dan nomina babah dan bubee, secara harfiah bermakna ‘kepiting di mulut bubu’, dengan rincian sebagai berikut:

being ‘kepiting’ bak ‘di atau pada’

babah ‘mulut’ bubee ‘bubu’

Bubu adalah alat penangkap ikan tradisional yang dibuat dari anyaman bamboo, bentuknya seperti kerucut memanjang. Kedua-dua sisi bubu berlubang yang disebut sebagai babah bubee yaitu mulut bubu. Babah bubee, kedua-duanya memiliki ukuran berbeda. Babah bubee yang dipahami sebagai babah bubee muka ‘mulut bubu depan’, ukurannya lebih besar daripada babah bubee ikue ‘mulut bubu belakang’. Bentuk bubee dibuat sedemikian rupa agar jika ikan-ikan masuk ke dalam nya, ikan- ikan tersebut tidak dapat keluar lagi. Bubee dipasang di rawa- rawa yang banyak ikannya.

Nelayan atau penangkap ikan dari masyarakat Trumon, yang menggunakan bubee sebagai media penangkap ikan, sering sekali menemukan babah bubee ditutup oleh seekor bieng ‘kepiting’ yang menyebabkan ikan- ikan tidak dapat masuk kedalamnya. Kepiting tersebut hanya menempel menutupi babah bubee, dan tidak masuk ke dalam bubee. Kenyataan ini akhirnya membuat pemilik bubee tidak memperoleh hasil tangkapan ikan sebagai mana yang

diharapkannya. Dari keadaan ini muncul metafora BIENG BAK BABAH BUBEE.

Makna metaforis dari metafora BIENG BAK BABAH BUBEE ditujukan kepada seseorang yang gemar menghalang-halangi perbuatan, pekerjaan atau rencana pekerjaan orang lain. Orang seperti ini selalu merasa bahwa pekerjaan tersebut hanya dia seorang yang dapat melakukannya dan merasa jika tanpa campur tangannya maka pekerjaan tersebut tidak akan dapat diselesaikan dengan baik, walaupun pada kenyataannya dia sendiri tidak dapat mengerjakan pekerjaan tersebut. Contoh tuturan sebagai berikut:

Nyo payah ta pengah bak awak nyan, jih BIENG BAK BABAH BUBEE. Makna tuturan ini adalah:

“Kali ini kita harus peringatkan dia. Dia suka sekali menghalang-halangi pekerjaan orang. Padahal dia sendiri tidak dapat melakukannya.”

Parameter keterhubungan (interrelationship) merupakan keterhubungan sifat alamiah, parameter lingkungan (environment) yang ada pada kepiting yaitu menempel menutupi babah bubee, sehingga ikan-ikan tidak dapat masuk kedalamnya. Peristiwa ini dikenal dan direkam dalam kognitif (dimensi ideologis) masyarakat Desa Trumon menjadikannya sebagai ranah sumber dipetakan kepada manusia sebagai ranah target, yaitu seseorang yang suka menghalang-halangi pekerjaan orang, sehingga merugikan orang lain.

016. Bue (Macaca fascicularis)

Bue ‘kera’, secara linguistik merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina yang merujuk kepada nama hewan. Interaksi bue dengan

masyarakat tutur dipahami sebagai suatu kedekatan antara majikan dan pekerja. Kedekatan interaksi tersebut ditandai dengan banyaknya jumlah kera yang dipelihara oleh masyarakat dan dipekerjakan sebagai pekerja pemetik buah kelapa.

Kera-kera tersebut dilatih agar mereka trampil memetik buah kelapa. Secara alami kera suka menirukan perilaku manusia (dimensi biologis), sehingga masyarakat Desa Trumon tidak menemukan banyak kesukaran saat melatih kera- kera tersebut memetik buah kelapa. Sebagai imbalan untuk pekrjaan ini kera tersebut diberi buah-buahan, khususnya pisang. Karakter alamiah yang dimiliki oleh kera dalam hal suka menirukan perilaku manusia, ditandai dan terekam secara verbal dalam kehidupan sosial masyarakat Di Desa Trumon (dimensi ideologis) yang seterusnya membentuk beberapa metafora. Metafora tersebut adalah:

BUE PUTA JANTONG BUE TEUNGEUT

BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN

Metafora BUE PUTA JANTONG merupakan konstruksi frasa bue puta jantong yang berasal dari penggabungan nomina bue ‘kera’ dengan verba puta ‘memutar’ dan nomina jantong ‘jantung’ (jantung pisang). Frasa bue puta jantong pada metafora BUE PUTA JANTONG, secara harfiah bermakna ‘kera memutar jantung pisang’, yang dirinci sebagai berikut:

bue ‘kera atu monyet’

puta ‘memutar’ jantung ‘jantung pisang’

Anggota masyarakat di Desa Trumon pada umumnya memetik jantung pisang dengan cara memutarnya. Karena karakter alamiah yang dimiliki oleh kera suka menirukan pekerjaan manusia, maka ada juga kera yang berusaha memetik jantung pisang dengan cara memutarnya, tetapi pekerjaan ini tidak berhasil dilakukannya. Dari keadaan ini tercipta metafora BUE PUTA JANTONG yang mengandung makna metaforis suatu pekerjaan yang dilakukan oleh sesorang tanpa memperoleh hasil karena orang tersebut tidak tahu cara mengerjakannya. Metafora ini sering diucapkan oleh orang yang lebih tua saat menyampaikan pesan-pesan menasihat kepada seseorang agar harus berhati-hati dan harus berpikir matang-matang sebelum melakukan pekerjaan agar tidak sia-sia belaka. Tuturan yang lazim diucapkan sebagai berikut:

Menyo ta pegeut bek BUE PUTA JANTONG.

‘Kalau kita mengerjakan sesuatu jangan sampai tidak berhasil, atau jangan sia-sia.

Ketidakberhasilan kera menirukan perilaku manusia dalam hal memetik jantung menjadikannya sebagai ranah sumber yang dipetakan kepada manusia sebagai ranah target. Parameter keterhubungan (interelationship) dan parameter lingkungan (environtment) merupakan pemetaan silang ranah sumber bue pada metafora BUE PUTA JANTONG kepada ranah target manusia yang melakukan pekerjaan tanpa membuahkan hasil.

Metafora berikutnya yang menjadikan ranah sumber bue adalah metafora BUE TEUNGEUT, bue teungeut merupakan frasa yang terbentuk dari

penggabungan nomina bue ‘kera’ dengan verba teungeut ‘tidur, makna harfiah dari frasa bue teungeut adalah ‘kera tidur’.

Melalui pengetahuan empiris, masyarakat Trumon mengamati posisi kera tidur. Kera-kera tidur dalam posisi duduk menunduk, dan kera bisa tidur kapan saja waktu siang atau malam dan dalam berbagai ragam cuaca, baik saat hari panas, dingin ataupun hujan. Posisi kera tidur terjadi secara alami (dimensi biologis) terekam dalam kognitif anggota masyarakat membentuk sebuah metafora BUE TEUNGEUT. Bue sebagai ranah sumber pada metafora BUE TEUNGEUT dipetakan kepada manusia atau seseorang yang suka bersikap masa bodoh dan yang hanya suka bermalas-malasan tanpa memperhatikan keadaan di sekitarnya atau di lingkungannnya. Disebabkan oleh perilakunya, banyak anggota masyarakat yang tidak bersedia bergaul dengannya. Orang tersebut selalu tidak diikutsertakan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan (dimensi sosiologis).

Parameter ketehubungan (interrelationship) merupakan keterhubungan antara karakter alamiah kera tidur dipetakan kepada perilaku manusia sebagai ranah target. Perilaku seseorang dimaksud adalah sikap masa bodoh seseorang yang hanya suka bermalas-malasan dan tidak memperdulikan keadaan lingkungan tempat tinggalnya. Metafora lainnya yang menjadikan bue sebagai ranah sumber adalah metafora BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN. Bue meuteumee ceureumen merupakan frasa yang terbentuk dari penggabungan nomina bue ‘kera’ dengan verba meuteumee ‘ bertemu’ (dalam hal ini bermakna “bercermin’), dan nomina ceureumen ‘cermin’ Secara harfiah frasa bue meuteumee ceureumen mengandung makna ‘kera bercermin’.

Ketika seekor kera didudukkan di depan cermin, kera tersebut akan melompat sambil menggaruk-garuk badan dan kepalanya dengan asiknya. Kanak- kanak suka sekali melihat situasi ini dan menjadikannya sebagai tontonan lucu. Situasi ketika seekor kera melihat atau berdiri di depan cermin, melompat, menggaruk kepala merupakan karakter alamiah yang dimiliki seekor kera, terekam di dalam konitif komunitas Trumon pada tatanan dimensi ideologis dan nenjadikannya sebagai metafora BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN. Makna metaforis dari metafora BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN ditujukan kepada seseorang yang suka membuang waktu untuk sesuatu hal yang kurang penting atau ditujukan kepada seseorang yang melalaikan kewajibannya sesudah dia mendapatkan sesuatu benda yang baru, sehingga dia lupa akan pekerjaan lain yang harus diselesaikannya atau lupa akan segalanya.

Metafora BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN lazim digunakan oleh seorang ibu yang ditujukan kepada anaknya yang sedang asik bermain layang- layang bersama temannya, atau bermain game yang ada di dalam mainan elektronik yang baru didapatkannya sebagai hadiah, sehingga dia melupakan kewajibannya mengerjakan PR, makan siang ataupun lupa mandi sore. Dengan nada kesal ibu mungkin saja menuturkan ucapan sebagai berikut:

Ka palee, kah BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN heh

‘Waduh kamu kera dapat cermin ya’, maksudnya ‘kamu sudah lupa tugas ya’

Parameter keterhubungan (interrelationship), parameter lingkungan (environtment), dan parameter keberagaman (deversity) merugpakan pemetaan silang dari ranah sumber bue pada BUE MEUTEUMEE CEUREUMEN kepada

ranah target yaitu seseorang atau biasanya ditujukan pada seorang kanak-kanak yang melalaikan kewajibannya dalam hal ini seperti mandi, mengejakan PR dan lainnya, disebabkan oleh sesuatu yang baru didapatkannya. Dalam kehidupan sosial (dimensi sosiologis) masyarakat Desa Trumon, anggota masyarakat mengganggap jika seorang kanak-kanak mendapatkan mainan yang baru, maka dia akan asik dengan mainannya itu sehingga dia lupa dan lalai. Hal ini merupakan sesuatu yang lazim terjadi di desa tersebut.

017. Glang (Lubricus rubellus)

Glang ‘cacing tanah’, secara linguistik merupakan kata yang termasuk ke dalam klasifikasi nomina, merujuk nama hewan yang hidup dan berkembang biak di dalam tanah. Hewan ini termasuk kedalam kategori binatang melata, tubuhnya sangat lentur dan lecin dan lembik. Hewan ini jarang ditemukan dipermukaan tanah. Secara alamiah hewan ini tidak tahan akan teriknya sinar matahari. Bila hewan ini kebetulan terkena terik sinar matahari dia akan menggelepar-gelepar dan biasanya berakhir dengan kematiannya. Kesengsaraan yang dialami oleh cacing pada saat seperti itu sangat dipahami dan terekam dalam kognitif (dimensi ideologis) masyarakat di Trumon. Dari kejadian ini muncul sebuah metafora GLANG LAM UROE TAREK.

Glang lam uroe tarek merupakan bentuk frasa yang menggabungkan nomina glang ‘cacing’, preposisi lam ‘dalam’ dan kata majemuk uroe tarek

Dokumen terkait