• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI

B. Kajian Teori

Kebudayaan adalah suatu hasil pikiran yang tidak berakar dari nalurinya dan hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah melalui proses belajar. Koentjaraningrat (dalam Sutardjo, 2010: 12) berpendapat bahwa budaya berasal dari buddhayah (Sanskerta) adalah bentuk jamak dari buddhi “budi/akal”. Jadi, kebudayaan berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal yang tumbuh dari diri manusia untuk menghadapi permasalahan hidup yang dihadapinya melalui proses belajar .

Dalam Depdiknas (2008: 215) dijelaskan bahwa kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat-istiadat. Antara keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalaman dan yang menjadi pedoman tingkah laku. Dengan demikian, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan

pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalaman.

Kebudayaan meliputi gagasan-gagasan, cara berfikir, ide-ide, yang menghasilkan norma-norma, adat istiadat, hukum dan kebiasaan-kebiasaan yang merupakan pedoman bagi tingkah laku dalam masyarakat. Tingkat yang lebih tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat adalah sistem nilai budaya, karena sistem nilai budaya merupakan konsep yang hidup dalam alam pikiran (sebagian) masyarakat. Sistem nilai budaya tidak hanya berfungsi sebagai pedoman tetapi sebagai pendorong kelakuan manusia dalam hidupnya.

Wujud kebudayaan mencakup tiga hal, yaitu (a) sesuatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai norma-norma dan peraturan-peraturan yang meliputi alam pikiran masyarakat yang berupa tulisan dan karangan, (b) aktivitas kelakuan berpola dalam masyarakat, meliputi sistem masyarakat, (c) hasil karya manusia, meliputi bentuk fisik (benda-benda, bangunan) ( Sutardjo, 2010: 13). Dengan demikian wujud dari kebudayaan memiliki berbagai bentuk sesuai dengan pola dan tingkah laku manusia dalam masyarakat. Perwujudan kegiatan tersebut dijadikan pedoman hidup manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari supaya kehidupan manusia kelak menjadi lebih baik dan lebih serasi dengan alam.

Dijelaskan lebih lanjut Sutardjo, (2010: 14) bahwa Isi kebudayaan begitu kompleks dan mencakup berbagai keadaan dan kebudayaan masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun modern, yang mencakup

masalah (a) sistem religi dan upacara keagamaan, (b) sistem organisasi dan kemasyarakatan, (c) sistem pengetahuan, (d) bahasa dan sastra, (e) kesenian, (f) sistem mata pencaharian hidup, (g) sistem teknologi dan peralatan. Jadi, kebudayaan merupakan sesuatu yang berguna atau kaitannya dengan setiap masyarakat itu. Kebudayaan merupakan sesuatu yang kompleks yang didalamnya terdapat kepercayaan, agama, norma, adat istiadat, kesenian dan hukum yang didapat setiap seseorang yang menjadi anggota masyarakat.

Dari berbagai pendapat yang ada di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil karya akal dan budi manusia di dalam kehidupannya setelah mengalami proses belajar, dengan menciptakan segala sesuatu yang berguna bagi dirinya atau masyarakat. Kebudayaan juga merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak.

2. Folklor

a. Pengertian Folklor

Istilah folklor berasal dari bahasa Inggris folklore. Folklor berasal dari dua kata folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenalan fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf

pendidikan yang sama dan agama yang sama. Lore adalah tradisi folk, tradisi turun-temurun inilah yang disebut dengan lore (Dundes dalam Danandjaja, 1986: 1).

Menurut Endraswara (2006: 58) menyebutkan bahwa folklor berasal dari kata folk dan lore. Folk sama artinya dengan kolektif. Folk dapat diartikan rakyat dan lore adalah tradisinya. Dengan demikian folklore adalah salah satu tradisi rakyat yang diwariskan secara turun-temurun dan dilestarikan oleh masyarakat yang memilikinya. Jadi, folklor biasanya tumbuh dan berkembang pada masyarakat yang masih tradisional.

Danandjaja (1986: 2) dalam buku Folklor Indonesia menjelaskan lebih rinci bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Namun, hakikat folklor itu sendiri adalah sebuah identitas yang terdapat dalam masyarakat tradisional. Folklor dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya dengan suka rela dan penuh semangat, tanpa ada paksaan. Jadi dengan semangat dan penuh suka rela tersebut, rasa akan memiliki tradisi dalam masyarakat akan mengakar dan menyebabkan emosi masing-masing warganya menjadi manunggal dan merasa memilikinya.

Endraswara (2010: 4-5) menjelaskan bahwa folklor Jawa adalah segala karya tradisi yang diwariskan dan berguna bagi pendukungnya.

Folklor Jawa sebagai suatu karya milik kolektif besar orang Jawa.

Orang Jawa mengakui secara sadar atau tidak bahwa dirinya memiliki folklor. Hal ini ditunjukkan oleh sikap memiliki (handarbeni) dan ingin memelihara folklor tersebut.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, folklor merupakan sebagian dari kebudayaan yang ada. Folklor diwariskan secara tradisional dan dimiliki kelompok atau kolektif yang dilaksanakan secara turun temurun oleh masyarakatnya sendiri.

b. Ciri- ciri Folklor

Menurut Endraswara (2006: 59) menyebutkan bahwa folklor mempunyai ciri-ciri yang berbeda dalam kajian penelitian kebudayaan yang spesifik, karena didalamnya mengandung nilai-nilai yang amat tinggi. Untuk mengetahui bahwa yang diteliti termasuk dalam folklor adalah dengan adanya:

1) Penyebaran dan pewarisannya secara lisan, yaitu dengan tutur kata dari mulut ke mulut.

2) Bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam kurun waktu lama dan standar.

3) Ada dalam berbagai versi dan varian.

4) Bersifat anonim artinya penciptanya tidak diketahui.

5) Mempunyai bentuk, berumus dan berpola.

6) Mempunyai kegunaan dalam kehidupan kolektif.

7) Bersifat pralogis.

8) Bersifat polos dan lugu.

Folklor harus memenuhi nilai-nilai yang ada, apabila kriteria-kriteria tersebut tidak dipenuhi maka dapat dimungkinkan bahwa hal tersebut bukan bagian dari sebuah folklor.

c. Folklor Jawa

Folklor Jawa pada dasarnya merupakan bagian dari kebudayaan Jawa. Folklor Jawa tersebar secara turun-temurun sejalan dengan adanya budaya Jawa yang “adiluhung” dan terus berkembang sejalan dengan kehidupan orang Jawa.

Menurut Endraswara (2010: 4) mengungkapkan bahwa folklor Jawa adalah segala karya tradisi yang diwariskan dari nenek moyang mereka dan berguna bagi pendukungnya. Folklor disebarkan dalam bentuk lisan pada masyarakat Jawa sehingga berkesinambungan dari generasi ke generasi di dalam masyarakat Jawa sendiri. Dengan demikian, folklor Jawa bersifat tradisional dan dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa supaya terjaga keaslian dan kesakralannya.

Dalam perkembangannya sekarang ini, kebudayaan telah mempengaruhi subkultur tersebut. Folklor Jawa sesungguhnya hasil dari akulturasi dari berbagai unsur. Pengaruh dari animisme-dinamisme, Hinduisme, Budhaisme, dan Islam membentuk sebuah

akulturasi kebudayaan (Purwadi, 2012: 3). Jadi, folklor Jawa terbentuk dari sebuah akulturasi budaya yang berkembang dari waktu ke waktu secara berkesinambungan. Di dalam masyarakat Jawa, folklor diwariskan secara turun temurun dan menjadi perpaduan antara folklor dan kebudayaan Jawa yang “adiluhung”.

Folklor Jawa dapat diberikan ciri khas diantaranya: (1) disebarkan secara lisan, artinya dari mulut ke mulut, dari satu orang ke orang lain, dan secara ilmiah tanpa paksaan, (2) nilai-nilai tradisi Jawa sangat menonjol dalam folklor, (3) dapat bervariasi antara satu wilayah, namun hakikatnya sama, (4) pencipta dan pengarang folklor tidak jelas siapa dan darimana aslinya, (5) cenderung memiliki formula dan rumus yang tetap dan ada yang lentur, maksudnya ada rumus yang tak berubah-ubah sebagai pathokan dan ada yang berubah-ubah tergantung kepentingan, (6) mempunyai kegunaan bagi pendukung atau kolektiva Jawa, (7) kadang-kadang mencerminkankan hal-hal yang bersifat pronologis, (8) menjadi milik bersama dan tanggung jawab bersama, (9) mempunyai sifat polos dan spontan, (10) ada yang memiliki unsur humor dan wejangan (Endraswara, 2010: 6).

Menurut Purwadi (2012: 1-2) ciri-ciri folklor Jawa yaitu (1) milik masyarakat tradisional secara kolektif, (2) mengutamakan jalur lisan, dan (3) bersifat inovatif atau jarang mengalami perubahan.

Folklor bisa meliputi dongeng, cerita, hikayat, kesenian dan busana

daerah. Hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki folklor yang beraneka ragam.

Bertumpu dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa wujud tradisi yang ada di Jawa merupakan salah satu bentuk dari folklor yang diturunkan secara turun-temurun yang merupakan perpaduan antara folklor dan kebudayaan Jawa yang

“adiluhung”.

d. Bentuk- bentuk Folklor

Menurut Endraswara (2010: 25-38) bentuk folklor Jawa ada lima bentuk yaitu (1) folklor Jawa esoterik dan eksoterik artinya sesuatu yang memiliki sifat yang hanya dapat dimengerti oleh sejumlah besar orang saja. Folklor eksoterik adalah sesuatu yang dapat dimengerti oleh umum, tidak terbatas oleh kolektif tertentu, (2) folklor Jawa populer dan sakral artinya folklor sederhana, tetapi banyak diminati, sedang folklor Jawa sakral merupakan folklor serius yang membutuhkan waktu dan pemaknaan mendalam, (3) folklor sebagai media komunikasi budaya merupakan suatu bidang budaya yang ditandai sesuatu pergumulan dalam arti pemberian pengertian-pengertian yang telah dianggap baku dengan penciptaan baru, (4) metamorfosis folklor Jawa palsu yaitu dapat terjadi karena adanya migrasi, terutama yang timbul oleh kesenjangan dari seseorang untuk mengabadikan dan mendokumentasikan folklor, dan (5) folklor Jawa

politik merupakan wahana ekspresi, pencipta folklor sengaja membangkitkan gairah politik agar mendapat perhatian berbagai pihak.

Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1986: 21-22) menggolongkan folklor berdasarkan tipenya menjadi tiga kelompok besar yaitu (1) folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan di antaranya bahasa rakyat (logat, julukan, pangkat tradisional dan titel kebangsawanan), ungkapan tradisional (peribahasa dan pepatah) pertanyaan tradisional (teka-teki), puisi rakyat (pantun, gurindam, dan syair), (2) folklor sebagian lisan yaitu folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan di antaranya kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, dan pesta rakyat, dan (3) folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan diantaranya material (arsitek rakyat, kerajinan tangan rakyat, dan obat-obatan tradisonal), dan non material (gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik rakyat).

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk folklor Jawa ada lima macam di antaranya bentuk folklor Jawa esoterik dan eksoterik.

Populer dan sakral, palsu, politik, dan sebagai media komunikasi budaya. Secara umum bentuk folklor dibagi menjadi tiga yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan foklor bukan lisan.

e. Fungsi Folklor

Di dalam hidup bermasyarakat, folklor memiliki beberapa fungsi terutama yang lisan dan sebagian lisan. Folklor memiliki banyak fungsi yang menarik dan penting diteliti dalam rangka melaksanakan pembangunan bangsa ini.

Menurut Boscom dalam Endraswara (2006: 59) folklor mempunyai fungsi-fungsi untuk masyarakat pendukungnya, yaitu : 1) Sebagai sistem proyeksi

2) Sebagai alat pengesahan kebudayaan 3) Sebagai alat pendidikan

4) Sebagai alat pemaksaan pemberlakuan norma-norma.

Fungsi folklor disini adalah sebagai bagian dari kehidupan masyarakat yang berfungsi untuk mendukung berbagai kegiatan di lingkungan masyarakat.

Selain Boscom, Alan Dundesa dalam Endraswara (2006: 59) menyebutkan ada 4 fungsi folklor yang berbeda, seperti:

1) Untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif 2) Sebagai alat pembenaran suatu masyarakat 3) Memberikan arahan kepada masyarakat

4) Sebagai alat yang menyenangkan dan memberi hiburan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi folklor adalah sebagai pembentukan identitas lokal, jati diri, dan kerukunan.

Pembentukan identitas dalam folklor sangat berpengaruh pada setiap

kebudayaan yang ada di dalam masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, folklor mempunyai peranan penting dalam suatu kelompok masyarakat atau sekelompok orang.

3. Upacara Tradisional

Upacara tradisional merupakan salah satu peninggalan kebudayaan yang ada di setiap tempat. Hal ini dimiliki warga dan mengikat masyarakatnya untuk mempelajari tentang apa yang terkandung di dalam upacara tersebut.

Purwadi (2005: 1) mengungkapkan bahwa upacara tradisional merupakan warisan sosial yang dimiliki masyarakat dengan jalan mempelajarinya. Upacara tradisional juga berfungsi sebagai pembinaan warga masyarakat yang bersangkutan. Fungsi tersebut antara lain sebagai alat untuk memperkokoh norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku secara turun-temurun. Dengan demikian, upacara tradisonal mempunyai nilai filsafat yang tinggi dalam praktiknya, sehingga akan mempererat hubungan baik yang bersifat vertikal maupun horisontal.

Upacara tradisional mempunyai bentuk dalam berbagai jenis.

Bentuk-bentuk tersebut seperti upacara slametan, bancakan, kenduren dan sebagainya. Upacara slametan adalah upacara sedekah makanan dan doa bersama. Upacara tersebut bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk keluarga yang menyelenggarakan. Pada tradisi bancakan adalah upacara sedekah makanan yang berdasarkan hajat yang melaksanakan yang berkaitan dengan leluhur supaya terhindar dari suatu

permasalahan. Pada kegiatan kenduren adalah upacara sedekah makanan karena ungkapan rasa syukur memperoleh anugerah atau kesuksesan yang dicita-citakan ( Purwadi, 2005: 22-26).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa upacara adat mempunyai keistimewaan tersendiri bagi masyarakat yang melaksanakan.

Hal tersebut terlihat jelas bahwa dalam setiap acara yang berbeda maka acara yang dilakukan juga berbeda, sesuai dengan tujuan dan kepentingannya.

4. Persepsi Masyarakat a. Pengertian Persepsi

Kata persepsi tergolong kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris perception yang mempunyai arti penglihatan, pemahaman, dan tanggapan. Depdiknas (2008: 1061) menjelaskan bahwa persepsi adalah tanggapan atau penerimaan langsung dari sesuatu yang diteliti.

Dengan demikian, persepsi sendiri merupakan tanggapan orang maupun kelompok masyarakat menilai suatu yang mereka lihat.

Menurut peneliti persepsi adalah sebuah tanggapan di mana seseorang mengetahui suatu hal atau gejala melalui panca indranya.

Hal atau gejala tersebut kemudian dibuat menjadi sebuah tanggapan dan menjadi sebuah pernyataan.

b. Pengertian Masyarakat

Masyarakat adalah kesatuan yang tetap dari orang-orang yang hidup di daerah tertentu dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok.

Masyarakat Jawa adalah penduduk Jawa yang tinggal di bagian tengah dan timur pulau Jawa (Sutardjo, 2010: 33). Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang mengerti tentang apa yang dilakukan dan tidak perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan bermasyarakat mempunyai suatu aturan dan tatanan tersendiri.

Dalam bukunya, Purwadi (2005: 3) memberikan contoh masyarakat yang baik adalah masyarakat lebah. Masyarakat lebah adalah masyarakat yang cara kerjanya mengikuti sebuah tatanan atau mempunyai tata tertib yang wajib dilakukan. Hal yang dilakukan harus sesuai dengan aspek formal maupun material, baik batin dan lahirnya dn tata caranya.

Bertumpu pada penjelasan di atas, persepsi masyarakat dapat diartikan sebagai sekumpulan orang yang hidup bersama di daerah tertentu kemudian melihat dan menilai sesuatu yang mereka lihat dan kemudian mereka pahami. Dalam sebuah pandangan, terkadang masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Hal tersebut sesuai dengan sudut pandang masyarakat tersebut, sehingga tanggapan masyarakat tentang suatu hal kadang berbeda-beda pendapat.

5. Punden

Punden atau pepunden berasal dari bahasa Jawa yaitu pundi.

Depdiknas (2008: 1116) menjelaskan bahwa pundi berarti yang dimuliakan atau junjungan. Dengan demikian punden merupakan sesuatu yang dihormati atau dijunjung oleh masyarakat. Punden atau pepunden

pada umumnya tempat dimakamkannya cikal bakal desa atau orang yang dihormati di suatu daerah. Punden pada umumnya lebih dinilai wingit karena masyarakat percaya lebih menghormati dan memposisikan lebih daripada makam yang yang lainnya.

Hal ini sesuai dengan Punden yang berada di desa Kedunglo, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo. Makam Punden tersebut memiliki tempat dan posisi yang berbeda dengan makam lainnya. Punden tersebut terletak di daerah sendiri dan mendapat perlakuan yang berbeda seperti diberi cungkup serta diberi kemenyan pada hari-hari tertentu.

6. Sesaji ( uborampe/ sajen )

Pada masyarakat Jawa, upacara adat, tradisi, dan ritual slametan adalah acara yang sudah diakrabi sejak lahir. Dalam setiap kegiatan tersebut pasti ada yang dinamakan ubo rampe atau sesaji (sajen). Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena Jawa merupakan pusat dari kerajaan-kerajaan terdahulunya yang sudah mempunyai kebiasaan dengan upacara-upacara adat Jawa.

Nurhayati (2009: 132) mengungkapkan bahwa sajen berasal dari kata saji dan imbuhan –an yang artinya disediakan. Sajen adalah rangkaian (makanan, benda-benda, alat-alat khusus dan sandang) yang dipersembahkan untuk roh para leluhur sebagai tanda hormat dan syukur, serta permohonan perlindungan keselamatan dalam hidupnya. Dengan demikian, sajen tidak selalu sama bentuknya tetapi diselaraskan dengan kebutuhan atau hajatnya.

Purwadi (2005: 103) menjelaskan bahwa sajian adalah makanan kecil, benda-benda kecil, bunga-bunga serta barang hiasan yang disusun menurut konsepsi kegiatan sehingga memiliki simbol atau arti tersendiri.

Selain makanan yang disusun, setiap makanan dan sajian yang dihidangkan terpisah juga mempunyai arti sendiri-sendiri.

Dari penjelasan di atas, sesaji menurut peneliti adalah perlengkapan yang digunakan selama prosesi adat berlangsung. Pada umumnya sesaji yang digunakan dalam setiap acara berbeda-beda, karena sesaji yang digunakan sesuai dengan kebutuhan.

7. Tradisi Nyadran

a. Pengertian Tradisi

Dalam Depdiknas (2008: 1483) dijelaskan bahwa tradisi merupakan adat atau kebiasaan dari turun temurun atau dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat. Dengan kata lain, tradisi adalah penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang ada merupakan cara yang paling baik dan benar.

Menurut Kayam dalam Sutarjo (2010: 63), tradisi adalah gugusan nilai-nilai budaya yang mapan dalam kurun waktu bergenerasi. Jadi, tradisi diwariskan secara turun-temurun dan masih berlangsung hingga sekarang.

Koentjaraningrat dalam Herusatoto (2008:164) menjelaskan bahwa tradisi atau adat-istiadat dapat dibagi dalam empat tingkatan

yaitu: 1) tingkat nilai budaya, 2) tingkat norma-norma, 3) tingkat hukum dan, 4) tingkat aturan khusus.

Berdasarkan pengertian tradisi di atas, dapat dikatakan bahwa tradisi adalah segala sesuatu yang berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan, dan kebiasaan tertentu yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan serta diwariskan secara turun-temurun dan masih berlangsung hingga sekarang.

b. Pengertian Nyadran

Nyadran atau sadrana berasal dari bahasa Sanskerta, Sraddha yang artinya keyakinan. Secara sederhana Nyadran adalah kegiatan bersih makam yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat Jawa yang umumnya tinggal di pedesaan.

Tradisi ini sudah berlangsung sejak jaman Hindu-Budha sebelum masuknya ajaran Islam ke tanah Jawa. Sejak abad ke-15 para Sunan yang dikenal dengan sebutan Wali Songo menggabungkan tradisi tersebut dalam dakwahnya untuk menyebarkan agama Islam supaya mudah diterima.

Nyadran bisa dipahami sebagai sebuah simbolisasi hubungan antara seseorang dengan leluhurnya, antara sesama dan hubungan dengan Tuhan. Bentuk kegiatannya adalah berupa acara massal membersihkan makam dan mendoakan para pendahulunya supaya mendapat ampunan dan keselamatan dari Tuhan.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi Nyadran merupakan kebiasaan dari masa lalu yang ditrasformasikan hingga masa kini. Tradisi Nyadran yang sudah ada sejak dahulu ini merupakan wujud dari hubungan antara manusia dengan leluhur-leluhurnya yang telah tiada dan dianggap mampu melindungi dari gangguan dunia.

Tradisi Nyadran memiliki makna dan simbol-simbol yang bermanfaat dalam kehidupan sosiokultural masyarakat desa. Pada hakikatnya tradisi ini memiliki makna yang luhur karena berhubungan dengan nilai gotong-royong dan solidaritas sosial. Tradisi Nyadran memberikan pengaruh multi fungsi dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Dengan melaksanakan tradisi ini, menambah intensitas masyarakat dalam berinteraksi serta dapat menjaga kelestarian akan budaya yang dimiliki oleh masyarakat di desa Kedunglo, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo.

A. Jenis Penelitian

Penelitian Bentuk Makna Simbol dan Fungsi Upacara Nyadran di Desa Kedunglo, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo menggunakan metode penelitian Kualitatif, di mana penelitian ini lebih cenderung pada data.

Penelitian data kualitatif yaitu upaya yang dilakukan dalam penelitian dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting, dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2011: 248).

Denzin dan Lincoln (dalam Moleong, 2011:5) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dari segi pengertian ini, para penulis masih tetap mempersoalkan latar alamiah dengan maksud agar hasilnya dapat digunakan untuk menafsirkan fenomena dan yang dimanfaatkan untuk peneliti kualitatif adalah berbagai macam metode penelitian. Dalam metode penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, catatan lapangan, dan pemanfaatan dokumen.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dimana dalam penelitian peneliti lebih cenderung pada pemaparan

29

hasil. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata dalam bentuk tertulis maupun lisan. Dalam mengumpulkan data, peneliti dapat mendapatkan informasi yang mendalam terkait dengan bentuk makna simbolis dan fungsi upacara Nyadran di Desa Kedunglo, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo. Dengan metode kualitatif ini peneliti juga akan mendapatkan informasi yang akurat sehingga akan memudahkan dalam memaparkan hasil penelitiannya.

B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat

Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Kedunglo, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo yang berjarak 35 km dari Kota Purworejo.

2. Waktu

Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, yakni sejak awal penelitian. Dari pembuatan proposal sampai dengan laporan hasil penelitian.

No. Kegiatan Waktu Penelitian

Mar Aprl Mei Jun Jul Agst 1. Pembuatan proposal

2. Pengolahan data 3. Pemilihan data 4. Analisis

2. Pengolahan data 3. Pemilihan data 4. Analisis

Dokumen terkait