• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pemahaman Konsep

Sanjaya (2009) mengemukakan bahwa pemahaman konsep adalah

kemampuan siswa yang berupa penguasaan sejumlah materi pelajaran, tetapi

mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti,

memberikan intepretasi data dan mampu mengaplikasi konsep yang sesuai dengan

struktur kognitif yang dimilikinya. Indikator pemahaman konsep menurut Sanjaya

(2009) adalah:

a. Mampu menerangkan secara verbal mengenai apa yang telah dicapainya

b. Mampu menyajikan situasi matematika ke dalam berbagai cara serta

mengetahui perbedaan

c. Mampu mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi atau

tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut

d. Mampu menerapkan hubungan antara konsep dan prosedur

f. Mampu menerapkan konsep secara alogaritma

g. Mampu mengembangkan konsep yang telah dipelajari

Sedangkan indikator pemahaman konsep menurut Kurikulum 2006 (dalam

Kesumawati, 2010), yaitu:

a. Menyatakan ulang sebuah konsep

b. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan

konsepnya)

c. Memberikan contoh dan non contoh dari konsep

d. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis

e. Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep

f. Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu

g. Mengaplikasikan konsep atau alogaritma pemecahan masalah.

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah

ia menerima pengalaman belajarnya. Untuk mengevaluasi hasil belajar siswa yang

diharapkan, diperlukan tujuan yang bersifat operasional yaitu tujuan berupa

tingkah laku yang dapat dikerjakan dan diukur. Tujuan berkaitan dengan sifat

secara operasional dan tujuan pembelajaran khusus (Subiyanto, 1986: 46).

Benyamin Bloom mengklasifikasikan kemampuan hasil belajar ke dalam tiga

kategori, yaitu:

a. Ranah kognitif, meliputi kemampuan menyatakan kembali konsep atau

b. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap dan nilai yang terdiri atas aspek

penerimaan, tanggapan, penilaian, pengelolaan, dan penghayatan

(karakterisasi).

c. Ranah psikomotorik, mencakup kemampuan yang berupa keterampilan

fisik (motorik) yang terdiri dari gerakan refleks, keterampilan gerakan

dasar, kemampuan perseptual, ketepatan, keterampilan kompleks, serta

ekspresif dan interperatif.

Taksonomi tujuan pembelajaran dalam kawasan kognitif menurut Bloom

terdiri atas enam tingkatan yaitu (1) Pengetahuan, (2) Pemahaman, (3) Penerapan,

(4) Analisis, (5) Sintesis, dan (6) Evaluasi.

Pemahaman adalah kemampuan untuk memahami segala pengetahuan

yang diajarkan seperti kemampuan mengungkapkan dengan struktur kalimat lain,

membandingkan, menafsirkan, dan sebagainya. Kemampuan memahami dapat

juga disebut dengan istilah “mengerti”. Kemampuan-kemampuan yang tergolong

dalam taksonomi ini, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi ialah:

a) Translasi, yaitu kemampuan untuk mengubah simbol tertentu menjadi simbol

lain tanpa perubahan makna.

b) Interpretasi, yaitu kemampuan untuk menjelaskan makna yang terdapat di

dalam simbol, baik simbol verbal maupun non verbal.

c) Ekstrapolasi, yaitu kemampuan untuk melihat kecenderungan atau arah atau

kelanjutan dari suatu temuan.

Berdasarkan penjelasan dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

dari suatu konsep, menggambarkan konsep dengan suatu model, mengubah suatu

bentuk ke bentuk lain, membandingkan beberapa bentuk dalam sebuah konsep,

dan menyatakan ulang sebuah konsep.

2. Konsep Geometri Bangun Datar

Travers dkk (1987: 6) menyatakan bahwa: “Geometry is the study of the

relationships among points, lines, angles, surfaces, and solids”. Geometri adalah

ilmu yang membahas tentang hubungan antara titik, garis, sudut, bidang dan

bangun-bangun ruang.

Geometri menempati posisi khusus dalam kurikulum matematika, karena

banyaknya konsep-konsep yang termuat di dalamnya. Dari sudut pandang

psikologi, geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual dan

spasial, misalnya bidang, pola, pengukuran dan pemetaan. Sedangkan dari sudut

pandang matematik, geometri menyediakan pendekatan-pendekatan untuk

pemecahan masalah, misalnya gambar-gambar, diagram, sistem koordinat, vektor,

dan transformasi. Geometri juga merupakan lingkungan untuk mempelajari

struktur matematika (Burger & Shaughnessy, 1993:140). Hal ini berarti bahwa

geometri merupakan suatu lingkup materi yang memberikan kesempatan kepada

siswa untuk mempelajari struktur matematika. Dengan mempelajari struktur

matematika, siswa akan terlatih untuk berpikir logis, sistematis, dan kritis, yang

sangat membantu dalam mengembangkan pengetahuan siswa.

Alders (1961, dalam Intan & Bagus, 2012: 2) menyatakan bahwa

”Geometri adalah salah satu cabang matematika yang mempelajari tentang titik,

hubungannya antara yang satu dengan yang lain”. Ada dua macam geometri, yaitu geometri datar dan geometri ruang. Geometri bidang (geometri datar atau

geometri dimensi dua) membicarakan bangun-bangun datar, sedangkan geometri

ruang membicarakan bangun-bangun ruang dan bangun-bangun datar yang

merupakan bagian dari bangun ruang. Suatu bangun disebut bangun datar apabila

keseluruhan bangun itu terletak pada satu bidang. Suatu bangun disebut bangun

ruang apabila titik-titik yang membentuk bangun itu tidak semuanya terletak pada

satu bidang yang sama.

Geometri digunakan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari.

Ilmuwan, arsitek, artis, insinyur, dan pengembang perumahan adalah sebagian

kecil contoh profesi yang menggunakan geometri secara reguler. Dalam

kehidupan sehari-hari, geometri digunakan untuk mendesain rumah, taman, atau

dekorasi (Van de Walle, 1990:269). Usiskin (1987:26-27) mengemukakan bahwa

geometri adalah (1) cabang matematika yang mempelajari pola-pola visual, (2)

cabang matematika yang menghubungkan matematika dengan dunia fisik atau

dunia nyata, (3) suatu cara penyajian fenomena yang tidak tampak atau tidak

bersifat fisik, dan (4) suatu contoh sistem matematika.

Tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya

diri mengenai kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik,

dapat berkomunikasi secara matematik, dan dapat bernalar secara matematik

(Bobango, 1992:148). Sedangkan Budiarto (2000:439) menyatakan bahwa tujuan

pembelajaran geometri adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis,

materi yang lain, dan dapat membaca serta menginterpretasikan argumen-argumen

matematik.

Berdasarkan pengertian para ahli diatas, maka konsep geometri bangun

datar adalah salah satu cabang matematika yang mempelajari titik, garis, dan

sudut, yang terletak pada satu bidang.

3. Karakteristik Siswa SD

Menurut Piaget (Budiningsih, 2004), proses belajar seseorang akan

mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan

tahap-tahap tersebut bersifat hirarkis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan

tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yan berada di luar tahap

perkembangan kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif

menjadi empat tahap, yaitu:

a. Tahap sensorimotor (usia 0 – 2 tahun), pada tahap ini bayi mengorganisasikan skema tindakan fisiknya seperti menghisap,

menggenggam, dan memukul untuk menghadapi dunia yang ada di

hadapannya.

b. Tahap preoperasional (usia 2 – 7/8 tahun), pada tahap ini seorang anak belajar berpikir menggunakan simbol-simbol dan pencitraan batiniah,

namun pikiran anak masih tidak sistematis dan tidak logis.

c. Tahap operasional konkret (usia 7/8 tahun – 11/12 tahun), dalam tahap ini seorang anak dapat mengembangkan kemampuan berpikir sistematis,

namun hanya ketika anak dapat mengacu kepada objek-objek atau

aktivitas konkret.

d. Tahap operasional formal (usia 11/12 tahun – 18 tahun), pada tahap ini seorang anak dapat mengembangkan kemampuan untuk berpikir sistematis

menurut rancangan yang murni abstrak dan hipotesis.

Siswa SD yang berada pada tahap operasional konkret memiliki beberapa

ciri pokok, diantaranya: (1) Anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang

jelas dan logis, yang ditandai dengan adanya reversible dan kekekalan, (2) Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda

yang bersifat konkret, (3) Anak dapat memanipulasi objek atau gambaran yang

ada di dalam dirinya, (4) Anak dapat menangani sistem klasifikasi, (5) Anak

sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena anak sudah dapat

berpikir dengan menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan kegiatan

tertentu.

Dalam penelitian ini, karakteristik siswa SD yang berada dalam tahap

operasional konkret memiliki ciri khusus, yaitu siswa memiliki kemampuan

berpikir logis dengan menggunakan benda-benda konkret, serta mampu untuk

memanipulasi gambaran yang ada di dalam dirinya.

4. Pembelajaran Matematika

Siswa SD yang berada pada umur 7/8 tahun sampai umur 11/12 tahun,

Kemampuan yang tampak dalam fase ini adalah kemampuan dalam proses

berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat

dengan objek yang bersifat konkret (Heruman, 2008). Siswa SD masih terikat

dengan objek yang ditangkap dengan pancaindra, sehingga sangat diharapkan

dalam pembelajaran matematika yang bersifat abstrak, siswa lebih banyak

menggunakan media belajar sebagai alat bantu, dan penggunaan alat peraga.

Penggunaan media belajar dan alat peraga dapat memperjelas apa yang

disampaikan oleh guru, sehingga siswa lebih cepat memahaminya. Suwangsih dan

Tiurlina (2006) menyatakan ciri-ciri pembelajaran matematika SD yaitu:

1) Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral

Pendekatan spiral dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan

di mana pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu mengaitkan

atau menghubungkan dengan topik sebelumnya, topik sebelumnya merupakan

prasyarat untuk topik baru, topik baru merupakan pendalaman dan perluasan

dari topik sebelumnya. Konsep yang diberikan dimulai dengan benda-benda

konkret kemudian konsep itu diajarkan kembali dengan bentuk pemahaman

yang lebih abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum digunakan

dalam matematika.

2) Pembelajaran matematika bertahap

Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari

konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit, selain

pembelajaran matematika dimulai dari yang konkret, ke semi konkret, dan

3) Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif

Matematika merupakan ilmu deduktif. Namun karena sesuai tahap

perkembangan siswa maka pada pembelajaran matematika di SD digunakan

pendekatan induktif.

4) Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi

Kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya

pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya.

Suatu pernyataan dianggap benar jika didasarkan kepada

pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah diterima kebenarannya. Meskipun di SD

pembelajaran matematika dilakukan dengan cara induktif tetapi pada jenjang

selanjutnya generalisasi suatu konsep harus secara deduktif.

5) Pembelajaran matematika hendaknya bermakna

Pembelajaran matematika secara bermakna merupakan cara mengajarkan

materi pelajaran yang mengutamakan pengertian dari pada hafalan. Dalam

belajar bermakna, aturan-aturan dan dalil-dalil tidak diberikan dalam bentuk

jadi, tetapi sebaliknya aturan-aturan dan dalil-dalil ditemukan oleh siswa

melalui contoh-contoh secara induktif di SD, kemudian dibuktikan secara

deduktif pada jenjang selanjutnya.

Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri di atas, maka pembelajaran

matematika adalah pembelajaran yang bersifat abstrak, yang diajarkan secara

bertahap dengan menggunakan metode spiral, serta menggunakan penyampaian

5. Pendekatan PMRI

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan salah satu

pendekatan dalam pendidikan matematika yang telah dikembangkan di Belanda

selama kurang lebih 35 tahun yang lalu. PMRI merupakan hasil pengembangan

pembelajaran matematika yang berasal dari pandangan Freudenthal tentang

matematika, yaitu matematika merupakan aktivitas manusia, dan banyak

berhubungan dengan realita. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan

relevan dengan situasi anak sehari-hari.

Menurut Freudenthal (1973), pembelajaran matematika harus dipandang

sebagai proses. Materi matematika yang disajikan kepada siswa harus berupa

suatu "proses" bukan sebagai barang 'jadi' yang siap "disuapkan" kepada siswa

(Yuwono, 2001). PMRI adalah pendekatan pembelajaran matematika yang

menekankan bagaimana siswa menemukan konsep-konsep atau prosedur-prosedur

dalam matematika melalui masalah-masalah kontekstual. Soedjadi (2001)

mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik

pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta

didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat

mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa yang

lalu. Realita merupakan hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati atau

dipahami siswa lewat membayangkan. Sedangkan yang dimaksud dengan

lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan

Berdasarkan pengertian para ahli di atas, pendekatan PMRI adalah sebuah

pendekatan dalam proses pembelajaran matematika yang menekankan bagaimana

siswa menemukan konsep atau prosedur dalam matematika melalui masalah

kontekstual yang dipahami siswa untuk memperlancar pembelajaran matematika.

6. Prinsip dan Karakteristik PMRI

Prinsip PMRI menurut Heuvel-Panhuizen (1996) dalam Kemendiknas

(2010: 10) adalah sebagai berikut:

a. Prinsip aktivitas, yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Pembelajar harus

aktif baik secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika.

b. Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogianya dimulai dengan

masalah-masalah yang relistik atau dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah realistik

lebih menarik bagi siswa daripada masalah-masalah matematis formal tanpa

makna.

c. Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matemtika siswa melewati berbagai

jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah

kontekstual atau relistik secara informal, melalui skematisasi memperoleh

pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan

solusi suatu masalah matematis secara formal.

d. Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan

dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin

satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu

e. Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa

perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya dalam

menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan

menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan itu

serta menanggapinya.

f. Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan

kembali (reinvention) pengetahuan matematika terbimbing.

Sejalan dengan pendapat ahli di atas, maka prinsip PMRI yang diterapkan

dalam penelitian ini adalah prinsip aktivitas, prinsip realitas, prinsip berjenjang,

prinsip jalinan, prinsip interaksi, dan prinsip bimbingan.

Karakteristik PMRI menurut de Lange dalam Zulkardi (2005: 14) ada

lima, yaitu:

1) The use of context (menggunakan masalah kontekstual), masalah kontekstual

berfungsi untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber aplikasi matematika.

Selain itu juga untuk melatih kemampuan siswa khususnya dalam menerapkan

matematika pada situasi nyata.

2) The use of models (menggunakan berbagai model), istilah model berkaitan

dengan model matematika yang merupakan jembatan bagi siswa dari situasi

informal ke formal.

3) Student contributions (kontribusi siswa), menggunakan kontribusi siswa

dimana siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan strategi-strategi

pengkontribusian prosedur pemecahan, dengan bimbingan guru diharapkan

siswa bisa menemukan.

4) Interactivity (interaktivitas), interaksi antara siswa dengan siswa, siswa

dengan guru serta siswa dengan perangkat pembelajaran juga harus ada dalam

pembelajaran. Bentuk-bentuk interaksi misalnya diskusi, penjelasan,

persetujuan, pertanyaan, dan sebagainya digunakan untuk mencapai bentuk

pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika

informal yang ditentukan sendiri oleh siswa.

5) Intertwining (keterkaitan), struktur dan konsep matematika saling berkaitan,

biasanya pembahasan suatu topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk

mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna.

Sedangkan menurut Treffers (1987) dalam Wijaya (2013: 21-23)

karakteristik PMRI, yaitu 1) penggunaan konteks, 2) penggunaan model untuk

matematisasi progresif, 3) pemanfaatan hasil konstruksi siswa, 4) interaktivitas,

dan 5) keterkaitan. Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik

awal pembelajaran matematika, melalui penggunaan konteks siswa dilibatkan

secara aktif untuk melakukan kegiatan eksplorasi permasalahan. Penggunaan

model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal. Hasil konstruksi siswa

menunjukkan pengembangan aktivitas dan kreativitas siswa. Dalam interaktivitas,

belajar bukan hanya suatu proses individu namun juga proses sosial. PMRI juga

mengandung karakteristik keterkaitan, artinya konsep-konsep dalam matematika

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, karakteristik PMRI yang

diterapkan dalam penelitian ini adalah penggunaan masalah kontektual,

penggunaan berbagai model, penggunaan kontribusi siswa, interaktivitas, dan

keterkaitan.

7. Pendekatan PMRI Karakteristik Pemodelan

Dalam karakteristik ini, siswa diberi kesempatan untuk menjalani proses

yang disebut matematisasi yang biasanya dimulai dari matematisasi horizontal

lalu dilanjutkan matematisasi vertikal. Dalam proses matematisasi tersebut,

digunakan model of (model of situation) yang dikembangkan menjadi model for

(model for formal mathematics). Dalam model of, pengetahuan yang

dikembangkan masih dalam bentuk pengetahuan informal yang kemudian akan

dikembangkan dan disempurnakan sendiri oleh siswa menjadi bentuk matematika

formal dalam bentuk model for dengan bimbingan guru. Keberagaman jenis model yang digunakan dapat bergeser dari model konkret, semi konkret, semi

abstrak, sampai kemodel abstrak, merupakan ciri dari terjadinya proses

matematisasi yang berangkat dari situasi yang pada awalnya tidak terstruktur,

general, dan formal.

Penggunaan berbagai model of situation untuk menuju pada matematika formal merupakan sesuatu yang esensial. Hal ini berarti bahwa model dapat

dipandang sebagai suatu alat atau jembatan (Gravemeijer, 1994) yang

menghubungkan bagian konkret ataupun informal dengan bagian abstrak atau

Berdasarkan pendapat ahli di atas, pendekatan PMRI pemodelan dalam

penelitian ini adalah jembatan yang menghubungkan pengetahuan informal siswa

yang dikembangkan dan disempurnakan sendiri oleh siswa menjadi bentuk

pengetahuan formal dengan bimbingan guru.

8. Langkah–Langkah PMRI

Menurut Amin (2004), langkah-Langkah dalam kegiatan PMRI adalah

sebagai berikut.

1) Mengkondisikan siswa untuk belajar. Guru mengkondisikan siswa untuk

belajar dengan menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai,

memotivasi siswa, mengingatkan materi prasyarat yang harus dimiliki siswa,

dan mempersiapkan kelengkapan belajar/ alat peraga yang diperlukan dalam

pembelajaran.

2) Mengajukan masalah kontekstual. Guru selalu mengawali pembelajaran

dengan pengajuan masalah kontekstual. Masalah kontekstual tersebut sebagai

pemicu terjadinya penemuan kembali (re-invention) matematika oleh siswa. Masalah kontekstual yang diajukan oleh guru hendaknya masalah yang

divergen. Masalah tersebut juga memberi peluang untuk memunculkan

berbagai strategi pemecahan masalah. Karakteristik PMRI yang tergolong

pada langkah ini adalah menggunakan masalah kontekstual yang diangkat

sebagai masalah awal dalam pembelajaran untuk menuju ke matematika

formal sampai ke pembentukan konsep.

3) Membimbing siswa untuk menyelesaikan masalah kontekstual. Dalam

petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian situasi dan kondisi masalah (soal)

yang belum dipahami siswa. Dengan demikian terdapat kesatuan pemahaman

terhadap masalah kontekstual. Guru juga dapat meminta siswa untuk

menjelaskan atau mendiskripsikan masalah kontekstual dengan bahasa mereka

sendiri. Karakteristik PMRI yang tergolong pada langkah ini adalah

karakteristik keempat, yaitu adanya interaksi antara guru dengan siswa, dan

siswa dengan siswa.

4) Meminta siswa menyajikan penyelesaian atau selesaian masalah. Siswa

secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah kontekstual yang

disajikan oleh guru dengan cara mereka sendiri, sehingga sangat mungkin

terjadi perbedaan dalam penyelesaian masalah antara siswa yang satu dengan

yang lain. Guru mengamati dan memotivasi siswa memperoleh penyelesaian

soal. Misalnya, "bagaimana kamu tahu?", "bagaimana kamu

mendapatkanya?", "mengapa kamu berfikir demikian?". Pada tahap ini siswa

dibimbing untuk dilakukan "re-invention" atau menemukan kembali ide/ konsep/ definisi matematika. Pada langkah ini siswa diarahkan menggunakan

model-model, gambar, simbol-simbol atau skema-skema yang dikembangkan

oleh siswa sendiri sesuai dengan pengetahuan yang dimiliknya untuk

memudahkan mereka menyelesaikan masalah. Guru tidak perlu memberi tahu

penyelesaian masalah (soal), sebelum siswa memperoleh penyelesaian sendiri.

Karakteristik PMRI yang tergolong pada langkah ini adalah karakteristik

kedua dan ketiga, yaitu menggunakan model dan menggunakan produksi dan

5) Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian atau selesaian masalah.

Guru memberikan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk

membandingkan dan mendiskusikan jawaban soal secara berkelompok, untuk

selanjutnya dibandingkan (memeriksa, memperbaiki) dan didiskusikan dalam

kelas. Kemudian guru sebagai fasilitator dan moderator mengarahkan siswa

berdiskusi dan membimbing siswa sehingga diperoleh jawaban yang benar.

Pada tahap ini akan tampak penggunaan ide atau kotribusi siswa, sebagai

upaya untuk mengaktifkan siswa melalui optimalisasi interaksi antara siswa

dengan siswa, siswa dengan guru dan siswa dengan sarana prasarana.

Karakteristik yang tergolong pada langkah ini adalah karakteristik ketiga dan

keempat, yaitu mengunakan produksi dan kontruksi oleh siswa dan interaksi.

6) Bernegosiasi. Berdasarkan hasil diskusi kelompok atau diskusi kelas yang

telah dilakukan, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang

suatu konsep/ teorema/ prinsip matematika yang terkait dengan masalah

kontekstual yang baru diselesaikan. Karakteristik PMRI yang tergolong pada

langkah ini adalah karakteristik keempat yaitu terdapat interaksi antara siswa

dengan guru dan siswa dengan siswa lain.

Sejalan dengan langkah-langkah PMRI di atas, maka langkah-langkah

PMRI yang diterapkan dalam penelitian ini adalah mengkondisikan siswa untuk

belajar, mengajukan masalah kontekstual, membimbing siswa untuk

menyelesaikan masalah kontekstual, meminta siswa menyajikan penyelesaian

masalah, membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah, dan

Dokumen terkait