BAB II LANDASAN TEORI
2.2 Kajian Teori
2.2.3 Kalimat Ragam Bahasa Jurnalistik
Ragam bahasa jurnalistik digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang
(berita), pendapat (opini), dan pemberitahuan, dengan menggunakan unsur bahasa
yang seefektif mungkin karena keterbatasan ruang dan waktu (Soewandi dalam
Markiswo dan Supratiknya, 1996: 345–346).
Ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri-ciri linguistis. Ciri-ciri linguistis itu
ada pada tataran penulisan dan pengucapan, tataran kosakata dan morfologi, tataran
sintaktis, dan tataran wacana (Soewandi dalam Markiswo dan Supratiknya, 1996:
348).
Pada tataran penulisan dan pengucapan, ragam bahasa jurnalistik sangat ketat
terhadap kaidah atau aturan yang berlaku, meskipun kesalahan masih sering terjadi.
Namun, kesalahan itu semata-mata karena kelemahan penulis atau pembawa berita
yang tidak disengaja. Jika terjadinya karena faktor kesengajaan mungkin memang ada
alasan-alasan tertentu yang mendasarinya.
Pada tataran kosakata dan morfologi, kosakata dibedakan menjadi dua, yaitu
kosakata penuh dan kosakata fungsional. Kata penuh terdiri atas nomina, pronomina,
ajektiva, verba, adverbia, numeralia, artikel, dan interjeksi, sedangkan kata fungsi
atau fungsional terdiri atas preposisi dan konjungsi. Morfologi adalah ilmu bentukan
kata yang mencakup bentukan kata dengan imbuhan, pengulangan, dan
penggabungan.
Pada tataran sintaktis, ada ciri sintaktis ragam bahasa jurnalistik. Ciri itu
terutama berkaitan dengan kelengkapan fungsi (jabatan kalimat), pengurutan (tempat)
Pada tataran wacana, sebuah wacana terdiri dari beberapa kalimat yang
sambung-menyambung secara linguistis (kohesif) dan secara semantis (koheren).
Pada umumnya, wacana jurnalistik menghemat unsur-unsur linguistis (kata, tanda
baca, fungsi kata atau frasa, kalimat, terlebih wacana berita, tajuk rencana, dan artikel
atau opini). Wacana berita memiliki ciri khas yang berbeda. Bentuk wacana berita
berupa kerucut terbalik; yang paling penting (inti pokok) ada di bagian atas (teras
berita) dan yang paling tidak penting ada di bagian bawah.
Mengacu pada kalimat ragam bahasa jurnalistik, Margantoro (2001: 78)
menyatakan bahwa pada hakikatnya bahasa Indonesia jurnalistik sama dengan bahasa
Indonesia pada umumnya. Perbedaannya, pengembangan bahasa pers lebih mengarah
pada publisistik yang mudah dimengerti untuk umum. Menurutnya, menyusun
kalimat jurnalistik tidak cukup hanya berdasarkan bahasa yang baik dan benar.
Penguasaan tata bahasa dan alat-alat perangkat bahasa hanyalah dasar bagi calon
penulis untuk mengembangkan kemampuannya menyusun kalimat jurnalistik.
Istilah kalimat jurnalistik menurut Rahardi (2006: 15) mengarah pada bahasa
ragam jurnalistik atau bahasa pers, yaitu bahasa yang dipakai untuk menyampaikan
fakta, laporan, berita, tulisan yang baru saja terjadi. Menurut Setiati (2005: 87),
bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh wartawan dalam menulis berita
dan memiliki sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar, dan
jelas.
Adapun menurut Dewabrata (2006: 22), kalimat jurnalistik adalah kesatuan
Pengertian ini dapat diartikan juga sebagai kalimat yang cocok untuk menyusun
berita yang sebaiknya ditulis pendek, padat, dan populer, serta mudah dipahami
dalam waktu singkat. Kalimat jurnalistik juga harus mengandung unsur berita siapa,
apa, mengapa, di mana, kapan, dan bagaimana yang disusun teratur agar menjadi
sebuah berita yang menarik dan jernih.
Sebuah kalimat biasa pada umumnya menekankan unsur subjek, predikat,
objek, dan keterangan (SPOK). Namun, menurut Dewabrata (2006), kalimat
jurnalistik lebih fleksibel, tidak terlalu mengikuti aturan SPOK ataupun unsur DM
(diterangkan menerangkan). Dalam kalimat jurnalistik, kata keterangan (tempat
maupun waktu) tidak harus diletakkan paling belakang dari sebuah kalimat sesuai
patokan dalam aturan tata bahasa. Kata keterangan waktu dapat saja diletakkan di
tengah, di tempat yang paling dekat dengan kata yang dijelaskan „kapan terjadinya‟. Demikian juga dengan kata keterangan tempat, dapat diletakkan di mana saja
tergantung pokok kata yang harus dijelaskan „di mana terjadinya‟. Perbedaannya dapat dijelaskan seperti dalam contoh berikut ini.
(1) “Saya tidur di hotel tadi malam,” (sesuai dengan rumusan SPOK).
Pernyataan itu dapat diganti menjadi: (1a) “Tadi malam saya tidur di hotel”. Tetapi, akan lebih bagus jika kata keterangannya dekat dengan predikat: (1b) “Saya tadi
malam tidur di hotel”. Alasannya, kata tadi malam itu menjelaskan kata tidur,
sedangkan kata di hotel letaknya sudah tepat karena menjelaskan kata tidur juga.
Kalimat yang tersusun sesuai dengan rumus SPO jarang menimbulkan rancu.
terkadang justru menimbulkan kerancuan. Misalnya, berita yang ada dalam kalimat
berikut ini.
(2) “Drs. Columbiformes, manajer perusahaan penangkaran burung PT Geopelia
Striata, mengkonfirmasi bahwa sebagian perkutut bakalan (piyik) yang dipesan oleh kelompok pecinta perkutut Filipina sudah dikirimkan menggunakan jasa EMKL Baito Express International akhir bulan yang lalu, di kantornya di
bilangan Klewer, Solo, kemarin.”
Dilihat dari susunan tata bahasanya, kalimat di atas sudah sah karena tersusun
dari pokok atau subjek (Drs. Columbiformes, manajer perusahaan penangkaran
burung PT Geopelia Striata), diikuti predikat (mengkonfirmasi). Selanjutnya adalah
objek yang dikonfirmasi (sebagian perkutut bakalan (piyik) yang dipesan oleh
kelompok pecinta perkutut Filipina sudah dikirimkan menggunakan jasa EMKL Baito
Express International akhir bulan yang lalu), kemudian kata keterangan tempat (di
kantornya di bilangan Klewer, Solo), dan diakhiri keterangan waktu (kemarin).
Susunan kalimat itu sama dengan kalimat sederhana ini: “Saya makan nasi
goreng telor di restoran Mangano kemarin”. Kata saya sebagai pokok atau subjek,
makan sebagai predikat, nasi goreng telor sebagai objek, di restoran Mangano
sebagai keterangan tempat, dan kemarin sebagai keterangan waktu. Tetapi, dalam hal
penjelasan kalimat penangkar burung itu, predikat “mengkonfirmasi” mempunyai objek (dan keterangan objek) yang cukup panjang (tidak sependek nasi goreng telor)
sehingga keterangan tempat dan keterangan waktu untuk kalimat induknya terpaksa
berada jauh di belakang. Letak keterangan tempat dan keterangan waktu yang terlalu
jauh dari subjek dan predikatnya akan menimbulkan kerancuan, seakan-akan
frasa “di kantornya di bilangan Klewer, Solo, kemarin” adalah keterangan tempat dan keterangan waktu untuk menerangkan di mana dan kapan Drs. Columbiformes
menyampaikan informasi kepada wartawan.
Agar kalimat berita mengenai penangkar burung tersebut dapat lebih mudah
dipahami, susunannya dapat diubah sebagai berikut.
(2a) “Kemarin di kantornya Bilangan Klewer, Solo, Drs. Columbiformes, manajer perusahaan penangkaran burung PT Geopelia Striata, mengkonfirmasi bahwa sebagian perkutut bakalan (piyik) yang dipesan oleh kelompok pecinta perkutut Filipina sudah dikirimkan menggunakan jasa EMKL Baito Express
International akhir bulan yang lalu.”
Keterangan tempat dan keterangan waktu dapat juga diletakkan di tengah kalimat
sehingga susunannya akan menjadi seperti berikut ini.
(2b) “Drs. Columbiformes, manajer perusahaan penangkaran burung PT Geopelia Striata, kemarin di kantornya Bilangan Klewer, Solo, mengkonfirmasi bahwa sebagian perkutut bakalan (piyik) yang dipesan oleh kelompok pecinta perkutut Filipina sudah dikirimkan menggunakan jasa EMKL Baito Express
International akhir bulan yang lalu.”
Dalam sebuah kalimat juga dikenal hukum DM (diterangkan dan
menerangkan) yang letaknya harus diatur dengan cermat. Namun, dalam kalimat
jurnalistik, rumusannya tidak harus DM tetapi yang lebih penting bagaimana
sebaiknya meletakkan kata, frasa, dan klausa agar efektif memperjelas pesan yang
disampaikan.
Penjelasannya dapat dicermati dalam contoh berikut ini (Kompas, 11 April
2004 halaman 21, berjudul “Lidya Kandou dari Komedi ke Komedi”). Alinea pertama berita itu adalah sebagai berikut.
(3) “Dua puluh lima tahun, pasti bukan waktu yang sedikit untuk urusan karier itu juga yang terjadi pada Lidya. Usianya belum genap 17 kala pertama bermain
dalam Wanita Segala Zaman tahun 1979. Dalam film arahan sutradara Has
Manan itu, Lidya berperan sebagai adik Roy Marten yang manja”.
Frasa yang manja dalam kalimat itu tidak jelas. Pembaca mungkin tidak
paham siapa yang manja, apakah Lidya atau Roy Marten karena frasa yang manja
berada di belakang Roy Marten. Sampai kalimat terakhir dalam berita itu tidak
dijelaskan lebih jauh, bahkan tidak ada keterangan yang implisit untuk itu.
Seandainya kalimat terakhir itu dipecah dan ditulis seperti berikut ini, tidak ada
kerancuan tentang siapa yang manja.
(3a) “Dua puluh lima tahun, pasti bukan waktu yang sedikit untuk urusan karier itu juga yang terjadi pada Lidya. Usianya belum genap 17 kala pertama bermain
dalam Wanita Segala Zaman tahun 1979. Dalam film arahan Has Manan itu,
Lidya memerankan adik yang manja, sedangkan tokoh kakak diperankan oleh
Roy Marten”.
Jadi, jelas bahwa dalam pernyataan itu yang manja adalah tokoh adik yang
diperankan oleh Lidya Kandou.
Dengan susunan kalimat ragam bahasa jurnalistik yang sesuai dengan kaidah
tata bahasa Indonesia baku, penulis (jurnalis) dapat menuntun pembaca (pendengar)
memahami berita secara tepat dan akurat, sebagaimana pesan yang dikehendakinya.
Kecermatan dan keterampilan dalam menyusun kalimat untuk penulisan berita itu
harus diperhatikan dengan baik sehingga tidak menimbulkan kesalahan.