KESALAHAN KALIMAT DALAM BERITA UTAMA
SURAT KABAR HARIAN
KEDAULATAN RAKYAT
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Disusun oleh:
Elisabet Cinta Satriarini
031224026
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv MOTO
Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak
melebihi kekuatan manusia.
Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui
kekuatanmu.
Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga
kamu dapat menanggungnya.
(1 Korintus, 10: 13)
Sesuatu yang belum dikerjakan seringkali tampak mustahil, kita baru yakin kalau kita
telah berhasil melakukannya dengan baik.
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
♥
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu menguatkan dan
menolongku serta memberi harapan dalam hidupku.
♥
Bapak (alm.) dan ibuku yang selalu kubanggakan, yang dengan penuh kasih
sayang selalu setia memberikan doa, dukungan, dan perhatian.
♥
Kakak-kakakku tercinta Agung Nugroho, S. T. dan Antonius Bagus Gunawan,
S. Pd. yang selalu memberikan semangat, dorongan, dan masukan.
♥
S. Yohan Banny Kristanto yang dengan kesabarannya telah memberikan banyak
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 11 Agustus 2009
Penulis
vii ABSTRAK
Satriarini, Elisabet Cinta. 2009. Kesalahan Kalimat dalam Berita Utama Surat Kabar
Harian Kedaulatan Rakyat. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan
Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini meneliti kesalahan kalimat dalam berita utama surat kabar harian Kedaulatan Rakyat edisi Desember 2007. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan jenis kesalahan kalimat dan seberapa tinggi kesalahan kalimat yang terdapat dalam berita utama surat kabar harian Kedaulatan Rakyat.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Data dalam penelitian berupa kalimat-kalimat yang mengandung kesalahan. Peneliti menganalisis dengan mendeskripsikan kesalahan-kesalahan kalimat yang ditemukan itu untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesalahan kalimat yang terdapat dalam berita utama surat kabar harian Kedaulatan Rakyat sebanyak 303. Menurut peneliti jumlah kesalahan itu cukup tinggi. Kesalahan kalimat itu menurut banyaknya, yaitu (1) pilihan kata sebanyak 180, (2) pemborosan kata sebanyak 67, dan (3) kekurangan unsur kalimat sebanyak 56. Jadi, jenis kesalahan kalimat yang paling banyak adalah kesalahan pilihan kata yaitu sebanyak 180.
viii
ABSTRACT
Satriarini, Elisabet Cinta. 2009. Sentence Mistakes in Headline Kedaulatan Rakyat
Daily Newspaper. Thesis. Yogyakarta: Study Program of Local and
Indonesian Literature and Language Education, Faculty of Teachers Training and Education, Sanata Dharma University.
This research is to explore sentences mistakes in headline of daily newspaper
Kedaulatan Rakyat on December 2007. The aim is to describe the types and levels of
sentence mistakes in the headline news Kedaulatan Rakyat.
It is a qualitative research with a descriptive method. Data of the research are mistakes in sentences. The researcher analizer them by describing the sentences mistakes founded to answer the formulated questions.
Findings show that the amount of sentence mistakes founded in the headlines newspaper of Kedaulatan Rakyat daily on December 2007 is estimateed to be 303. According to the research, a number of the mistakes is high. The mistakes from the most to the least, include: (1) diction: 180 mistakes, (2) ineffective word used: 67 mistakes, and (3) uncomplete sentence: 56 mistakes.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah Bapa di surga atas segala rahmat, anugerah, dan
bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program
Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah di Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan,
bimbingan, dukungan, dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Y. Karmin, M. Pd., selaku pembimbing I yang dengan sabar dan bijaksana
telah membimbing, menuntun, dan memberi banyak masukan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. G. Sukadi, selaku pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan masukan, serta petunjuk yang sangat
bermanfaat bagi penulis.
3. Drs. J. Prapta Diharja S.J., M. Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah periode 2004–2009 yang telah memberikan
izin penulisan topik skripsi ini.
4. L. Rishe Purnama Dewi, S. Pd. dan para dosen lainnya di Program Studi
x
yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan selama penulis menjalani
studi.
5. Bapak (alm.) dan ibuku yang dengan penuh kasih sayang selalu memberikan doa,
dukungan, dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Kakak-kakakku tercinta Agung Nugroho, S. T. dan Antonius Bagus Gunawan, S.
Pd. serta Dwi Ari Sulistyowati, S. Pd. yang telah memberikan semangat dan
dorongan kepada penulis untuk terus maju dan memberikan banyak masukan.
7. Keluarga besar Martowiyono Ngudi Utomo, atas doa dan bantuannya.
8. S. Yohan Banny Kristanto yang dengan kesabarannya telah memberikan banyak
cinta dan kasih sayang serta motivasi kepada penulis.
9. Bapak Ambrosius Bardi dan Ibu Y.F. Indartini yang telah memberikan doa,
bantuan, dan semangatnya.
10.Sahabatku Nuniyati, S. Pd., Anastasia Sulistiorini, L. Titin Tri W., S. Pd., Arum
Kusuma Wardani, S. Pd., dan Emmanuel Kristha atas doa dan dukungannya.
11.Frater Siprianus Sina, S. Pd., Frater Vigo Milandi, Suster Maria Marsiana Ndole,
S. Pd., Irsasri S. Pd., dan keluarga Pak Iman yang telah membantuku.
12.Teman-teman PBSID angkatan 2003 yang telah menjadi sahabat selama kuliah
dan teman-teman kost Arimbi 5 yang telah mendukungku.
13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
memberikan doa, bantuan, dan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan
xi
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Namun, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa pun yang berminat
terhadap Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah.
Yogyakarta, 11 Agustus 2009
xii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Rumusan Variabel dan Batasan Istilah ... 5
xiii
BAB II LANDASAN TEORI ... 8
2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 8
2.2 Kajian Teori ... 8
2.2.1 Kalimat ... 9
2.2.2 Kesalahan Kalimat ... 10
2.2.3 Kalimat Ragam Bahasa Jurnalistik ... 13
2.2.4 Prinsip Penyusunan Kalimat Jurnalistik ... 19
2.2.5 Jenis Kesalahan Kalimat ... 28
2.2.6 Berita Utama ... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 40
3.1 Jenis Penelitian ... 40
3.2 Sumber Data dan Data Penelitian ... 41
3.3 Instrumen Penelitian ... 42
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 42
3.5 Teknik Analisis Data ... 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44
4.1 Deskripsi Data ... 44
4.2 Analisis Data ... 46
4.2.1 Kesalahan Pemborosan Kata ... 49
4.2.2 Kesalahan Pilihan Kata ... 51
xiv
4.3 Hasil Analisis ... 68
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ... 74
BAB V PENUTUP ... 79
5.1 Kesimpulan ... 79
5.2 Implikasi ... 79
5.3 Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 83
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Contoh Kesalahan Kalimat dan Pembenarannya ... 13
Tabel 2 : Judul Berita Utama, Jumlah Kalimat, dan Jumlah Kesalahan ... 45
Tabel 3 : Jumlah Kalimat dan Kesalahan ... 69
Tabel 4 : Jumlah Kesalahan Pemborosan Kata ... 70
Tabel 5 : Jumlah Kesalahan Pilihan Kata ... 71
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Kutipan Kesalahan Pemborosan Kata ... 85
Kutipan Kesalahan Pilihan Kata ... 92
Kutipan Kesalahan Kekurangan Unsur Kalimat ... 107
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Bahasa jurnalistik yang disebut juga sebagai bahasa komunikasi massa
merupakan salah satu bentuk bahasa yang digunakan oleh para wartawan. Bahasa
jurnalistik itu berisi serangkaian kata yang disajikan secara singkat, padat, sederhana,
lancar, jelas, lugas, dan menarik. Hal ini dimaksudkan agar isi yang disajikan dapat
dinikmati dan dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat. Meskipun demikian, bahasa
jurnalistik harus didasarkan pada pola kalimat bahasa Indonesia yang baku dan sesuai
dengan EYD (Ejaan yang Disempurnakan). Dengan demikian, bahasa yang tersaji
dapat dengan mudah dipahami tanpa mengurangi isinya (Anwar, 2004).
Keteraturan dan kelengkapan kalimat serta kecermatan ejaan dalam sebuah
tulisan harus diperhatikan oleh penulis agar gagasan atau pikiran dapat diungkapkan
dengan jelas. Kejelasan gagasan itu akan memudahkan pembaca memahaminya.
Tekanan, nada, jeda, atau lagu yang memudahkan pemahaman ragam bahasa lisan
tidak dapat dituliskan secara lengkap dalam ragam bahasa tulisan (Effendi, 1995: 10).
Oleh karena itu, dalam memahami sebuah tulisan, pembaca bertumpu pada
keteraturan dan kelengkapan kalimat serta kecermatan ejaannya.
Salah satu tugas seorang jurnalis yang terpokok dan paling mendasar ialah
menyusun kalimat-kalimat jurnalistik dan kemudian menyajikannya secara baik
ciri enak dibaca dan terus mengalir, bersifat lugas dan tegas, padat dan tidak berbelit,
tepat, cermat, dan akurat sehingga pembaca mudah menangkap makna dan
memahami maksudnya (Rahardi, 2006: 5). Akan tetapi, dapat tersusunnya kalimat
jurnalistik yang berkualitas itu bukan merupakan proses yang mudah dan sederhana.
Berdasarkan aspek kebahasaan, menurut Setiati (2005: 91), wartawan atau
penulis sering melakukan kesalahan dalam penulisan berita. Kesalahan ini antara lain
disebabkan oleh minimnya penguasaan kosakata dan pengetahuan kebahasaan
sehingga dalam menulis berita, mereka kurang memperhatikan gramatikal bahasa
yang benar. Penyebab kesalahan dalam penulisan berita juga bisa disebabkan oleh
tidak adanya redaktur bahasa dalam surat kabar sehingga banyak naskah yang tidak
dikoreksi sebelum diterbitkan.
Menurut Badudu (1995: 6), kesalahan bahasa dalam surat kabar timbul karena
kurangnya kepedulian penulis dalam menyusun kalimat dengan baik. Jika penulis
mau berhati-hati, kesalahan pasti dapat dihindari karena bahasa tulis masih selalu
dapat diperiksa kembali sesudah ditulis. Jadi, sebelum tulisan dicetak menjadi berita
yang nanti akan dibaca oleh sekian banyak pembaca, kesalahan yang dibuat oleh
penulis sudah diperbaiki. Pembaca tentu tidak mau membaca kalimat-kalimat yang
banyak kesalahannya dan tidak jelas sehingga selalu harus mengulang lagi membaca
kalimat itu. Dalam hal ini, wartawan atau penulis seharusnya menjadi contoh yang
baik bagi pembaca.
Surat kabar merupakan media untuk menyampaikan informasi secara tertulis
penggunaan kalimatnya yang baku dan sesuai dengan kaidah tata bahasa yang resmi.
Namun, pada kenyataannya dalam surat kabar masih sering ditemukan kesalahan
kalimat. Sebagai media informasi, bahasa Indonesia seharusnya dapat diterapkan
dengan baik dan benar karena pembaca memiliki kecenderungan untuk meniru.
Bahasa dalam surat kabar juga akan menentukan kualitas dari surat kabar itu sendiri.
Oleh sebab itu, bagi para jurnalis atau wartawan perlu mempertahankan
prinsip-prinsip penyusunan kalimat jurnalistik sesuai kaidah yang baku dalam menulis berita
agar tulisannya berkualitas dan dapat dipercaya.
Bertolak dari latar balakang di atas, peneliti melakukan penelitian tentang
kesalahan kalimat dalam berita utama surat kabar harian Kedaulatan Rakyat,
khususnya selama edisi Desember 2007. Edisi itu dipilih dengan alasan Desember
adalah bulan akhir tahun 2007 yang mempunyai keberagaman isi berita, yaitu bulan
menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru 2008.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah itu, peneliti membuat rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Apa jenis kesalahan kalimat yang paling banyak terdapat dalam berita
utama surat kabar harian Kedaulatan Rakyat edisi Desember 2007?
2. Seberapa tinggi kesalahan kalimat dalam berita utama surat kabar harian
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian yang ingin dicapai
adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan jenis kesalahan kalimat yang paling banyak terdapat
dalam berita utama surat kabar harian Kedaulatan Rakyat edisi Desember
2007.
2. Mendeskripsikan seberapa tinggi kesalahan kalimat dalam berita utama
surat kabar harian Kedaulatan Rakyat edisi Desember 2007.
1.4Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama:
1. Bagi Para Jurnalis dan Editor Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para
jurnalis dan editor mengenai jenis-jenis kesalahan kalimat yang terdapat
dalam berita utama sehingga dapat diupayakan untuk tidak melakukan
kesalahan yang sama ketika menulis berita.
2. Bagi Pembaca
Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang prinsip penyusunan
kalimat jurnalistik untuk keperluan menulis berita, bahwa keterampilan
menulis saja tidak cukup tetapi juga harus mampu menerapkan pola
3. Bagi Guru Bahasa Indonesia
Penelitian ini dapat memberikan pandangan bagi guru dan mahasiswa
PBSID sebagai calon guru untuk bahan pembelajaran dalam hal
penyusunan kalimat, khususnya kalimat jurnalistik yang ditujukan kepada
siswa-siswi. Penelitian ini juga dapat dipakai sebagai acuan dalam
pembuatan majalah sekolah.
4. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini dapat memberikan masukan atau acuan bagi peneliti
selanjutnya berupa bahan referensi penelitian yang relevan.
1.5Rumusan Variabel dan Batasan Istilah
Variabel yang diteliti adalah kesalahan kalimat dalam berita utama surat kabar
harian Kedaulatan Rakyat. Istilah-istilah yang perlu dibatasi pengertiannya dalam
penelitian ini adalah kesalahan, kalimat, kesalahan kalimat, kalimat jurnalistik, berita,
dan berita utama.
1. Kesalahan
Kesalahan adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan tidak betul, tidak
menurut norma, tidak menurut aturan yang ditentukan (Hastuti, 1989: 75).
2. Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan,
yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Kalimat juga merupakan satuan
dasar wacana (Moeliono dkk, 2003: 311).
3. Kesalahan Kalimat
Kesalahan kalimat adalah penggunaan kalimat (tertulis) yang tidak benar
karena penyusunannya tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa. Menurut
Arifin (1987: 4), penerapan kaidah tata bahasa yang benar dapat dilihat
dari pembentukan kata dan pembentukan kalimatnya.
4. Kalimat Jurnalistik
Jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan,
mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala
kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya (Sumadiria,
2005: 3). Adapun pengertian kalimat jurnalistik adalah kesatuan paling
kecil yang mempunyai makna atau pesan dalam penyampaian berita
(Dewabrata, 2006: 22).
5. Berita
Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar,
menarik, dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media
berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media on line internet
6. Berita Utama
Berita utama adalah informasi atau berita yang dianggap terpenting dari
seluruh informasi yang disajikan oleh sebuah koran. Berita utama juga
dianggap sebagai berita yang paling aktual pada hari terbit (Mallarangeng,
1992: 14). Berita utama ditempatkan pada halaman paling depan surat
kabar dengan ukuran tulisan judul berita yang paling besar.
1.6Sistematika Penyajian
Laporan penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I Pendahuluan, berisi tentang
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
rumusan variabel dan batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II Landasan
Teori, menguraikan tentang penelitian terdahulu yang relevan dan kajian teori. Bab
III Metodologi Penelitian, berisi tentang jenis penelitian, sumber data dan data
penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, menguraikan tentang deskripsi data,
analisis data, hasil analisis, dan pembahasan hasil penelitian. Bab V Penutup,
menguraikan tentang kesimpulan, implikasi, dan saran dari penelitian. Uraian
8 BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan
Ada satu penelitian terdahulu yang dapat menunjukkan bahwa penelitian yang
dilakukan peneliti masih relevan untuk dilaksanakan. Penelitian itu dilakukan oleh
Maria Rini Wahyuni (2000) dengan judul Penyimpangan Pengembangan Paragraf
dalam Tajuk Rencana Surat Kabar Kompas Tahun 1997. Dari penelitian itu
ditemukan dua jenis penyimpangan pengembangan paragraf dalam tajuk rencana
Kompas. Pertama, gagasan pokok pada satu paragraf dilanjutkan pada paragraf
berikutnya. Kedua, adanya penggunaan kata penghubung yang tidak tepat dalam
pengembangan paragraf. Dari hasil penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa
pengembangan paragraf dalam tajuk rencana Kompas 1997 belum sesuai dengan
syarat pengembangan paragraf.
Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang terdahulu, yaitu
dalam hal objek kajiannya. Penelitian ini mengkaji kesalahan penyusunan kalimat
dalam berita utama surat kabar harian Kedaulatan Rakyat edisi Desember 2007.
2.2 Kajian Teori
Bagian ini akan membahas kalimat, kesalahan kalimat, kalimat ragam bahasa
jurnalistik, prinsip penyusunan kalimat jurnalistik, jenis kesalahan kalimat, dan berita
2.2.1Kalimat
Pengertian kalimat didefinisikan oleh beberapa ahli. Menurut Keraf (1991:
185), kalimat adalah bagian ujaran yang didahului dan diikuti oleh kesenyapan,
sedangkan intonasinya menunjukkan bahwa bagian ujaran itu sudah lengkap.
Kridalaksana (1993: 92) mengemukakan bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang
secara relatif dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual
maupun potensial terdiri dari klausa. Ramlan (2001: 23) berpendapat bahwa kalimat
ialah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir
turun atau naik. Dalam KBBI (2003: 494), kalimat adalah n 1 kesatuan ujar yang
mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan; 2 perkataan; 3 Ling satuan
bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara
aktual atau pun potensial terdiri atas klausa.
Adapun menurut Moeliono, dkk. (2003: 311), kalimat adalah satuan bahasa
terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh.
Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, ada
jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah
terjadinya perpaduan ataupun asimilasi bunyi ataupun proses fonologis lainnya.
Dalam wujud tulisan berhuruf Latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan
diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru. Dalam kalimat disertakan
juga tanda baca seperti koma, titik dua, tanda pisah, dan spasi.
Menurut Moeliono, dkk. (2003), kalimat juga merupakan satuan dasar
letaknya berurutan dan berdasarkan kaidah kewacanaan. Dengan demikian, setiap
tuturan berupa kata atau untaian kata yang memiliki ciri-ciri tersebut pada suatu
wacana atau teks, berstatus kalimat.
2.2.2Kesalahan Kalimat
Sebutan untuk „kesalahan‟ lebih diartikan sebagai „gelincir‟, yaitu suatu
tindakan yang kurang disertai sikap berhati-hati. Hal ini biasanya disebabkan oleh
sifat terburu-buru ingin sampai pada tujuan. Kesalahan adalah suatu tindakan yang
dilakukan dengan tidak betul, tidak menurut norma, dan tidak menurut aturan yang
ditentukan. Jika kesalahan ini dihubungkan dengan penggunaan kata atau kalimat, ia
tidak tahu kata atau kalimat yang tepat dan yang seharusnya dipakai (Hastuti, 1989:
74). Selain itu, Hastuti juga membandingkan pengertian kesalahan dengan
penyimpangan, pelanggaran, dan kekhilafan atau kekeliruan.
Penyimpangan dapat diartikan menyimpang dari norma yang telah ditetapkan.
Seseorang menyimpang karena tidak mau, enggan, malas mengikuti norma yang ada.
Ia tahu benar bahwa ada norma, tetapi dengan acuh tak acuh mencari norma lain yang
dianggap lebih sesuai dengan konsepnya. Kemungkinan lain disebabkan oleh
keinginan yang kuat yang tidak dapat dihindari karena suatu hal.
Pelanggaran memberi kesan negatif karena pemakai bahasa dengan penuh
kesadaran tidak mau menurut norma yang telah ditentukan, sekalipun seseorang itu
yakin bahwa yang dilakukannya akan berakibat tidak baik. Sikap ini dapat disebut
Kekhilafan adalah proses psikologis. Dalam hal ini, seseorang khilaf
menerapkan teori atau norma bahasa yang ada pada dirinya. Khilaf mengakibatkan
sikap keliru pakai, semata-mata tidak salah, tetapi juga tidak tepat. Kekhilafan bisa
diartikan kekeliruan karena salah ucap atau salah susun karena kurang cermat.
Menurut Tarigan dan Djago Tarigan (1988: 175 – 176), kesalahan adalah
penyimpangan dalam pemakaian bahasa yang disebabkan oleh faktor kompetensi,
terjadi secara sistematis dan berlangsung lama. Berkaitan dengan penyimpangan
berbahasa, H.G. Brown (1987: 170 via Nurgiyantoro, 2001: 191 – 192)
membedakannya dengan dua istilah, yaitu kesalahan (errors) dan kekeliruan
(mistakes).
Kesalahan berbahasa berhubungan dengan kemampuan (competence),
sedangkan kekeliruan lebih berkaitan dengan masalah penampilan (performance).
Kekeliruan merupakan penyimpangan dalam memakai bahasa karena salah ucap atau
salah tulis yang disebabkan oleh faktor-faktor, seperti: kelelahan, emosi, dan kerja
acak-acakan. Kekeliruan bersifat insidental dan tidak sistematis.
Contoh kekeliruan:
Untuk perunggu, total koleksi 228 buah terdiri 85 arca perunggu dan 143 koleksi
barangt-barang lain terbuat dari perunggu (BU 13/k. 10).
Penulisan kata ulang barangt-barang pada kalimat di atas adalah keliru.
Huruf t seharusnya dihilangkan sehingga penulisannya menjadi barang-barang. Hal
Contoh kesalahan:
Namun, awal November lalu dipindah ke kediaman Hashim di Kemang untuk
dibersihkan (BU 4/k. 31).
Penyusunan kalimat di atas salah karena tidak terdapat unsur subjek. Kalimat
yang baku minimal harus mengandung unsur subjek dan predikat agar kalimat itu
tidak rancu. Susunan kalimat yang benar adalah sebagai berikut.
Namun, awal November lalu lima arca itu dipindah ke kediaman Hashim di Kemang
untuk dibersihkan.
Dalam penelitian ini, istilah kesalahan dan kekeliruan tidak dibedakan karena
penyimpangan berbahasa yang bersifat konsisten maupun tidak konsisten dalam suatu
tulisan formal dapat dianggap sebagai kesalahan dan bukan kekeliruan. Hal ini
diasumsikan bahwa para jurnalis sudah mengetahui tentang kalimat ragam bahasa
jurnalistik yang sesuai dengan kaidah tata bahasa.
Kesalahan kalimat berarti penggunaan kalimat (tertulis) yang tidak benar
karena penyusunannya tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa. Menurut Arifin (1987:
4), penerapan kaidah tata bahasa yang benar dapat dilihat dari pembentukan kata dan
pembentukan kalimatnya.
Kesalahan pembentukan kalimat dapat berupa kalimat yang tidak bersubjek,
kalimat yang tidak berpredikat, dan kalimat yang tidak bersubjek dan tidak
berpredikat atau disebut juga kalimat buntung. Kesalahan pembentukan kalimat yang
lain di antaranya adalah kalimat yang memiliki subjek ganda, penggunaan kata-kata
atau dialek, predikat-objek yang tersisipi, kalimat yang tidak logis, bentuk resiprokal
yang salah, pengaruh bahasa asing, dan penggunaan kata asing (Arifin, 1987).
Menurut Sugono (2009: 201), kesalahan dalam berbahasa itu mencakup tiga
masalah kalimat, yaitu (1) kesalahan kalimat sebagai akibat ketaksaan atau
kerancuan, (2) kesalahan kalimat sebagai akibat kesalahan diksi, dan (3) kesalahan
kalimat sebagai akibat kesalahan ejaan. Berikut ini tabel contoh kalimat yang
mengandung kesalahan.
Tabel 1
Contoh Kesalahan Kalimat dan Pembenarannya
No. Salah Benar
1. Untuk memberantas hama tikus
menggunakan alat penangkap atau
bubuk racun.
Untuk memberantas hama tikus
digunakan alat penangkap atau bubuk
racun.
2. Di antara masalah Nasional yang
penting itu mencantumkan masalah
susastra sebagai masalah utama.
Di antara masalah Nasional yang
penting itu tercantum masalah susastra
sebagai masalah utama
3. Beberapa pembesar-pembesar Uni
Soviet ingin berkunjung ke
Indonesia.
Pembesar-pembesar Uni Soviet
ingin berkunjung ke Indonesia.
Beberapa pembesar Uni Soviet
ingin berkunjung ke Indonesia.
2.2.3Kalimat Ragam Bahasa Jurnalistik
Ragam bahasa jurnalistik digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang
(berita), pendapat (opini), dan pemberitahuan, dengan menggunakan unsur bahasa
yang seefektif mungkin karena keterbatasan ruang dan waktu (Soewandi dalam
Markiswo dan Supratiknya, 1996: 345–346).
Ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri-ciri linguistis. Ciri-ciri linguistis itu
ada pada tataran penulisan dan pengucapan, tataran kosakata dan morfologi, tataran
sintaktis, dan tataran wacana (Soewandi dalam Markiswo dan Supratiknya, 1996:
348).
Pada tataran penulisan dan pengucapan, ragam bahasa jurnalistik sangat ketat
terhadap kaidah atau aturan yang berlaku, meskipun kesalahan masih sering terjadi.
Namun, kesalahan itu semata-mata karena kelemahan penulis atau pembawa berita
yang tidak disengaja. Jika terjadinya karena faktor kesengajaan mungkin memang ada
alasan-alasan tertentu yang mendasarinya.
Pada tataran kosakata dan morfologi, kosakata dibedakan menjadi dua, yaitu
kosakata penuh dan kosakata fungsional. Kata penuh terdiri atas nomina, pronomina,
ajektiva, verba, adverbia, numeralia, artikel, dan interjeksi, sedangkan kata fungsi
atau fungsional terdiri atas preposisi dan konjungsi. Morfologi adalah ilmu bentukan
kata yang mencakup bentukan kata dengan imbuhan, pengulangan, dan
penggabungan.
Pada tataran sintaktis, ada ciri sintaktis ragam bahasa jurnalistik. Ciri itu
terutama berkaitan dengan kelengkapan fungsi (jabatan kalimat), pengurutan (tempat)
Pada tataran wacana, sebuah wacana terdiri dari beberapa kalimat yang
sambung-menyambung secara linguistis (kohesif) dan secara semantis (koheren).
Pada umumnya, wacana jurnalistik menghemat unsur-unsur linguistis (kata, tanda
baca, fungsi kata atau frasa, kalimat, terlebih wacana berita, tajuk rencana, dan artikel
atau opini). Wacana berita memiliki ciri khas yang berbeda. Bentuk wacana berita
berupa kerucut terbalik; yang paling penting (inti pokok) ada di bagian atas (teras
berita) dan yang paling tidak penting ada di bagian bawah.
Mengacu pada kalimat ragam bahasa jurnalistik, Margantoro (2001: 78)
menyatakan bahwa pada hakikatnya bahasa Indonesia jurnalistik sama dengan bahasa
Indonesia pada umumnya. Perbedaannya, pengembangan bahasa pers lebih mengarah
pada publisistik yang mudah dimengerti untuk umum. Menurutnya, menyusun
kalimat jurnalistik tidak cukup hanya berdasarkan bahasa yang baik dan benar.
Penguasaan tata bahasa dan alat-alat perangkat bahasa hanyalah dasar bagi calon
penulis untuk mengembangkan kemampuannya menyusun kalimat jurnalistik.
Istilah kalimat jurnalistik menurut Rahardi (2006: 15) mengarah pada bahasa
ragam jurnalistik atau bahasa pers, yaitu bahasa yang dipakai untuk menyampaikan
fakta, laporan, berita, tulisan yang baru saja terjadi. Menurut Setiati (2005: 87),
bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh wartawan dalam menulis berita
dan memiliki sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar, dan
jelas.
Adapun menurut Dewabrata (2006: 22), kalimat jurnalistik adalah kesatuan
Pengertian ini dapat diartikan juga sebagai kalimat yang cocok untuk menyusun
berita yang sebaiknya ditulis pendek, padat, dan populer, serta mudah dipahami
dalam waktu singkat. Kalimat jurnalistik juga harus mengandung unsur berita siapa,
apa, mengapa, di mana, kapan, dan bagaimana yang disusun teratur agar menjadi
sebuah berita yang menarik dan jernih.
Sebuah kalimat biasa pada umumnya menekankan unsur subjek, predikat,
objek, dan keterangan (SPOK). Namun, menurut Dewabrata (2006), kalimat
jurnalistik lebih fleksibel, tidak terlalu mengikuti aturan SPOK ataupun unsur DM
(diterangkan menerangkan). Dalam kalimat jurnalistik, kata keterangan (tempat
maupun waktu) tidak harus diletakkan paling belakang dari sebuah kalimat sesuai
patokan dalam aturan tata bahasa. Kata keterangan waktu dapat saja diletakkan di
tengah, di tempat yang paling dekat dengan kata yang dijelaskan „kapan terjadinya‟.
Demikian juga dengan kata keterangan tempat, dapat diletakkan di mana saja
tergantung pokok kata yang harus dijelaskan „di mana terjadinya‟.
Perbedaannya dapat dijelaskan seperti dalam contoh berikut ini.
(1) “Saya tidur di hotel tadi malam,” (sesuai dengan rumusan SPOK).
Pernyataan itu dapat diganti menjadi: (1a) “Tadi malam saya tidur di hotel”. Tetapi,
akan lebih bagus jika kata keterangannya dekat dengan predikat: (1b) “Saya tadi
malam tidur di hotel”. Alasannya, kata tadi malam itu menjelaskan kata tidur,
sedangkan kata di hotel letaknya sudah tepat karena menjelaskan kata tidur juga.
Kalimat yang tersusun sesuai dengan rumus SPO jarang menimbulkan rancu.
terkadang justru menimbulkan kerancuan. Misalnya, berita yang ada dalam kalimat
berikut ini.
(2) “Drs. Columbiformes, manajer perusahaan penangkaran burung PT Geopelia
Striata, mengkonfirmasi bahwa sebagian perkutut bakalan (piyik) yang dipesan oleh kelompok pecinta perkutut Filipina sudah dikirimkan menggunakan jasa EMKL Baito Express International akhir bulan yang lalu, di kantornya di
bilangan Klewer, Solo, kemarin.”
Dilihat dari susunan tata bahasanya, kalimat di atas sudah sah karena tersusun
dari pokok atau subjek (Drs. Columbiformes, manajer perusahaan penangkaran
burung PT Geopelia Striata), diikuti predikat (mengkonfirmasi). Selanjutnya adalah
objek yang dikonfirmasi (sebagian perkutut bakalan (piyik) yang dipesan oleh
kelompok pecinta perkutut Filipina sudah dikirimkan menggunakan jasa EMKL Baito
Express International akhir bulan yang lalu), kemudian kata keterangan tempat (di
kantornya di bilangan Klewer, Solo), dan diakhiri keterangan waktu (kemarin).
Susunan kalimat itu sama dengan kalimat sederhana ini: “Saya makan nasi
goreng telor di restoran Mangano kemarin”. Kata saya sebagai pokok atau subjek,
makan sebagai predikat, nasi goreng telor sebagai objek, di restoran Mangano
sebagai keterangan tempat, dan kemarin sebagai keterangan waktu. Tetapi, dalam hal
penjelasan kalimat penangkar burung itu, predikat “mengkonfirmasi” mempunyai
objek (dan keterangan objek) yang cukup panjang (tidak sependek nasi goreng telor)
sehingga keterangan tempat dan keterangan waktu untuk kalimat induknya terpaksa
berada jauh di belakang. Letak keterangan tempat dan keterangan waktu yang terlalu
jauh dari subjek dan predikatnya akan menimbulkan kerancuan, seakan-akan
frasa “di kantornya di bilangan Klewer, Solo, kemarin” adalah keterangan tempat dan
keterangan waktu untuk menerangkan di mana dan kapan Drs. Columbiformes
menyampaikan informasi kepada wartawan.
Agar kalimat berita mengenai penangkar burung tersebut dapat lebih mudah
dipahami, susunannya dapat diubah sebagai berikut.
(2a) “Kemarin di kantornya Bilangan Klewer, Solo, Drs. Columbiformes, manajer perusahaan penangkaran burung PT Geopelia Striata, mengkonfirmasi bahwa sebagian perkutut bakalan (piyik) yang dipesan oleh kelompok pecinta perkutut Filipina sudah dikirimkan menggunakan jasa EMKL Baito Express
International akhir bulan yang lalu.”
Keterangan tempat dan keterangan waktu dapat juga diletakkan di tengah kalimat
sehingga susunannya akan menjadi seperti berikut ini.
(2b) “Drs. Columbiformes, manajer perusahaan penangkaran burung PT Geopelia Striata, kemarin di kantornya Bilangan Klewer, Solo, mengkonfirmasi bahwa sebagian perkutut bakalan (piyik) yang dipesan oleh kelompok pecinta perkutut Filipina sudah dikirimkan menggunakan jasa EMKL Baito Express
International akhir bulan yang lalu.”
Dalam sebuah kalimat juga dikenal hukum DM (diterangkan dan
menerangkan) yang letaknya harus diatur dengan cermat. Namun, dalam kalimat
jurnalistik, rumusannya tidak harus DM tetapi yang lebih penting bagaimana
sebaiknya meletakkan kata, frasa, dan klausa agar efektif memperjelas pesan yang
disampaikan.
Penjelasannya dapat dicermati dalam contoh berikut ini (Kompas, 11 April
2004 halaman 21, berjudul “Lidya Kandou dari Komedi ke Komedi”). Alinea pertama
(3) “Dua puluh lima tahun, pasti bukan waktu yang sedikit untuk urusan karier itu juga yang terjadi pada Lidya. Usianya belum genap 17 kala pertama bermain
dalam Wanita Segala Zaman tahun 1979. Dalam film arahan sutradara Has
Manan itu, Lidya berperan sebagai adik Roy Marten yang manja”.
Frasa yang manja dalam kalimat itu tidak jelas. Pembaca mungkin tidak
paham siapa yang manja, apakah Lidya atau Roy Marten karena frasa yang manja
berada di belakang Roy Marten. Sampai kalimat terakhir dalam berita itu tidak
dijelaskan lebih jauh, bahkan tidak ada keterangan yang implisit untuk itu.
Seandainya kalimat terakhir itu dipecah dan ditulis seperti berikut ini, tidak ada
kerancuan tentang siapa yang manja.
(3a) “Dua puluh lima tahun, pasti bukan waktu yang sedikit untuk urusan karier itu juga yang terjadi pada Lidya. Usianya belum genap 17 kala pertama bermain
dalam Wanita Segala Zaman tahun 1979. Dalam film arahan Has Manan itu,
Lidya memerankan adik yang manja, sedangkan tokoh kakak diperankan oleh
Roy Marten”.
Jadi, jelas bahwa dalam pernyataan itu yang manja adalah tokoh adik yang
diperankan oleh Lidya Kandou.
Dengan susunan kalimat ragam bahasa jurnalistik yang sesuai dengan kaidah
tata bahasa Indonesia baku, penulis (jurnalis) dapat menuntun pembaca (pendengar)
memahami berita secara tepat dan akurat, sebagaimana pesan yang dikehendakinya.
Kecermatan dan keterampilan dalam menyusun kalimat untuk penulisan berita itu
harus diperhatikan dengan baik sehingga tidak menimbulkan kesalahan.
2.2.4Prinsip Penyusunan Kalimat Jurnalistik
Menurut Rahardi (2006: 27–52), sedikitnya terdapat sepuluh (10) prinsip
kalimat-kalimat jurnalistik di media massa. Prinsip-prinsip penyusunan kalimat
jurnalistik itu adalah:
1. berciri padat, singkat, tajam, dan lugas,
2. berciri sederhana dan tidak berbelit,
3. membatasi kalimat luas,
4. menggunakan bentuk yang tidak verbalistis,
5. memiliki preferensi pada bentuk-bentuk pendek,
6. mengutamakan bentuk positif dan bentuk aktif,
7. berciri jelas, tegas, dan tidak kabur makna,
8. membedakan secara jelas bahasa tutur dan bahasa tulis,
9. memiliki preferensi pada bentuk yang sederhana, pendek, dengan tetap
berdasar pada kaidah-kaidah linguistik, dan
10.membatasi bentuk-bentuk kebahasaan yang terkena interferensi bahasa
asing.
Lebih lanjut, Rahardi (2006: 28–52) menguraikan penjelasan dari
prinsip-prinsip penyusunan kalimat jurnalistik itu sebagai berikut.
(1) Berciri padat, singkat, tajam, dan lugas
Penulis teks dan jurnalis-jurnalis pemula pada umumnya menuliskan gagasan
atau ide-idenya ke dalam kalimat dan alinea yang panjang. Hal-hal yang sebenarnya
tidak terlalu perlu dan masalah-masalah yang tidak terlalu penting diuraikan secara
panjang-lebar dan terinci. Dari sisi kebahasaan, hal itu justru berpotensi besar
Seorang jurnalis harus memilih kata-kata atau frasa yang lebih singkat atau
lebih pendek jika memang ada padanan atau sinonimnya dari kata-kata atau frasa
yang panjang. Misalnya, jika ada bentuk sekarang dan kini, preferensi seorang
jurnalis harus pada kata kini yang hanya berkarakter 4 huruf, bukan pada kata
sekarang yang berkarakter 8 huruf. Jika ada pilihan bentuk yang akan datang dan
mendatang seharusnya bentuk yang dipilih adalah mendatang.
Kata-kata seperti bahwa, oleh, untuk yang pemakainnya terkadang tidak
mengubah arti atau makna seharusnya dihindari. Selain itu, kata-kata yang sifatnya
rancu seperti bentuk disebabkan karena juga harus dihindari sebab kedua kata
tersebut memiliki makna yang sama sehingga tidak perlu digunakan secara
bersamaan. Demikian juga bentuk bertujuan untuk dan diperuntukkan bagi, jika
sudah ada kata tujuan jangan digunakan kata untuk dan jika sudah ada kata untuk
tentu kata bagi tidak perlu digunakan lagi.
Ide-ide yang cukup banyak ketika akan menulis sebaiknya dipisahkan dan
diwujudkan dalam kalimat-kalimat yang pendek, singkat, dan sederhana.
Kalimat-kalimat yang demikian itu tentu lebih membantu para pembaca untuk memahaminya,
terutama pembaca yang latar belakang pendidikannya tidak cukup memadai.
(2) Berciri sederhana dan tidak berbelit
Pembaca media massa cetak itu sangat beragam dan muncul dari berbagai
latar belakang yang berbeda, kemampuannya memahami sebuah tulisan juga sangat
dan bahasa yang bentuknya sederhana dan wujudnya tidak berbelit-belit sehingga
mudah diserap dan dipahami.
Kalimat jurnalistik yang sederhana itu tidak boleh terdiri dari klausa-klausa
dan frasa-frasa yang terlalu rumit. Kalimat jurnalistik juga tidak boleh disusun dari
kata-kata atau frasa-frasa serta ungkapan-ungkapan yang panjang-panjang karena
akan menyebabkan pembaca menjadi bingung. Namun, sebuah kalimat seberapa pun
pendek dan panjangnya di dalam ragam tulis harus memiliki subjek dan predikat.
Berkaitan dengan prinsip ekonomi kata dalam kalimat jurnalistik,
penyampaian ide atau gagasan harus seminimal mungkin tetapi juga harus lengkap.
Demikian juga dengan alinea atau paragraf, ide pokok atau gagasan utama cukup
diuraikan dengan memakai tiga atau empat kalimat dalam satu paragraf.
(3) Membatasi kalimat luas
Ide-ide atau gagasan-gagasan dari penulis atau jurnalis sedapat mungkin harus
disampaikan dengan bahasa yang mudah dan sederhana. Jika tidak mungkin
diungkapkan dengan kalimat sederhana (biasanya terdiri dari satu subjek dan satu
predikat), maka kalimat luas baru dapat digunakan.
(4) Menggunakan bentuk yang tidak verbalistis
Kecenderungan para pembicara ketika berada di depan publik dalam sebuah
acara adalah mereka akan berbicara dengan kata-kata yang muluk-muluk, dengan
bentuk-bentuk kebahasaan yang biasanya terlalu teknis dan verbalistis sehingga
makna atau maksud yang dikatakannya tidak selalu mudah ditangkap. Namun, ada
mereka akan mendapatkan penghargaan atau penghormatan yang lebih. Dalam dunia
tulis-menulis terutama di media cetak, penulis perlu menghindari bentuk-bentuk yang
berulang-ulang dan verbalistis itu.
(5) Memiliki preferensi pada bentuk-bentuk pendek
Bentuk-bentuk kebahasaan yang singkat, pendek, dan sederhana dapat juga
digunakan untuk menyatakan gagasan atau ide yang tidak selalu sederhana. Begitu
juga sebaliknya, bentuk-bentuk kebahasaan yang panjang tidak selalu juga dapat
dipakai untuk menyatakan maksud atau makna yang kompleks. Semakin bentuk
kebahasaan itu panjang, akan semakin rumit penyampaian maksud atau makna
kebahasaannya. Sebaliknya, semakin bentuk kebahasaan itu pendek, maka akan
semakin lugas dan tajam penyampaian makna atau maksudnya.
Dalam bahasa ragam jurnalistik harus diutamakan preferensi pada
bentuk-bentuk kebahasaan yang langsung, pendek, tajam, tidak rumit, dan tidak berbelit.
Jadi, dalam paragraf yang baru harus ada ide atau gagasan yang baru juga. Dalam
bahasa ragam jurnalistik, ide atau gagasan yang baru itu harus dinyatakan dengan
singkat dan padat sehingga tidak dibutuhkan kalimat-kalimat penyusun paragraf
dalam jumlah yang banyak.
(6) Mengutamakan bentuk positif dan bentuk aktif
Bahasa jurnalistik tidak melarang bentuk-bentuk kalimat negatif dan kalimat
pasif karena keduanya merupakan bentuk linguistik dan bentuk kebahasaan yang
benar. Oleh karena itu, bentuk-bentuk yang ada dalam linguistik sebaiknya digunakan
Jika dilihat dari sisi maknanya secara umum, bentuk-bentuk positif dan
bentuk-bentuk aktif dalam kalimat lebih memberikan implikasi makna yang tegas dan
lebih lugas. Misalnya, kata absen secara linguistis bermakna lebih tegas daripada kata
tidak hadir. Bentuk mangkir juga lebih tegas daripada tidak hadir secara
berturut-turut dalam waktu tertentu.
Bentuk-bentuk kalimat pasif sebenarnya tidak disarankan dan yang harus
digunakan dalam bahasa pers adalah kalimat-kalimat aktif. Hal ini berkaitan dengan
kelangsungan dan ketidaklangsungan penyampaian maksud atau makna yang
disampaikan. Secara linguistis, bentuk pasif bersifat tidak langsung tetapi ciri
kebahasaan itu tidak cocok digunakan dalam ragam jurnalistik. Bahasa ragam
jurnalistik juga harus menghindari eufemisme atau penghalusan dan pengaburan
makna.
Pemakaian bentuk yang seimbang dan proporsional dapat menghindari bahasa
yang monoton. Dalam satu kolom berita, sedapat mungkin harus digunakan
bentuk-bentuk kebahasaan yang sifatnya variatif. Tidak boleh ada bentuk-bentuk atau konstruksi
linguistik yang sangat dominan dan penat seperti sementara itu, sebagaimana
diketahui, sebagaimana diberitakan yang seringkali muncul secara berulang-ulang di
dalam sebuah berita.
(7) Berciri jelas, tegas, dan tidak kabur makna
Cara pembahasaan yang tidak jelas dan tidak tegas akan menimbulkan
makna-makna kabur. Makna kabur dapat terjadi diantaranya karena pilihan kata atau
bagian-bagian kalimatnya. Dalam bahasa ragam jurnalistik, para jurnalis harus
memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan, tata tulis, dan tata ejaan yang berlaku.
Berkaitan dengan hal itu, contoh pemakaian kata pada seperti dalam pada Senin,
pada Juni, pada 2005 ini cenderung dianggap sebagai ganti dari bentuk pada hari
Senin, pada bulan Juni, dan pada tahun 2005.
Bentuk tersebut merupakan bentuk yang keliru dan telah terindikasi
interferensi dari bahasa Inggris yang selalu mewajibkan adanya kata depan atau
preposisi di depan nomina. Cara penyampaian aspek kebahasaan di dalam bahasa
tertentu tidak serta-merta berlaku dan dapat diterapkan pada bahasa yang lain. Pada
dasarnya, bahasa Indonesia tidak berciri demikian itu. Jadi, pemakaian yang secara
linguistik dianggap lebih benar adalah bentuk hari Senin, bulan Juni, dan tahun 2005.
(8) Membedakan secara jelas bahasa tutur dan bahasa tulis
Bahasa dalam ragam jurnalistik untuk media massa cetak itu sangat berbeda
dengan media elektronik dan media visual-elektronik lainnya. Ragam bahasa
jurnalistik dalam media cetak harus selalu berciri tulis, sedangkan ragam bahasa
jurnalistik dalam media elektronik dan media visual-elektronik selalu bersifat tutur.
Menurut Romli (2004) via Rahardi (2006: 45), bahasa ragam tutur itu
memiliki ciri-ciri kalimatnya pendek-pendek, menggunakan kata-kata yang biasa
diucapkan, satu ide satu kalimat (menghindari kalimat majemuk atau kalimat luas)
dan satu kalimat sedapat mungkin disampaikan dalam satu nafas, tidak menggunakan
kalimat langsung (kalimat langsung harus dibuat menjadi kalimat tidak langsung).
bahasa tutur harus pendek, perlu diperhatikan juga di dalam bahasa jurnalistik tulis
untuk media massa cetak. Kalimat-kalimat yang pendek yang hanya berisi satu ide,
akan memudahkan pembaca memahaminya.
Berkaitan dengan ciri kedua, yakni bahwa bahasa tutur harus menggunakan
kata-kata yang biasa, tidak sepenuhnya harus diikuti dalam bahasa jurnalistik ragam
tulis untuk media cetak. Misalnya, dalam bahasa tutur, bentuk seperti jam 8 pagi itu
boleh dipakai tetapi dalam bahasa ragam tulis untuk media massa cetak bentuk itu
harus diubah menjadi pukul 08.00 pagi. Perlu ditegaskan juga waktu yang dinyatakan
tersebut termasuk dalam wilayah WIB, Wita, atau WIT.
Berkaitan dengan ciri ketiga, yakni bahwa satu kalimat dalam bahasa tutur
harus disampaikan dalam satu nafas, juga tidak perlu diikuti dalam media massa
cetak. Bahasa media cetak tidak bertautan dengan persoalan nafas dan cara
penyampaiannya cenderung sedikit lebih fleksibel.
Berkaitan dengan ciri yang terakhir atau keempat, yakni harus menggunakan
kalimat tidak langsung, dalam media massa cetak cenderung berciri lebih leluasa.
Dalam hal-hal tertentu untuk mendukung pernyataan seseorang yang informasinya
penting disampaikan secara akurat, kalimat langsung dapat saja digunakan. Bila tidak
perlu dengan kalimat langsung, kalimat yang tidak langsung pun dapat dipakai untuk
menyampaikan gagasan itu.
Jadi, jelas bahwa bahasa lisan atau bahasa tutur memiliki perbedaan dengan
bahasa tulis. Oleh karena itu, para wartawan atau jurnalis media massa cetak perlu
(9) Memiliki preferensi pada bentuk yang sederhana, pendek, dengan tetap
berdasar pada kaidah-kaidah linguistik
Bahasa dalam ragam jurnalistik lebih memihak pada bentuk-bentuk yang
sederhana, pendek, dan tidak berbelit. Terlebih, jika bentuk yang sederhana dan
pendek itu jauh lebih informatif dan komunikatif. Namun, tidak semua bentuk pendek
itu dibenarkan, misalnya bentuk berkenaan dengan, berkaitan dengan, terkait
dengan, sehubungan dengan, sesuai dengan. Kata dengan pada bentuk-bentuk itu
sama sekali tidak boleh dihilangkan dalam bahasa jurnalistik, walaupun dilakukan
dengan alasan ekonomi kata atau ekonomi bahasa.
Jadi, sekalipun bentuk-bentuk tersebut relatif panjang dan memiliki banyak
karakter huruf, bentuk-bentuk itu tetap harus dipertahankan karena tidak semua
aspek-aspek kebahasaan dapat di atur semaunya saja. Bahasa media massa cetak tidak
serta-merta bebas dan lepas dari kaidah-kaidah kebahasaan atau aturan linguistik
yang ada, perlu disadari bahwa bahasa media massa itu juga dimaksudkan untuk
mendidik masyarakat umum di dalam praktik berbahasa.
(10) Membatasi bentuk-bentuk kebahasaan yang terkena interferensi bahasa
asing
Interferensi pemakaian bahasa dalam studi sosiolinguistik merupakan aspek
kebahasaan yang tidak dapat dihilangkan. Demikian juga interferensi dalam
pemakaian bahasa ragam jurnalistik, hal ini akan sulit untuk dihindarkan. Tugas
sebagai seorang jurnalis adalah membatasi diri terhadap kemungkinan interferensi
Jika bahasa ragam jurnalistik telah terdominasi oleh tumpukan-tumpukan
interferensi dari bahasa yang lebih kuat terutama bahasa Inggris, maka orang akan
mempertanyakan nasionalisme kebahasaan kita dalam praktik berbahasa jurnalistik.
Apalagi, media cetak yang menjadi wadah untuk menulis dan menuangkan gagasan
atau pikiran itu berformat bahasa Indonesia.
Contoh yang menegaskan bahwa bahasa jurnalistik Indonesia telah banyak
terkena interferensi bahasa Inggris ialah konstruksi pada Senin, pada Januari, pada
2005. Dalam bahasa Inggris, kehadiran sebuah preposisi atau kata depan seperti in,
on, at di depan nomina atau kata benda merupakan sebuah keharusan. Akan tetapi,
dalam bahasa Indonesia, bentuk kebahasaan itu tidak dibenarkan dan yang harus
digunakan adalah bentuk hari Senin, bulan Januari, dan tahun 2005.
Dalam tataran kalimat, konsrtuksi asing itu memberikan pengaruh yang besar
yaitu bentuk yang dipendekkan, misalnya pada kalimat: “ditanya masalah korupsi di
kantornya, pejabat itu mengelak memberikan penjelasan kepada para wartawan”.
Bentuk semacam itu jelas telah terinterferensi oleh bahasa Inggris. Untuk
memperbaikinya perlu ditambahkan konjungsi atau kata penghubung di depan
kalimat agar menjadi konstruksi bahasa Indonesia. Perbaikannya adalah: “ketika
ditanya masalah korupsi di kantornya, pejabat itu mengelak memberikan penjelasan
kepada para wartawan”.
2.2.5Jenis Kesalahan Kalimat
Berdasarkan prinsip penyusunan kalimat jurnalistik itu, kriteria yang akan
yaitu kehematan katanya, penggunaan pilihan katanya, dan kelengkapan unsur dalam
kalimatnya.
2.2.5.1Penghematan Kata
Salah satu unsur penting yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kalimat
efektif adalah kehematan (Akhadiah, 1988: 125). Kehematan itu meliputi kehematan
dalam pemakaian kata, frase, atau bentuk lainnya yang dianggap tidak diperlukan.
Kehematan itu menyangkut soal gramatikal dan makna kata. Namun, kehematan
tidak berarti bahwa kata yang diperlukan atau menambah kejelasan makna boleh
dihilangkan.
Menurut Dewabrata (2006: 187), kalimat yang terlalu panjang, bertele-tele,
dan penuh kata basa-basi tidak cocok untuk penulisan berita. Space (ruang) yang
tersedia bagi media massa itu harus diisi beraneka ragam berita, maka sangat penting
menulis singkat, padat, dan jelas. Kata-kata mubazir yang terdapat dalam kalimat
harus dibuang. Menurut Ramlan, dkk. (1992: 65), istilah mubazir adalah terlampau
banyak atau terlalu berlebihan sehingga menjadi sia-sia atau tidak berguna.
2.2.5.2Pilihan Kata
Cara penulisan yang tidak jelas dan tidak tegas akan menimbulkan
makna-makna kabur. Menurut Rahardi (2006), makna-makna kabur dapat terjadi di antaranya karena
pilihan kata atau diksinya, penggunaan kata-kata yang berlebihan, serta salah dalam
menempatkan bagian-bagian kalimatnya. Dalam bahasa ragam jurnalistik, para
jurnalis harus memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan, tata tulis, dan tata ejaan
Selain itu, Dewabrata (2006, 23) menjelaskan bahwa penggunaan kata (diksi)
ketika menyusun kalimat sangat mempengaruhi kejelasan pesan yang disampaikan.
Pemilihan kata (diksi) perlu mempertimbangkan nalar. Penggunaan kata yang sama
berturut-turut dan berdekatan dalam kalimat jurnalistik juga dianggap kurang bagus
karena cenderung menjemukan.
Menurut Akhadiah (1988: 88), pemilihan kata dalam kalimat itu penting dan
kata-kata itu harus digunakan secara tepat dan sesuai. Dalam memilih kata ada dua
persyaratan pokok yang harus diperhatikan, yaitu ketepatan dan kesesuaian.
2.2.5.2.1 Ketepatan dalam Pemilihan Kata
Suatu tulisan merupakan media komunikasi antara penulis dan pembaca.
Komunikasi tersebut akan berlangsung dengan baik selama pembaca dapat
memahami dan mengartikan kata atau rangkaian kata sesuai dengan maksud penulis.
Namun, jika pembaca mempunyai pandangan yang berbeda dengan tafsiran penulis
mengenai suatu kata atau rangkaian kata yang dipakai, komunikasi itu akan terputus.
Persyaratan ketepatan menyangkut makna, aspek logika kata, dan
kata-kata yang dipilih harus secara tepat mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan.
Berikut ini yang termasuk ketepatan dalam pemilihan kata.
(1) Kata sebagai Lambang
Kata merupakan lambang objek, pengertian, atau konsep. Referensi setiap
individu mungkin berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam menulis harus digunakan kata-kata
Dalam hal ini berlaku kaidah makna yang mengacu pada ketepatan pemakaian kata
sebagai lambang objek atau konsep.
(2) Sinonim, Homofon, dan Homograf
Hubungan antara kata dengan maknanya sering menjadi rumit. Ada beberapa
kata yang mempunyai makna yang sama atau mirip, seperti kata-kata muka, paras,
wajah, tampang; rancangan, rencana, desain; musykil, sulit, rumit, sukar. Namun,
kata-kata yang bersinonim itu sering kali tidak dapat saling menggantikan. Kata
indah bersinonim dengan cantik, bagus, dan elok. Tetapi, hal itu tidak dapat
digunakan untuk menggantikan gadis cantik dengan gadis indah. Di samping itu, ada
juga kelompok kata yang sama bunyi atau tulisannya (homofon = sama bunyi;
homograf = sama tulisan) tetapi mengandung arti yang sangat berbeda.
(3) Denotasi dan Konotasi
Suatu kata sering kali tidak hanya mendukung satu konsep atau objek
(referen) saja, melainkan juga menimbulkan asosiasi dengan sesuatu. Misalnya kata
pelayan toko dan pramuniaga, keduanya menunjuk kepada seseorang yang bekerja
untuk suatu toko. Tetapi di dalam pemakaiannya, kata pramuniaga mengandung nilai
yang lebih terhormat daripada kata pelayan toko. Begitu juga kata wafat dan mati,
keduanya mengandung makna hilangnya kehidupan dari suatu organisme, tetapi hal
itu tidak dapat dipertukarkan, misalnya antara kata gajah mati menjadi gajah wafat.
Konsep dasar yang didukung oleh suatu kata disebut denotasi, sedangkan nilai
rasa atau gambaran tambahan yang ada di samping denotasi disebut konotasi atau
sedangkan kata dengan makna konotatif digunakan dalam bahasa sastra atau bahasa
iklan.
(4) Kata Abstrak dan Kata Konkret
Kata abstrak adalah kata yang mempunyai referen berupa konsep, sedangkan
kata konkret adalah kata yang mempunyai referen berupa objek yang dapat diamati.
Kata abstrak lebih sulit dipahami daripada kata konkret. Jika yang akan
dideskripsikan ialah suatu fakta, tentu harus lebih banyak digunakan kata-kata
konkret.
(5) Kata Umum dan Khusus
Kata umum dibedakan dari kata khusus berdasarkan ruang lingkupnya. Makin
luas ruang lingkup suatu kata, makin umum sifatnya. Sebaliknya, makin sempit ruang
lingkupnya, makin khusus sifatnya.
Kata-kata abstrak biasanya merupakan kata umum, tetapi kata umum tidak
selalu abstrak. Kata konkret lebih khusus daripada kata abstrak.
Makin umum suatu kata makin banyak kemungkinan salah paham atau
perbedaan tafsiran. Sebaliknya, makin khusus, makin sempit ruang lingkupnya,
makin sedikit kemungkinan terjadi salah paham. Dengan kata lain, makin khusus kata
yang dipakai, makin dekat penulis kepada ketepatan pilihan katanya.
(6) Kata Populer dan Kata Kajian
Kata-kata populer seperti kata besar, pindah, kecil, batu, waktu, isi, harga,
lebih dikenal oleh masyarakat luas. Kata-kata seperti itu digunakan pada berbagai
berbeda dengan kata andal, acak, transfer, minor, batuan, momentum, faktor, volume,
sangkil, canggih yang merupakan kata kajian atau kata ilmiah.
Kata kajian hanya dikenal dan digunakan secara terbatas dalam
kesempatan-kesempatan tertentu. Kata-kata seperti itu biasanya hanya digunakan oleh para
ilmuwan atau kelompok profesi tertentu dalam makalah atau perbincangan khusus.
Banyak di antara kata kajian ini merupakan kata serapan atau kata asing (Latin,
Yunani, Inggris).
(7) Jargon, Kata Percakapan, dan Slang
Dalam tulisan yang formal dan ditujukan kepada khalayak yang lebih luas
sebaiknya dihindari kata-kata yang termasuk jargon. Istilah “jargon” mempunyai
beberapa pengertian, di antaranya kata-kata teknis yang digunakan secara terbatas
dalam bidang ilmu, profesi, atau kelompok tertentu. Kata-kata seperti ini sering kali
merupakan kata sandi/kode rahasia untuk kalangan tertentu (dokter, militer,
perkumpulan rahasia).
Dalam percakapan informal, kaum terpelajar biasa menggunakan kata-kata
percakapan. Kelompok kata-kata percakapan mencakup kata-kata populer, kata-kata
kajian, dan slang yang hanya dipakai oleh kaum terpelajar.
Pada waktu tertentu banyak terdengar “slang” yaitu kata-kata tidak baku yang
dibentuk secara khas sebagai cetusan keinginan akan sesuatu yang baru, misalnya
kata asoy, selangit, mana tahan, dan sebagainya. Kata-kata seperti itu bersifat
sementara, jika sudah terasa usang, kata-kata ini menjadi kata-kata biasa yang dapat
(8) Perubahan Makna
Dalam memilih kata-kata, penulis harus waspada karena makna kata itu kerap
kali berubah atau bergeser. Perubahan ini dapat meluas atau menyempit,
kadang-kadang berubah sama sekali.
(9) Kata Asing dan Kata Serapan
Dalam proses perkembangan bahasa selalu terjadi peminjaman dan
penyerapan unsur-unsur bahasa asing. Hal ini terjadi karena adanya hubungan
antarbangsa dan kemajuan teknologi.
Kata asing yang dimaksud ialah unsur-unsur yang berasal dari bahasa asing
yang masih dipertahankan bentuk aslinya karena belum menyatu dengan bahasa
Indonesia. Kata-kata atau unsur-unsur serapan ialah unsur-unsur bahasa asing yang
telah disesuaikan dengan wujud/struktur bahasa Indonesia. Banyak di antara kata-kata
serapan ini yang sudah tidak terasa lagi keasingannya dan bahkan sudah menjadi
perbendaharaan kata populer.
(10) Kata-kata Baru
Bahasa berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu dan bidang kehidupan
lainnya. Kata-kata baru yang dikemukakan berbagai pihak, sebagian di antaranya
telah diterima oleh masyarakat, misalnya canggih, acak, kendala, pemerian, telaah,
laik.
Kata-kata seperti itu dapat digunakan dalam tulisan, tetapi penulis juga harus
tahu dengan tepat makna dan pemakaiannya. Jika kata-kata seperti itu sudah
itu belum dibakukan atau belum dikenal secara luas, maka penulis perlu memberikan
tanda dan padanannya dalam bahasa asing atau dalam bahasa Indonesia.
(11) Makna Kata dalam Kalimat
Setiap kata mempunyai konteks, artinya kata-kata itu digunakan dalam
hubungan yang lebih luas, misalnya dalam kalimat, paragraf, atau karangan. Makna
kata pada dasarnya bergantung pada konteks yang mencakup baik situasi fisik
maupun verbal pada waktu dan tempat suatu kata digunakan.
Konteks fisik suatu kata adalah latar „setting‟ geografis dan sejarah pada
waktu suatu kata dituliskan atau diucapkan (dalam proses encoding) dan dibaca atau
didengar (dalam proses decoding). Makna kata baru jelas bila digunakan dalam
kalimat, dalam konteks verbalnya. Konteks verbal ialah hubungan suatu kata dengan
kata-kata yang mendahului dan mengikutinya.
Di dalam menulis, memilih kata-kata yang bersinonim itu harus berhati-hati,
sebab terkadang kata-kata itu mempunyai perbedaan arti yang basar jika digunakan
dalam konteks tertentu. Kata-kata itu harus digunakan sesuai dengan kelompoknya
dalam kalimat. Hal ini berhubungan dengan kelaziman yang berlaku dalam
pemakaian suatu bahasa.
(12) Kelangsungan Kata
Dalam menulis harus diusahakan menggunakan kata-kata yang langsung dan
sehemat mungkin. Kelangsungan kata akan mempermudah pemahaman pembacanya.
Misalnya, digunakan kata mujarab untuk pengertian yang cepat menyembuhkan
2.2.5.2.2 Kesesuaian dalam Pemilihan Kata
Persyaratan kesesuaian menyangkut kecocokan antara kata-kata yang dipakai
dengan kesempatan atau situasi dan keadaan pembaca (menyangkut aspek sosial
kata-kata). Kata-kata dalam tulisan yang ditujukan kepada masyarakat umum berbeda
dengan kata-kata dalam tulisan yang ditujukan kepada kelompok tertentu. Agar dapat
memenuhi persyaratan kesesuaian dalam memilih kata-kata, perlu diperhatikan
hal-hal berikut.
(1) Nilai-nilai Sosial
Dalam memilih kata-kata yang akan digunakan harus diperhatikan nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat pembaca. Hal ini berhubungan erat dengan nilai
sosial pembaca. Harus diperhatikan apakah di kalangan masyarakat sasaran tulisan itu
ada kata tabu atau kata-kata yang mempunyai konotasi lain yang mungkin akan
menyinggung rasa sopan santun atau kepercayaan mereka.
(2) Kata-kata Baku dan Nonbaku
Ragam bahasa baku (standar) ialah ragam bahasa yang digunakan kelas
terpelajar di dalam masyarakat. Ragam bahasa baku dapat dikenali dari kata-kata
maupun struktur kalimat yang digunakan. Kata-kata baku dan nonbaku dapat dikenal
dari kosakata, ejaan, dan bentuknya.
(3) Sasaran Tulisan
Setiap tulisan ada sasarannya, yaitu kelompok masyarakat kepada siapa