• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Penyusunan Kalimat Jurnalistik

BAB II LANDASAN TEORI

2.2 Kajian Teori

2.2.4 Prinsip Penyusunan Kalimat Jurnalistik

Menurut Rahardi (2006: 27–52), sedikitnya terdapat sepuluh (10) prinsip dasar bagi para jurnalis atau pers, juga bagi para calon jurnalis untuk menyusun

kalimat-kalimat jurnalistik di media massa. Prinsip-prinsip penyusunan kalimat

jurnalistik itu adalah:

1. berciri padat, singkat, tajam, dan lugas,

2. berciri sederhana dan tidak berbelit,

3. membatasi kalimat luas,

4. menggunakan bentuk yang tidak verbalistis,

5. memiliki preferensi pada bentuk-bentuk pendek,

6. mengutamakan bentuk positif dan bentuk aktif,

7. berciri jelas, tegas, dan tidak kabur makna,

8. membedakan secara jelas bahasa tutur dan bahasa tulis,

9. memiliki preferensi pada bentuk yang sederhana, pendek, dengan tetap

berdasar pada kaidah-kaidah linguistik, dan

10.membatasi bentuk-bentuk kebahasaan yang terkena interferensi bahasa

asing.

Lebih lanjut, Rahardi (2006: 28–52) menguraikan penjelasan dari prinsip-prinsip penyusunan kalimat jurnalistik itu sebagai berikut.

(1) Berciri padat, singkat, tajam, dan lugas

Penulis teks dan jurnalis-jurnalis pemula pada umumnya menuliskan gagasan

atau ide-idenya ke dalam kalimat dan alinea yang panjang. Hal-hal yang sebenarnya

tidak terlalu perlu dan masalah-masalah yang tidak terlalu penting diuraikan secara

panjang-lebar dan terinci. Dari sisi kebahasaan, hal itu justru berpotensi besar

Seorang jurnalis harus memilih kata-kata atau frasa yang lebih singkat atau

lebih pendek jika memang ada padanan atau sinonimnya dari kata-kata atau frasa

yang panjang. Misalnya, jika ada bentuk sekarang dan kini, preferensi seorang

jurnalis harus pada kata kini yang hanya berkarakter 4 huruf, bukan pada kata

sekarang yang berkarakter 8 huruf. Jika ada pilihan bentuk yang akan datang dan

mendatang seharusnya bentuk yang dipilih adalah mendatang.

Kata-kata seperti bahwa, oleh, untuk yang pemakainnya terkadang tidak

mengubah arti atau makna seharusnya dihindari. Selain itu, kata-kata yang sifatnya

rancu seperti bentuk disebabkan karena juga harus dihindari sebab kedua kata

tersebut memiliki makna yang sama sehingga tidak perlu digunakan secara

bersamaan. Demikian juga bentuk bertujuan untuk dan diperuntukkan bagi, jika

sudah ada kata tujuan jangan digunakan kata untuk dan jika sudah ada kata untuk

tentu kata bagi tidak perlu digunakan lagi.

Ide-ide yang cukup banyak ketika akan menulis sebaiknya dipisahkan dan

diwujudkan dalam kalimat-kalimat yang pendek, singkat, dan sederhana.

Kalimat-kalimat yang demikian itu tentu lebih membantu para pembaca untuk memahaminya,

terutama pembaca yang latar belakang pendidikannya tidak cukup memadai.

(2) Berciri sederhana dan tidak berbelit

Pembaca media massa cetak itu sangat beragam dan muncul dari berbagai

latar belakang yang berbeda, kemampuannya memahami sebuah tulisan juga sangat

dan bahasa yang bentuknya sederhana dan wujudnya tidak berbelit-belit sehingga

mudah diserap dan dipahami.

Kalimat jurnalistik yang sederhana itu tidak boleh terdiri dari klausa-klausa

dan frasa-frasa yang terlalu rumit. Kalimat jurnalistik juga tidak boleh disusun dari

kata-kata atau frasa-frasa serta ungkapan-ungkapan yang panjang-panjang karena

akan menyebabkan pembaca menjadi bingung. Namun, sebuah kalimat seberapa pun

pendek dan panjangnya di dalam ragam tulis harus memiliki subjek dan predikat.

Berkaitan dengan prinsip ekonomi kata dalam kalimat jurnalistik,

penyampaian ide atau gagasan harus seminimal mungkin tetapi juga harus lengkap.

Demikian juga dengan alinea atau paragraf, ide pokok atau gagasan utama cukup

diuraikan dengan memakai tiga atau empat kalimat dalam satu paragraf.

(3) Membatasi kalimat luas

Ide-ide atau gagasan-gagasan dari penulis atau jurnalis sedapat mungkin harus

disampaikan dengan bahasa yang mudah dan sederhana. Jika tidak mungkin

diungkapkan dengan kalimat sederhana (biasanya terdiri dari satu subjek dan satu

predikat), maka kalimat luas baru dapat digunakan.

(4) Menggunakan bentuk yang tidak verbalistis

Kecenderungan para pembicara ketika berada di depan publik dalam sebuah

acara adalah mereka akan berbicara dengan kata-kata yang muluk-muluk, dengan

bentuk-bentuk kebahasaan yang biasanya terlalu teknis dan verbalistis sehingga

makna atau maksud yang dikatakannya tidak selalu mudah ditangkap. Namun, ada

mereka akan mendapatkan penghargaan atau penghormatan yang lebih. Dalam dunia

tulis-menulis terutama di media cetak, penulis perlu menghindari bentuk-bentuk yang

berulang-ulang dan verbalistis itu.

(5) Memiliki preferensi pada bentuk-bentuk pendek

Bentuk-bentuk kebahasaan yang singkat, pendek, dan sederhana dapat juga

digunakan untuk menyatakan gagasan atau ide yang tidak selalu sederhana. Begitu

juga sebaliknya, bentuk-bentuk kebahasaan yang panjang tidak selalu juga dapat

dipakai untuk menyatakan maksud atau makna yang kompleks. Semakin bentuk

kebahasaan itu panjang, akan semakin rumit penyampaian maksud atau makna

kebahasaannya. Sebaliknya, semakin bentuk kebahasaan itu pendek, maka akan

semakin lugas dan tajam penyampaian makna atau maksudnya.

Dalam bahasa ragam jurnalistik harus diutamakan preferensi pada

bentuk-bentuk kebahasaan yang langsung, pendek, tajam, tidak rumit, dan tidak berbelit.

Jadi, dalam paragraf yang baru harus ada ide atau gagasan yang baru juga. Dalam

bahasa ragam jurnalistik, ide atau gagasan yang baru itu harus dinyatakan dengan

singkat dan padat sehingga tidak dibutuhkan kalimat-kalimat penyusun paragraf

dalam jumlah yang banyak.

(6) Mengutamakan bentuk positif dan bentuk aktif

Bahasa jurnalistik tidak melarang bentuk-bentuk kalimat negatif dan kalimat

pasif karena keduanya merupakan bentuk linguistik dan bentuk kebahasaan yang

benar. Oleh karena itu, bentuk-bentuk yang ada dalam linguistik sebaiknya digunakan

Jika dilihat dari sisi maknanya secara umum, bentuk-bentuk positif dan

bentuk-bentuk aktif dalam kalimat lebih memberikan implikasi makna yang tegas dan

lebih lugas. Misalnya, kata absen secara linguistis bermakna lebih tegas daripada kata

tidak hadir. Bentuk mangkir juga lebih tegas daripada tidak hadir secara

berturut-turut dalam waktu tertentu.

Bentuk-bentuk kalimat pasif sebenarnya tidak disarankan dan yang harus

digunakan dalam bahasa pers adalah kalimat-kalimat aktif. Hal ini berkaitan dengan

kelangsungan dan ketidaklangsungan penyampaian maksud atau makna yang

disampaikan. Secara linguistis, bentuk pasif bersifat tidak langsung tetapi ciri

kebahasaan itu tidak cocok digunakan dalam ragam jurnalistik. Bahasa ragam

jurnalistik juga harus menghindari eufemisme atau penghalusan dan pengaburan

makna.

Pemakaian bentuk yang seimbang dan proporsional dapat menghindari bahasa

yang monoton. Dalam satu kolom berita, sedapat mungkin harus digunakan

bentuk-bentuk kebahasaan yang sifatnya variatif. Tidak boleh ada bentuk-bentuk atau konstruksi

linguistik yang sangat dominan dan penat seperti sementara itu, sebagaimana

diketahui, sebagaimana diberitakan yang seringkali muncul secara berulang-ulang di

dalam sebuah berita.

(7) Berciri jelas, tegas, dan tidak kabur makna

Cara pembahasaan yang tidak jelas dan tidak tegas akan menimbulkan

makna-makna kabur. Makna kabur dapat terjadi diantaranya karena pilihan kata atau

bagian-bagian kalimatnya. Dalam bahasa ragam jurnalistik, para jurnalis harus

memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan, tata tulis, dan tata ejaan yang berlaku.

Berkaitan dengan hal itu, contoh pemakaian kata pada seperti dalam pada Senin,

pada Juni, pada 2005 ini cenderung dianggap sebagai ganti dari bentuk pada hari

Senin, pada bulan Juni, dan pada tahun 2005.

Bentuk tersebut merupakan bentuk yang keliru dan telah terindikasi

interferensi dari bahasa Inggris yang selalu mewajibkan adanya kata depan atau

preposisi di depan nomina. Cara penyampaian aspek kebahasaan di dalam bahasa

tertentu tidak serta-merta berlaku dan dapat diterapkan pada bahasa yang lain. Pada

dasarnya, bahasa Indonesia tidak berciri demikian itu. Jadi, pemakaian yang secara

linguistik dianggap lebih benar adalah bentuk hari Senin, bulan Juni, dan tahun 2005.

(8) Membedakan secara jelas bahasa tutur dan bahasa tulis

Bahasa dalam ragam jurnalistik untuk media massa cetak itu sangat berbeda

dengan media elektronik dan media visual-elektronik lainnya. Ragam bahasa

jurnalistik dalam media cetak harus selalu berciri tulis, sedangkan ragam bahasa

jurnalistik dalam media elektronik dan media visual-elektronik selalu bersifat tutur.

Menurut Romli (2004) via Rahardi (2006: 45), bahasa ragam tutur itu

memiliki ciri-ciri kalimatnya pendek-pendek, menggunakan kata-kata yang biasa

diucapkan, satu ide satu kalimat (menghindari kalimat majemuk atau kalimat luas)

dan satu kalimat sedapat mungkin disampaikan dalam satu nafas, tidak menggunakan

kalimat langsung (kalimat langsung harus dibuat menjadi kalimat tidak langsung).

bahasa tutur harus pendek, perlu diperhatikan juga di dalam bahasa jurnalistik tulis

untuk media massa cetak. Kalimat-kalimat yang pendek yang hanya berisi satu ide,

akan memudahkan pembaca memahaminya.

Berkaitan dengan ciri kedua, yakni bahwa bahasa tutur harus menggunakan

kata-kata yang biasa, tidak sepenuhnya harus diikuti dalam bahasa jurnalistik ragam

tulis untuk media cetak. Misalnya, dalam bahasa tutur, bentuk seperti jam 8 pagi itu

boleh dipakai tetapi dalam bahasa ragam tulis untuk media massa cetak bentuk itu

harus diubah menjadi pukul 08.00 pagi. Perlu ditegaskan juga waktu yang dinyatakan

tersebut termasuk dalam wilayah WIB, Wita, atau WIT.

Berkaitan dengan ciri ketiga, yakni bahwa satu kalimat dalam bahasa tutur

harus disampaikan dalam satu nafas, juga tidak perlu diikuti dalam media massa

cetak. Bahasa media cetak tidak bertautan dengan persoalan nafas dan cara

penyampaiannya cenderung sedikit lebih fleksibel.

Berkaitan dengan ciri yang terakhir atau keempat, yakni harus menggunakan

kalimat tidak langsung, dalam media massa cetak cenderung berciri lebih leluasa.

Dalam hal-hal tertentu untuk mendukung pernyataan seseorang yang informasinya

penting disampaikan secara akurat, kalimat langsung dapat saja digunakan. Bila tidak

perlu dengan kalimat langsung, kalimat yang tidak langsung pun dapat dipakai untuk

menyampaikan gagasan itu.

Jadi, jelas bahwa bahasa lisan atau bahasa tutur memiliki perbedaan dengan

bahasa tulis. Oleh karena itu, para wartawan atau jurnalis media massa cetak perlu

(9) Memiliki preferensi pada bentuk yang sederhana, pendek, dengan tetap

berdasar pada kaidah-kaidah linguistik

Bahasa dalam ragam jurnalistik lebih memihak pada bentuk-bentuk yang

sederhana, pendek, dan tidak berbelit. Terlebih, jika bentuk yang sederhana dan

pendek itu jauh lebih informatif dan komunikatif. Namun, tidak semua bentuk pendek

itu dibenarkan, misalnya bentuk berkenaan dengan, berkaitan dengan, terkait

dengan, sehubungan dengan, sesuai dengan. Kata dengan pada bentuk-bentuk itu

sama sekali tidak boleh dihilangkan dalam bahasa jurnalistik, walaupun dilakukan

dengan alasan ekonomi kata atau ekonomi bahasa.

Jadi, sekalipun bentuk-bentuk tersebut relatif panjang dan memiliki banyak

karakter huruf, bentuk-bentuk itu tetap harus dipertahankan karena tidak semua

aspek-aspek kebahasaan dapat di atur semaunya saja. Bahasa media massa cetak tidak

serta-merta bebas dan lepas dari kaidah-kaidah kebahasaan atau aturan linguistik

yang ada, perlu disadari bahwa bahasa media massa itu juga dimaksudkan untuk

mendidik masyarakat umum di dalam praktik berbahasa.

(10) Membatasi bentuk-bentuk kebahasaan yang terkena interferensi bahasa

asing

Interferensi pemakaian bahasa dalam studi sosiolinguistik merupakan aspek

kebahasaan yang tidak dapat dihilangkan. Demikian juga interferensi dalam

pemakaian bahasa ragam jurnalistik, hal ini akan sulit untuk dihindarkan. Tugas

sebagai seorang jurnalis adalah membatasi diri terhadap kemungkinan interferensi

Jika bahasa ragam jurnalistik telah terdominasi oleh tumpukan-tumpukan

interferensi dari bahasa yang lebih kuat terutama bahasa Inggris, maka orang akan

mempertanyakan nasionalisme kebahasaan kita dalam praktik berbahasa jurnalistik.

Apalagi, media cetak yang menjadi wadah untuk menulis dan menuangkan gagasan

atau pikiran itu berformat bahasa Indonesia.

Contoh yang menegaskan bahwa bahasa jurnalistik Indonesia telah banyak

terkena interferensi bahasa Inggris ialah konstruksi pada Senin, pada Januari, pada

2005. Dalam bahasa Inggris, kehadiran sebuah preposisi atau kata depan seperti in,

on, at di depan nomina atau kata benda merupakan sebuah keharusan. Akan tetapi,

dalam bahasa Indonesia, bentuk kebahasaan itu tidak dibenarkan dan yang harus

digunakan adalah bentuk hari Senin, bulan Januari, dan tahun 2005.

Dalam tataran kalimat, konsrtuksi asing itu memberikan pengaruh yang besar

yaitu bentuk yang dipendekkan, misalnya pada kalimat: “ditanya masalah korupsi di

kantornya, pejabat itu mengelak memberikan penjelasan kepada para wartawan”.

Bentuk semacam itu jelas telah terinterferensi oleh bahasa Inggris. Untuk

memperbaikinya perlu ditambahkan konjungsi atau kata penghubung di depan

kalimat agar menjadi konstruksi bahasa Indonesia. Perbaikannya adalah: “ketika ditanya masalah korupsi di kantornya, pejabat itu mengelak memberikan penjelasan

kepada para wartawan”.

Dokumen terkait