• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Geografis

Kampung Naga merupakan salah satu kampung di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, dengan luas wilayah 1.5 hektar. Luas wilayah tersebut hanya digunakan untuk pemukiman saja. Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu secara umum berupa berbukit cukup curam, kepadatn tanah relatif stabil, kondisi tanah subur dan curah hujan cukup banyak. Kampung Naga terdiri dari satu Rukun Tetangga (RT). Perkampungan masyarakat Naga sendiri berada di suatu lembah dengan batas-batasan yang mengelilinginya yaitu sebelah Utara Desa Cigalon, sebelah Selatan adalah Bukit dan jalan raya Tasikmalaya-Garut, sebelah Timur sungai Ciwulan, sebelah Barat adalah hutan keramat dan bukit Naga.

Kampung Naga dapat ditempuh dengan segala jenis kendaraan transportasi, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Keberadaan Kampung Naga berada di pinggir jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Bila menempuh perjalanan dari Kabupaten Tasikmalaya ke arah barat, maka jarak yang ditempuh kurang lebih 30 km, dari Kabupaten Garut ke arah timur jarak yang harus ditempuh kurang lebih 26 km, dan dari ibukota provinsi Jawa Barat, jarak yang harus ditempuh kurang lebih 106 km. Setelah melalui jalan tersebut barulah tiba di pelataran parkiran Kampung Naga yang cukup luas. Pintu masuk Kampung Naga yang memiliki pelataran parkiran yang cukup luas. Setelah menyusuri pelataran parkiran Kampung Naga, perjalanan menuju pemukiman masyarakat Kampung Naga dimulai dari menyusuri anak tangga yang berjumlah 335 buah. Setelah itu dengan menyusuri jalanan setapak yang berada di pinggiran sungai, sampailah di perkampungan masyarakat Naga.

Kondisi Demografi dan Sosial

Kampung Naga terdiri dari satu RW dan satu RT dengan jumlah keluarga sebanyak 108 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk sebanyak 316 jiwa pada Tahun 2012. Banyaknya penduduk Kampung Naga relatif stabil, artinya dari tahun ketahun tidak terjadi pertambahan penduduk yang cepat. Masyarakat yang baru menikah, biasanya tidak membangun rumah lagi di Kampung Naga melainkan pergi keluar Kampung Naga. Hal ini dilakukan karena lahan di Kampung Naga sangat terbatas, sehingga tidak memungkinkan mereka membangun bangunan rumah lagi.

Tabel 1 Persentase masyarakat Kampung Naga berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Persentase (%)

Laki-laki 51.43

Perempuan 48.57

Total 100.00

Tabel 1 memperlihatkan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak berbeda jauh, dimana jumlah penduduk laki-laki di

22

Kampung Naga, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 159 orang dengan persentase sebesar 51.43 persen, dan penduduk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 157 orang dengan persentase sebesar 48.57 persen. Berdasarkan hal tersebut, jumlah laki-laki masih lebih banyak dibandingkan perempuan, namun perbedaannya tidak begitu signifikan. Jika dilihat dari peranannya, laki-laki dan perempuan di Kampung Naga memang berbeda. Peran dalam hal adat memperlihatkan bahwa, laki-laki lebih menonjol dibandingkan peran perempuan. Laki-laki dijadikan simbol pemimpin di Kampung Naga, sehingga segala perkataannya harus ditaati.

Tabel 2 Persentase pekerjaan di Kampung Naga

Jenis pekerjaan Persentase (%)

Tidak bekerja 17.14 Petani 37.14 Penjaga toko 5.71 Pemandu wisata 11.44 Wiraswasta 5.71 Pengrajin 22.85 Total 100.00

Tabel 2 memperlihatkan jenis pekerjaan yang ada di Kampung Naga berdasarkan populasi sampling. Jenis pekerjaan yang paling banyak dimiliki adalah pekerjaan sebagai petani yaitu sebanyak 37.14 persen. Mata pencaharian utama masyarakat Kampung Naga memang berasal dari sektor pertanian, khususnya pertanian organik. Menjadi seorang petani adalah salah satu pekerjaan turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat Naga. Pekerjaan ini masih digeluti hingga sekarang meskipun, ada pekerjaan-pekerjaan sampingan yang mereka lakukan. Namun setelah masuknya ilmu pengetahuan yang diikuti dengan banyaknya kunjungan yang dilakukan wisatawan baik domestik ataupun mancanegara ke Kampung Naga, maka sebagian mata pencaharian masyarakat menjadi berubah. Banyak masyarakat Naga yang beralih profesi sebagai pemandu wisata, pedagang, pengrajin dan lainnya. Sekarang Kampung Naga menjadi salah satu kampung yang sumber penghasilan masyarakatnya berasal dari sektor non pertanian. Mayoritas masyarakatnya bekerja di luar Kampung Naga atau merantau. Walaupun demikian, masyarakat yang tinggal di Kampung Naga, mayoritas memiliki profesi sebagai petani. Pekerjaan lain yang ditekuni oleh masyarakat Kampung Naga selain menjadi petani yaitu menjadi pengrajin anyaman bambu, pemandu wisata, penjaga toko, dan wiraswasta.

Tabel 3 Persentase pendidikan di Kampung Naga

Jenis pendidikan Persentase (%)

SD 85.7

SMP 11.4

SMA 2.9

Total 100.0

Tabel 3 memperlihatkan pendidikan masyarakat Naga berdasarkan populasi sampling. Tingkat pendidikan yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat Naga

23 adalah tamatan SD sebesar yaitu sebesar 85.7 persen. Hal ini disebabkan karena kurangnya sarana dan prasaran pendidikan, sehingga membuat masyarakat Kampung Naga sebagian besar hanya tamatan SD saja. Selain itu faktor utama yang menjadi kendala mereka adalah faktor keuangan. Kemampuan yang terbatas untuk melanjutkan sekolah, menjadikan mereka memutuskan untuk berhenti dan melanjutkannya dengan membantu orang tua bekerja. Tamatan SMP dan SMA, hanya dirasakan sebagian masyarakat. Meski begitu, ada pula sebagian kecil yang mendapatkan pendidikan hingga sarjana.

Tabel 4 Persentase usia di Kampung Naga

Usia Persentase (%)

Remaja 17.14

Dewasa Awal 25.86

Dewasa Tua 60.00

Total 100.00

Tabel 4 memperlihatkan usia Di Kampung Naga berdasarkan pupulasi sampling. Usia yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat Naga yaitu usia dewasa tua. Hal ini dikarenakan masyarakat Naga yang memiliki usia dewasa tua yaitu orang-orang yang memiliki usia 35 tahun keatas, memilih untuk menetap di Kampung Naga. Mereka menggap bahwa diri merekalah yang harus menjaga tanah leluhur dan menjalankan adat istiadat Kampung Naga. Pada usia tersebut, seseorang telah dianggap dewasa secara adat, sehingga mereka mampu dan memahami adat istiadat yang ada di Kampung Naga. Sementara sebagian besar usia remaja dan dewasa awal berada di luar Kampung Naga untuk keperluan pekerjaan ataupun pendidikan.

Menilik agama yang dianut oleh masyarakat Naga, agama Islam adalah agama mayoritas yang menjadi kepercayaan masyarakat Naga. Sunda merupakan etnik dominan yang mereka miliki. Oleh karena itu, masyarakat di desa ini dapat disebut masyarakat mono-religi dan mono-etnik. Mono-religi dan mono-etnik menjadi ciri khas masyarakat Sunda khususnya masyarakat Naga. Pencirian tersebut ditandai dengan adanya tempat peribadatn berupa masjid kecil yang terletak dialun-alun Kampung Naga.

Pemerintahan di Kampung Naga dibagi menjadi dua yaitu formal dan informal. Pemerintahan formal seperti Ketua RT, Ketua RW, Kepala desa atau punduh desa dipilih langsung oleh masyarakat dan memiliki masa jabatan lima tahun. Sementara pemerintahan informal di Kampung Naga dibagi menjadi tiga yaitu Kuncen, Lebe, dan Punduh. Masing-masing dari mereka memiliki masa jabatan seumur hidup dan tidak dipilih oleh masyarakat, jabatan tersebut didapat secara turun temurun/satu garis keturunan. Kuncen atau kepala adat merupakan pemimpin adat (pemimpin informal) yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat Naga. Keberadaan kuncen di yakini dapat memimpin masyarakat Naga dengan baik dan bijak sesuai dengan adat yang berlaku. Selain itu Kuncen

memiliki tugas untuk memimpin upacara adat dan acara-acara adat yang lainnya.

Lebe merupakan salah seorang pemimpin adat yang bertugas untuk mengurusi keagamaan seperti mengurus jenazah dari awal pemandiannya hingga pemakaman.

24

masyarakat Naga agar tetap berpegang pada adat istiadat yang telah diturunkan oleh leluhur mereka.

Pelapisan sosial dalam masyarakat adat merupakan perbedaan status sosial yang didasarkan dari kekayaan dan jabatan. Namun hal ini tidak terjadi di Kampung Naga. Masyarakat Naga tidak pernah memperlihatkan status sosial mereka kepada khalayak ramai. Mereka memandang, diri mereka adalah satu bagian sehingga tidak ada yang kaya ataupun miskin. Namun jika diamati dan dianalisis secara mendalam, maka masyarakat Naga dapat digolongkan menjadi masyarakat golongan atas, menengah dan juga bawah. Standar dari penggolongan ini ialah kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Kekayaan ini dapat dilihat dari kepemilikan tanah yang ada, kepemilikan kendaraan dan letak rumah di dalam pemukiman masyarakat Naga. Namun, hal yang paling mendasar dalam pembedaan golongan tersebut adalah kepemilikan tanah. Orang-orang yang memiliki tanah sendiri dan tanah tersebut dijadikan lahan pertanian maka mereka akan cenderung mempekerjakan orang lain untuk mengurus tanahnya dan mendapatkan bagian dari hasil panen. Di saat yang bersamaan, orang tersebut mencari pekerjaan lain lagi untuk juga memenuhi kebutuhan hidupnya. Golongan atas biasanya juga merupakan orang-orang yang memiliki pendidikan cukup, para pemuka agama maupun pamong desa. Golongan menengah, biasanya mereka yang bekerja berdagang atau wiraswasta, dengan pendidikan yang terbatas. Golongan bawah adalah mereka yang mengerjakan tanah orang lain serta kurang memiliki pendidikan.

Pola Kebudayaan Masyarakat Naga

Kampung Naga adalah salah satu kampung adat yang berada di Jawa Barat. Sejarah dari Kampung Naga sendiri tidak banyak yang tahu sebab masyarakat asli Naga pun tidak tahu kapan Kampung Naga ini ada. Asal usul masyarakat Kampung Naga dapat terkuak apabila sejarah nenek moyang mereka yang ditulis di atas daun lontar dan salah satu piagamnya yang terbuat dari tembaga, masih utuh. Namun lempengan tersebut dipinjam oleh Pemerintahan Hindi Belanda di Batavia (Jakarta) dan tidak dikembalikan lagi. Pemerintah Hindi Belanda hanya mengembalikan duplikat dari lempengan tersebut yang tebuat dari tembaga. Benda-benda pusaka yang tersisa pada saat itu, diharapkan bisa mengungkap sejarah masa lalu dan asal usul leluhur mereka, namun benda-benda pusaka tersebut dan seisi Kampung Naga, telah habis terbakar api dikerenakan adanya pemberontakan gerombolan DI/TII Kartosuwirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1956, dimana pada saat itu Tasikmalaya dan beberapa wilayah lainnya di Priangan Timur pernah dijadikan basis pertahanan DI/TII di Jawa Barat. Di daerah tersebut, kemanan dan dan kenyaman tidak lagi terjaga. Musnahnya benda-benda pusaka akibat dibakar oleh DI/TII pada saat itu, membuat masyarakat Kampung Naga kehilangan seluruh aset dan harta yang mereka miliki. Setelah peristiwa itu terjadi, kini masyarakat Kampung Naga menyatakan bahwa

mereka sudah “pareumeun obor”.

Kampung Naga merupakan kampung adat yang masih mempertahankan keaslian budaya. Keaslian budaya tersebut ditandai dari adat istiadat yang masih kental, upacara adat, bentuk bangunan, kelestarian alam, pola pikir dan hubungan interpersonal yang sangat baik. Keaslian tersebut masih tetap dijaga oleh

25 masyarakat pengikutnya dengan penuh keyakinan dan selalu memathu adat istiadat yang terlah diturunkan oleh nenek moyang mereka, sehingga adat istiadat tersebut dijadikan pedoman bagi kehidupan mereka. Hal ini menjadikan Kampung Naga memiliki ciri khas tersendiri sebagai salah satu kampung adat di Jawa Barat. Adat istiadat yang ada di Kampung Naga merupakan suatu aturan yang sangat sakral sehingga harus dijalani dengan baik. Meskipun hukum adat tidak berlaku di Kampung Naga, namun masyarakat Naga tetap menjalankan adat istiadat tersebut. Hal ini dikarenakan masyarakat Naga sangat menghormati leluhur mereka. Adat istiadat yang berlaku di Kampung Naga meliputi ada hari- hari tertentu yang sangat ditabukan untuk orang Naga menceritakan sejarah Kampung Naga yaitu hari selasa, rabu, dan sabtu serta pada saat bulan Safar dan bulan suci Ramadhan, mempertimbangkan hari baik jika ingin melaksanakan upacara pernikahan, mengikuti setiap perkataan sesepuh/orang tua, tidak diperbolehkan memasuki bumi ageung, menanam padi sesuai dengan adat istiadat, dan tidak diperbolehkan pergi ke sawah dihari dimana orang tua mereka meninggal serta setiap tanggal 1 bulan Islam. Semua adat istiadat yang telah ditentukan tersebut, masih dijalankan oleh seluruh masyarakat Naga tanpa adanya pengecualian.

Upacara adat di Kampung Naga merupakan upacara yang sakral dan harus dilakukan oleh setiap individu yang bersesuaian dengan adat. Upacara adat yang ada dan masih dijalankan hingga kini meliputi upacara hajat sasih, upacara “Gusaran”, upacara pernikahan, dan upacara panen. Upacara hajat sasih

merupakan upacara terbesar yang ada di Kampung Naga dengan kegiatan berziarah kubur ke makam leluhur mereka yaitu “Sembah Dalem Eyang Singaparna”. Upacara ini merupakan upacara ritual yang agenda pelaksanaannya diselenggarakan secara tetap. Upacara tersebut berlangsung enam kali dalam setahun dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh diubah. Alternatif waktu pelaksanaannya dilakukan pada bulan Muharam, tanggal 26, 27, atau 28, bulan Maulud, tanggal 12, 13, atau 14, bulan Jumadil Akhir, tanggal 14, 15, atau 16, bulan Ruwah, tanggal 14, 15, atau 16, bulan Syawal, tanggal 1, 2, atau 3 dan terakhir bulan Rayagung, tanggal 10, 11,atau 12. Adanya alternatif waktu penyelenggaraan tersebut, bukan berarti upacara hajat sasih diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut, pelaksanaan dipilih berdasarkan waktu yang memungkinkan (Suganda 2006). Upacara gusaran sama artinya dengan upacara khitanan. Didalam lingkungan masyarakat Naga, khitanan dilakukan secara massal bersamaan dengan masyarakat Sanaga. Oleh karena itu, jumlah pesertanya bisa mencapai lebih dari 30 anak. Uniknya, mereka harus berpasangan dengan anak wanita, maka jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat. Akan tetapi tidak semua diantara mereka memiliki kesiapan mengikuti upacara tersebut. Orang tua harus membujuk dengan janji-janji agar hati anaknya luluh. “Mun daek, engke ku

ema dibelikeun momobilan”, kata seorang ibu yang membujuk anaknya yang baru

berusia lima tahun. Jika tidak, maka orang tua belum bisa membayangkan apakah upacara gusaran bisa dilaksanakan lagi tahun depan. Upacara pernikahan masyarakat Naga, prinsipnya tidak banyak berbeda dengan masyarakat lainnya yang tinggal di luar Kampung Naga. artinya, sebelum pasangan melangsungkan akad nikah, mereka terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan administrasi. Akad nikah dilangsungkan berdasarkan aturan islam dan sederhana. Hal ini dilakukan selain karena pertimbangan ekonomi, mereka juga tidak mungkin

26

menyelenggarakan secara besar-besaran mengingat keterbatasan lahan di pemukimannya. Oleh karena itu, mereka yang diundang sangat terbatas yaitu hanya keluarga terdekat. Rangkaian upacaranya meliputi nanyaan, ngalamar, dan mawakeun setelah itu dilanjutkan dengan nyawer. Terakhir adalah upacara panen. Upacara ini dilakukan setiap kali panen padi dengan tujuan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan anugrah-Nya. Namun pada upacara ini, masyarakat Naga melakukannya sendiri-sendiri.

Gambar 2 Upacara hajat sasih di Kampung Naga

Bentuk bangunan di Kampung Naga merupakan bentuk bangunan panggung yang sangat unik. Dengan letak membujur ke arah utara-selatan, dari kejauhan sudah terlihat atap bangunanan bagai deretan trapesium yang memanjang dengan warna hitam. Letak bangunan-bangunan tersebut saling berhadap-hadapan dan tidak boleh membelakangi bagian depan rumah lainnya. Hampir seluruh bahan bangunannya terbuat dari bahan-bahan lokal yang mudah didapat di daerah setempat, kecuali beberapa bagian tertentu seperti paku dan kaca untuk daun jendela. Sesuai dengan pikukuh leluhurnya, mereka tabu membangun rumah tembok dengan atap genting, walaupun secara ekonomi memungkinkan. Atapnya yang dilapisi ijuk berbentuk memanjang sehingga disebut suhunan panjang. Pada bagian atap bangunan tersebut, meskipun bangunannya rapat tetapi bagian ujung tidak boleh menutup atap bangunan rumah disebelahnya. Ujung atap bagian atas dipasangi gelang-gelang yang terbuat dari sepasang bambu setinggi setengah meter dari puncak atap, sehingga bentuknya menyerupai tanduk atau huruf “V”. Bambu gelang-gelang itu kemudian dililit tambang ijuk lalu bagian atasnya ditutup batok kelapa, sehingga terlindung dari terik matahari dan hujan. Gelang- gelang merupakan simbol ikatan kesatuan dalam kepercayaan mereka terhadap alam semesta dengan segenap isinya, dimana matahari bergerak dari timur ke barat. Dindingnya berwarna putih dilabur kapur, dan sebagian besarnya dibiarkan berwarna asli. Seperti dinding rumahnya, kusen jendela dan kusen pintu tidak boleh dicat, kecuali agar bisa tahan lama. Atap yang berwarna hitam yang terbuat dari ijuk, menghasilkan warna yang kontras yang membuat ciri sendiri dalam bangunannya. Bagian dari rumah panggung ini dibagi menjadi lima yaitu tepas imah, tengah imah, pangkeng, dapur dan goah, kolong imah, dan golodok

27 Kampung Naga terkenal dengan pelestarian alamnya. Hal ini tercermin dari adat yang mengatur tentang larangan menebang pohon sembarang. Di Kampung Naga terdapat dua hutan yang sangat dijaga kelestariannya. Hutan terebut diberi nama hutan keramat dan hutan larangan. Hutan keramat merupakan hutan yang sangat mereka sakralkan dan tidak boleh sembarang orang memesuki hutan tersebut. Hutan keramat ini hanya boleh dimasuki pada saat upacara Hajat Sasih dilaksanakan untuk berjiarah kubur. Hutan ini berada di sebelah barat Kampung Naga dan di dalamnya terdapat makam-makam para leluhur Kampung Naga. Sedangkan hutan larangan yang berada di sebelah timur Kampung Naga yang bersebrangan langsung oleh sungai Ciwulan adalah hutan yang tidak boleh sama sekali dimasuki oleh siapapun. Tidak ada yang berani untuk memasuki hutan tersebut dengan alasan “pamali”. Sebenarnya hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kelestarian hutan tersebut. Dengan membiarkan hutan tetap terjaga, maka akan membantu mereka untuk tetap hidup bersama alam (Somantri 1998)

Gambar 3 Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga

Pola pikir masyarakat Naga sedikit berbeda dengan masyarakat tradisional lainnya. Pola pikir mereka sedikit lebih maju namun tidak meninggalkan adat istiadat. Pemikiran masyarakat Naga mengenai pentingnya pendidikan, menjadikan mereka mengutamakan anak-anak mereka untuk bersekolah setinggi- tingginya. Alasan utama mereka adalah agar kehidupan anak-anak mereka dapat lebih baik dan meningkatkan kesejahteraannya. Namun hal ini tidak membuat ketakutan akan lunturnya adat istiadat di dalam diri masyarakat Naga. Ajaran dan perkataan sesepuh/orang tua selalu dijadikan acuan utama dalam menjalankan hidup. Jadi meskipun anak-anak mereka memiliki pendidikan dan pekerjaan yang tinggi, tapi adat istiadat yang telah ditanamkan sejak kecil tidak akan dilupakan.

Masyarakat Naga terkenal baik dalam melakukan interaksi sosial, dimana masyarakat Naga memiliki hubungan dekat satu sama lain. Buktinya, bangunan rumah yang serupa dan saling berhadapan membuat mereka setiap hari saling berinteraksi. Masyarakatpun terbuka dengan orang luar, sehingga dapat dikatakan ramah dan mudah dalam melakukan pendekatan. Kekerabatan dalam masyarakat pun sangat tinggi, ditandai dengan masih adanya tenggang rasa yang tinggi antara mereka. Setiap kegiatan besar yang akan diadakan di Kampung Naga ataupun di luar Kampung Naga, mereka selalu membantu dan bergotong royong.

KARAKTERISTIK MASYARAKAT NAGA, KETAATAN

Dokumen terkait