• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Keaslian Kampunga Naga dengan Pembentukan Identitas Masyarakat Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Keaslian Kampunga Naga dengan Pembentukan Identitas Masyarakat Adat"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KEASLIAN KAMPUNG NAGA DENGAN PEMBENTUKAN

IDENTITAS MASYARAKAT ADAT

RIEZKA RISWAR

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Keaslian Kampung Naga dengan Pembentukan Identitas Masyarakat Adat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Riezka Riswar

(4)
(5)

iii

ABSTRAK

RIEZKA RISWAR. Hubungan Keaslian Kampung Naga dengan Pembentukan Identitas Masyarakat Adat. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO.

Keberlangsungan kampung adat menjadi isu yang penting ditengah jaman yang semakin modern ini. Kampung Naga adalah salah satu kampung adat yang masih memiliki keaslian budaya yang mencakup adat istiadat di dalamnya. Keaslian tersebut dijadikan suatu modal utama bagi masyarakat tradisional pengikutnya untuk tetap bertahan dan membentuk suatu identitas komunitas. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan karakateristik individu masyarakat Naga, menganalisis karakteristik individu dengan ketaatan terhadap adat dan motivasi pembentukan identitas Kampung Naga, dan menganalisis hubungan ketaatan terhadap adat dengan motivasi pembentukan identitas Kampung Naga. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian survei. Adapun hasil penelitian yang diperoleh yaitu karakteristik masyarakat adat (usia, jenis pekerjaan, dan jenis kelamin) berhubungan terhadap ketaatan terhadap adat dan motivasi pembentukan identitas pribadi, sosial dan kolektif. Sedangkan ketaatan terhadap adat berhubungan terhadap pembentukan identitas kolektif.

Kata kunci: kampung adat, keaslian, pembentukan identitas ABSTRACT

Riezka Riswar. The Relation between The Originality of Kampung Naga with Forming The Identity of Indigenous People. Mentored by SARWITITI SARWOPRASODJO.

The Indigenous villages sustainability had been one major issue within this modern era, The Kampung Naga is one of the traditional village which still keeps the originality of it is culture and tradition. That originality had been made to be the main asset for it is community to keep hold and establish the identity of the community. The main purpose of this research is to describe the individual characteristic of the people at kampong Naga, analyzing each individual characteristic with the culture and tradition that they still keep until today and how it influences the identity of the Dragon village. This research is done by conducting the survey method. The result of this research is that the characteristic of the custom community (age, occupation and gender) are related to the observance of the custom tradition as well as how each personality, socially and collectively formed. While their engagement with the custom is related in forming the collective identity.

(6)

iv

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

HUBUNGAN KEASLIAN KAMPUNG NAGA DENGAN

PEMBENTUKAN IDENTITAS MASYARAKAT ADAT

RIEZKA RISWAR

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)

v Judul Skripsi : Hubungan Keaslian Kampunga Naga dengan Pembentukan

Identitas Masyarakat Adat Nama : Riezka Riswar

NIM : I34090071

Disetujui oleh

Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

(9)

vi

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulisan Skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Skripsi yang berjudul “Hubungan Keaslian Masyarakat Naga dalam Pembentukan Identitas Kampung Naga” ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman tertulis terhadap konsep mengenai hubungan antara ketaataan masyarakat adat dalam menjalankan adat terhadap pembentukan identitas komunitas. Penulisan skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, dan sarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini, Dr. Ir Saharuddin, MS sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran sehingga penulis dapat melengkapi skripsi ini menjadi lebih lengkap dan mendalam, Dr. Murdianto sebagai dosen penguji wakil departemen yang telah memberikan kritik dan saran terhadap teknik penulisan sehingga naskah skripsi dapat memenuhi standar penulisan skripsi. Bapak Ade Suherlin selaku Kuncen, Alm. Bapak Ateng selaku

Lebe adat, Bapak Ma’un selaku punduh adat, Bapak Uron selaku ketua RT 01

Kampung Naga, Bapak Ucu selaku Ketua HIPANA, Bapak kepala Desa Neglasari beserta jajarannya, serta para sesepuhKampung Naga yang telah mendukung dan membantu penulis selama berada di lapangan. Keluarga besar pak Esoh, pak Entang, Kang Herri, Kang Habib dan keluarga, Urya dan keluarga, serta masyarakat Kampung Naga yang telah mendukung dan memberikan masukkan untuk penulis selama berada di Kampung Naga. Ayah, ibu, Reza, Bude, Uni Inggi, Uni Fitri, Mas Rangga, Uda Fafa, keluarga besar Iskandar, dan Ginanjar Wiranata yang selalu memberikan banyak kasih sayang, motivasi dan doa kepada penulis. Teman sepebimbingan Finka Dwi Utami dan Rahayu Arizona yang telah saling membantu selama menyusun skripsi ini hingga selesai. Eka, Yuli, Lia, Nita, Riza, Nita S, April, Igoe sahabat penulis yang selalu mendukung, memberi motivasi serta untaian doa selama ini. Sahabat-sahabat terbaik di KPM 46 Yuli, Tari, Rafi, Dani, Arif, Indra, Meong, Bundo, Anand, Nindi, Cici, Icha, Ela, dan Rahma yang telah memberikan semangat dan bantuan kepada penulis selama penuli menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman seperjuangan KPM 43, KPM46, dan KPM47 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas kerjasamanya selama ini. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan, dan kerjasamanya selama ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(10)
(11)

viii

KAMPUNG NAGA SEBAGAI KAMPUNG ADAT 21

Kondisi Geografis 21

Kondisi Demografi dan Sosial 21

Pola Kebudayaan Masyarakat Naga 24

KARAKTERISTIK MASYARAKAT NAGA, KETAATAN TERHADAP

ADAT, DAN IDENTITAS MASYARAKAT KAMPUNG NAGA 29

Karakteristik Masyarakat Naga 29

Ketaatan terhadap Adat 30

(12)

ix HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU NAGA DENGAN KETAATAN

TERHADAP ADAT 33

Hubungan antara Usia dengan Ketaatan terhadap Adat 33 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Ketaatan terhadap Adat 34 Hubungan antara Jenis Pekerjaan dengan Ketaatan terhadap Adat 34 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Ketaatan terhadap Adat 34 HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU NAGA DENGAN

PEMBENTUKAN IDENTITAS MASYARAKAT KAMPUNG NAGA 37

Hubungan Karakteristik Individu dengan Pembentukan Identitas Pribadi 37 Hubungan Karakteristik Individu dengan Identitas Sosial 39 Hubungan Karakteristik Individu dengan Identitas Kolektif 41 HUBUNGAN KETAATAN TERHADAP ADAT DENGAN PEMBENTUKAN

IDENTITAS MASYARAKAT KAMPUNG NAGA 45

Hubungan antara Ketaatan terhadap Adat dengan Pembentukan Identitas Pribadi 45 Hubungan antara Ketaatan terhadap Adat dengan Pembentukan Identitas Sosial 46 Hubungan antara Ketaatan terhadap Adat dengan Pembentukan Identitas

Kolektif 46

SIMPULAN DAN SARAN 49

Simpulan 49

Saran 50

DAFTAR PUSTAKA 49

(13)

x

DAFTAR TABEL

1 Persentase masyarakat Kampung Naga berdasarkan jenis kelamin 21

2 Persentase pekerjaan di Kampung Naga 22

3 Persentase pendidikan di Kampung Naga 22

4 Persentase usia di Kampung Naga 23

5 Jumlah dan persentase karakteristik individu Naga menurut usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. 29 6 Persentase ketaatan terhadap adat di Kampung Naga. 30 7 Persentase identitas masyarakat Kampung Naga yang dilihat

berdasarkan motivasi pelaksanaannya 31

8 Nilai korelasi antara karakteristik individu Naga dengan ketaatan

terhadap adat 33

9 Nilai korelasi antara karakteristik individu Naga dengan pembentukan identitas masyarakat Kampung Naga 37 10 Nilai korelasi ketaatan terhadap adat dengan pembentukan identitas

masyrakat Kampung Naga 45

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka penelitian keaslian Kampung Naga dalam 13

2 Upacara hajat sasih di Kampung Naga 26

3 Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lokasi Kampung Naga 51

2 Kerangka Sampling 52

3 Kuesioner 55

4 Pedoman Wawancara Mendalam 58

5 Pengolahan Data 60

6 Matriks Analisis Data 65

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami perubahan kebudayaan yang cukup mengkhawatirkan berbagai pihak. Masyarakat menjadi pihak yang paling menentukan apakah suatu kebudayaan yang mereka miliki mengalami perubahan atau tidak. Jika suatu masyarakat dijaman yang semakin moderen masih dapat memegang teguh adat istiadat mereka, maka kebudayaan yang mereka miliki akan tetap bertahan. Namun sebaliknya jika masyarakat terbawa arus kemajuan jaman yang semakin moderen tanpa memikirkan bagaimana nasib kebudaayaan itu sendiri, maka kebudayaan tersebut akan mengalami perubahan dan bahkan menghilang. Sementara pemerintah merupakan pihak yang berwenang dalam menentukan bagaimana pelestarian kebudayaan bisa bertahan hingga nanti. Jika kebudayaan tradisional mengalami pergeseran ke arah kebudayaan moderen, maka kebudayaan tradisional akan menghilang dengan sendirinya. Kekhawatiran akan ancaman tersebut, membuat pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 20101 tentang Cagar Budaya dengan tujuannya sebagai upaya untuk melindungi dan melestarikan budaya Indonesia. Namun tidak jarang pula kebijakan tersebut menimbulkan polemik di dalam suatu masyarakat. Salah satu polemik yang ditimbulkan akibat kebijakan pemerintah membuka pariwisata budaya yaitu sering kali merugikan masyarakat. Masyarakat seringkali merasa seperti dijadikan sebagai panggung atau sebuah tontonan yang berorientasikan materil, sehingga bentuk kesakralan yang mereka miliki menjadi sangat terganggu (Setiawan 2011).

Kontroversi kebijakan pemerintah atas pembangunan pariwisata budaya membuka peluang besar bagi sektor ekonomi dan sosial budaya. Peluang yang ditimbulkan dalam kebijakan pemerintah menghasilkan sisi negatif dan positif. Tujuan pembangunan pariwisata budaya yang dilakukan oleh pemerintah selain sebagai upaya pelestarian budaya, dilakukan pula untuk meningkatkan pendapatan daerah (Setiawan 2011). Peningkatan pendapatan daerah diyakini dapat menjadikan kebudayaan dan masyarakat di dalamnya menjadi lebih maju dan berkembang, sehingga sektor ekonomi menjadi lebih maju dan meningkat. Namun hal ini menimbulkan sisi negatif bagi aspek sosial dan budaya. Sisi negatif yang ditimbulkan dalam aspek sosial budaya yaitu dimana struktur sosial dan pemikiran masyarakat tradisional akan berubah mengikuti kemajuan dan perkembangan tersebut. Jika hal ini terjadi, maka masyarakat tradisional sulit untuk mempertahankan keaslian budaya yang mereka miliki. Orientasi yang mereka miliki bukan lagi sebagai pelestarian budaya, namun hanya sebatas orientasi material saja. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Amurwobhumi (2010) yang menyatakan bahwa pergeseran kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat tradisional terjadi akibat adanya pariwisata budaya yang dibuka oleh pemerintah. Masyarakat tradisional memanfaatkan kondisi ini untuk meningkatkan kondisi ekonomi mereka tanpa memikirkan lagi bagaimana kebudayaan mereka tetap ada sehingga adanya perubahan makna. Perubahan

1

(15)

2

tersebut tampak jelas menggambarkan bahwa pariwisata budaya membuat perubahan sosial di dalam suatu masyarakat. Meskipun sisi negatif tidak selalu mendominasi, namun sisi positif dari pembangunan pariwisata budaya pun dapat bermunculan. Kemunculan pariwisata budaya membuat masyarakat lebih bisa memperkenalkan kebudayaan tradisional yang mereka miliki kepada dunia luar, agar budaya tersebut dapat dikenal dan tetap terjaga. Berdasarkan hasil penelitian Cole (2007), yang menyatakan bahwa, kebudayaan yang dilestariakan dalam bentuk pariwisata budaya tidak selalu menimbulkan sisi negatif, namun sisi positif pun dapat bermunculan. Masyarakat tradisional memanfaatkan kondisi ini sebagai upaya memperkenalkan adat istiadat mereka kapada para pengunjung yang datang. Hal ini ditunjukkan sebagai wujud kebanggaan mereka atas kebudayaan yang mereka miliki sehingga, dapat terwujud pembentukan identitas budaya oleh masyarakat tradisional itu sendiri.

Pembentukan identitas budaya dirasa sangat penting bagi pengembangan masyarakat. Hal ini terwujud di dalam kehidupan masyarakat tradisional yang mengutamakan keberlanjutan adat istiadat yang ada. Keberlanjutan tersebut, menjadikan masyarakat tradisional sebagai sumberdaya manusia yang potensial untuk dapat meneruskan dan menanamkan adat istiadat kepada generasi selanjutnya. Melalui pemanfaatan sumberdaya tersebut, dapat dijadikan sebagai bentuk pemberdayaan sumberdaya manusia dalam upaya menjaga dan mewujudkan identitas budaya. Pembentukan identitas tersebut terwujud dari bagaimana suatu kebudayaan di dalam masyarakat dapat terus bertahan dijaman yang semakin berkembang. Jika dijaman moderen ini identitas budaya menghilang, maka generasi selanjutnya tidak akan pernah mengenal budaya peninggalan nenek moyang mereka terdahulu.

(16)

3 pembentukan identitas telah dilakukan oleh masyarakat Naga dengan tujuan agar kebudayaan mereka tetap terjaga dan Kampung Naga tetap dikenal dengan kampung adat bukan kampung wisata atau pariwisata budaya. Meskipun Kampung Naga kini banyak dikunjungi oleh wisatwan asing ataupun domestik, namun pemerintah tidak meresmikan secara langsung bahwa Kampung Naga adalah tempat wisata. Pemerintah tetap menjadikan Kampung Naga sebagai salah satu aset kebudayaan yang berada di Kabupaten Tasikmalaya. Kemampuan masyarakat Kampung Naga untuk bertahan dan menjaga keaslian budaya dari pengaruh perkembangan jaman, dapat dijadikan contoh bagaimana suatu masyarakat tradisional untuk tetap dapat mempertahankan identitas budaya hingga kini. Berbagai tindakan masyarakat berdasarkan ketaatan terhadap adat yang dimiliki oleh masyarakat Naga, diduga membuat komunitas tersebut dapat menjaga eksistensi identitasnya. Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka, peneliti ingin melihat sejauh mana hubungan keaslian Kampung Naga dengan pembentukan identitas masyarakat Kampung Naga.

Perumusan Masalah

Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat di Jawa Barat yang memiliki kekayaan alam belimpah dan sumberdaya manusia berpotensi. Berdasarkan penelitian Anjartika (2013), potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu di daerah asal tersebut. Karakteristik individu yang dimaksudkan seperti jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, dan usia. Selain SDM dan SDA yang mendukung, adat istiadat di Kampung Naga pun menjadikan masyarakat Naga memiliki identitas tersendiri. Pendalaman mengenai karakteristik individu di Kampung Naga yang mempengaruhi SDA dan SDM serta pendalaman mengenai adat istiadat dan identitas Kampung Naga, membuat peneliti ingin menjawab secara kualitatif yaitu bagaimana karakteristik individu (usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan jenis pekerjaan) di Kampung Naga, ketaatan terhadap adat dan pembentukan identitas masyarakat Kampung Naga?

(17)

4

Kampung Naga yang masih sangat terkenal dengan kesakralannya dalam menjalankan dan menjaga adat istiadat. Hal tersebut menjadikan suatu ciri khas yang melekat di dalam komunitasnya. Motivasi mereka dalam melakukan segala adat yang ada merupakan suatu bentuk ketaatan mereka kepada leluhur/nenek moyang atas segala jasanya. Berkembangnya Kampung Naga menjadi pariwisata budaya, memungkinkan adanya perubahan motivasi dalam menjalankan adat yang ada sehingga mempengaruhi pembentukan identitas Kampung Naga. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Prasetyo (2010) yang menyatakan bahwa, perubahan motif seseorang dalam menjalankan adat, dapat terjadi akibat masuknya pariwisata budaya. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian yang ingin dijawab secara kuantitatif yaitu sejauhmana hubungan ketaatan terhadap adat dengan pembentukan identitas masyarakat Kampung Naga?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Mendeskripsikan karakteristik masyarakat Naga (usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan jenis pekerjaan) di Kampung Naga, ketaatan melaksanakan adat, dan pembentukan identitas.

2. Menganalisis hubungan karakteristik individu dengan ketaatan terhadap adat dan pembentukan identitas masyarakat Kampung Naga.

3. Menganalisis hubungan ketaatan terhadap adat dengan pembentukan identitas masyarakat Kampung Naga

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi seluruh kalangan baik bagi civitas akademik, masyarakat (khususnya masyarakat adat), maupun bagi pemerintah yang berkecimpung dalam bidang pariwisata budaya . adapun manfaat yang diharapkan diperoleh masing-masing pihak adalah sebagai berikut :

1. Civitas Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperdalam pengetahuan dan wawasan mengenai keaslian Masyarakat Naga dalam pembentukan identitas Kampung Naga Tasikmalaya Jawa Barat, sehingga penelitian ini dapat dijadikan bahan literatur ataupun informasi tambahan untuk penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya bagi akademisi yang tertarik dengan topik Komunikasi dan Manajemen Lintas Budaya.

2. Masyarakat Kampung Naga

(18)

5 3. Pemerintah

(19)
(20)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Keaslian Budaya

Kata kebudayaan berasal dari (bahasa Sansekerta) buddhaya yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. ”. E. B. Taylor (1871) dikutip oleh Soekanto (2012) memberikan definisi mengenai kebudayaan, yaitu sebagai berikut:

“Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.” (Taylor, 1871)

Dengan kata lain, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, yaitu mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak. Kebudayaan dari setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun kecil yang merupakan bagian-bagian dari kesatuan. Seorang antropolog yaitu C. Kluckhohn dikutip oleh Soekanto (2012) telah menguraikan unsur-unsur kebudayaan, yaitu (1) peralatan dan perlengkapan manusia, (2) mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi, (3) sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan), (4) bahasa (lisan maupun tulisan), (5) kesenian, (6) sistem pengetahuan, dan (7) sistem kepercayaan.

Hal tersebut sejalan dengan Koentjoroningrat (2002) yang mengartikan kebudayaan sebagai kelakuan dan hasil tindakan yang dilakukan dengan cara belajar yang tersusun dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Khususnya dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan berfungsi sebagai penentu garis-garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Menurut Soekanto (2012), fungsi kebudayaan yaitu mengakomodir keinginan seseorang untuk menciptakan sesuatu guna menyatakan perasaan dan keinginannya pada orang lain ketika seseorang tersebut telah dapat mempertahankan dan menyesuaikan diri pada alam, dan ketika seseorang tersebut dapat hidup dengan manusia-manusia lain dalam suasana damai.

(21)

8

perubahan. Hal tersebut merupakan suatu gambaran ketaatan anggota adat dalam menjalankan adat istiadat yang mereka miliki. Bentuk ketaatan yang ditunjukkan oleh masyarakat pengikutnya sebagai salah satu cara untuk tetap menjaga identitas kebudayaan mereka tetap ada diera moderenisasi seperti sekarang. Berdasarkan hasil penelitian Bisri (2007) menjelaskan bahwa adat adalah sistem aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tertentu yang berasal dari adat kebiasaannya secara turun temurun yang dihormati dan ditaati oleh komunitas masyarakat tersebut sebagai tradisi.

Cole (2007) menjelaskan mengenai keaslian suatu kebudayaan di dalam dunia yang maju. Di desa Ngadha Flores Nusa Tenggara Timur, Indonesia adalah salah satu desa yang memiliki etnis yang berbeda. Ngadha merupakan daerah perkampungan adat diklasifikasikan sebagai wilayah yang terisolir dan terasingkan sehingga daerah itu memiliki ekonomi yang sangat rendah. Melihat suatu fenomena tersebut, pemerintah membantu mencarikan solusi yaitu dengan membuka suatu pariwisata di desa Ngadha. Pariwisata dianggap pilihan terbaik untuk kemajuan ekonomi daerah tersebut. Masyarakat adat Ngadha bersikap terbuka terhadap pariwisata yang dikelolah oleh pemerintah, dan masyarakat Ngadha memanfaatkan hal tersebut untuk memperkenalkan keaslian kebudayaan mereka. Mereka tetap melestarikan keaslian budaya yang berasal dari nenek moyang mereka. Mereka masih menjalankan upacara adat, norma-adat dan tidak ada yang mereka hilangkan. Semua berjalan seperti biasanya tanpa ada perubahan yang terkait dengan keaslian kebudayaan masyarakat adat Ngadha.

Masyarakat Adat

Masyarakat adat memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisi yang bermanfaat bagi penetapan dan pengaturan fungsi hutan (Poerwanto, 2000). Kearifan lokal ini merupakan salah satu dari pola adaptasi yang dikembangkan oleh masyarakat adat agar mampu memanfaatkan lingkungan sekitar demi kepentingannya baik untuk memperoleh bahan pangan, menghindari diri dari bahaya serta dapat dikatakan juga sebagai bentuk penjagaan dengan ekosistemnya agar tetap dapat mempertahankan hidupnya. Istilah masyarakat adat menjadi populer sejak beberapa aktivis LSM dan masyarakat melakukan pertemuan yang diorganisir oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Tanah Toraja pada tahun 1993. Pertemuan menyepakati masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memilikasalusul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (Sangaji 2001 dikutip Agung 2012).

(22)

9 status legalnya, memegang beberapa atau semua institusi sosial, ekonomi, kultural atau politik mereka sendiri.

Karakteristik Individu

Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), secara definitif, karakteristik pribadi/individu merupakan bagian dari individu yang melekat pada diri seseorang yang mendasari tingkah laku orang tersebut yang dibutuhkan dalam suatu kriteria atau situasi tertentu. Rogers and Shoemaker (1971) mengatakan bahwa usia dalam karakteristik sosioekonomi, memang mempengaruhi perubahan sikap dalam menerima suatu perubahan. Misalnya saja pada usia muda seseorang lebih mudah menerima suatu hal yang baru dibandingkan mereka yang berusia lanjut.

Karakteristik individu menurut Lionberger (1960) dikutip Walters et al.

(2005) menyatakan bahwa karakteristik individu yang perlu diperhatikan adalah umur, tingkat pendidikan dan karakteristik psikologi. Karaktreristik psikologi antara lain adalah rasionalitas, fleksibelitas mental, dogmatisme, orientasi terhadap usaha tani dan kecenderungan mencari informasi.

Karakteristik adalah sifat-sifat atau ciri-ciri yang melekat pada sesuatu (benda, orang atau makhluk hidup lainnya) yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupannya (Mardikanto 1993). Lebih jauh, Mardikanto (1993) memberikan contoh tentang karakteristik individu, yaitu sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang yang berhubungan dengan berbagai apek kehidupannya, antara lain umur, jenis kelamin, pendidikan, jabatan, status sosial dan agama. Merujuk pada pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan karakteristik suatu komunitas adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang melekat pada komunitas tersebut yang berhubungan dengan kehidupan mereka. Berdasarkan hasil penelitian Pamungkas (2012) mengatakan bahwa, suatu karakteristik individu dapat membentuk dan mempengaruhi suatu komunitas. Usia, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin memang mempengaruhi perilaku dalam suatu komunitas.

Menurut Baron dan Byrne (2003), jenis kelamin merupakan kejantanan atau kewanitaan yang ditentukan oleh faktor genetik yang berperan pada saat konsepsi dan menghasilkan perbedaan dalam fisik dan anatomi. Sedangkan gender merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin individu, termasuk peran, tingkah laku, kecenderungan, dan atribut lain yang mendefinisikan arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan dalam kebudayaan yang ada. Dalam hal-hal tertentu, tingkah laku seseorang dapat dipengaruhi oleh peran gender yang diharapkan, sehingga laki-laki seharusnya kuat, dominan, asertif, sementara perempuan seharusnya perhatian, sensitif, dan ekspresif secara emosional. Contohnya, laki-laki duduk dengan kaki dan lengan menjauh dari tubuh, sementara wanita duduk dengan salah satu kaki ditumpangkan pada kaki yang lain dan tangan pada tubuh.

Identitas Pribadi

(23)

10

pribadi sendiri serta tidak terlarut dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar, atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak muda memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekadar mengikuti pilihan orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang. Proses terjadinya identitas diungkapkan secara abstrak yang merupakan proses restrukturisasi segala identifikasi dan gambaran diri terdahulu diolah dalam perspektif masa depan. Identitas merupakan kelanjutan dari masa kanak-kanak, pengertian diri yang sekarang, dan menjadi petunjuk dimasa depan, oleh sebab itu seseorang membentuk identitas dirinya pada usia remaja akhir. Remaja yang berada pada periode remaja akhir dapat melihat dirinya dan tahu bagaimana bertindak untuk membentuk identitas dirinya. Identitas diri tidak dapat berkembang penuh sebelum masa remaja tengah dan akhir karena unsur pokok diintegrasikan (jenis kelamin, kemampuan fisik, seksualitas, kemampuan kognisi pada tahap operasional kongkrit, dapat merespon harapan sosial), semua hal tersebut tidak muncul bersama dalam suatu waktu. Remaja akhir diharapkan dapat memutuskan identitas dirinya.

Lau dan Pun (1999) dikutip oleh Baron dan Byrne (2003) mengungkapkan bahwa berpikir mengenai dirinya sendiri adalah aktivitas manusia yang tak dapat dihindari. Pada umumnya, secara harfiah orang akan berpusat pada dirinya sendiri. Sehingga self adalah pusat dari dunia sosial setiap orang. Sementara, seperti yang telah diketahui, faktor genetik memainkan sebuah peran terhadap identitas diri, atau konsep diri yang sebagian besar didasarkan pada interaksi dengan orang lain yang dimulai dengan anggota keluarga terdekat, kemudian meluas ke interaksi dengan mereka di luar keluarga. Menurut Baron dan Byrne (2003) identitas diri sangat berhubungan erat dengan konsep self. Konsep self

merupakan identitas diri seseorang sebagai sebuah skema dasar yang terdiri dari kumpulan keyakinan dan sikap terhadap diri sendiri yang terorganisir. Self

memberikan sebuah kerangka berpikir yang menentukan bagaimana kita mengolah informasi tentang diri kita sendiri termasuk motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan, dan banyak hal lainnya.

Identitas Sosial

(24)

11 lingkungan sosial, baik secara pemikiran, perilakunya ataupun cara mereka berkomunikasi.

Menurut Deaux (2001), motivasi seseorang dalam lingkungan sosial dapat membentuk identitas sosial mereka. Motivasi merupakan suatu dorongan kuat dari dalam diri untuk menentukan apa yang individu inginkan di dalam suatu kelompok sosial. Identitas memiliki dasar motivasi terutama dalam kasus identitas dimana orang memilih atau mencapai fungsi tertentu yang diyakini puas dengan identifikasi yang mereka pilih. Di dalam suatu kehidupan bermasyarakat, motivasi di dalam pembentukan identitas memiliki peran penting. Pertama, identitas dapat berfungsi sebagai sarana definisi diri atau harga diri, sehingga membuat seseorang merasa mengetahui lebih baik tentang dirinya. Kedua, identifikasi identitas dapat menjadi sarana untuk berinteraksi dengan orang lain dengan berbagai nilai-nilai dan tujuan, memberikan orientasi kelompok referensi dan aktivitas bersama. Ketiga, identifikasi sosial dapat berfungsi sebagai cara untuk mendefinisikan diri berbeda dengan orang lain yang menjadi anggota kelompok lain dengan memposisikan diri dalam komunitas yang lebih besar. Secara fungsional, identifikasi tersebut dapat bisa dijadikan sebagai dorongan untuk bergabung dengan kelompok serta menjadi agenda menentukan kegiatan kelompok.

Identitas merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam praktek komunikasi, identitas tidak hanya memberikan makna terhadap pribadi seseorang ataupun kelompok, namun memberikan suatu pemaknaan dan ciri khas dari kebudayaan yang melatar belakanginya. Pengertian identitas pada tataran hubungan antar manusia ataupun antar komunitas dipahami sebagai suatu yang lebih konseptual yakni tentang bagaimana meletakkan seseorang atau komunitas ke dalam tempat-tempat orang atau komunitas lain, atau sekurang-kurangnya membagi pikiran, perasaan, masalah, rasa simpatik dan lain-lain dalam sebuah proses komunikasi (antarbudaya). Melihat pengertian tersebut dikatakan bahwa identitas seseorang atau komunitas cenderung beradaptasi dengan struktur budaya dan struktur sosial yang hidup disekitarnya. Menurut Liliweri (2003), pengertian identitas sosial, terbentuk sebagai akibat dari keanggotaan dalam suatu kelompok kebudayaan. Tipe kelompok itu antara lain umur, gender, kerja, agama, kelas sosial, tempat dan seterusnya. Identitas sosial merupakan identitas yang diperoleh melalui proses pencarian dan pendidikan dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian seseorang dapat membedakan sekelompok orang dengan kelompok orang yang lain melalui kelompok umur lalu kita menetapkan ciri-ciri perilaku mereka berdasarkan usia tua atau muda. Kita mengatakan kalau orang-orang muda umumnya bernafsu besar, sebaliknya orang-orang tua lebih sabar, lebih bijaksana dan lebih lambat.

(25)

12

suatu pencirian diri atau komunitas dengan tetap mempertahankan apa yang mereka miliki terutama kebudayaan yang ada.

Identitas Kolektif

Identitas pada masa kini memiliki keberagaman yang diperoleh dari kelas sosial, ras, kebangsaan, gender, dan sebagainya yang dapat menyebabkan konflik dalam menentukan posisi suatu individu dan mengarah kepada identitas yang sudah terbentuk. Menurut Appiah dikutip oleh Utami (2012), di dalam diri manusia terdapat dua jenis identitas, yaitu identitas individual dan identitas kolektif. Appiah mencari semacam keseimbangan antara identitas individu dengan identitas kolektif, sehingga manusia tidak hanya melihat berdasarkan identitas kolektifnya saja (ras, agama, budaya, seksualitas dan kebangsaan). Namun identitas kolektif memiliki perbedaan dengan dimensi personal. Identitas kolektif berperan lebih besar dibesar peranannya dalam hubungan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Identitas kolektif berperan dalam pembentukan identitas seperti ras, gender, budaya, dan kebangsaan.

Berbicara mengenai identitas kolektif, pasti tidak akan terlepas dari suatu individu dan kelompok yang membentuknya. Menurut Appiah dikutip oleh Utami (2012) identitas kolektif merupakan identitas yang berasal dari suatu kelompok namun dirasakan dan dimiliki oleh setiap individu yang bertujuan untuk memperjelas dan memudahakan individu tersebut dalam berinteraksi dengan individu lain maupun kelompok. Misalnya seseorang dengan identitas beragama Islam, berasal dari suku Jawa, berjenis kelamin laki-laki dan berkebangsaan Indonesia. Agama, suku, jenis kelamin, dan kebangsaan yang dimilikinya adalah identitas kolektif yang menjadi bagian dan kebangsaan yang dimilikinya.

Identitas kolektif dapat dibentuk pula berdasarkan motivasi seseorang. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadopsi teori motivasi dari Deaux (2001) dalam identitas sosial yang menyatakan bahwa dorongan kuat dari dalam diri untuk menentukan apa yang individu inginkan di dalam suatu kelompok sosial. Motivasi juga dapat menentukan bagaimana seseorang dapat menempatkan dirinya di dalam suatu kelompok dan seberapa besar peranan mereka dalam kelompok tersebut. Hal ini sejalan dengan penilitian Ambayoen (2006) yang menyatakan bahwa komunitas adat masih memiliki identitas kolektif yang tinggi dimana mereka masih menjunjung tinggi adat istiadat. Masyarakat Tengger pada penelitian ini adalah masyarakat adat yang masih menjunjung tinggi adat istiadat. Meskipun daerah ini telah menjadi tempat pariwisata yang banyak dikunjungi wisatawan asing ataupun domestik, namun tidak merubah pola pikir mereka untuk meninggalkan adat istiadat yang mereka miliki. Motivasi mereka dalam hal ini adalah agar adat istiadat mereka tidak luntur dan hilang karena adanya pengaruh dari luar. Hal ini menunjukkan bahwa identitas kolektif masyarakat Tengger masih sangat kuat. Terbukti dari masih banyaknya anggota adat yang menjalankan adat istiadat tanpa memikirkan bagaimana adat istiadat tersebut membuat mereka tertinggal dengan dunia moderen.

Kerangka Penelitian

(26)

13 yang telah ditentukan oleh para leluhur mereka yang diyakini sebagai pedoman hidup yang masih mereka jalankan hingga sekarang. Berdasarkan hasil riview

pustaka, dinyatakan bahwa keaslian budaya memiliki hubungan dengan pembentukan identitas suatu komunitas. Apabila suatu keaslian budaya tetap terjaga maka identitas komunitas di dalamnya dapat terbentuk dan bertahan meskipun berada dalam sebuah jaman yang moderen. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui hubungan antara keaslian suatu masyarakat adat dengan pembentukan identitas komunitasnya yang dilihat berdasarkan motivasi mereka untuk tetap menjaga keaslian budaya yang dimiliki.

Pada penelitian ini variabel yang diuji hubungannya yaitu variabel karakteristik, variabel ketaatan terhadap adat, dan variabel pembentukan identitas komunitas. Variabel karakteristik individu yang digunakan dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan jenis kelamin. Karakteristik individu dihubungkan dengan ketaatan terhadap adat dan pembentukan identitas komunitas (identitas pribadi, identitas sosial, dan identitas kolektif). Hal tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Anjartika (2013) menjelaskan bahwa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu di daerah asal tersebut. Karateristik individu tersebut meliputi usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan jenis kelamin. Variabel ketaatan terhadap adat yang dilihat frekuensi anggota adat melaksanakan adat istiadat, dihubungkan dengan variabel pembentukan identitas komunitas (identitas pribadi, identitas sosial, dan identitas kolektif).

Adapun keterkaitan antar variabel-variabel tersebut tersaji dalam kerangka pemikiran dibawah ini :

Keterangan : : Berhubungan

Gambar 1 Kerangka penelitian keaslian Kampung Naga dalam pembentukan identitas masyarakat adat

(27)

14

Hipotesis

Adapun hipotesis pengarah yang membantu peneliti dalam mengarahkan dan memudahkan pencarian data dan proses pengujian hipotesis, antara lain:

1. Terdapat hubungan antara karakteristik individu denga ketaatan terhadap adat.

2. Terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan pembentukan identitas Kampung Naga.

3. Terdapat hubungan antara ketaatan terhadap adat dengan pembentukan identitas Kampung Naga

Definisi Operasional

1. Karakteristik individu merupakan faktor internal individu masyarakat Kampung Naga yang menggerakan dan mempengaruhi perilaku mereka. Karakteristik individu terbagi menjadi empat variabel yaitu :

a. Usia merupakan lamanya hidup masyarakat Naga hingga saat ini. Pembagian usia pada penelitian ini, dibagi berdasarkan adat masyarakat Naga yaitu remaja (13-18 tahun), dewasa awal (19- 34

tahun) dan dewasa tua (≥ 35 tahun). Usia tersebut diberi kode yaitu

remaja = 1, dewasa awal = 2 dan dewasa tua = 3. Data ini termasuk dalam skala ordinal.

b. Jenis Kelamin merupakan identitas biologis masyarakat Naga yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin tersebut diberi kode yaitu laki-laki = 1, dan perempuan = 2. Data ini termasuk dalam skala nominal.

c. Tingkat Pendidikan merupakan jenis pendidikan sekolah tertinggi yang dirasakan oleh masyarakat Naga yang terbagi kedalam tiga katagori yaitu SD, SMP, dan SMA. Ketiga kategori tersebut diberi kode yaitu SD = 1, SMP = 2, dan SMA = 3. Data ini termasuk dalam skala ordinal. d. Jenis pekerjaan merupakan aktivitas yang dilakuakan sehari-hari oleh

masyarakat Naga untuk mendapatkan keuntungan material untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada penelitian ini, jenis pekerjaan yang ada di Kampung Naga beserta pengkodeannya terbagi menjadi tujuh yaitu tidak bekerja = 1, petani = 2, penjaga toko = 3, pemandu wisata = 4, wiraswasta = 5, dan pengrajin = 6. Data ini termasuk dalam skala nominal.

2. Keaslian masyarakat adat merupakan suatu bentuk tindakan masyarakat Naga yang mencerminkan ketaatan terhadap adat. ketaatan terhadap adat diukur dari frekuensi mereka dalam melaksanakan adat. Ketaatan terhadap adat melihat bagaimana ketaatan tiap individu Naga untuk melaksanakan adat istiadat yang mereka miliki. Ketaatan tersebut diukur dengan menggunakan skala ordinal, dan indikator yang digunakan dalam pengukuran keaslian masyarakat Naga dengan tidak pernah melakukannya

adalah “1”, jarang melakukannya adalah “2”, sering melakukan adalah

(28)

15 - Lemah : jika skor total berjumlah 1,71 - 2,37

- Sedang : jika skor total berjumlah 2,38 - 3,04 - Kuat : jika skor total berjumlah 3,05 - 3,71

3. Pembentukan identitas kampung adat adalah proses pencirian yang khas dari komunitas Naga yang terjadi akibat adanya sebuah aktivitas yang memperlihatkan bagaimana masyarakat Kampung Naga mengetahui diri mereka masing-masing sebagai individu dari Kampung Naga sehingga menghasilkan identitas masyarakat Naga. Pembentukan identitas Kampung Naga diukur menggunakan kuesioner dari empat variabel yaitu pembentukan identitas pribadi, pembentukan identitas sosial dan pembentukan identitas kolektif dengan menggunakan skala ordinal dan pengkodeannya yaitu tidak pernah melakukannya adalah “1”, jarang melakukannya adalah “2”, sering melakukan adalah “ 3”, dan selalu

melakukan adalah “4”. Skor untuk masing-masing variabel jika

dikategorikan tinggi adalah “3”, jika dikategorikan sedang adalah “2” dan

jika dikategorikan rendah adalah “1”. Untuk masing-masing variabel

sebagai berikut :

a. Pembentukan identitas pribadi yaitu proses penentuan diri pada setiap individu masyarakat Naga tentang apa yang ia inginkan untuk masa depannya yang didorong dari motivasi mereka dalam hal mewujudkan cita-cita. Diukur dengan menggunakan tujuh pernyataan pada kuesioner dengan skala ordinal tidak pernah melakukannya adalah “1”, jarang melakukannya adalah “2”, sering melakukan adalah “3”, dan selalu melakukan adalah “4”. Dikategorikan tinggi, sedang, rendah dengan indeks sebagai berikut :

1. Lemah : jika skor rata-rata antara 2,29 - 2,72 2. Sedang : jika skor rata-rata antara 2,73 - 3,16 3. Kuat : jika skor rata-rata antara 3,17 - 3,57

b. Pembentukan identitas sosial adalah proses dimana kita mendefinisikan diri kita dalam istilah dan kategori yang dibagikan dengan orang lain pembentukan suatu identitas diri sebagai masyarakat Kampung Naga di lingkungan sosialnya yang didorong dari motivasi mereka dalam hal bagaimana mereka menempatkan diri mereka di lingkungan sosial seperti bagaimana mereka bertingkah laku didepan orang lain, tanggapan orang lain terhadap dirinya. Diukur dengan menggunakan enam perrnyataan pada kuesioner dengan skala ordinal tidak pernah melakukannya adalah “1”, jarang melakukannya adalah “2”, sering melakukan adalah “3”, dan selalu melakukan adalah “4”. Dikategorikan tinggi, sedang, rendah dengan indeks sebagai berikut :

(29)

16

c. Pembentukan identitas kolektif adalah proses penentuan diri dalam suatu kelompok namun dirasakan dan dimiliki oleh setiap individu masyarakat Naga yang bertujuan untuk memperjelas dan memudahakan individu tersebut dalam berinteraksi dengan individu lain maupun kelompok, yang didorong dari motivasi mereka di dalam mengetahui identitas mereka di Kampung Naga. Diukur dengan menggunakan delapan perrnyataan pada kuesioner dengan skala ordinal tidak pernah melakukannya adalah “1”, jarang melakukannya adalah “2”, sering melakukan adalah “3”, dan selalu melakukan adalah “4”. Dikategorikan tinggi, sedang, rendah dengan indeks sebagai berikut :

(30)

METODE

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif dan didukung dengan metode kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan metode survei terhadap responden. Penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang lengkap (Singarimbun dan Effendi 1989). Sementara metode kualitatif dilakukan melalui metode wawancara mendalam kepada informan. Data kuantitatif digunakan untuk memperoleh data mengenai karakteristik individu masyarakat Naga, ketaatan setiap individu Naga dalam melaksanakan adat, dan pembentukan identitas Kampung Naga. pendenkatan kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam dari infroman mengenai adat istiadat Kampung Naga.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Objek penelitian ini meneliti tentang pembentukan identitas kampung adat. Tempat penelitian yang dipilih adalah Kampung Naga yang merupakan kampung adat yang berada Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat (lihat Lampiran 1). Pemilihan lokasi ini didasarkan atas beberapa pertimbangan: (1) Lokasi tersebut sesuai dengan topik penelitian dimana lokasi tersebut terdapat komunitas yang memiliki keunikan dalam realitas sosial dimana lokasi tersebut memiliki tantangan dalam mempertahankan kultur budayanya seiring dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung, (2) Kampung Naga telah menjadi salah satu Tourism Oriented sehingga menarik untuk dikaji proses pembentukan identitas komunitas di dalamnya (lihat Lampiran 7).

Teknik Sampling

Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data primer (Singarimbun dan Effendi 1989). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota masyarakat adat Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Karakteristik populasi di Kampung Naga menunjukkan masyarakat yang masih memegang kuat adat istiadat namun mereka terbuka dengan dunia luar dan menerima segala sesuatu yang baru. Ranah yang diteliti adalah tentang keaslian masyarakat Naga yang tercermin dari norma-adat yang mereka miliki sehingga, populasi sasaran dan unit analisisnya dalam penelitian ini adalah individu masyarakat Naga baik laki-laki ataupun perempuan menurut usia yang dikelompokan berdasarkan adat Naga. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu.

(31)

18

yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun dan Effendi 1889). Jumlah populasi sampling pada penelitian ini berjumlah 230 orang (lihat Lampiran 2). Dari populasi tersebut terbentuklah kerangka sampling yang terpilah menurut jenis kelamin dan pembagian usia berdasarkan adat, yaitu anggota adat laki-laki sebanyak 117 orang dan anggota adat perempuan sebanyak 113 orang, yang berusia 13 tahun keatas. Kemudian ditentukan sampel penelitian yang berjumlah 35 responden, yang terdiri atas 18 orang responden laki-laki dan 17 orang responden perempuan. Pengambilan responden tersebut dipilih karena responden yang diambil bersifat homogen, dimana mereka sama-sama menjadi anggota adat Naga tanpa melihat strata/tingkatan sosial di Kampung Naga. Untuk mendapatkan jawaban dari responden, peneliti harus mengahampiri masing-masing masyarakat Naga ke rumahnya.

Pada pendekatan kualitatif, sumber data yang diperoleh mengenai Kampung Naga berasal dari wawancara mendalam dengan informan. Informan yang dipilih adalah ketua himpunan wisata Kampung Naga, sesepuh Kampung Naga, Punduh

dan Lebe’ adat Naga serta Kepala Desa Neglasari. Pemilihan informan dilakukan secara purposive. Wawancara dengan pihak-pihak tersebut dilakukan dengan sengaja tanpa ada janji terlebih dahulu dan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam (lihat Lampiran 4).

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari kuesioner dan wawancara. Data sekunder sebagai data pendukung diperoleh melalui studi literatur berupa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Kampung Naga serta data demografi penduduk. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan melalui wawancara langsung dengan masyarakat Naga menggunakan kuesioner (lihat Lampiran 3). Sementara untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam dengan informan yang dipilih dengan menggunakan panduan pertanyaan (lihat Lampiran 4). Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari profil Desa Neglasari, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dan gambaran umum lokasi penelitian serta informasi yang berhubungan dengan Kampung Naga.

Teknik Analisis Data

Data primer yang diperoleh dari hasil kuesioner diolah secara statistik deskriptif. Selanjutnya data tersebut dipindahkan kedalam Microsoft Excel 2007 yang telah disiapkan. Data-data tersebut nantinya akan diolah menggunkan SPSS 16.0 for Windows. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan data yang telah terkumpul. Data yang dianalisis secara statistik deskriptif yaitu variabel karakteristik individu masyarakat Naga seperti usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan jenis pekerjaan, variabel ketaatan terhdap adat yaitu ketaatan terhadap adat, serta variabel pembentukan identitas yaitu identitas pribadi, identitas sosial dan identitas kolektif.

(32)

19 terhadap pembentukan identitas Kampung Naga dianalisis dengan menggunakan

rank Spearman. Sementara itu, untuk variabel karakteristik individu seperti jenis kelamin dan jenis pekerjaan terhadap ketaatan terhadap adat serta terhadap pembentukan identitas Kampung Naga dianalisis dengan menggunakan Chi-Squere.

Di dalam suatu penelitian disebutkan bahwa untuk melihat keeratan hubungan suatu variabel maka dilihatlah nilai korelasinya. Hal ini dijelaskan oleh Hasan (2009), bahwa koefisien korelasi adalah bilangan yang digunakan untuk mengukur derajat hubungan, meliputi kekuatan hubungan dan bentuk/arah hubungan. Untuk kekuatan hubungan, nilai korelasi berada di antara -1 dan +1. Untuk bentuk/arah hubungan, nilai koefisien korelasi dinyatakan dalam positif (+) dan negatif (-). Jika koefisien korelasi bernilai positif maka variabel-variabel berkorelasi positif, artinya jika variabel X naik/turun maka variabel Y juga naik/turun. Jika koefisien berkorelasi bernilai negatif maka variabel-variabel berkorelasi negatif, artinya jika variabel X naik/turun maka variabel Y akan turun/naik.

Hubungan Chi-Square diinterpretasikan pada pandangan Siegel (1985) menyatakan bahwa, nilai-nilai yang biasa digunakan untuk p-value adalah 0.05 dan 0.01. Seorang peneliti mungkin menetapkan untuk bekerja pada tingkat 0.05 tetapi seorang pembaca boleh jadi tidak mau menerima penemuan yang tidak signifikan pada tingkat 0.01, 0.005, atau 0.001, sementara pembaca lain mungkin tertarik dengan penemuan yang mencapai tingkat 0.08 atau 0.10, sehingga seorang peneliti dapat menggunakan salah satu dari nilai-nilai probabilitas tersebut. Tingkat kesalahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 10 persen atau pada taraf nyata 0.1, dengan tingkat kepercayaan 90 persen.

(33)
(34)

KAMPUNG NAGA SEBAGAI KAMPUNG ADAT

Kondisi Geografis

Kampung Naga merupakan salah satu kampung di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, dengan luas wilayah 1.5 hektar. Luas wilayah tersebut hanya digunakan untuk pemukiman saja. Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu secara umum berupa berbukit cukup curam, kepadatn tanah relatif stabil, kondisi tanah subur dan curah hujan cukup banyak. Kampung Naga terdiri dari satu Rukun Tetangga (RT). Perkampungan masyarakat Naga sendiri berada di suatu lembah dengan batas-batasan yang mengelilinginya yaitu sebelah Utara Desa Cigalon, sebelah Selatan adalah Bukit dan jalan raya Tasikmalaya-Garut, sebelah Timur sungai Ciwulan, sebelah Barat adalah hutan keramat dan bukit Naga.

Kampung Naga dapat ditempuh dengan segala jenis kendaraan transportasi, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Keberadaan Kampung Naga berada di pinggir jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Bila menempuh perjalanan dari Kabupaten Tasikmalaya ke arah barat, maka jarak yang ditempuh kurang lebih 30 km, dari Kabupaten Garut ke arah timur jarak yang harus ditempuh kurang lebih 26 km, dan dari ibukota provinsi Jawa Barat, jarak yang harus ditempuh kurang lebih 106 km. Setelah melalui jalan tersebut barulah tiba di pelataran parkiran Kampung Naga yang cukup luas. Pintu masuk Kampung Naga yang memiliki pelataran parkiran yang cukup luas. Setelah menyusuri pelataran parkiran Kampung Naga, perjalanan menuju pemukiman masyarakat Kampung Naga dimulai dari menyusuri anak tangga yang berjumlah 335 buah. Setelah itu dengan menyusuri jalanan setapak yang berada di pinggiran sungai, sampailah di perkampungan masyarakat Naga.

Kondisi Demografi dan Sosial

Kampung Naga terdiri dari satu RW dan satu RT dengan jumlah keluarga sebanyak 108 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk sebanyak 316 jiwa pada Tahun 2012. Banyaknya penduduk Kampung Naga relatif stabil, artinya dari tahun ketahun tidak terjadi pertambahan penduduk yang cepat. Masyarakat yang baru menikah, biasanya tidak membangun rumah lagi di Kampung Naga melainkan pergi keluar Kampung Naga. Hal ini dilakukan karena lahan di Kampung Naga sangat terbatas, sehingga tidak memungkinkan mereka membangun bangunan rumah lagi.

Tabel 1 Persentase masyarakat Kampung Naga berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Persentase (%)

Laki-laki 51.43

Perempuan 48.57

Total 100.00

(35)

22

Kampung Naga, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 159 orang dengan persentase sebesar 51.43 persen, dan penduduk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 157 orang dengan persentase sebesar 48.57 persen. Berdasarkan hal tersebut, jumlah laki-laki masih lebih banyak dibandingkan perempuan, namun perbedaannya tidak begitu signifikan. Jika dilihat dari peranannya, laki-laki dan perempuan di Kampung Naga memang berbeda. Peran dalam hal adat memperlihatkan bahwa, laki-laki lebih menonjol dibandingkan peran perempuan. Laki-laki dijadikan simbol pemimpin di Kampung Naga, sehingga segala perkataannya harus ditaati.

Tabel 2 Persentase pekerjaan di Kampung Naga

Jenis pekerjaan Persentase (%) berdasarkan populasi sampling. Jenis pekerjaan yang paling banyak dimiliki adalah pekerjaan sebagai petani yaitu sebanyak 37.14 persen. Mata pencaharian utama masyarakat Kampung Naga memang berasal dari sektor pertanian, khususnya pertanian organik. Menjadi seorang petani adalah salah satu pekerjaan turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat Naga. Pekerjaan ini masih digeluti hingga sekarang meskipun, ada pekerjaan-pekerjaan sampingan yang mereka lakukan. Namun setelah masuknya ilmu pengetahuan yang diikuti dengan banyaknya kunjungan yang dilakukan wisatawan baik domestik ataupun mancanegara ke Kampung Naga, maka sebagian mata pencaharian masyarakat menjadi berubah. Banyak masyarakat Naga yang beralih profesi sebagai pemandu wisata, pedagang, pengrajin dan lainnya. Sekarang Kampung Naga menjadi salah satu kampung yang sumber penghasilan masyarakatnya berasal dari sektor non pertanian. Mayoritas masyarakatnya bekerja di luar Kampung Naga atau merantau. Walaupun demikian, masyarakat yang tinggal di Kampung Naga, mayoritas memiliki profesi sebagai petani. Pekerjaan lain yang ditekuni oleh masyarakat Kampung Naga selain menjadi petani yaitu menjadi pengrajin anyaman bambu, pemandu wisata, penjaga toko, dan wiraswasta.

Tabel 3 Persentase pendidikan di Kampung Naga

Jenis pendidikan Persentase (%)

SD 85.7

SMP 11.4

SMA 2.9

Total 100.0

(36)

23 adalah tamatan SD sebesar yaitu sebesar 85.7 persen. Hal ini disebabkan karena kurangnya sarana dan prasaran pendidikan, sehingga membuat masyarakat Kampung Naga sebagian besar hanya tamatan SD saja. Selain itu faktor utama yang menjadi kendala mereka adalah faktor keuangan. Kemampuan yang terbatas untuk melanjutkan sekolah, menjadikan mereka memutuskan untuk berhenti dan melanjutkannya dengan membantu orang tua bekerja. Tamatan SMP dan SMA, hanya dirasakan sebagian masyarakat. Meski begitu, ada pula sebagian kecil yang mendapatkan pendidikan hingga sarjana.

Tabel 4 Persentase usia di Kampung Naga

Usia Persentase (%)

Remaja 17.14

Dewasa Awal 25.86

Dewasa Tua 60.00

Total 100.00

Tabel 4 memperlihatkan usia Di Kampung Naga berdasarkan pupulasi sampling. Usia yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat Naga yaitu usia dewasa tua. Hal ini dikarenakan masyarakat Naga yang memiliki usia dewasa tua yaitu orang-orang yang memiliki usia 35 tahun keatas, memilih untuk menetap di Kampung Naga. Mereka menggap bahwa diri merekalah yang harus menjaga tanah leluhur dan menjalankan adat istiadat Kampung Naga. Pada usia tersebut, seseorang telah dianggap dewasa secara adat, sehingga mereka mampu dan memahami adat istiadat yang ada di Kampung Naga. Sementara sebagian besar usia remaja dan dewasa awal berada di luar Kampung Naga untuk keperluan pekerjaan ataupun pendidikan.

Menilik agama yang dianut oleh masyarakat Naga, agama Islam adalah agama mayoritas yang menjadi kepercayaan masyarakat Naga. Sunda merupakan etnik dominan yang mereka miliki. Oleh karena itu, masyarakat di desa ini dapat disebut masyarakat mono-religi dan mono-etnik. Mono-religi dan mono-etnik menjadi ciri khas masyarakat Sunda khususnya masyarakat Naga. Pencirian tersebut ditandai dengan adanya tempat peribadatn berupa masjid kecil yang terletak dialun-alun Kampung Naga.

Pemerintahan di Kampung Naga dibagi menjadi dua yaitu formal dan informal. Pemerintahan formal seperti Ketua RT, Ketua RW, Kepala desa atau punduh desa dipilih langsung oleh masyarakat dan memiliki masa jabatan lima tahun. Sementara pemerintahan informal di Kampung Naga dibagi menjadi tiga yaitu Kuncen, Lebe, dan Punduh. Masing-masing dari mereka memiliki masa jabatan seumur hidup dan tidak dipilih oleh masyarakat, jabatan tersebut didapat secara turun temurun/satu garis keturunan. Kuncen atau kepala adat merupakan pemimpin adat (pemimpin informal) yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat Naga. Keberadaan kuncen di yakini dapat memimpin masyarakat Naga dengan baik dan bijak sesuai dengan adat yang berlaku. Selain itu Kuncen

memiliki tugas untuk memimpin upacara adat dan acara-acara adat yang lainnya.

Lebe merupakan salah seorang pemimpin adat yang bertugas untuk mengurusi keagamaan seperti mengurus jenazah dari awal pemandiannya hingga pemakaman.

(37)

24

masyarakat Naga agar tetap berpegang pada adat istiadat yang telah diturunkan oleh leluhur mereka.

Pelapisan sosial dalam masyarakat adat merupakan perbedaan status sosial yang didasarkan dari kekayaan dan jabatan. Namun hal ini tidak terjadi di Kampung Naga. Masyarakat Naga tidak pernah memperlihatkan status sosial mereka kepada khalayak ramai. Mereka memandang, diri mereka adalah satu bagian sehingga tidak ada yang kaya ataupun miskin. Namun jika diamati dan dianalisis secara mendalam, maka masyarakat Naga dapat digolongkan menjadi masyarakat golongan atas, menengah dan juga bawah. Standar dari penggolongan ini ialah kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Kekayaan ini dapat dilihat dari kepemilikan tanah yang ada, kepemilikan kendaraan dan letak rumah di dalam pemukiman masyarakat Naga. Namun, hal yang paling mendasar dalam pembedaan golongan tersebut adalah kepemilikan tanah. Orang-orang yang memiliki tanah sendiri dan tanah tersebut dijadikan lahan pertanian maka mereka akan cenderung mempekerjakan orang lain untuk mengurus tanahnya dan mendapatkan bagian dari hasil panen. Di saat yang bersamaan, orang tersebut mencari pekerjaan lain lagi untuk juga memenuhi kebutuhan hidupnya. Golongan atas biasanya juga merupakan orang-orang yang memiliki pendidikan cukup, para pemuka agama maupun pamong desa. Golongan menengah, biasanya mereka yang bekerja berdagang atau wiraswasta, dengan pendidikan yang terbatas. Golongan bawah adalah mereka yang mengerjakan tanah orang lain serta kurang memiliki pendidikan.

Pola Kebudayaan Masyarakat Naga

Kampung Naga adalah salah satu kampung adat yang berada di Jawa Barat. Sejarah dari Kampung Naga sendiri tidak banyak yang tahu sebab masyarakat asli Naga pun tidak tahu kapan Kampung Naga ini ada. Asal usul masyarakat Kampung Naga dapat terkuak apabila sejarah nenek moyang mereka yang ditulis di atas daun lontar dan salah satu piagamnya yang terbuat dari tembaga, masih utuh. Namun lempengan tersebut dipinjam oleh Pemerintahan Hindi Belanda di Batavia (Jakarta) dan tidak dikembalikan lagi. Pemerintah Hindi Belanda hanya mengembalikan duplikat dari lempengan tersebut yang tebuat dari tembaga. Benda-benda pusaka yang tersisa pada saat itu, diharapkan bisa mengungkap sejarah masa lalu dan asal usul leluhur mereka, namun benda-benda pusaka tersebut dan seisi Kampung Naga, telah habis terbakar api dikerenakan adanya pemberontakan gerombolan DI/TII Kartosuwirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1956, dimana pada saat itu Tasikmalaya dan beberapa wilayah lainnya di Priangan Timur pernah dijadikan basis pertahanan DI/TII di Jawa Barat. Di daerah tersebut, kemanan dan dan kenyaman tidak lagi terjaga. Musnahnya benda-benda pusaka akibat dibakar oleh DI/TII pada saat itu, membuat masyarakat Kampung Naga kehilangan seluruh aset dan harta yang mereka miliki. Setelah peristiwa itu terjadi, kini masyarakat Kampung Naga menyatakan bahwa

mereka sudah “pareumeun obor”.

(38)

25 masyarakat pengikutnya dengan penuh keyakinan dan selalu memathu adat istiadat yang terlah diturunkan oleh nenek moyang mereka, sehingga adat istiadat tersebut dijadikan pedoman bagi kehidupan mereka. Hal ini menjadikan Kampung Naga memiliki ciri khas tersendiri sebagai salah satu kampung adat di Jawa Barat. Adat istiadat yang ada di Kampung Naga merupakan suatu aturan yang sangat sakral sehingga harus dijalani dengan baik. Meskipun hukum adat tidak berlaku di Kampung Naga, namun masyarakat Naga tetap menjalankan adat istiadat tersebut. Hal ini dikarenakan masyarakat Naga sangat menghormati leluhur mereka. Adat istiadat yang berlaku di Kampung Naga meliputi ada hari-hari tertentu yang sangat ditabukan untuk orang Naga menceritakan sejarah Kampung Naga yaitu hari selasa, rabu, dan sabtu serta pada saat bulan Safar dan bulan suci Ramadhan, mempertimbangkan hari baik jika ingin melaksanakan upacara pernikahan, mengikuti setiap perkataan sesepuh/orang tua, tidak diperbolehkan memasuki bumi ageung, menanam padi sesuai dengan adat istiadat, dan tidak diperbolehkan pergi ke sawah dihari dimana orang tua mereka meninggal serta setiap tanggal 1 bulan Islam. Semua adat istiadat yang telah ditentukan tersebut, masih dijalankan oleh seluruh masyarakat Naga tanpa adanya pengecualian.

Upacara adat di Kampung Naga merupakan upacara yang sakral dan harus dilakukan oleh setiap individu yang bersesuaian dengan adat. Upacara adat yang ada dan masih dijalankan hingga kini meliputi upacara hajat sasih, upacara “Gusaran”, upacara pernikahan, dan upacara panen. Upacara hajat sasih

merupakan upacara terbesar yang ada di Kampung Naga dengan kegiatan berziarah kubur ke makam leluhur mereka yaitu “Sembah Dalem Eyang Singaparna”. Upacara ini merupakan upacara ritual yang agenda pelaksanaannya diselenggarakan secara tetap. Upacara tersebut berlangsung enam kali dalam setahun dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh diubah. Alternatif waktu pelaksanaannya dilakukan pada bulan Muharam, tanggal 26, 27, atau 28, bulan Maulud, tanggal 12, 13, atau 14, bulan Jumadil Akhir, tanggal 14, 15, atau 16, bulan Ruwah, tanggal 14, 15, atau 16, bulan Syawal, tanggal 1, 2, atau 3 dan terakhir bulan Rayagung, tanggal 10, 11,atau 12. Adanya alternatif waktu penyelenggaraan tersebut, bukan berarti upacara hajat sasih diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut, pelaksanaan dipilih berdasarkan waktu yang memungkinkan (Suganda 2006). Upacara gusaran sama artinya dengan upacara khitanan. Didalam lingkungan masyarakat Naga, khitanan dilakukan secara massal bersamaan dengan masyarakat Sanaga. Oleh karena itu, jumlah pesertanya bisa mencapai lebih dari 30 anak. Uniknya, mereka harus berpasangan dengan anak wanita, maka jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat. Akan tetapi tidak semua diantara mereka memiliki kesiapan mengikuti upacara tersebut. Orang tua harus membujuk dengan janji-janji agar hati anaknya luluh. “Mun daek, engke ku

ema dibelikeun momobilan”, kata seorang ibu yang membujuk anaknya yang baru

(39)

26

menyelenggarakan secara besar-besaran mengingat keterbatasan lahan di pemukimannya. Oleh karena itu, mereka yang diundang sangat terbatas yaitu hanya keluarga terdekat. Rangkaian upacaranya meliputi nanyaan, ngalamar, dan mawakeun setelah itu dilanjutkan dengan nyawer. Terakhir adalah upacara panen. Upacara ini dilakukan setiap kali panen padi dengan tujuan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan anugrah-Nya. Namun pada upacara ini, masyarakat Naga melakukannya sendiri-sendiri.

Gambar 2 Upacara hajat sasih di Kampung Naga

Bentuk bangunan di Kampung Naga merupakan bentuk bangunan panggung yang sangat unik. Dengan letak membujur ke arah utara-selatan, dari kejauhan sudah terlihat atap bangunanan bagai deretan trapesium yang memanjang dengan warna hitam. Letak bangunan-bangunan tersebut saling berhadap-hadapan dan tidak boleh membelakangi bagian depan rumah lainnya. Hampir seluruh bahan bangunannya terbuat dari bahan-bahan lokal yang mudah didapat di daerah setempat, kecuali beberapa bagian tertentu seperti paku dan kaca untuk daun jendela. Sesuai dengan pikukuh leluhurnya, mereka tabu membangun rumah tembok dengan atap genting, walaupun secara ekonomi memungkinkan. Atapnya yang dilapisi ijuk berbentuk memanjang sehingga disebut suhunan panjang. Pada bagian atap bangunan tersebut, meskipun bangunannya rapat tetapi bagian ujung tidak boleh menutup atap bangunan rumah disebelahnya. Ujung atap bagian atas dipasangi gelang-gelang yang terbuat dari sepasang bambu setinggi setengah meter dari puncak atap, sehingga bentuknya menyerupai tanduk atau huruf “V”. Bambu gelang-gelang itu kemudian dililit tambang ijuk lalu bagian atasnya ditutup batok kelapa, sehingga terlindung dari terik matahari dan hujan. Gelang-gelang merupakan simbol ikatan kesatuan dalam kepercayaan mereka terhadap alam semesta dengan segenap isinya, dimana matahari bergerak dari timur ke barat. Dindingnya berwarna putih dilabur kapur, dan sebagian besarnya dibiarkan berwarna asli. Seperti dinding rumahnya, kusen jendela dan kusen pintu tidak boleh dicat, kecuali agar bisa tahan lama. Atap yang berwarna hitam yang terbuat dari ijuk, menghasilkan warna yang kontras yang membuat ciri sendiri dalam bangunannya. Bagian dari rumah panggung ini dibagi menjadi lima yaitu tepas imah, tengah imah, pangkeng, dapur dan goah, kolong imah, dan golodok

(40)

27 Kampung Naga terkenal dengan pelestarian alamnya. Hal ini tercermin dari adat yang mengatur tentang larangan menebang pohon sembarang. Di Kampung Naga terdapat dua hutan yang sangat dijaga kelestariannya. Hutan terebut diberi nama hutan keramat dan hutan larangan. Hutan keramat merupakan hutan yang sangat mereka sakralkan dan tidak boleh sembarang orang memesuki hutan tersebut. Hutan keramat ini hanya boleh dimasuki pada saat upacara Hajat Sasih dilaksanakan untuk berjiarah kubur. Hutan ini berada di sebelah barat Kampung Naga dan di dalamnya terdapat makam-makam para leluhur Kampung Naga. Sedangkan hutan larangan yang berada di sebelah timur Kampung Naga yang bersebrangan langsung oleh sungai Ciwulan adalah hutan yang tidak boleh sama sekali dimasuki oleh siapapun. Tidak ada yang berani untuk memasuki hutan tersebut dengan alasan “pamali”. Sebenarnya hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kelestarian hutan tersebut. Dengan membiarkan hutan tetap terjaga, maka akan membantu mereka untuk tetap hidup bersama alam (Somantri 1998)

Gambar 3 Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga

Pola pikir masyarakat Naga sedikit berbeda dengan masyarakat tradisional lainnya. Pola pikir mereka sedikit lebih maju namun tidak meninggalkan adat istiadat. Pemikiran masyarakat Naga mengenai pentingnya pendidikan, menjadikan mereka mengutamakan anak-anak mereka untuk bersekolah setinggi-tingginya. Alasan utama mereka adalah agar kehidupan anak-anak mereka dapat lebih baik dan meningkatkan kesejahteraannya. Namun hal ini tidak membuat ketakutan akan lunturnya adat istiadat di dalam diri masyarakat Naga. Ajaran dan perkataan sesepuh/orang tua selalu dijadikan acuan utama dalam menjalankan hidup. Jadi meskipun anak-anak mereka memiliki pendidikan dan pekerjaan yang tinggi, tapi adat istiadat yang telah ditanamkan sejak kecil tidak akan dilupakan.

(41)
(42)

KARAKTERISTIK MASYARAKAT NAGA, KETAATAN

TERHADAP ADAT, DAN IDENTITAS MASYARAKAT

KAMPUNG NAGA

Karakteristik Masyarakat Naga

Karakteristik individu masyarakat Naga merupakan faktor internal yang dibagi kedalam empat variabel yaitu usia, pendidikan, pekerjaan dan jenis kelamin. Pertama akan dibahas adalah persentase jumlah usia yang dikelompokkan kedalam usia remaja, dewasa awal, dan dewasa tua. Kedua akan dibahas mengenai jenis kelamin. Ketiga akan dibahas mengenai jumlah dan persentase tingkat pendidikan yang terdiri dari tingkat SD, SMP, dan SMA. Keempat, akan dibahas pekerjaan masyarakat adat Naga.

Tabel 5 Jumlah dan persentase karakteristik individu Naga menurut usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.

Gambar

Gambar 2  Upacara hajat sasih di Kampung Naga
Tabel 5  Jumlah dan persentase karakteristik individu Naga menurut usia,  jenis
Tabel 7  Persentase identitas masyarakat Kampung Naga yang dilihat berdasarkan

Referensi

Dokumen terkait

pilar tersebut berjumlah 7 buah sesuai dengan tema jumlah museum yang diangkat dalam Buku ini. Selain itu juga menampilkan konsep keyword sebagai judul buku, yaitu ‘Tujuh

Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk membuktikan secara ilmiah melalui penelitian dengan judul “Hubungan explosive power otot tungkai dan Kelincahan terhadap

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahu profil disolusi terbanding dari tablet floating metformin HCl yang telah diformulasikan dengan tablet metformin HCl

klorida; 4) Baja tanpa dilapisi ekstrak biji kakao, lalu direndam dalam medium asam klorida. Kemudian laju korosi baja yang dilapisi clan yang tidak dilapisi ekstrak biji

Selanjutnya dari hasil penelitian ini dapat diberikan saran: (1) bagi guru Bahasa dan Sastra Indonesia, sebaiknya hasil penelitian ini dijadikan sebagai alternatif materi

10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, maka perlindungan hukum terhadap hak-hak wisatawan sebagai konsumen diatur dalam Pasal 4 Undang-undang No.. 8 Tahun 1999 tentang

Hal ini terbukti dan dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan yaitu hasil uji korelasi dengan nilai r xy sebesar 0,542, yang menunjukkan terdapat

Hasil penelitian ini menunjukkan dukungan terhadap teori berbasis ekonomi khususnya teori signaling karena ter- dapat bukti empiris yang konsisten bahwa tingkat