• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap karakterisasi dilakukan untuk mengetahui mutu dan karakteristik bahan-bahan yang akan digunakan. Minyak sawit yang digunakan dalam penelitian adalahNDRPO, yaitu minyak sawit yang sudah mengalami netralisasi dan deodorisasi. Proses netralisasi CPO menjadi NRPO dilakukan oleh Widarta (2008), sedangkan deodorisasi NRPO menjadi NDRPO oleh Riyadi (2009).

Netralisasi adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (Ketaren, 1986). Sebelum melakukan proses netralisasi, Widarta (2008) melakukan proses degumming terlebih dahuluterhadap CPO. Proses degumming dilakukan dengan cara memanaskan CPO hingga suhu 80 °C, kemudian menambahkan larutan asam fosfat 85% sebanyak 0.15% dari berat CPO sambil mengaduknya perlahan-lahan (56 rpm) selama 15 menit. Proses degumming tersebut ternyata meningkatkan kadar air dan asam lemak bebas serta menurunkan karoten sebanyak 3.42%. Proses pemurnian selanjutnya adalah netralisasi (deasidifikasi), yaitu dengan menambahkan larutan NaOH sambil diagitasi pada suhu dan waktu tertentu. Reaksi antara NaOH dengan minyak dapat dilihat pada Gambar 17. Suhu dan waktu optimum yang diperoleh dari penelitian Widarta (2008) adalah 61±2 °C dan 26 menit. Sabun yang dihasilkan dari proses tersebut dipisahkan dengan sentrifugasi menggunakan spiner, kemudian dilakukan pencucian dengan air panas (5-8 °C lebih hangat dari suhu minyak) yang dapat menghilangkan sabun sekitar 90%. Banyaknya air yang digunakan adalah tujuh kali lebih banyak dibandingkan jumlah minyak. NRPO yang dihasilkan melalui proses tersebut mengalami kenaikan kadar air, penurunan bilangan peroksida, namun bilangan iod dan bilangan penyabunan relatif tetap.

NRPO dari penelitian Widarta (2008) diproses lebih lanjut oleh Riyadi (2009) melalui proses deodorisasi sehingga dihasilkan NDRPO. Deodorisasi

36 merupakan suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan bau dan rasa yang tidak enak dalam minyak. Prinsip proses deodorisasi yaitu penyulingan minyak dengan uap panas dalam tekanan atmosfer atau keadaan vakum. Biasanya, proses deodorisasi dilakukan dengan memanaskan minyak pada temperatur 200°C – 250°C dengan tekanan sebesar 1-6 mmHg, dan dialiri uap selama 0.3 – 12 jam (Ketaren, 1986). Deodorisasi yang dilakukan oleh Riyadi (2009) adalah dengan cara menghomogenkan bahan baku (NRPO) di dalam tangki deodorizer selama 10 menit pada suhu 46 ± 2°C. Setelah itu, dilakukan pemanasan dalam kondisi vakum (tekanan vakum -74±2 cmHg) sampai suhu 130, 140, atau 150 °C. Laju alir gas pelucut (N2) dijaga konstan pada 20L/jam selama proses deodorisasi (1 atau 2 jam). NDRPO yang digunakan dalam penelitian ini adalah NDRPO yang mengalami pemanasan selama 2 jam pada suhu 140 °C. Berdasarkan karakterisasi yang telah dilakukan oleh Riyadi (2009), NDRPO dengan pemanasan 140 °C selama 2 jam dapat dilihat pada Tabel 13.

Gambar 17. Reaksi penyabunan saat proses netralisasi (Portal Pendidikan Utusan, 2002)

Tabel 13. Karakteristik NDRPO dengan pemanasan 140 °C selama 2 jam (Riyadi, 2009)

Parameter NDRPO

Kadar air (%) 0.00 ± 0.00

Kadar asam lemak bebas (%) 0.25 ± 0.04 Kadar karoten (mg/kg) 329.52 ± 53.94 Bilangan peroksida (meq O2/kg) 0.20 ± 0.13

Warna, skala Lovibond 30 Y + 9.65 R

Minyak sawit merah yang digunakan sebagai bahan baku penelitian diperoleh dengan cara melakukan fraksinasi terhadap NDRPO. Fraksinasi

37 merupakan proses pemisahan fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin) dari minyak dengan winterisasi, yaitu proses pemisahan bagian gliserida jenuh atau bertitik cair tinggi dari trigliserida bertitik cair rendah dengan cara pendinginan (chilling) hingga suhu 5-7ºC (Ketaren, 1986). Fraksinasi dilakukan dengan memanaskan NDRPO terlebih dahulu dalam oven pada suhu 50-55°C selama 15 menit. Menurut Ketaren (1986), dekomposisi minyak dengan adanya udara terjadi pada suhu lebih rendah (190°C) daripada tanpa udara (240-260°C). Oleh karena itu, suhu pemanasan (50-55°C) yang telah dilakukan, diharapkan tidak akan merusak minyak. Pemanasan dilakukan untuk meningkatkan jumlah olein yang dihasilkan. Setelah dipanaskan, NDRPO didiamkan pada suhu ruang (±25°C) selama 24 jam sehingga fase olein dapat dipisahkan dari stearin. Fraksinasi hanya dilakukan pada suhu ruang karena pada suhu 20°C, hampir semua bagian NDRPO membeku sehingga tidak diperoleh olein. Olein selanjutnya dianalisis untuk diketahui kandungan karoten serta kadar airnya.

Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa minyak sawit merah yang digunakan mengandung karoten sebesar 295.56 ppm dengan kadar air 0.64% (b/k) atau 0.63% (b/b). Kadar air MSM lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar air minyak olahan seperti minyak goreng, yaitu maksimum 0.3% (b/b) menurut SNI 01-3741-1995. Kadar karoten mengalami penurunan sekitar 10.31% jika dibandingkan dengan kadar karoten sebelum NDRPO disimpan (Tabel 13). Penurunan kadar karoten tersebut disebabkan karena NDRPO sudah cukup lama disimpan, yaitu sekitar 6-14 bulan sehingga kadar air meningkat. Adanya air dalam minyak dapat memicu reaksi hidrolisis yang menyebabkan penurunan mutu minyak. Selain itu, karotenoid juga peka terhadap oksidasi oleh cahaya dan suhu. Hal ini disebabkan karena adanya ikatan ganda pada struktur karoten sehingga sensitif terhadap oksidasi. Winarno dan Laksmi (1989) juga menjelaskan bahwa beberapa karoten membentuk ester dengan asam lemak, sehingga bila terjadi kerusakan pada lemak sekaligus akan merusak karotennya. Hidrolisis yang terjadi pada esternya menyebabkan lemak terlepas, karoten teroksidasi dan mengalami degradasi menghasilkan crocetin yang mempunyai dua gugusan karboksil.Meskipun kadar karoten MSM mengalami penurunan, sebenarnya

38 jumlahnya masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar karoten pada MSM yang digunakan oleh Yusuf (1999), yaitu sekitar 152.52 ppm. Rendahnya kadar karoten MSM dalam penelitian Yusuf (1999) tersebut disebabkan karena degradasi karoten selama proses pembuatan minyak sawit merah dari CPO telah melewati proses destilasi vakum. Penelitian lain yang menganalisis kadar karoten dalam minyak olahan dilakukan oleh Rianto (1995) yang menyebutkan bahwa minyak goreng komersil hanya mengandung karoten 17 ppm.

Kadar air maltodekstrin adalah 7.12% (b/k) atau 6.65% (b/b). Hal ini berarti mutu maltodekstrin yang digunakan sudah sesuai dengan standar mutu dekstrin untuk pangan menurut DSN (1992) yang menyebutkan bahwa kadar air maksimum 11% (b/b). Maltodekstrin didefinisikan sebagai bahan yang mempunyai nilai DE 3-20. Oleh karena itu, analisis nilai DE dibutuhkan untuk mengetahui jenis maltodekstrin yang digunakan.Hasil analisis menunjukkan bahwa maltodekstrin yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai nilai dextrose equivalent (DE) 10,72. Nilai DE ini menunjukkan persen gula pereduksi terhadap total gula dalam maltodekstrin. Karakteristik dan fungsi dari maltodekstrin dipengaruhi oleh nilai DE. Semakin rendah nilai DE, maka maltodekstrin akan semakin non-higroskopis. Sedangkan maltodekstrin dengan DE yang tinggi akan cenderung mempunyai sifat yang sama dengan corn syrup. Maltodekstrin dengan DE yang rendah lebih efektif sebagai pengikat lemak dibandingkan dengan DE yang tinggi. Nilai DE yang tinggi akan memberikan viskositas yang lebih rendah. Analisis nilai DE dilakukukan untuk mengetahui sifat maltodekstrin yang digunakan. Semakin tinggi nilai DE maltodekstrin, maka makin tinggi konsentrasi produk (bahan inti) yang dapat masuk ke dalam larutan. Oleh karena itu perlu ditambahkan bahan pengisi yang lain agar diperoleh produk mikroenkapsulasi yang baik (Simanjuntak, 2007). Analisis nilai DE dilakukan dengan cara menganalisis kadar gula pereduksi dan total gula dalam maltodekstrin (Lampiran 1). Bahan penyalut lain, yaitu gum arab digunakan untuk meningkatkan kestabilan emulsi. Gum arab yang digunakan mempunyai kadar air 12.25% (b/k) atau 10.91% (b/b).

39

Dokumen terkait