• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Pembuatan Biopastik

2. Karakterisasi bioplastik

Baik pada ulangan pertama maupun kedua, bioplastik yang dibuat tanpa penambahan pemlastis (0% DMF) dan dengan penambahan pemlastis sebesar 12,5%, 25% dan 37,5% dapat berhasil membentuk lembaran dengan baik. Sedangkan penambahan pemlastis sebesar 50% menyebabkan tidak terbentuknya lembaran bioplastik. Bioplastik yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Bioplastik dari PHA pati sagu dengan konsentrasi DMF 0% (a), 12,5% (b), 25% (c), dan 37,5% (d).

Apabila dilihat dari penampakan secara fisik, bioplastik yang dibuat tanpa penambahan pemlastis mempunyai tekstur lebih keras dari pada bioplastik dengan penambahan pemlastis. Penambahan pemlastis menjadikan bioplastik yang dihasilkan menjadi lebih lembek dan lunak. Hal ini sesuai dengan fungsi pemlastis yaitu sebagai bahan pelembut meterial yang kaku sehingga elastisitasnya meningkat (Allcock dan Lampe, 1981). Semakin banyak pemlastis yang ditambahkan maka bioplastik yang dihasilkan semakin lembek dan lunak. Namun pada penambahan pemlastis dengan konsentrasi 50% menyebabkan tidak terbentuknya bioplastik.

Pembuatan bioplastik dengan konsentrasi pemlastis sebesar 50% menyebabkan tidak terbentuknya bioplastik yang diinginkan. Konsentrasi pemlastis yang mencapai 50% menyebabkan bioplastik dibuat menjadi sangat lunak sehingga tidak tidak bisa diangkat dari cetakan. Apabila pengangkatan dari cetakan dilakukan dengan pencukilan maka bagian yang dicungkil langsung hancur karena terlalu lunak.

Penambahan pemlastis DMF diduga menyebabkan terbentuknya ikatan hidrogen antara molekul PHA dengan DMF. Proses pembentukan ikatan hidrogen antara PHA dan DMF dapat dilihat pada Gambar 9. Gugus OH yang terdapat pada kedua ujung polimer PHA merupakan ikatan kovalen polar antara O dan H. Menurut Sukardjo (1985), ikatan kovalen merupakan ikatan yang terbentuk dengan pembagian elektron. Pada ikatan kovalen yang terdapat pada gugus OH diujung rantai polimer PHA, elektron tidak terbagi merata dan akan lebih dekat kepada atom yang mudah menarik elektron. Atom O merupakan atom dengan elektronegativitas tinggi sehingga akan menarik elektron dari atom H. Penarikan elektron ke arah atom O menyebabkan atom H semakin menjauh karena terbentuk kutup positif pada atom H dan kutub negatif pada atom O. Sementara itu atom O dengan ikatan rangkap yang terdapat pada gugus ester molekul DMF cenderung kurang stabil sehingga membentuk ikatan hidrogen dengan atom H terpolarisasi yang terdapat pada ujung rantai polimer PHA. Menurut Sukardjo (1985), ikatan hidrogen

tersebut terbentuk karena gaya elektrostatik antara H dan O. Ikatan hidrogen sifatnya lebih lemah dari pada ikatan kovalen. Ikatan hidrogen terjadi antara atom-atom yang sangat polar, yaitu atom-atom yang mempunyai elektronegativitas tinggi seperti F, O, dan N dengan atom H.

Gambar 9. Proses pembentukan ikatan hidrogen antara PHA dan dimetil ftalat (DMF).

Dari Gambar 9 dapat diketahui bahwa pemlastis DMF mengikat gugus OH yang terdapat pada kedua ujung rantai polimer PHA. Semakin tinggi konsentrasi DMF yang digunakan maka semakin banyak gugus OH yang terikat. Apabila konsentrasi DMF terus dinaikkan maka semakin habis gugus OH bebas pada ujung rantai polimer PHA. Tidak adanya gugus OH bebas pada ujung rantai polimer PHA menyebabkan DMF tidak bisa membentuk ikatan lagi dengan polimer PHA. Pada kondisi yang demikian dapat dikatakan bahwa polimer PHA sudah jenuh dengan penambahan DMF. Apabila polimer PHA sudah jenuh dengan penambahan DMF maka penambahan DMF akan menyebabkan bioplastik yang dibuat menjadi sangat lunak atau bahkan tidak bisa kering karena banyak molekul DMF dengan kondisi bebas (tidak berikatan dengan PHA). Pada pembuatan bioplastik dengan konsentrasi DMF 50% menyebabkan polimer PHA sudah jenuh dengan penambahan DMF sehingga bioplastik yang dibuat tidak terbentuk.

Setelah proses pembuatan bioplastik selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan karakterisasi terhadap bioplastik yang dihasilkan untuk mentukan kualitas dan melihat pengaruh konsentrasi DMF. Karakterisasi yang dilakukan meliputi pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus, analisa gugus fungsi, analisa sifat termal, dan pengukuran derajat kristalinitas.

Kuat Tarik dan Perpanjangan Putus

Kuat tarik dan perpanjangan putus merupakan karakteristik mekanik yang banyak diuji untuk menentukan kualitas plastik. Pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine (UTM) dengan merek Simadzu AGS-10KNG. Pengujian dilakukan dengan menggunakan standar ASTM D 882-92 tentang pengukuran kuat tarik film plastik yang sangat tipis (thin plastic sheeting) dengan ketebalan kurang dari 0,1 mm. Pengukuran kuat tarik dilakukan pada bioplastik dengan konsentrasi DMF 0%, 12,5%, 25%, dan 37,5%.

3,0 3,4 3,6 3,6 2,7 2,8 2,9 3,0 3,1 3,2 3,3 3,4 3,5 3,6 3,7 0 12,5 25 37,5 Konsentrasi DMF (%) Ku at T ari k (M P a)

Sedangkan bioplastik dengan konsentrasi DMF 50% tidak bisa diuji karena bioplastik tidak terbentuk.

Pengaruh peningkatan konsentrasi DMF terhadap nilai kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik PHA pati sagu dapat dilihat pada Gambar 10. Sedangkan hasil pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.

(a)

(b)

Gambar 10. Kurva hubungan antara konsentrasi DMF dengan kuat tarik (a) dan perpanjangan putus (b) bioplastik PHA pati sagu.

22,9 23,9 12,7 7,0 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 0 12,5 25 37,5 Konsentrasi DMF (%) Perpa nj anga n P u tus ( % )

Nilai kuat tarik menunjukkan kekuatan tarik plastik yang dihasilkan ketika mendapat beban. Nilai tersebut menggambarkan kekuatan tegangan maksimum bahan untuk menahan gaya yang diberikan. Pada Gambar 10(a) terlihat bahwa peningkatan konsentrasi DMF menyebabkan terjadinya penurunan nilai kuat tarik bioplastik. Penurunan nilai kuat tarik terjadi setelah konsentrasi DMF lebih dari 12,5%. Pada selang konsentrasi DMF 0% (tanpa pemlastis) sampai konsentrasi DMF 12,5%, nilai kuat tarik bioplastik tidak mengalami perubahan.

Menurut Allcock dan Lampe (1981), sifat mekanik suatu bahan dipengaruhi bentuk molekul, kekompakan molekul, kristalinitas, kekuatan ikatan molekul, dan gaya antarmolekul. Penambahan pemlastis DMF menyebabkan terbentuknya interaksi molekuler dengan rantai polimer PHA dalam bentuk ikatan hidrogen (lihat Gambar 9). Ikatan hidrogen merupakan ikatan yang sangat lemah, lebih lemah dari ikatan kovalen (Sukardjo, 1985). Sehingga pembentukan ikatan hidrogen tersebut menyebakan peningkatan kecepatan respon viskoelastis dan mobilitas molekuler rantai polimer PHA. Peningkatan mobilitas molekuler tersebut menjadikan kekompakan molekul menjadi berkurang. Kekompakan molekul polimer yang semakin berkurang seiring dengan peningkatan konsentrasi DMF menyebabkan semakin sedikitnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik bahan sehingga kuat tarik bahan semakin turun. Pernyataan diatas didukung oleh Hammer (1978) yang menyatakan bahwa prinsip kerja pemlastis adalah dengan membentuk interaksi molekuler rantai polimer untuk meningkatkan kecepatan respon viskoelastis pada polimer sehingga dapat meningkatkan mobilitas molekuler rantai polimer. Billmeyer (1994) menambahkan bahwa pemlastis yang ditambahkan pada polimer semikristalin akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi dengan fase kristalin sehingga struktur polimer menjadi lebih amorf. Perubahan struktur polimer ke arah lebih amorf menjadikan polimer lebih elastis.

Perpanjangan putus merupakan regangan maksimum yang dialami bahan saat dikenai gaya. Pada Gambar 10(b) terlihat bahwa peningkatan

konsentrasi DMF sampai dengan 25% menyebabkan semakin meningkatnya perpanjangan putus bioplastik. Namun peningkatan konsentrasi DMF di atas 25% menyebabkan terjadinya penurunan perpanjangan putus. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemlastis dapat meningkatkan kecepatan respon viskoelastis dan mobilitas molekuler rantai polimer. Peningkatan konsentrasi DMF berarti meningkatkan kecepatan respon viskoelastis dan mobilitas molekuler rantai polimer PHA. Meningkatnya mobilitas molekuler rantai polimer menunjukkan bahwa bahan semakin elastis sehingga perpanjangan putus juga akan semakin meningkat. Peningkatan tersebut akan berlaku selama masih terbentuk interaksi molekuler rantai polimer dengan pemlastis.

Pada penelitian ini, peningkatan konsentrsi DMF diatas 25% menyebabkan penurunan perpanjangan putus bioplastik. Penurunan tersebut dikarenakan peningkatan konsentrasi pemlastis tidak diikuti oleh pembentukan interaksi molekuler dengan rantai polimer bioplastik. Pada Gambar 9 terlihat bahwa pembentukan interaksi molekuler melalui adanya ikatan hidrogen antara PHA dan DMF akan terjadi apabila masih ada gugus OH bebas pada ujung rantai PHA. Apabila pada ujung rantai PHA tidak terdapat gugus OH bebas maka DMF yang ditambahkan tetap berdiri sendiri sebagai molekul DMF tanpa adanya ikatan dengan PHA. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan konsentrasi DMF diatas 25% menyebabkan perpanjangan putus bahan semakin menurun. DMF yang ditambahkan tidak bisa lagi membentuk ikatan hidrogen dengan PHA karena gugus OH bebas pada ujung rantai PHA sudah tidak ada lagi. Penambahan DMF hanya akan menyebabkan bahan menjadi terlalu lunak atau tidak bisa kering seperti yang terjadi pada pembuatan bioplastik dengan konsentrasi DMF 50%.

Karakterisasi yang selanjutnya hanya dilakukan untuk bioplastik yang mempunyai sifat mekanik terbaik dan bioplastik kontrol (DMF 0%). Dari hasil pengujian kuat tarik dan perpanjangan putus ditetapkan bahwa bioplastik dengan konsentrasi DMF 25% adalah yang terbaik karena mempunyai perpanjangan putus terbesar. Namun sebelumnya untuk

menentukan kulitas bioplastik yang dihasilkan, dibuatlah bioplastik dari PHB murni yang dibeli dari Sigma-Aldrich. Pembuatan bioplastik dari PHB murni dilakukan dengan menggunakan teknik dan metode yang sama dengan pembuatan bioplastik dari PHA pati sagu. Bioplastik dari PHB murni dibuat dengan konsentrasi DMF 25% karena pada konsentrasi tersebut diperoleh bioplastik PHA pati sagu dengan sifat mekanik terbaik. Selain itu dibuat juga bioplastik PHB murni tanpa penambahan DMF yang digunakan sebagai kontrol. Gambar 11 merupakan bioplastik yang dibuat dari PHB murni.

Gambar 11. Bioplastik dari PHB murni dengan konsentrasi DMF 0% (a) dan 25% (b).

Kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik PHB murni pada konsentrasi DMF 0% dan 25% dapat dilihat pada Tabel 5. Sedangkan hasil pengujian secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6. Sama halnya dengan bioplastik PHA pati sagu, kuat tarik bioplastik PHB murni juga mengalami penurunan dengan adanya penambahan pemlastis DMF. Sedangkan perpanjangan putus menjadi meningkat dengan penambahan pemlastis DMF.

Terdapat perbedaan nilai kuat tarik dan perpanjangan putus antara bioplastik PHA pati sagu dengan bioplastik PHB murni. Bioplastik PHB murni mempunyai kuat tarik dan perpanjangan putus yang lebih besar dari pada bioplastik PHA pati sagu. Perbedaan ini disebabkan oleh kemurnian bahan yang berbeda. PHB murni kemurniannya sekitar 99% sedangkan kandungan PHB pada PHA pati sagu hanya sekitar 70-80%, 20-30% berupa pengotor dan PHA jenis lain (Atifah, 2006).

Tabel 6. Perbandingan kuat tarik dan perpanjangan putus bioplastik PHA pati sagu dan bioplastik PHB murni.

Kuat Tarik (MPa) Perpanjangan Putus (%) Konsentrasi

DMF (%) Bioplastik PHA Pati Sagu

Bioplastik PHB Murni

Bioplastik PHA Pati Sagu

Bioplastik PHB Murni

0 3,571 8,465 7,00 16,12

25 3,382 3,620 23,88 35,98

Tabel 7. Nilai kuat tarik dan perpanjangan putus PHB dan PP (Lee, 1996; Poirier et al., 1995).

Karakteristik PHB Polipropilen

Kuat tarik (MPa) 40 34,5

Perpanjangan putus (%) 6 400

Apabila dibandingkan dengan literatur (Tabel 7), bioplastik PHA pati sagu maupun bioplastik PHB murni mempunyai kuat tarik yang lebih rendah dan perpanjangan putus yang lebih tinggi dari PHB literatur. Sedangkan apabila dibandingkan dengan polipropilen, baik bioplastik PHA pati sagu maupun bioplastik PHB murni mempunyai kuat tarik dan perpanjangan putus yang lebih rendah. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam hal jenis sampel maupun teknik dan metode pembuatan bioplastik. Bioplastik yang dihasilkan pada penelitian ini berupa film plastik dengan ketebalan sekitar 0,03 mm dan dibuat dengan teknik solution casting.

Gugus Fungsi

Analisa gugus fungsi bioplastik dilakukan dengan menggunakan Fourier Transform Infra-Red Spectroscopy (FTIR) dengan merek ATI Mattson. Menurut Nur (1989), inframerah merupakan salah satu jenis gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 0,78 sampai 1000 µm atau bilangan gelombang 12800 sampai 10 cm-1. Penggunaan inframerah yang paling banyak adalah pada daerah pertengahan dengan kisaran bilangan gelombang 4000 sampai 670 cm-1. Kegunaan yang paling penting adalah untuk identifikasi senyawa organik karena spektrumnya sangat komplek yang terdiri dari banyak puncak. Spektrum inframerah dari senyawa organik mempunyai sifat fisik yang khas, artinya kemungkinan dua senyawa mempunyai spektrum sama adalah kecil sekali. Energi radiasi inframerah akan diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C=C, C=O, O-H dan sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda sehingga kemungkinan dua senyawa berbeda akan mempunyai absorpsi yang sama adalah kecil sekali. Hasil analisa gugus fungsi bioplastik dengan FTIR dapat dilihat pada Gambar 12.

Beberapa peak (puncak absorbsi) yang muncul pada spektra FTIR bioplastik (Gambar 12) menunjukkan bahwa dalam bioplastik yang dianalisa terdapat lebih dari satu jenis ikatan (gugus fungsi). PHA merupakan suatu poliester yang mempunyai beberapa gugus fungsi dominan seperti karbonil ester (C=O), ikatan polimerik COC, OH, -CH-, dan -CH2. Identifikasi terhadap spektrum FTIR sampel bioplastik perlu dilakukan untuk mengetahui jenis gugus fungsi yang ada berdasarkan bilangan gelombang dimana suatu peak muncul. Tabel 8 menyajikan hasil identifikasi jenis-jenis gugus fungsi terkait dengan pita spektrum FTIR yang terbaca pada bilangan gelombang tertentu.

(a)

(b)

Gambar 12. Spektra FTIR bioplastik PHA pati sagu 0% DMF (a) dan 25% DMF (b).

Tabel 8. Hasil identifikasi spektrum FTIR bioplastik Bioplastik 0% DMF Bioplastik 25% DMF No Bilangan Gelombang (cm-1) Inten-sitas Identifikasi Bilangan Gelombang (cm-1) Inten-sitas Identifikasi 1 3440,38 Sedang NH amida protein 3440,48 Sedang NH amida protein 2 2974,79* Sedang OH karboksilat 2930,83* Tajam 3 2931,13* Tajam 2854,67* Sedang CH 4 2854,13* Sedang CH 1735,57* Tajam C=O ester 5 1751,04* Tajam C=O ester 1457,57 Tajam ttd 6 1455,57* Sedang CH2 <1457,57* Sedang CH2 7 1380,61* Tajam CH3 1380,39* Tajam CH3 8 1310,87 Tajam N=O 1310,87 Tajam N=O 9 1310,87-1064,10* Tajam C-O-C polimer 1310,87-1072,22* Tajam C-O-C polimer 10 979,65-462,83 Sedang ttd 748,24** Sedang Aromatis Orto 11 516,82 Sedang ttd

Catatan: 1 Identifikasi didasarkan Nur (1985) ttd = tidak diketahui

* Gugus fungsi PHA ** Gugus fungsi DMF

Tujuan dari analisa gugus fungsi adalah untuk mengetahui gugus fungsi yang ada pada molekul bioplastik baik yang berasal dari bahan baku bioplastik (PHA) maupun pemlastis (DMF). Hasil identifikasi gugus fungsi yang tersaji pada Tabel 8 menunjukkan bahwa semua gugus fungsi dominan dari molekul PHA muncul pada spektra FTIR bioplastik tanpa pemlastis (0% DMF). Gugus fungsi tersebut meliputi karbonil ester (C=O), ikatan polimerik C-O-C, -OH, CH, dan CH2. Sedangkan pada spektra FTIR bioplastik dengan konsentrasi DMF 25% menunjukkan bahwa peak gugus OH semakin tidak terdeteksi. Keberadaan gugus OH pada molekul PHA semakin melemah karena adanya penambahan pemlastis DMF. Penambahan DMF menyebabkan terbentuknya ikatan hidrogen yang menyebabkan atom H pada gugus OH molekul PHA semakin menjauh dengan atom O (lihat Gambar 9). Akibatnya intensitas gugus OH semakin melemah yang ditunjukkan dengan tidak munculnya peak pada bilangan gelombang untuk gugus OH (~2974 cm-1).

DMF merupakan senyawa yang mempunyai struktur molekul aromatis orto, yaitu molekul dengan rantai karbon melingkar dengan dua cabang pada dua atom karbon berurutan (lihat Gambar 9). Adanya gugus aromatis orto ditunjukkan pada spektra FTIR bioplastik dengan konsentrasi DMF 25%, yaitu adanya peak yang muncul pada bilangan gelombang 735-770 cm-1 (Nur, 1985). Sedangkan pada spektra FTIR bioplastik tanpa pemlastis (0% DMF) tidak ditemukan adanya gugus aromatis.

Hasil identifikasi gugus fungsi yang tersaji pada Tabel 8 menunjukkan adanya gugus fungsi yang tidak terdapat pada molekul PHA seperti gugus N-H (amida protein) dan N=O. Gugus fungsi tersebut diduga berasal dari pengotor yang belum terpisahkan pada saat proses hilir PHA. Pengotor tersebut dapat berupa protein yang berasal dari pecahan sel (cell debris). Lafferty et al. (1988) menyatakan bahwa PHB dilapisi oleh satu lapisan membran yang mengandung protein sehingga dikatakan granula PHB terdiri dari 98% PHB dan 2% protein.

Dari spektra FTIR bioplastik tanpa pemlastis (0% DMF) terlihat adanya gugus metil (CH3) selain gugus karbonil ester (C=O), OH, CH, CH2, dan ikatan polimerik C-O-C. Adanya gugus metil memperkuat dugaan bahwa PHA yang digunakan untuk membuat bioplastik merupakan jenis PHB. Atifah (2006) juga menyatakan bahwa kultivasi fed-batch dengan bakteri Ralstonia eutropha dan sumber karbon hidrolisat pati sagu akan menghasilkan PHA jenis PHB.

Sifat Termal

Analisa sifat termal dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC) dengan merek Mettler Toledo. Standar pengujian yang digunakan adalah ASTM 3418-99. Sifat termal yang dianalisa adalah suhu pelelehan (melting point, Tm) dan suhu transisi kaca (glass transition temperature, Tg). Tg dan Tm merupakan sifat termal yang penting untuk dianalisa guna mengetahui kemampuan proses suatu polimer. Menurut Allcock dan Lampe (1981), Tg merupakan suhu

peralihan dari bentuk kaca ke karet (rubber) untuk polimer amorf atau peralihan dari kaca ke termoplastik untuk polimer kristalin. Sedangkan Tm merupakan suhu dimana polimer berubah bentuk menjadi cair (liquid). Ilustrasi atas Tg dan Tm untuk polimer amorf dan kristalin dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Perbedaan transisi antara polimer amorf dan kristalin (Allcock dan Lampe, 1981)

Menurut Jandali dan Widmann (1995), analisa sifat termal merupakan suatu teknik untuk megetahui karakteristik suatu bahan berdasarkan fungsi suhu dan waktu. Pada teknik ini, sampel dipanaskan atau didinginkan pada laju konstan. Salah satu teknik analisis sifat termal adalah DSC (Diffrential Scanning Calorimetry). DSC mengukur sejumlah energi (panas) yang diserap atau dilepaskan oleh suatu sampel ketika dipanaskan, didinginkan atau didiamkan pada suhu konstan. DSC juga mengukur suhu sampel pada kondisi tersebut. Hasil analisa sifat termal bioplastik PHA pati sagu dengan DSC dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Spektra DSC bioplastik PHA pati sagu 0% DMF (a) dan 25% DMF (b) (a) (b) 168,72oC 73,76 J/g 166,71oC 75,37 J/g

Hasil analisa sifat termal (Gambar 14) menunjukkan bahwa kedua bioplastik baik yang dibuat tanpa pemlastis (0% DMF) maupun dengan pemlastis (25% DMF) mempunyai dua suhu pelelehan yang ditandai dengan munculnya dua peak pada masing-masing spektra. Bioplastik 0% DMF meleleh pada suhu 149,84 dan 168,72oC. Sedangkan bioplastik 25% DMF meleleh pada suhu 122,55 dan 166,71oC. Peak yang terlihat pada spektra menuju ke arah bawah dengan tingkat ketajaman yang berbeda. Peak yang menuju ke arah bawah menunjukkan bahwa sampel menyerap energi (kalor) sehingga entalpi akan berubah dan prosesnya disebut endoterm. Energi yang diserap oleh sampel menyebabkan terjadinya pelelehan sampel. Oleh karena itu suhu pada saat tercapai puncak absorbsi energi kalor (peak) disebut sebagai suhu pelelehan (Tm).

Kemunculan dua peak yang berbeda pada masing-masing spektra DSC bioplastik menunjukkan bahwa pada bioplastik yang diuji terdapat dua buah komponen. Satu komponen lebih dominan yang ditandai dengan peak tajam. Komponen tersebut diduga PHA yang merupakan bahan baku bioplastik. PHA yang dimaksud diduga termasuk jenis PHB karena suhu pelelehannya (168,72 dan 166,71oC) mendekati suhu pelelehan PHB murni. Atifah (2006), menyatakan bahwa PHB murni mempunyai suhu pelelehan sebesar 170,15oC. Dugaan ini diperkuat oleh hasil analisa gugus fungsi yang telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan jenis-jenis ikatan yang teridentifikasi diketahui bahwa PHA pati sagu yang digunakan untuk membuat bioplastik termasuk dalam jenis PHB.

Penjelasan di atas menyatakan bahwa peak yang tajam menunjukkan adanya komponen dominan berupa PHA. Sedangkan komponen lain yang komposisinya lebih rendah, ditunjukkan oleh peak yang lemah, diduga merupakan pengotor. Adanya pengotor tersebut didasarkan pada kemurnian PHA pati sagu yang digunakan untuk membuat bioplastik sekitar 70-80%. Selain itu adanya pengotor juga teridentifikasi dari adanya gugus fungsi non-PHA pada karakterisasi dengan FTIR yang telah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu suhu pelelehan yang ditunjukkan oleh peak yang lemah dianggap bukan suhu pelelehan bioplastik yang

dibuat. Sebaliknya suhu pelelehan bioplastik ditunjukkan oleh peak yang tajam. Bioplastik yang dibuat tanpa pemlastis (0% DMF) mempunyai suhu pelelehan 168,72oC. Sedangkan bioplastik yang dibuat dengan konsentrasi DMF 25% mempunyai suhu pelelehan 166,71.

Bioplastik yang dibuat dengan penambahan pemlastis DMF mempunyai suhu pelelehan yang lebih rendah dari pada bioplastik yang dibuat tanpa pemlastis. Penurunan tersebut dikarenakan DMF yang ditambahkan membentuk interaksi molekuler dengan rantai polimer PHA (Gambar 9). Interaksi tersebut berupa pembentukan ikatan hidrogen antara PHA dan DMF. Interaksi yang terjadi menyebabkan struktur molekul polimer PHA menjadi kurang teratur atau dengan kata lain jumlah fraksi amorf meningkat sedangkan fraksi kristalin menurun. Penurunan jumlah fraksi kristalin inilah yang menyebabkan penurunan suhu pelelehan. Pernyataan tersebut sejalan dengan Billmeyer (1994) yang menyatakan bahwa jika suatu polimer semikristalin mendapat tambahan pemlastis maka akan terjadi penurunan suhu pelelehan (Tm) dan derajat kristalinitas. Pemlastis akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi dengan fase kristalin.

Menurut Jandali dan Widmann (1995), suhu transisi kaca (Tg) dapat dianalisa dengan menggunakan DSC. Suhu transisi kaca terdeteksi oleh adanya peak yang berbentuk seperti anak tangga (tanpa puncak) yang menunjukkan terjadinya peralihan bentuk dari kaca ke termoplastik atau karet. Pada hasil analisa sifat termal bioplastik (Gambar 14) tidak ditemukan peak yang menunjukkan Tg. Ketidakmunculan Tg mungkin disebabkan selang temperatur uji antara -90 sampai 200 tidak mencakup keberadaan Tg. Namun menurut Lee (1996) dan Poirier et al. (1995), PHB mempunyai Tg sekitar 5oC. Dengan demikian, tidak terdeteksinya nilai Tg mungkin disebabkan oleh kemampuan respon alat yang digunakan masih kurang sehingga tidak bisa menangkap perubahan entalpi pada saat terjadi transisi sampel dari kaca ke termoplastik.

Derajat Kristalinitas

Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan berdasarkan perubahan entalpi yang terjadi saat tercapai suhu pelelehan yang terukur pada saat pengukuran dengan DSC. Metode ini mengacu pada Hahn et al. (1995) yang menyatakan bahwa PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan mempunyai perubahan entalpi sebesar 146 J/g. Dari hasil analisa DSC (Gambar 14) diketahui bahwa perubahan entalpi pada saat tercapai suhu pelelehan adalah 73,76 J/g untuk bioplastik 0% DMF dan 75,37 J/g untuk bioplastik 25% DMF. Dengan menggunakan metode perbandingan maka dapat diperoleh nilai derajat kristalinitas. Bioplastik 0% DMF mempunyai derajat kristalinitas sebesar 50,52% sementara bioplastik 25% DMF sebesar 51,62%. Metode pendekatan yang dilakukan menghasilkan derajat kritalinitas yang lebih besar untuk bioplastik yang dibuat dengan penambahan pemlastis. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip kerja pemlastis. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penambahan pemlastis menyebabkan peningkatan jumlah fraksi amorf sehingga menurunkan suhu pelelehan dan derajat kristalinitas (Billmeyer,1994). Oleh karena itu metode pendekatan yang digunakan tersebut tidak cocok untuk digunakan.

Knapczyk dan Simon (1992) menambahkan bahwa polimer termoplastik yang kristalinitasnya tinggi meleleh lebih tajam pada suhu tinggi dari pada polimer amorf. Berdasarkan hal tersebut maka analisa

Dokumen terkait