• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Tempat dan Waktu Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pembuatan hidrolisat pati sagu

Sirup glukosa adalah cairan jernih dan kental dengan komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatis (SNI 01-2978-1992). Sirup glukosa yang dibuat pada penelitian ini berasal dari pati sagu yang dihidrolisis secara enzimatis. Hidrolisat pati sagu (sirup glukosa) tersebut digunakan sebagai sumber karbon pada kultivasi PHA.

Pemilihan pati sagu sebagai bahan baku pembuatan sirup glukosa adalah untuk menurunkan biaya produksi PHA. Menurut Lefebvre et al. (1997), salah satu strategi penurunan biaya produksi PHA adalah melalui penggunaan substrat yang murah. Produksi sagu di Indonesia cukup besar namun pemanfaatannya masih relatif rendah. Menurut Abner dan Miftahorrahman (2002), Indonesia merupakan pemilik areal sagu terbesar di dunia, yaitu 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia. Produktivitas pati sagu kering mencapai 25 ton/ha/tahun namun pemanfaatannya hanya 10% dari potensi yang ada.

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan Į-glikosidik sehingga harus dihidrolisis menjadi molekul yang lebih sederhana (glukosa) agar dapat digunakan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan bakteri. Proses hidrolisis pati sagu menjadi sirup glukosa dilakukan secara enzimatis. Selain itu pembuatan sirup glukosa juga dapat dilakukan dengan menggunakan asam. Namun metode hidrolisis dengan asam akan

menghasilkan DE (dextrose equivalent) yang lebih rendah dibanding hidrolisis secara enzimatis (Berghmans, 1981).

Proses pembuatan sirup glukosa dari pati sagu secara enzimatis terdiri dari dua tahap, yaitu tahap likuifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap likuifikasi, pati sagu yang telah digelatinisasi ditambah enzim Į-amilase. Pada tahap ini enzim Į-amilase akan memecah ikatan Į-(1,4)-glikosidik di bagian dalam rantai polisakarida secara acak menghasilkan oligosakarida yang mengandung 6-7 maltosa. Tahap sakarifikasi bertujuan untuk memecah oligosakarida hasil likuifikasi menjadi monosakarida yang siap digunakan oleh bakteri sebagai sumber karbon. Tahap sakarifikasi dilakukan dengan bantuan enzim amiloglukosidase (AMG).

Karakteristik hidrolisat pati sagu yang dihasilkan sangat penting untuk diketahui. Karakteristik hidrolisat pati sagu akan berpengaruh terhadap komposisi media kutivasi. Kandungan gula, nitrogen, dan mineral pada hidrolisat pati sagu akan mempengaruhi perhitungan rasio C dan N serta kebutuhan mineral mikro untuk media yang akan digunakan pada kultivasi PHA. Karakteristik hidrolisat pati sagu yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.

2. Kultivasi PHA

Kultivasi dilakukan dengan menggunakan bakteri Ralstonia eutropha. Kultivasi dilakukan pada bioreaktor kapasitas 13 liter volume kerja 10 liter dengan sistem fed-batch. Kultivasi sistem fed-batch mampu meningkatkan konsentrasi PHA dan rendemen PHA di dalam sel sebesar lebih dari dua kali lipat apabila dibandingkan dengan kultivasi sistem curah (Atifah, 2006).

Kultivasi dilakukan selama 96 jam. Agitasi yang digunakan sebesar 150 rpm dengan aerasi 0,2 vvm dan suhu 34oC. Pada kultivasi sistem fed-batch berarti ada pengumpanan. Pengumpanan dilakukan ketika konsentrasi sel mencapai maksimum dan konsentrasi gula dalam media hampir habis dikonsumsi mikroba, yaitu pada awal fase pertumbuhan stasioner. Fase pertumbuhan stasioner (ketika konsentrasi gula sisa dalam

media mendekati 1 g/L) mulai terjadi pada jam ke-48. Oleh karena itu pengumpanan dilakukan pada jam ke-48 (Atifah, 2006).

Tabel 4. Karakteristik hidrolisat pati sagu *)

Komponen Jumlah Satuan

Konsentrasi total gula 281 g/L Komposisi gula : Glukosa 43,29 % Maltosa 9,04 % Maltotriosa 14,71 % Matotetrosa 9,71 % Maltopentosa 7,46 % Maltoheksosa 4,82 % Maltoheptosa 9,46 % Lainnya 1,51 % Nitrogen 141,75 mg/L Kandungan logam : Pb 0,057 ppm Zn 0,276 ppm Cu 0,024 ppm Fe 0,411 ppm Ca 78,725 ppm Mn 4,416 ppm Mg 7,325 ppm Na 2,111 ppm K 99,75 ppm *) Atifah (2006)

Pada awal proses kultivasi pH diatur sebesar 6,9-7,0. Selama proses kultivasi nilai pH cenderung mengalami penurunan karena adanya sintesis asam hidroksialkanoat oleh Ralstonia eutropha. Nilai pH optimum 6,9-7,0 perlu dipertahankan dengan melakukan penambahan basa. Basa yang digunakan adalah NaOH 4 N (Atifah, 2006). Pengukuran nilai pH dan penambahan basa dapat dilakukan secara otomatis dengan memanfaatkan sensor pH dan pompa peristaltik yang terdapat pada bioreaktor.

Sumber karbon yang digunakan pada kultivasi ini adalah sirup glukosa (hidrolisat) pati sagu. Menurut Ayorinde et al. (1998), galur bakteri dan sumber karbon yang digunakan sangat berpengaruh terhadap PHA yang dihasilkan. Ralstonia eutropha dapat memproduksi PHB (poli-ȕ-hidroksibutirat) menggunakan glukosa dan PHV (poli-ȕ-hidroksivalerat)

menggunakan glukosa dan asam propionat. PHB dapat disintesa oleh Ralstonia eutropha jika salah satu elemen nutrisi seperti N, P, S, O atau Mg ada dalam jumlah terbatas namun sumber karbon ada dalam jumlah berlebih (Lee dan Choi, 2001).

Pada penelitian ini kultivasi dilakukan pada media yang mempunyai rasio C dan N sebesar 10:1 (Atifah, 2006). Nitrogen dijadikan sebagai nutrisi pembatas bagi pertumbuhan Ralstonia eutropha dalam mensintesis PHB. Sumber nitrogen yang digunakan adalah (NH4)2HPO4. Perhitungan besarnya (NH4)2HPO4 yang perlu ditambahkan pada saat formulasi media didasarkan pada total gula sirup glukosa. Total gula pada media fermentasi adalah 30g/L. Konsentrasi C yang terdapat pada sirup glukosa (C6H12O6) adalah 40% nilai total gula atau sebesar 12g/L sehingga konsentrasi N yang diperlukan adalah 1,2 g/L. Selain C dan N, media yang digunakan juga mengandung sumber K, P, dan Mg. Sumber K dan P adalah K2HPO4 dan KH2PO4 dengan konsentrasi sebesar 5,8 g/L dan 3,8 g/L. Sedangkan sumber Mg adalah MgSO4 dengan konsentrasi sebesar 10 ml/L.

Umpan yang digunakan pada kultivasi fed-batch adalah sirup glukosa pati sagu. Atifah (2006) telah melakukan kultivasi fed-batch dengan perlakuan jenis umpan. Jenis umpan tersebut adalah sirup glukosa, sirup glukosa dengan MgSO4, sirup glukosa dengan (NH4)2HPO4 dan MgSO4, dan umpan berupa media lengkap. Pengumpanan dengan sirup glukosa saja tanpa penambahan kompenen lain menghasilkan rendemen PHA dalam sel lebih besar bila dibandingkan jenis umpan yang lain. 3. Proses hilir PHA

Setelah proses kultivasi selama 96 jam, PHA dipanen dan kemudian dilakukan proses hilir untuk memperoleh PHA dari biomassa sel. Proses hilir tersebut akan memisahkan PHA dari bahan-bahan pengotor seperti asam nukleat, protein, lemak maupun sisa media yang masih ada. Proses hilir dilakukan dalam dua tahap, yaitu digest dengan NaOH dan ekstraksi dengan pelarut.

Proses hilir dua tahap tersebut dilakukan untuk memperoleh PHA dengan kemurnian yang lebih tinggi. Pada proses hilir tahap pertama melalui digest menggunakan NaOH, bahan-bahan non-PHA yang umumnya bersifat polar akan larut dalam NaOH sementara PHA tidak larut sehingga dapat dipisahkan (Lee, 1996). Proses hilir tahap kedua dilakukan untuk lebih memurnikan PHA hasil tahap pertama. Kloroform yang digunakan sebagai pelarut akan melarutkan PHA. Sementara komponen non-PHA yang belum sepenuhnya terpisahkan pada tahap pertama tidak larut dalam kloroform. Kelarutan bahan pada kloroform sangat ditentukan oleh kepolaran bahan itu sendiri. Kloroform merupakan pelarut yang bersifat polar sehingga bahan-bahan yang bersifat non-polar seperti PHA akan larut. PHA yang terlarut dalam kloroform dipisahkan dengan pengotornya (bahan yang tidak larut) dengan cara vaccum filtration.

Proses ekstraksi dengan NaOH menghasilkan PHA dengan kemurnian sekitar 70% (Atifah, 2006). Kemurnian tersebut dapat dikatakan masih cukup rendah karena PHA dengan kemurnian 70% belum bisa dibuat bioplastik. Pada saat proses pembuatan bioplastik dengan teknik solution casting dari PHA hasil ekstraksi dengan NaOH masih terlihat adanya komponen yang tidak larut dalam kloroform. Kloroform merupakan pelarut yang digunakan untuk membuat larutan PHA dalam casting bioplastik. Oleh karena itu apabila masih terdapat komponen yang tidak larut pada kloroform maka bioplastik yang diinginkan tidak terbentuk.

Proses hilir tahap pertama melalui digest menggunakan NaOH dilakukan dengan sentrifugasi empat tahap. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan tinggi (13.000 rpm) agar proses pemisahan padatan dengan cairannya menjadi lebih cepat. Sentrifugasi tahap pertama dilakukan untuk memisahkan biomassa sel dengan cairan kultivasi. Biomassa sel yang diperoleh dicuci dengan menggunakan akuades. Kemudian dilakukan sentrifugasi tahap kedua untuk memisahkan biomassa dengan akuades. Biomassa sel hasil sentrifugasi tahap kedua ditambah NaOH 0,2 N

sebanyak 80 ml per 200 ml cairan kultivasi sedemikian rupa sehingga konsentrasi sel menjadi 1%. Dengan asumsi bahwa jumlah PHA yang terdapat pada satu liter cairan kultivasi adalah 4 g. Proses digest dilakukan dengan cara mengaduk larutan biomassa dalam NaOH dengan menggunakan shaker selama 1 jam. Selama proses digest akan terjadi proses pemecahan sel oleh NaOH dan pelarutan komponen non-PHA dalam NaOH. PHA yang tidak larut dalam NaOH dipisahkan dari larutan NaOH dengan melakukan sentrifugasi tahap ketiga. PHA hasil sentrifugasi tahap ketiga mungkin masih mengandung NaOH sehingga dilakukan pembilasan dengan akuades. PHA yang telah dibilas dengan akuades dipisahkan dari akudes melalui sentrifugasi tahap keempat. Padatan yang diperoleh dari sentrifugasi tahap keempat merupakan PHA basah yang harus dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 40oC sampai kering.

Pada penelitian ini, proses hilir tahap pertama juga dilakukan dengan mengganti NaOH dengan NaOCl. Menurut Lee (1996), proses digest juga dapat dilakukan dengan menggunakan NaOCl. Maksud dari penggantian ini adalah untuk membuktikan apakah digest dengan NaOCl mampu menghasilkan PHA yang lebih murni dan langsung bisa digunakan untuk casting bioplastik. Ternyata hal tersebut tidak terbukti, baik PHA hasil ekstraksi dengan NaOH maupun NaOCl masih belum cukup murni sehingga tidak bisa langsung digunakan untuk casting bioplastik. Perbedaan dari penggunaan NaOH dan NaOCl pada proses ekstraksi PHA adalah pada rendemen PHA kering hasil pengovenan. Proses ekstraksi dengan NaOCl mempunyai rendemen yang lebih tinggi, yaitu sebesar 4,043 g/L cairan kultivasi. Sedangkan rendemen PHA pada ekstraksi dengan NaOH hanya 1,880 g/L cairan kultivasi. Gambar PHA kering hasil proses hilir tahap pertama dengan NaOH atau NaOCl dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. PHA kering hasil ekstraksi dengan NaOH atau NaOCl Proses hilir tahap kedua dilakukan dengan cara melarutkan PHA hasil proses hilir tahap pertama ke dalam kloroform. Satu bagian PHA dilarutkan ke dalam lima puluh bagian kloroform. Perbandingan ini didasarkan pada hasil penelitian Lee (1996), dimana diperlukan dua puluh bagian pelarut untuk melarutkan satu bagian PHA. Penggunaan kloroform sebanyak 50 kali bagian PHA dimaksudkan untuk lebih dapat mengekstrak PHA dari pengotornya dan juga untuk mengurangi viskositas larutan sehingga memudahkan penyaringan. PHA yang telah dilarutkan dalam kloroform kemudian dipanaskan pada suhu 50oC dan diaduk selama 24 jam dengan menggunakan hot plate stirrer. Proses pemanasan dilakukan dengan pemasangan pendingin tegak untuk mengkondensasi kloroform yang menguap sehingga kloroform kembali lagi dan tidak habis. Selama proses ekstraksi, PHA akan larut ke dalam kloroform sedangkan komponen non-PHA tidak larut. Penggunaan suhu 50oC dimaksudkan untuk mempercepat proses pelarutan PHA dalam kloroform. Pada akhir proses ekstraksi, larutan diangkat dan disaring sehingga komponen non-PHA (pengotor) tertahan diatas kertas saring. Sedangkan filtrat penyaringan merupakan PHA yang terlarut dalam kloroform. Penguapan kloroform dilakukan untuk memperoleh PHA.

Rendemen PHA yang berbeda diperoleh pada saat ekstraksi dengan kloroform. Dari PHA yang proses hilir tahap pertamanya dilakukan dengan menggunakan NaOH, diperoleh rendemen sebesar 0,787 g/L cairan kultivasi. Sedangkan PHA yang proses hilir tahap pertamanya

dilakukan dengan menggunakan NaOCl, diperoleh rendemen sebesar 1,651 g/L cairan kultivasi. Gambar PHA hasil proses hilir tahap kedua dengan kloroform dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. PHA hasil ekstraksi kloroform.

PHA yang dihasilkan melalui kultivasi secara fed-batch menggunakan bakteri Ralstonia eutropha dengan sumber karbon hidrolisat pati sagu diduga termasuk ke dalam jenis polihidroksibutirat (PHB). Hal ini dapat dilihat dari kemiripan gugus fungsi dan sifat termal dengan PHB murni. Penjelasan lebih lanjut tetang dugaan tersebut akan disampaikan pada bagian karakterisasi bioplastik.

Dokumen terkait