• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

2. Karakteristik Anak Tunanetra

Anak tunanetra memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak normal yang mengakibatkan mereka membutuhkan layanan khusus. Beberapa karakteristik tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, yakni aspek bahasa, intelektual, orientasi dan mobilitas, akademik, dan sosial (Hallahan, dkk, 2009: 388-391). Lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut.

a. Perkembangan Bahasa

Hallahan, dkk (2009: 388) menyampaikan bahwa “... auditory more than visual perception is the sensory modality through which we learn

language, it’s not surprising that studies have found that people who are blind are not impaired in language functioning”. Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, auditori memberikan modalitas sensori yang lebih banyak dibandingkan dengan persepsi visual melalui bahasa yang kita pelajari. Hal tersebut tidak mengejutkan bahwa hasil penelitian menemukan bahwa seseorang dengan hambatan penglihatan tidak mengalami gangguan pada fungsi bahasanya. Maksud dari pendapat tersebut yakni pada umumnya anak tunanetra tidak mengalami hambatan dalam kemampuan bahasa. Hal ini disebabkan karena faktor utama yang mempengaruhi kemampuan bahasa berasal dari informasi auditoris.

15 b. Kemampuan Intelektual

Kemampuan intelektual anak tunanetra, menurut Hallahan, dkk (2009:

388), yakni “Most authorities now believe that such comparisons are virtually impossible because finding comparable test is so difficult. From what is known, there is no reason to believe that blindness result in lower intelligence”. Dari pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa, banyak ahli yang sekarang percaya bahwa perbandingan yang sebenarnya (kemampuan IQ antara anak tunanetra dan anak normal) itu mustahil karena sulit untuk menemukan tes pembanding (tes IQ), sehingga tidak ada alasan untuk percaya bahwa kebutaan berakibat pada kemampuan intelegensi yang rendah. Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa kemampuan intelektual anak tunanetra tidak selalu berada di bawah rata-rata. Mereka dapat memiliki kemampuan intelektual di garis rata, di atas rata, maupun di bawah rata-rata.

c. Kemampuan Orientasi dan Mobilitas

Kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra merupakan kemampuan dasar yang perlu dikuasai untuk mempermudah mereka dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Hallahan, dkk (2009: 389) menyampaikan kemampuan orientasi dan mobilitas anak tunanetra sebagai berikut.

Mobility skills vary greatly among people with visual impairment. It is surprisingly difficult to predict which individuals will be the best travelers. For example, common sense seems to tell us that mobility would be better among those who have more residual vision and those

16

who lose their vision later in life, but this is not always the case. How much motivation and how much proper instruction one receives are critical to becoming a proficient traveler.

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa, keterampilan mobilitas seorang tunanetra berbeda-beda, sehingga sulit untuk memprediksi individu-individu mana yang akan menjadi pejalan terbaik. Sebagai contoh, biasanya kemampuan mobilitas akan lebih baik pada seseorang yang masih memiliki sisa penglihatan lebih banyak dibandingkan dengan seseorang yang kehilangan penglihatan mereka sejak lahir, tetapi ini tidak selalu benar. Seberapa besar motivasi dan berapa banyak latihan yang diterima oleh seorang tunanetra sangat mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjadi traveler yang handal. Dengan demikian karakteristik orientasi dan mobilitas anak tunanetra dipengaruhi oleh latihan yang diberikan. Pemberian latihan yang baik dapat meningkatkan kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra.

d. Kemampuan Akademik

Kemampuan akademik pada anak tunanetra dipengaruhi oleh beberapa aspek. Berdasarkan pendapat Rapp and Rapp dalam Hallahan, dkk,

(2009: 391), “The few studies that have been done suggest that both children eith low vision and those who are blind are sometimes behind their sighted peers. Hallahan, dkk (2009: 391) juga menyampaikan

bahwa, “Most authorities believe that when low achievement does occur, it is due not to the blindness itself, but to such things as low

17

expectations or lack of exposure to Braille.” Dari pendapat Rapp and Rapp dapat ditegaskan bahwa sebagian penelitian menyatakan bahwa low vision dan blind, keduanya kadang-kadang memiliki kemampuan akademik di bawah teman-teman sebaya mereka. Dari pendapat Hallahan, dapat ditegaskan bahwa banyak ahli yang percaya bahwa ketika terdapat tingkat ketercapaian di bawah kriteria yang diharapkan, hal itu tidak disebabkan oleh kebutaan itu sendiri, tetapi juga karena harapan yang rendah atau kurangnya pemahaman atau keterampilan pada Braille (tata tulis Braille). Dengan demikian karakteristik kemampuan akademik anak tunanetra tidak selalu di bawah rata-rata kemampuan anak normal, namun hal tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kurangnya keterampilan dalam membaca dan menulis Braille.

e. Penyesuaian Sosial

Kemampuan anak tunanetra dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial mereka berbeda-beda, hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek. Menurut Erin dalam Hallahan, dkk (2009: 391), kemampuan penyesuaian sosial anak tunanetra yakni sebagai berikut.

Most people with visual impairment are socially well adjusted. However, the road to social adjustment for people with visual impairment may be a bit more difficult for two reaons. First, social interactions among the sighted are often based on subtle cues, many of which are visual. Second, sighted society is often uncomfortable in its interactions with those who are visually impaired.

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa, sebagian besar individu dengan gangguan penglihatan memiliki kemampuan yang cukup baik dalam

18

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Namun, langkah yang sebaiknya diambil untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial untuk individu dengan hambatan penglihatan lebih sulit karena dua alasan. Alasan pertama, interaksi sosial pada individu mampu lihat berbasis pada isyarat-isyarat tertentu. Kedua, individu mampu lihat sering tidak nyaman dalam berinteraksi dengan individu yang mengalami hambatan penglihatan. Jadi karakteristik kemampuan penyesuaian sosial anak tunanetra pada dasarnya cukup baik, namun karena kurangnya informasi visual mengakibatkan anak tunanetra kesulitan dalam mengekspresikan dan menangkap emosi serta perilaku lawan bicara mereka yang tersirat dalam ekspresi visual.

Widdjajantin dan Hitipeuw (1996: 14-16) juga menyampaikan karakteristik anak tunanetra berdasarkan perkembangan intelektual, perkembangan indra yang masih ada, perkembangan bahasa, perkembangan sosialisasi, serta keterbatasan dalam orientasi dan mobilitas. Kajian lebih lanjut adalah sebagai berikut.

a. Perkembangan Intelektual

Sejalan dengan pendalapat Hallahan, dkk, Widdjajantin dan Hitipeuw (1996: 14) menyampaikan bahwa, “...perkembangan intelegensi anak

tunanetra akan tergantung pada pengalaman-pengalaman hidup yang

mereka alami”. Semakin banyak pengalaman yang diperoleh anak, semakin berkembang pula kemampuan intelektual yang dimiliki oleh anak. Ini berarti bahwa perkembangan intelektual pada anak

19

tunanetra akan terus berkembang apabila mereka terus belajar untuk memperoleh pengalaman-pengalaman yang mampu meningkatkan kemampuan intelektual mereka.

b. Perkembangan Indra yang Masih Ada

Widdjajantin dan Hitipeuw (1996: 15) menyampaikan bahwa,

“Melalui latihan-latihan secara rutin dan teratur secara terarah, maka sisa indra yang masih mereka miliki dapat berfungsi lebih dari orang awas yaitu lebih peka, karena mereka dapat berkonsentrasi pada apa

yang sedang dikerjakan”. Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa, melalui indra-indra selain indra penglihatan seperti perabaan, pendengaran, penciuman, dan indra pencecap, anak tunanetra dapat memperoleh informasi, melakukan sosialisasi dan melakukan tugas-tugasnya dengan baik. Anak tunanetra umumnya memiliki kemampuan dalam berkonsentrasi pada kegiatan yang dilakukan yang terbentuk karena mereka tidak dapat melihat, sehingga mendukung kepekaan indra-indra yang masih mereka miliki.

c. Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa anak tunanetra dengan anak awas memiliki perbedaan. “Perbedaan dengan anak awas adalah pengembangan

konsep bahasa dan penambahan kosa kata. Apabila anak awas perkembangan bahasanya dapat melalui melihat atau visual, maka

tunanetra melalui perabaan” (Widdjajantin dan Hitipeuw, 1996: 15). Perbedaan inilah yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas bahasa

20

yang dimiliki oleh anak tunanetra.Selain dari perabaan, anak tunanetra juga dapat memperoleh informasi bahasa melalui membaca dan mendengar. Dari informasi tersebut, mereka dapat meniru gaya bicara dan vokal dari orang-orang di sekitarnya.

d. Perkembangan Sosialisasi

Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra mempengaruhi kemampuan anak dalam melakukan sosialisasi dengan lingkungannya. Widdjajantin dan Hitipeuw (1996: 15) menyampaikan bahwa, “...hilangnya penglihatan dapat

mengakibatkan sosialisasi terhadap lingkungan sangat jelek. Hal ini terjadi karena ia tidak dapat menyelaraskan tindakannya pada situasi

lingkungan saat itu”. Pendapat tersebut memperjelas bahwa, hambatan penglihatan yang dimiliki oleh anak tunanetra akan berdampak negatif pada kemampuan mereka untuk melakukan sosialisasi dalam lingkungannya. Kondisi tersebut disebabkan karena mereka tidak dapat mengidentifikasi kondisi lingkungan, sehingga tidak dapat memberikan respon yang sesuai dengan kondisi tersebut. e. Keterbatasan dalam Orientasi dan Mobilitas

Keterbatasan dalam kemampuan orientasi dan mobilitas pada anak tunanetra menurut Widdjajantin dan Hitipeuw (1996: 16), “Hilangnya kemampuan penglihatan akan mengakibatkan kemampuan bergeraknya menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan terhambatnya perkembangan pengalamannya mengenal lingkungan terutama

21

lingkungan baru”. Dari penjelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa,

adanya hambatan penglihatan pada anak tunanetra, mengakibatkan anak tunanetra sulit berpindah tempat dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Keterbatasan tersebut menuntut anak tunanetra untuk menggunakan indra-indra yang masih berfungsi untuk mengenali lingkungannya.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa anak tunanetra memiliki kemampuan intelektual yang hampir sama dengan anak normal. Mereka dapat memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata, normal, maupun di bawah rata-rata. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan penggunaan indra-indra yang masih berfungsi dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh anak. Kemampuan ini mempengaruhi kemampuan akademik pada anak tunanetra, dengan kemampuan intelektual yang tinggi, maka kemungkinan besar dapat memberikan dukungan pada kemampuan akademiknya.

Kemampuan sosial anak tunanetra dipengaruhi oleh kemampuan anak dalam melakukan orientasi dan mobilitas. Hambatan anak dalam melakukan orientasi dan mobilitas berpengaruh pada kemampuan anak dalam melakukan sosialisasi dengan lingkungannya.

Dokumen terkait