• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Karekteristik bahan baku merupakan salah satu informasi yang sangat diperlukan pada awal suatu proses pengolahan, termasuk pembuatan pupuk. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan pupuk organik bokashi adalah tepung ikan, dedak padi dan ampas kelapa. Hasil analisis proksimat dan hara makro pada bahan baku disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil analisis proksimat dan hara makro bahan baku pupuk bokashi

Parameter Bahan baku

Tepung ikan Dedak padi Ampas kelapa

Proksimat Air (%) 7.60±0,04 10.51±0,09 70.52±0,36 Abu (%) 22.34±0,28 11.16±0,64 0.24±0,01 Lemak (%) 16.69±0,02 12.39±0,21 3.75±0,19 Protein (%) 55,62±0,06 29,51±0,56 5,85±0,04 Hara makro C-organik (%) 9,36±0,20 11,68±0,11 7,85±0,14 Total N (%) 9,63±0,01 5,28±0,10 0,93±0,01 Rasio C/N 0,97 2,21 8,44 Total K (%) 0,30 ±0,00 0,54±0,01 0,63±0,01 Total P (%) 3,26±0,08 0,53±0,00 0,03±0,00

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 7,60%, kadar abu sebesar 22,34%, kadar lemak sebesar 16,69%, kadar protein sebesar 55,52%, C-organik sebesar 9,36%, Total N sebesar 9,63%, nilai rasio C/N sebesar 0,97, total K sebesar 0,30% dan total P sebesar 3,26%. Total nitrogen dan total fosfor tepung ikan yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 9,63% dan 3,26% yang menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan cukup potensial sebagai sumber nitrogen dan fosfor untuk pupuk organik bokashi. Kandungan nitrogen yang dianjurkan untuk bahan baku pupuk organik yaitu > 3%, sedangkan untuk fosfor yaitu > 0,5% (Sutanto 2002).

Kadar lemak tepung ikan yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 16,69%. Nilai ini melebihi kadar lemak bahan baku pupuk yang baik yaitu 1%-15%. Kandungan kadar lemak yang terlalu tinggi pada bahan baku pupuk organik dapat memperlambat proses pengomposan. Hal ini disebabkan aktivitas mikrob

pengurai bahan organik yang terhambat oleh tingginya kandungan lemak, terutama dari golongan Actinomycetes. Untuk bahan baku yang memiliki kadar lemak tinggi, umumnya dilakukan proses pengeluaran minyak melalui pengepresan sebelum bahan baku digunakan atau dikomposkan (Sutanto 2002).

Dedak padi memiliki kadar C-organik paling tinggi yaitu 11,68% yang potensial digunakan sebagai sumber karbon pada proses pengomposan. Dedak dan sekam padi merupakan bahan baku yang umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik karena memiliki kandungan karbon yang tinggi dan rasio C/N yang baik. Bahan ini umumnya dikombinasikan dengan bahan lain seperti kotoran sapi atau limbah sayuran sebagai sumber nitrogen sehingga dapat dihasilkan pupuk yang mampu memenuhi kebutuhan hara makro dan mikro untuk tanaman (Mustari 2004).

4.2 Pengomposan

Pupuk organik bokashi diproduksi melalui proses pengomposan bahan baku (tepung ikan, dedak padi, ampas kelapa) dengan bioaktifator EM. Proses pengomposan berlangsung selama 18 hari dengan dilakukan pengamatan beberapa parameter untuk menentukan kematangan pupuk. Parameter yang diamati selama proses pengomposan adalah pH dan suhu pupuk yang diamati setiap hari selama proses pengomposan berlangsung.

4.2.1 Perubahan pH

Nilai pH merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas akhir pupuk organik. Pupuk yang baik memiliki pH akhir berkisar antara 6,7-7,0. Perubahan pH selama proses pengomposan dapat menjadi suatu parameter aktivitas mikroba dalam mendekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat dalam bahan baku pembuatan pupuk organik. Perubahan pH pupuk selama proses pengomposan disajikan pada Gambar 3.

Perubahan pH selama proses pengomposan yang disajikan pada Gambar 3 memperlihatkan tren yang sama untuk semua perlakuan yaitu penurunan pH pada awal proses pengomposan hingga titik pH terendah pada hari ke-5 lalu pH meningkat hingga mendekati pH normal pada hari ke-18. Hal ini selaras dengan pernyataan Sutanto (2002) yang menyatakan bahwa pada umumnya, pH selama

proses pengomposan akan turun pada awal proses pengomposan karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Adanya mikroorganisme lain dari bahan yang didekomposisikan, yaitu bakteri perombak protein, maka pH akan kembali naik setelah beberapa hari dan pH akan berada pada kondisi netral pada akhir proses pengomposan. Kenaikan pH juga dipicu oleh perombakan senyawa nitrogen kompleks menjadi basa nitrogen oleh mikrob.

Gambar 3 Grafik perubahan pH pupuk selama proses pengomposan

Perubahan pH terkecil dicapai oleh perlakuan P0, sedangkan perubahan pH terbesar dicapai oleh perlakuan P1. Dapat dilihat pada Gambar 3 bahwa semakin besar komposisi tepung ikan yang digunakan pada pembuatan pupuk, maka perubahan pH semakin kecil. Perbedaan perubahan pH pada tiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan ketersediaan karbon karena perbedaan komposisi sumber karbon yang ditambahkan sehingga akan mempengaruhi aktivitas mikroba selama proses pengomposan. Menurut Goyal et al. (2005), senyawa karbon pada proses pengomposan digunakan oleh mikroba pengompos sebagai sumber energi atau bahan bakar untuk merombak senyawa organik komplek menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pada perlakuan P0, ketersediaan karbon hanya terbatas dari tepung ikan yang memiliki kandungan C-organik yang rendah sehingga aktivitas mikroba pengurai tidak optimal, sedangkan perlakuan P1, P2, P3

dan P4 yang memiliki ketersediaan karbon lebih banyak karena adanya kontribusi dedak padi sebagai sumber karbon tambahan sehingga memungkinkan mikroba

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 pH Hari

ke-P0 (Tepung ikan 100%) P1 (Tepung ikan 30%)

P2 (Tepung ikan 40%) P3 (Tepung ikan 50%)

P4 (Tepung ikan 60%)

P0 P1

P2 P3

untuk memiliki aktivitas yang lebih optimal, terutama untuk perlakuan P1 yang memiliki komposisi dedak padi lebih banyak yaitu 50%.

Aktivitas mikroba selama proses pengomposan juga dipengaruhi oleh kadar lemak dari tepung ikan yang cukup tinggi. Perlakuan P0 memiliki aktivitas yang paling rendah yang terlihat dari perubahan pH yang kecil dikarenakan komposisi tepung ikan yang paling besar yaitu 100% sehingga perubahan pH selama proses pengomposan lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan P1 memiliki aktivitas yang paling tinggi dikarenakan komposisi tepung ikan yang paling rendah yaitu 30%. Kandungan lemak yang terlalu tinggi pada bahan baku pupuk dapat memperlambat proses pengomposan. Hal ini disebabkan aktivitas mikroba pengurai bahan organik yang terhambat oleh tingginya kandungan lemak, terutama dari golongan bakteri (Sutanto 2002).

4.2.2 Perubahan suhu

Suhu merupakan salah satu parameter penting dalam proses pengomposan. Selama proses pengomposan, panas dihasilkan dari aktifitas mikroba saat proses pencernaan bahan organik. Perubahan suhu pupuk bokashi selama proses pengomposan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Grafik perubahan suhu pupuk bokashi selama proses pengomposan Gambar 4 menunjukkan perbedaan pola perubahan suhu pada setiap perlakuan. Pola perubahan suhu selama proses pengomposan pada perlakuan P1, P2, P3 dan P4 memiliki kecendrungan pola yang sama, sedangkan perlakuan P0

memiliki pola yang berbeda dengan perlakuan lainnya. Dapat dilihat pada

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Su hu ( ˚C) Hari

ke-P0 (Tepung ikan 100%) P1 (Tepung ikan 30%)

P2 (Tepung ikan 40%) P3 (Tepung ikan 50%)

P4 (Tepung ikan 60%)

P0 P1

P2 P3

Gambar 4 bahwa semakin besar komposisi tepung ikan yang digunakan pada pembuatan pupuk, maka perubahan suhu yang dihasilkan semakin besar. Perbedaan pola perubahan suhu pada tiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan ketersediaan karbon yang akan mempengaruhi aktivitas mikroba selama proses pengomposan. Menurut Goyal et al. (2005), senyawa karbon pada proses pengomposan digunakan oleh mikroba pengompos sebagai sumber energi atau bahan bakar untuk merombak senyawa organik komplek menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Selama proses perombakan, mikroba akan melepaskan energi panas yang menyebabkan terjadinya kenaikan suhu. Pada perlakuan P0, ketersediaan karbon hanya terbatas dari tepung ikan yang memiliki kandungan C-organik yang rendah sehingga aktivitas mikroba pengurai tidak optimal, sedangkan perlakuan P1, P2, P3 dan P4 yang memiliki ketersediaan karbon lebih banyak karena adanya kontribusi dedak padi sebagai sumber karbon tambahan sehingga memungkinkan mikroba untuk memiliki aktivitas yang lebih optimal.

Aktivitas mikrob selama proses pengomposan juga dipengaruhi oleh kadar lemak dari tepung ikan yang cukup tinggi, sama halnya pada perubahan pH. Perlakuan P0 memiliki aktivitas yang paling rendah dikarenakan komposisi tepung ikan yang paling besar yaitu 100% sehingga perubahan suhu selama proses pengomposan lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan P1 memiliki aktivitas yang paling tinggi dikarenakan komposisi tepung ikan yang paling rendah yaitu 30%. Kandungan lemak yang terlalu tinggi pada bahan baku pupuk dapat memperlambat proses pengomposan. Hal ini disebabkan aktivitas mikroba pengurai bahan organik yang terhambat oleh tingginya kandungan lemak, terutama dari golongan bakteri (Sutanto 2002).

Aktivitas mikroba juga dapat dipengaruhi oleh kandungan air pada bahan selama proses pengomposan. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran kelembaban optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15% (Isroi 2008). Pola perubahan suhu yang fluktuatif selama proses pengomposan disebabkan oleh penurunan kandungan air

pada bahan. Penurunan suhu pada hari ke-5 hingga hari ke-10 disebabkan oleh kandungan air yang menurun yang menyebabkan aktivitas mikroba pengurai menurun, meskipun masih terdapat bahan organik yang dapat diurai. Setelah penambahan kadar air pada hari ke-10, suhu kembali naik yang menandakan aktivitas mikroba kembali meningkat.

Dokumen terkait