• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK BOKASHI DARI TEPUNG IKAN LIMBAH PERIKANAN WADUK CIRATA FAJAR SYUKRON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBUATAN PUPUK ORGANIK BOKASHI DARI TEPUNG IKAN LIMBAH PERIKANAN WADUK CIRATA FAJAR SYUKRON"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

i

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK BOKASHI

DARI TEPUNG IKAN LIMBAH PERIKANAN

WADUK CIRATA

FAJAR SYUKRON

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ii

RINGKASAN

FAJAR SYUKRON. C34080072. Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan PIPIH SUPTIJAH.

Pertambahan jumlah Keramba jaring apung yang cukup pesat di Waduk Cirata menyebabkan penurunan kualitas air yang berakibat pada kematian masal pada ikan saat terjadi peristiwa upwelling. Limbah ikan tersebut harus ditangani agar tidak memperburuk kualitas air waduk dan diolah untuk meningkatkan nilai ekonomisnya. Salah satu alternatif penanganan untuk meningkatkan nilai ekonomis limbah padat tersebut adalah menggunakan limbah ikan menjadi bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi. Bokashi adalah pupuk yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM (Effective Microorganism)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengolah limbah ikan menjadi pupuk organik bokashi yang memenuhi standar SNI, menentukan kualitas terbaik dari pupuk yang dihasilkan berdasarkan analisis hara makro serta menentukan perlakuan terbaik dalam pembuatan pupuk organik bokashi terhadap pertumbuhan tanaman kangkung darat (Ipomoea reptana).

Penelitian ini dibagi dalam 3 tahap. Tahap pertama yaitu pembuatan tepung limbah ikan. Tahap kedua yaitu pembuatan pupuk organik bokashi dengan perlakuan komposisi bahan baku (P0: 100% tepung ikan, P1: 30% tepung ikan +

50% dedak padi + 20% ampas kelapa, P2: 40% tepung ikan + 40% dedak padi +

20% ampas kelapa, P3: 50% tepung ikan + 30% dedak padi + 20% ampas kelapa,

P4: 60% tepung ikan + 20% dedak padi + 20% ampas kelapa). Tahap ketiga yaitu

aplikasi pupuk pada tanaman kangkung darat (I. reptana).

Tepung limbah ikan yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 7,60%, kadar abu sebesar 22,34%, kadar lemak sebesar 16,69%, kadar protein sebesar 55,62%, C-organik sebesar 9,36%, total N sebesar 9,63%, rasio C/N sebesar 0,97, total P sebesar 3,26% dan total K sebesar 0,30%. Pupuk organik bokashi yang dihasilkan memiliki kandungan C-organik, total N, nilai rasio C/N, total P dan total K masing-masing berkisar antara 13,98%-17,77%, 3,23%-7,80%, 1,69- 5,50, 1,46%-2,90 %, dan 0,92%-1,46%. Secara umum, pupuk organik bokashi yang dihasilkan belum memenuhi standar SNI tentang pupuk organik karena nilai rasio C/N yang masih di bawah standar.

Berdasarkan hasil uji statistik pada aplikasi pupuk organik bokashi yang dihasilkan terhadap tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) menunjukkan bahwa penambahan pupuk bokashi dapat meningkatkan laju pertumbuhan tinggi, tinggi panen, jumlah daun dan bobot basah panen tanaman kangkung darat. Perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan P1 (30% tepung ikan) karena memiliki

laju pertumbuhan tinggi, tinggi panen, jumlah daun dan bobot basah panen yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

(3)

iii

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK BOKASHI

DARI TEPUNG IKAN LIMBAH PERIKANAN

WADUK CIRATA

FAJAR SYUKRON

C34080072

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

iv

Judul : Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata

Nama : Fajar Syukron

NIM : C34080072

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc. Dr. Pipih Suptijah, MBA

NIP : 196111011987031002 NIP. 19531020 1985032001

Mengetahui :

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP.195805111985031002

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada :

1. Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen pembimbing, atas segala bimbingan, nasehat dan pengetahuan yang telah diberikan kepada Penulis.

2. Roni Nugraha, S.Si, M.Sc sebagai dosen penguji, atas segala bimbingan, nasehat dan pengetahuan yang telah diberikan kepada Penulis.

3. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4. Ibunda dan Ayahanda tercinta, nenekku Hj. Sawiyah Yusuf (Almh), kakak dan abangku tercinta (Yusriani Hasty, Eko Hendra, Saniah Hasty, Qurrotullaili, Zoelfahmi, Fakhrul Khoiri) serta keluarga besar H.M. Yusuf yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat yang luar biasa kepada penulis selama menjalani tugas akhir.

5. Dinas Pendidikan Provinsi Riau yang telah membiayai penulis selama menuntut ilmu di kampus ini.

6. Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu yang telah membiayai penelitian penulis sehingga penulis dapat menulis skripsi ini.

7. Ir. Siswono, M.Si, selaku Kepala Pusat PPPPTK Pertanian Cianjur yang telah memberikan kesempatan pada Penulis untuk melaksanakan penelitian di PPPPTK Pertanian Cianjur.

8. Sugeng Paryadi, MP selaku Kepala Departemen Sains Terapan dan Lingkungan, PPPPTK Pertanian Cianjur.

(6)

vi

9. DR. Ir. Sahirman, MP selaku Kepala Departemen Agroindustri dan Kimia Industri, PPPPTK Pertanian Cianjur.

10. Ir. Adang Suryana, M.Si, Ir. Dian Nurdiani, M.Si serta Imas Aisyah, SP, M.Si selaku pembimbing lapang yang telah memberikan bimbingan dan bantuan pada saat pelaksanaan penelitian di PPPPTK Pertanian Cianjur. 11. Pak Cahyono, Ibu Teni, Ibu Ira, Ibu Retno, Pak Nurdin, Pak Epul, Pak Entis,

Pak Zaenal dan seluruh staf PPPPTK Pertanian Cianjur atas segala bantuan dan masukan yang telah diberikan selama penelitian berlangsung.

12. Keluarga besar Departeman Teknologi Hasil Perairan, dosen dan staf Tata Usaha (TU) yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada Penulis. 13. Yunisha Aktinidia atas kebersamaan yang luar biasa selama penulis

menempuh pendidikan di kampus ini.

14. Tim bimbingan (Icha, Lina, Rico) atas kerjasama yang solid selama penelitian.

15. Icha, Henry, Ika, Fida, dan Okta atas kebersamaan dan persahabatan yang luar biasa selama menempuh masa-masa sulit di IPB

16. Teman-teman ”Penghuni Ombenk” (Esa, Hardi, Rhesa, Aksar, Rico, Helmy, Afif, Elka dll) dan tim futsal THP atas pertemanan yang menyenangkan. 17. Teman-teman THP 45 yang luar biasa atas kenangan dan pengalaman yang

sangat berharga selama menempuh pendidikan di THP.

18. Teman-teman THP 43, 44, 46, dan 47 atas keakraban dan kebersamaannya. 19. Teman-teman Penulis dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu

persatu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan moril dalam penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Januari 2013

Fajar Syukron C34080072

(7)

vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru, Riau, pada tanggal 15 Nopember 1990. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Hasan Basri (Alm) dan Hj. Mirdawati. Penulis telah menempuh pendidikan di TK Islam An-Nur Kota Pekanbaru lulus tahun 1996, SDN 001 Cintaraja Kota Pekanbaru lulus tahun 2002; SMP Babussalam Kota Pekanbaru lulus tahun 2005, SMAN 8 Kota Pekanbaru lulus tahun 2008. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) yang dibiayai oleh Dinas Pendidikan Provinsi Riau. Selama menjalani masa studi, penulis aktif sebagai asisten Ekologi Perairan (2010), Biokimia Hasil Perairan (2011 & 2012), Biotoksikologi Hasil Perairan (2011 & 2012), Fisiologi, Formasi dan Degradasi Metabolit Hasil Perairan (2011), Teknologi Pengolahan Hasil Perairan (2012) dan Teknologi Pengolahan Hasil Perairan I (2012). Penulis juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai anggota Komosi C Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) TPB IPB (2008), anggota Fisheries Processing Club (FPC) (2009-2011), Ketua Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) (2010-2011), anggota Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Riau (IKPMR) serta aktif dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan Institut Pertanian Bogor.

Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata” dibawah bimbingan Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA.

(8)

viii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INPORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata” adalah hasil karya saya sendiri dan belurn diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi.

Bogor, Januari 2013

(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan...2 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 Limbah Perikanan ... 3 2.2 Tepung Ikan ... 4 2.3 Pengomposan ... 5 2.4 Pupuk Organik ... 6 2.5 Unsur Hara ... 8 2.6 Bokashi………10 3. METODOLOGI ... 12

3.1 Waktu dan Tempat ... 12

3.2 Bahan dan Alat ... 12

3.3 Prosedur Penelitian ... 13

3.3.1 Pembuatan tepung ikan ... 13

3.3.2 Pembuatan pupuk organik bokashi ... 14

3.3.3 Aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat (Ipomoea reptana) ... 15

3.4 Prosedur Analisis ... 16

3.4.1 Analisis kadar air (BSN 1992) ... 16

3.4.2 Analisis kadar abu (BSN 1992) ... 17

3.4.3 Analisis kadar protein (BSN 1992) ... 18

3.4.4 Analisis kadar lemak (BSN 1992) ... 19

3.4.5 Pengukuran suhu ... 19

(10)

x

3.4.7 Karbon organik (AOAC 2007) ... 19

3.4.8 Nitrogen total (BSN 1992) ... 20

3.4.9 Total fosfor (AOAC 2007) ... 21

3.4.10 Total kalium (AOAC 2007) ... 22

3.4.11 Tinggi tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) ... 23

3.4.12 Jumlah daun tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) ... 23

3.4.13 Bobot basah tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) ... 23

3.5 Rancangan Percobaan ... 23

4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

4.1 Karakteristik Bahan Baku ... 25

4.2 Pengomposan ... 26

4.2.1 Perubahan pH ... 26

4.2.2 Perubahan suhu ... 28

4.3 Kualitas Pupuk Bokashi ... 30

4.3.1 Kadar karbon organik ... 30

4.3.2 Total nitrogen ... 32

4.3.3 Rasio C/N ... 33

4.3.4 Total kalium ... 35

4.3.5 Total Fosfor ... 37

4.4 Aplikasi Pupuk Organik Bokashi ... 38

4.4.1 Laju pertumbuhan tinggi kangkung darat (I. reptana) ... 38

4.4.2 Tinggi panen tanaman tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) .... 40

4.4.3 Jumlah daun tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) ... 42

4.4.4 Bobot basah panen tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) ... 44

5. KESIMPULAN DAN SARAN... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran………46

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alir pembuatan tepung ikan……….. 13

2 Diagram alir pembuatan pupuk organik bokashi………... 15 3 Grafik perubahan pH pupuk selama proses pengomposan………. 27 4 Grafik perubahan suhu pupuk bokashi selama proses

pengomposan………... 28

5 Kandungan C-organik pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung

ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung

ikan), dan P4 (60% tepung ikan)………. 31

6 Kandungan total nitrogen pada pupuk organik bokashi P0 (100%

tepung ikan, P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50%

tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan)……….. 32

7 Nilai rasio C/N pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung ikan),

P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung ikan),

dan P4 (60% tepung ikan)……… 33

8 Kandungan total kalium pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung

ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung

ikan), dan P4 (60% tepung ikan)………. 35

9 Kandungan total fosfor pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung

ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung

ikan), dan P4 (60% tepung ikan)………. 37

10 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan),

pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3

(50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk

kimia) terhadap laju pertumbuhan tinggi kangkung darat (I. reptana)... 39 11 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan),

pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3

(50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk

kimia) terhadap tinggi panen kangkung darat (I. reptana)……… 41 12 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan),

pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3

(50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk

kimia) terhadap jumlah daun kangkung darat (I. reptana)……… 42 13 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan),

pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3

(50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Standar kualitas pupuk organik kompos berdasarkan

SNI 19-7030-2004………... 7

2 Komposisi bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi………... 14 3 Aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat………… 16 4 Hasil analisis proksimat dan hara makro bahan baku pupuk bokashi…… 25

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data perhitungan analisis proksimat bahan baku……….. 53

2 Data perhitungan hara makro bahan baku………. 55

3 Data perubahan pH selama proses pengomposan………. 57

4 Data perubahan suhu selama proses pengomposan………... 58

5 Data kadar air pupuk organik bokashi………... 59

6 Data analisis unsur hara makro pupuk organik bokashi……… 60

7 Data ukur tanaman kangkung (I. reptana)………... 63

8 Hasil sidik ragam aplikasi pupuk bokashi pada tanaman kangkung darat (I. reptana)………. 66

(14)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Waduk Cirata merupakan salah satu waduk yang terdapat di daerah Cianjur, Jawa Barat, yang memiliki luas 6.200 ha. Waduk ini merupakan salah satu basis perikanan darat di Jawa Barat yang bertumpu pada perikanan budidaya. Sektor perikanan budidaya di Waduk Cirata umumnya berbasis pada keramba jaring apung (KJA). Pertambahan jumlah KJA yang cukup pesat di Waduk Cirata menyebabkan penurunan kualitas air yang berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan yang terendapkan di dasar waduk yang pada akhirnya menyebabkan kualitas air menjadi buruk dan menyebabkan kematian masal pada ikan saat terjadi peristiwa upwelling (Prihadi 2005). Tahun 1991, 1993 dan 1997 jumlah ikan yang mati di Waduk Cirata berturut-turut 34,5 ton, 29,2 ton dan 29,3 ton. Jumlah ikan yang mati pasca terjadinya upwelling tahun 2007 mencapai 60 ton (Suyono 2008), sedangkan angka kematian ikan tahun 2010 mencapai 150 ton (Yulianto 2011).

Ikan yang mati tersebut menjadi limbah yang memiliki nilai ekonomis rendah karena tidak layak untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Untuk meningkatkan nilai ekonomis dari limbah tersebut, diperlukan suatu usaha pengolahan limbah menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah bagi masyarakat. Salah satu bentuk pengolahan limbah perikanan tersebut adalah dibuat pupuk organik dengan bahan baku limbah perikanan.

Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik seperti pangkasan daun tanaman, kotoran ternak, sisa tanaman, dan sampah organik yang telah dikomposkan (Hadisuwito 2011). Pola hidup masyarakat modern saat ini yang mengarah pada pola hidup sehat dan organik menyebabkan bahan makanan yang berasal dari pertanian dan peternakan organik seperti nasi organik, sayuran organik, telur organik dan bahan pangan lainnya menjadi komoditas yang diburu oleh masyarakat. Dengan meningkatnya permintaan hasil pertanian organik, maka kebutuhan terhadap pupuk organik juga meningkat sehingga saat ini banyak dikembangkan teknologi pembuatan pupuk organik yang berasal dari bahan baku yang mudah didapat, memerlukan modal yang sedikit dan

(15)

mudah untuk diproduksi secara masal. Salah satu jenis pupuk organik yang banyak dikembangkan saat ini adalah bokashi.

Bokashi adalah pupuk yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM (Effective Microorganism). Keunggulan teknologi EM adalah pupuk organik dapat dihasilkan dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan cara konvensional. EM merupakan gabungan dari beberapa bakteri dan fungi, misalnya bakteri asam laktat, bakteri fototropik, ragi, jamur fermentasi dan bakteri golongan Actinomycetes, yang memiliki kemampuan untuk menyuburkan tanaman dan menguraikan bahan organik (Mayer et al. 2010). Bahan baku pembuatan pupuk bokashi merupakan limbah pertanian seperti jerami, rumput, sekam, tanaman kacang-kacangan, pupuk kandang atau serbuk gergaji, namun bahan yang paling baik digunakan yaitu dedak padi karena kandungan gizi yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme (Sani 2007).

Limbah perikanan yang menumpuk akibat kualitas air yang buruk di Waduk Cirata memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi. Berdasarkan landasan pemikiran di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul ”Pemanfaatan Tepung Ikan dari Limbah Perikanan Waduk Cirata Sebagai Bahan Baku Pembuatan Pupuk Organik Bokashi”. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber daya yang berharga bagi kemajuan perikanan dan pertanian.

1.2 Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membuat pupuk organik bokashi yang berasal dari tepung ikan hasil pengolahan limbah perikanan Waduk Cirata. Tujuan khusus penelitian ini antara lain:

1) Menentukan kualitas terbaik dari pupuk organik yang dihasilkan dengan melihat kandungan unsur hara yang terkandung dalam pupuk tersebut.

2) Menentukan perlakuan terbaik dari pupuk organik terhadap pertumbuhan tanaman kangkung darat (Ipomoea reptana).

(16)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Perikanan

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik dari industri maupun dari domestik (rumah tangga). Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah, yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah terdiri dari senyawa organik dan senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah (Ginting 2007).

Limbah perikanan mengandung nutrisi yang tidak berbeda dari bahan utamanya dan telah banyak juga diteliti pemanfaatannya (Poernomo 1997). Limbah perikanan dapat berasal dari kegiatan perikanan hulu (budidaya), maupun kegiatan perikanan hilir (pengolahan, transportasi, pemasaran). Hasil samping dari kegiatan budidaya dapat berupa ikan yang mati selama proses budidaya misalnya yang terjadi pada waduk Cirata. Hasil samping industri pengolahan perikanan umumnya berupa kepala, jeroan, kulit, tulang, sirip, darah dan air bekas produksi. Kegiatan pengolahan secara tradisional umumnya kurang mampu memanfaatkan hasil samping ini, bahkan tidak termanfaatkan sama sekali sehingga terbuang begitu saja. Hasil samping kegiatan industri perikanan dapat digolongkan menjadi lima kelompok utama, yaitu hasil samping pada pemanfaatan suatu spesies atau sumberdaya; sisa pengolahan dari industri-industri pembekuan, pengalengan, dan tradisional; produk ikutan; surplus dari suatu panen utama atau panen raya; dan sisa distribusi (Sukarno 2001).

Menurut Bhaskar dan Mahendrakar (2008), jeroan ikan mengandung protein dan lemak tak jenuh yang tinggi. Fakta yang ditemukan bahwa produk buangan yang kaya akan protein dan lemak meningkatkan peluang untuk mengalami kebusukan. Limbah tersebut dapat menimbulkan masalah lingkungan bila tidak dilakukan penanganan. Menurut Dao dan Kim (2011), telah banyak penelitian yang berkembang untuk memanfaatkan limbah jeroan ikan, seperti pembuatan pakan ikan, pupuk serta media tumbuh bakteri (pepton).

(17)

2.2 Tepung Ikan

Tepung ikan adalah komoditas olahan hasil perairan yang diperoleh dari suatu proses reduksi bahan mentah menjadi suatu produk yang sebagian besar terdiri dari komponen protein ikan. Tepung ikan mempunyai kandungan protein yang tinggi dan merupakan salah satu komponen penting dalam pertumbuhan. Tepung ikan mempunyai nilai gizi sepuluh kali lebih besar dibandingkan tepung yang dibuat dari hewan darat. Dengan demikian, penggunaan tepung ikan dalam produk berfungsi sebagai penyuplai protein (Irianto dan Giyatmi 2002).

Berdasarkan bahan baku, tepung ikan dapat digolongkan menjadi tepung ikan yang berwarna gelap yang biasanya terbuat dari limbah pengolahan ikan dan tepung ikan berwarna putih kekuningan yang biasanya terbuat dari ikan rucah. Bahan mentah yang untuk produksi tepung ikan dapat dibedakan atas tiga kategori utama menurut Irianto dan Giyatmi (2002), yaitu:

a) Ikan yang sengaja ditangkap untuk produksi tepung ikan dan sering disebut ikan industri, seperti ikan teri di Peru, ikan teri dan ikan pilchard di Afrika Selatan, ikan herring dan ikan capelin di Norwegian dan Denmark.

b) Hasil tangkap samping dari kegiatan perikanan lain

c) Limbah ikan dari kegiatan industri pengolahan, seperti karkas dari industri fillet serta kepala dan isi perut dari industri pengalengan.

Salah satu syarat pengolahan tepung ikan adalah tersedianya bahan mentah yang berlebihan dan harganya murah, karena tepung ikan juga relatif murah di pasaran. Jenis bahan mentah yang digunakan oleh pengolahan atau pabrik tepung ikan di Indonesia adalah ikan utuh dan limbah dari pengolahan lainnya. Biasanya ikan utuh yang diolah menjadi tepung ikan adalah ikan yang bermutu rendah atau ikan yang tidak terserap oleh industri pengolahan yang lain dan ikan yang berasal dari hasil tangkapan sampingan (Irianto dan Giyatmi 2002).

Tinggi rendahnya kadar protein pada tepung ikan selain dipengaruhi oleh cara pengolahan, juga dipengaruhi oleh bahan mentah yang digunakan. Bahan mentah yang digunakan dalam pengolahan tepung ikan seharusnya bermutu baik. Hanya dengan menggunakan ikan bermutu baik saja yang dapat menjamin bahwa tepung ikan yang dihasilkan akan bermutu baik pula. Apabila ikan yang digunakan sebagai bahan mentah dalam pengolahan tepung ikan memiliki mutu

(18)

yang tidak baik, maka akan menghasilkan tepung ikan yang tidak sesuai dengan harapan, yaitu kadar protein rendah dan kadar lemak tinggi. Selain bahan mentah yang digunakan mempunyai mutu yang baik, bahan mentah yang digunakan juga sebaiknya memiliki nilai ekonomis yang rendah (Irianto dan Giyatmi 2002).

Penggolongan teknologi pengolahan tepung ikan didasarkan pada proses pemasakan dan pengeringan bahan mentah ikan. Terdapat dua metode utama pengolahan tepung ikan yang telah diterapkan secara komersial, yaitu penggolahan sistem basah dan pengolahan sistem kering. Pengolahan sistem basah digunakan terutama untuk memproduksi tepung ikan dari bahan baku ikan yang berlemak tinggi (>5%). Metode ini telah diterapkan secara luas dan paling umum dijumpai pada pengolahan tepung ikan. Pengolahan sistem basah meliputi pengukusan, pengepresan, pengeringan, penggilingan hingga diperoleh tepung ikan kering. Proses pengolahan tepung ikan menggunakan sistem kering digunakan untuk bahan mentah yang memiliki kadar lemak rendah (<5%). Proses pengolahan sitem kering meliputi penggilingan kasar, pengeringan, pengepresan, dan penggilingan (Irianto dan Giyatmi 2002).

2.3 Pengomposan

Pengomposan adalah proses dekomposisi biologi dari bahan organik yang dapat dipercepat secara artificial oleh populasi berbagai macam mikrob (bakteri, Actinomycetes dan fungi) dalam kondisi lingkungan aerobik atau anaerobik (Crawford 2003). Proses pengomposan melibatkan suhu yang tinggi sebagai hasil produksi panas dari proses pemecahan senyawa organik kompleks oleh mikrob yang menghasilkan energi panas. Hasil akhir dari proses pengomposan berupa produk kompos yang cukup stabil dalam bentuk padatan kompleks dan tidak menimbulkan efek negatif yang dapat merugikan lingkungan saat diberikan atau digunakan pada lahan (Wei et al. 2000).

Proses pengomposan membutuhkan pengendalian agar memperoleh hasil yang baik. Pengendalian proses pengomposan dilakukan dengan cara menjaga kondisi ideal sehingga proses pembusukan atau pengomposan dapat berjalan secara optimum. Kondisi ideal bagi proses pengomposan berupa keadaan lingkungan atau habitat dimana jasad renik dapat hidup dan berkembang dengan

(19)

optimal. Semakin banyak jumlah jasad renik yang ada, maka semakin cepat pula proses dekomposisi terjadi (Gomez et al. 2002).

Proses pengomposan terdiri atas pengomposan aerob dan pengomposan anaerob. Proses pengomposan aerob kurang lebih dua per tiga unsur karbon (C) menguap menjadi CO2 dan sisa satu per tiga bagian bereaksi dengan nitrogen

dalam sel hidup. Selama proses pengomposan aerob, tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung, akan terjadi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Kenaikan suhu dalam timbunan bahan organik menghasilkan suhu yang menguntungkan mikroorganisme termofilik. Tetapi apabila suhu mencapai 65-70˚C, kegiatan mikroorganisme akan menurun karena kematian organism akibat panas yang terlalu tinggi. Pada proses pengomposan anaerobik, penguraian terjadi dalam suasana tanpa oksigen. Pada tahap awal, bakteri fakultatif penghasil asam menguraikan bahan organik menjadi asam lemak, aldehida dan lain-lain. Proses selanjutnya, bakteri dari kelompok lain akan mengubah asam lemak menjadi gas metan, ammonia, CO2 dan hidrogen

(Sutanto 2002). Pada proses aerob, energi yang dilepaskan lebih besar, sekitar 484-674 kkal/mol glukosa, jika dibandingkan dengan proses anaerob yang hanya melepaskan glukosa sebanyak 25 kkal/mol (McKinley et al. 1985).

Prinsip dasar dari pengomposan adalah pencampuran bahan organik kering yang kaya karbohidrat dengan bahan organik basah yang banyak mengandung nitrogen (N). bahan baku kompos juga harus memiliki karakteristik yang khas agar dapat dikomposkan. Pada umumnya, bahan baku yang mengandung karbon kering sangat baik untuk dijadikan kompos, namun bahan baku tersebut harus dicampur dengan bahan lain yang memiliki kualitas berbeda. Proses dekomposisi berlangsung secara berkelanjutan sampai bahan organik yang kompleks berangsur-angsur diubah menjadi elemen yang sederhana beserta senyawa anorganik dari terjadinya mineralisasi (Djaja 2008).

2.4 Pupuk Organik

Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman. Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik seperti pangkasan daun tanaman, kotoran ternak, sisa tanaman, dan sampah organik yang telah

(20)

dikomposkan. Bahan organik ini akan mengalami pembusukan oleh mikroorganisme sehingga sifat fisiknya akan berbeda dengan keadaan semula. Pupuk organik termasuk pupuk majemuk lengkap karena kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur dan mengandung unsur mikro. Pupuk organik dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pupuk organik padat dan pupuk organik cair (Hadisuwito 2011).

Pupuk organik merupakan salah satu bahan yang sangat penting dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah karena terbebas dari unsur kimia yang memiliki potensi untuk merusak kesuburan tanah dalam jangka panjang. Secara kualitatif, kandungan unsur hara dalam pupuk organik tidak dapat lebih daripada pupuk anorganik, namun penggunaan pupuk organik secara terus-menerus dalam rentang waktu tertentu akan menjadikan kualitas tanah lebih baik disbanding pupuk anorganik. Penggunaan pupuk organik tidak akan meninggalkan residu pada hasil tanaman sehingga aman bagi kesehatan manusia (Musnamar 2003). Standar kualitas pupuk organik kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004 dapat dilihat Tabel 1.

Tabel 1 Standar kualitas pupuk organik kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004

Parameter Standar Bahan organik Total N Total C organik Rasio C/N P2O5 K2O pH Kadar air 27-58 % >0,40 % 9,80-32,00 % 10-20 >0,10 % >0,20 % 6,80-7,49 50% Sumber: BSN (2004)

Pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dan alami daripada bahan pembenah buatan/sintetik. Pada umumnya pupuk organik mengandung hara makro NPK rendah, tatapi mengandung hara mikro dalam jumlah yang cukup yang sangat diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. Sebagai bahan pembenah tanah, pupuk organik dapat mencegah terjadinya erosi, pergerakan permukaan tanah (crusting) dan retakan tanah, mempertahankan kelengasan tanah serta memperbaiki dakhil (internal drainage). Tanah yang dibenahi dengan pupuk organik mempunyai struktur yang baik dan tanah yang

(21)

kecukupan bahan organik mempunyai kemampuan mengikat air lebih besar daripada tanah yang kandungan bahan organik yang rendah. Nitrogen dan unsur hara yang lain dilepaskan oleh bahan organik secara perlahan melalui proses mineralisasi. Dengan demikian, apabila diberikan secara berkesinambungan, maka akan banyak membantu dalam membangun kesuburan tanah (Sutanto 2002).

Bahan/pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi. Pupuk organik atau bahan organik tanah merupakan sumber nitrogen tanah yang utama, selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme yang terdapat pada tanah untuk menjadi humus atau bahan organik tanah (Balitbang Pertanian 2006).

2.5 Unsur Hara

Kesuburan tanah secara alami bergantung pada unsur-unsur kimia yang tersedia di alam. Unsur-unsur kimia alami yang terangkai menjadi bahan organik merupakan bahan penting dalam membantu mencuptakan kesuburan tanah yang biasa disebut unsur hara. Bahan organik tanah memiliki banyak kegunaan, diantaranya mempertahankan struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah untuk menyimpan dan mendistribusikan air dan udara di dalam tanah, serta memberikan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman dan organisme di dalam tanah. Secara umum, unsur hara dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu unsur hara makro yang terdiri dari unsur nitrogen, fosfor, kalium, sulfur, kalsium dan magnesium; serta unsur hara mikro yang terdiri dari unsur klor, besi, mangan, boron, kobal, iodium, seng, selenium, molibdenum, flour dan tembaga (Hadisuwito 2011).

(22)

Unsur nitrogen atau N merupakan unsur hara di dalam tanah yang sangat berperan bagi pertumbuhan tanaman. Perilaku nitrogen di dalam tanah sulit diperkirakan karena transformasinya sangat kompleks. Lebih dari 98% N di dalam tanah tidak tersedia untuk tanaman karena terakumulasi dalam bahan organik atau terjerat dalam tanah liat. Oleh karena itu, bahan organik sudah ditransformasi menjadi pupuk dapat membantu menyediakan N bagi tanaman. Suplai unsur N melaui pemupukan unsur N melaui pemupukan lebih diutamakan untuk tanaman karena N merupakan unsur yang paling banyak hilang dari lahan setelah dipanen. Tanaman yang kekurangan N akan terus mengecil, bahkan secara cepat berubah menjadi kuning karena N yang tersedia tidak cukup untuk membentuk protein dan klorofil (Yuliarti 2009).

Selain unsur N, unsur hara lain yang penting bagi tanaman yaitu fosfor atau P. Fosfor merupakan zat yang penting, tetapi selalu berada dalam keadaan kurang di dalam tanah. Unsur P sangat penting sebagai sumber energi. Oleh karena itu, kekurangan P dapat menghambat pertumbuhan dan reaksi-reaksi metabolism tanaman. Sementara itu, kandungan fosfor pada tanaman membantu dalam pertumbuhan bunga, buah, dan biji, serta mempercepat pematangan buah. Jika tanaman kekuarangan unsur ini, maka dapat menyebabkan daun dan batang menjadi kecil, daun berwarna hijau tua keabu-abuan, mengkilap, dan terlihat pigmen merah pada daun bagian bawah dan selanjutnya mati. Selain itu, pembentukan bunga menjadi terhambat dan produksi buah dan bijinya kecil (Subaedah 2007).

Kalium berfungsi dalam pembentukan protein dan karbohidrat. Selain itu, unsur ini juga beperan penting dalam pembentukan antibodi tanaman untuk melawan penyakit. Ciri fisik tanaman yang kekurangan kalium yaitu daun tampak keriting dan mengkilap. Lama kelamaan, daun akan menguning di bagian pucuk dan pinggirnya. Bagian antara jari-jari daun juga menguning, sedangkan jari-jari tetap hijau. Ciri fisik lain kekurangan unsur ini adalah tangkai daun menjadi lemah, dan mudah terkulai serta biji keriput (Muhammad 2007).

(23)

2.6 Bokashi

Bokashi adalah pupuk yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM (Effective Microorganism). Keunggulan teknologi EM adalah pupuk organik dapat dihasilkan dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan cara konvensional. EM merupakan gabungan dari beberapa bakteri dan fungi yang memiliki kemampuan untuk menyuburkan tanaman dan menguraikan bahan organik seperti bakteri asam laktat, bakteri fototropik, ragi, jamur fermentasi dan bakteri golongan Actinomycetes (Mayer et al. 2010).

Bahan baku pembuatan pupuk bokashi merupakan limbah pertanian seperti jerami, rumput, sekam, tanaman kacang-kacangan, pupuk kandang atau serbuk gergaji, namun bahan yang paling baik digunakan yaitu dedak padi karena mengandung zat gizi yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Bokashi sudah digunakan oleh petani Jepang dalam perbaikan tanah secara tradisional untuk meningkatkan keragaman mikroba dalam tanah dan meningkatkan persediaan unsur hara bagi tanaman. Secara tradisional, bokashi dibuat dengan cara memfermentasikan campuran bahan organik seperti dedak dan kotoran hewan dengan tanah dari hutan atau gunung yang mengandung berbagai jenis mikroorganisme, namun saat ini bokashi telah dibuat dengan menggunakan kultur mikroba seperti EM (Effective Microorganism). Penggunaan EM dalam bokashi dapat memperbaiki kesehatan dan kualitas tanah, memperbaiki mutu tanaman, serta sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman mikroba di dalam tanah (Sani 2007).

Keunggulan pupuk bokashi menurut Sarbini (2008) antara lain:

a. Biaya pembuatan yang murah karena menggunakan bahan baku dari limbah pertanian, limbah peternakan, limbah industri serta limbah rumah tangga b. Mengandung unsur hara yang lebih lengkap, baik makro maupun mikro c. Dapat dibuat sendiri

d. Memperbaiki struktur tanah. Tanah menjani gembur, perembesan air lebih cepat, daya tahan terhadap erosilebih kuat dan tanah lebih mudah diolah. e. Melepaskan unsur hara yang terikan oleh tanah dan menahannya dari tercuci

(24)

f. Member suasana lingkungan yang baik bagi jasad renik dalam tanah, sehingga bahan organik dapat terurai oleh jasad renik untuk dimanfaatkan oleh tanaman.

Penggunaan EM dalam pembuatan pupuk bokashi memberikan beberapa keuntungan menurut Nasir (2008), antara lain:

a. Memperbaiki perkecambahan bungan, buah, dan kematangan hasil tanaman. b. Memperbaiki lingkungan fisik, kimia, serta biologi tanah serta menekan

pertumbuhan hama dan penyakit dalam tanah c. Meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman

d. Menjamin perkecambahan dan pertumbuhan tanaman yang lebih baik e. Meningkatkan manfaat bahan organik sebagai pupuk

(25)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2012. Sampel limbah perikanan diperoleh dari Waduk Cirata-Jangari, Cianjur. Pembuatan pupuk organik beserta analisis pH, dan temperatur dilaksanakan di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian,

Cianjur, Jawa Barat. Analisis proksimat limbah dan analisis kandungan N-Total, C-Organik, dan rasio C/N, dilaksanakan di Laboratorium Pengujian Mutu, Pusat

Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian, Cianjur, Jawa Barat. Analisis total fosfor dan total kalium dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Aplikasi pupuk organik pada tanaman kangkung darat (I. reptana) dilaksanakan di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian, Cianjur, Jawa Barat.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan yang mati akibat upwelling dari Waduk Cirata. Bahan-bahan lainnya meliputi dedak padi, ampas kelapa, EM-4, molase, akuades, benih tanaman kangkung darat (I.reptana), tanah, polybag, urea, KCL, SP36 dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penentuan kadar proksimat dan unsur hara makro.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin chopper, terpal, grinder pupuk, ayakan, wadah plastik, pH meter, termometer, karung, Spektrofotometer (LW-200) Series, kuvet, Atomic Absortion Spectrophotometer (AAS Shimadzu AA-60), oven (Memmert), tanur (Nabertherm), destilator, cawan porselen, gegep, pipet volumetrik, pipet tetes, buret, penangas air, labu kjeldahl, kertas saring, dan alat-alat gelas. Aplikasi pupuk pada kangkung darat (I. reptana) digunakan alat-alat pertanian seperti cangkul dan parang.

(26)

3.3 Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu pembuatan tepung ikan, pembuatan pupuk organik bokashi, dan aplikasi pupuk organk bokashi pada tanaman kangkung darat (I. reptana)

3.3.1 Pembuatan tepung ikan

Proses pembuatan tepung ikan diawali dengan pencucian ikan untuk menghilangkan kotoran dan darah yang menempel. Selanjutnya, limbah ikan utuh digiling menggunakan chopper untuk memperkecil ukuran partikel limbah. Selanjutnya, limbah dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari selama +2 hari untuk menurunkan kadar airnya hingga 20%. Selanjutnya, dilakukan proses penepungan. limbah ikan yang telah kering dihaluskan dengan grinder lalu disaring menggunakan ayakan sehingga didapatkan tepung ikan dengan butiran yang homogen. Tepung ikan yang dihasilkan akan dilakukan analisis proksimat dan hara makro (N-Total, P2O5, C-Organik, K2O, dan rasio

C/N). Diagram alir pembuatan tepung ikan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir pembuatan tepung limbah ikan

Analisis proksimat, C-organik, N-total, rasio C/N, P2O5, K2O Limbah ikan Pencucian Penggilingan Pengeringan Penepungan

(27)

3.3.2 Pembuatan pupuk organik bokashi

Pembuatan pupuk organik bokashi diawali dengan persiapan bahan baku yaitu dedak padi, ampas kelapa dan tepung ikan. Bahan baku terlebih dahulu dijemur untuk mengurangi kadar airnya. Bahan baku dicampurkan dengan komposisi yang divariasikan sebagai perlakuan. Komposisi dari dedak padi, ampas kelapa dan tepung ikan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi Kode

perlakuan

Komposisi (%)

Dedak padi Ampas kelapa Tepung ikan

P0 0 0 100

P1 50 20 30

P2 40 20 40

P3 30 20 50

P4 20 20 60

Bahan baku dengan komposisi yang telah ditentukan, dicampurkan dalam wadah baskom plastik dan diaduk hingga rata. Selama proses pengadukan, campuran bahan baku ditambahkan larutan EM yang telah diaktivasi dengan campuran air dan molase dengan perbandingan air : molase : EM sebesar 90 : 5 : 5 sebanyak 10% (b/v) dari bobot total pupuk. Larutan secara perlahan dituangkan ke campuran hingga campuran memiliki kadar air berkisar antara 40-50%. Campuran yang memiliki kadar air 40-50% memiliki ciri jika saat campuran diremas, campuran menjadi menyatu. Kadar air dikontrol pada hari ke-10 untuk mengkondisikan kadar air tetap berkisar antara 40-50%. Selanjutnya, campuran ditempatkan di dalam karung plastik untuk melindungi campuran dari debu dan air, serta dikondisikan dalam suasana aerobik untuk menunjang proses pengomposan. Selama campuran dikomposkan dalam kondisi aerobik dan diukur nilai pH dan suhu setiap hari. Selama proses pengomposan, suhu dari campuran diukur secara rutin dan dipertahankan sekitar 35 – 45˚C. Campuran harus diaduk jika suhunya mencapai 45˚C agar suhunya kembali turun. Manfaat bokashi akan berkurang apabila suhu bokashi melebihi 50˚C karena energi dalam pembuatan bokashi akan hilang hingga 50% seiring dengan keluarnya panas yang tinggi, serta suhu 50˚C dapat membunuh mikroba pengompos yang terdapat pada EM sehingga proses pengomposan tidak berjalan maksimal. Proses pengomposan

(28)

dilakukan selama 18 hari. Setelah proses pengomposan selesai, pupuk bokashi dijemur di tempat yang tidak terkena sinar matahari hingga agak kering lalu dilakukan analisis kadar air dan hara makro mencakup rasio C/N, karbon organik, total nitrogen, kandungan fosfor dan kalium yang dapat dipertukarkan. Diagram alir pembuatan pupuk organik bokhasi disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir pembuatan pupuk organik bokashi

3.3.3 Aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat (I. reptana) Pupuk yang dihasilkan kemudian diaplikasikan pada tanaman kangkung darat (I. reptana). Tanaman kangkung darat (I. reptana) darat ditanam pada polybag berukuran 35 x 35 cm dan diisi dengan tanah sebanyak 3 kg. Bibit kangkung darat (I. reptana) yang digunakan adalah sebanyak 0,018 g/poyibag. Bibit sebanyak 0,018 g akan menghasilkan anakan kangkung darat (I. reptana) sebanyak 15-20 batang. Bibit tersebut terlebih dahulu disemai selama 2 minggu. Anakan tanaman kangkung darat (I. reptana) selanjutnya dipindahkan ke polybag (dihitung sebagai 0 MST (Minggu Setelah Tanam)) setelah 2 minggu,.

Dedak padi Tepung ikan Ampas kelapa

Pencampuran (Perlakuan P0,P1,P2, P3,P4)

Penambahan larutan EM

Pengomposan (18 hari) Pengukuran pH dan suhu (setiap hari)

Penjemuran Pupuk organik bokashi Analisis: - C-organik - N-total - rasio C/N - P2O5 - K2O

(29)

Pemupukan dilakukan pada saat penanaman di polybag sebelum anakan kangkung ditanam. Tanaman kangkung darat (I. reptana) kemudian dipanen saat berumur 4 MST (Susila 2006).

Perlakuan aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat (I. reptana) dapat dilihat pada Tabel 3. Aplikasi ini pada setiap perlakuan terdiri

dari 5 kali ulangan sehingga didapatkan 35 unit percobaan. Pengamatan terhadap tanaman kangkung darat (I. reptana) setiap minggu selama 4 minggu, berdasarkan umur panen tanaman kangkung darat (I. reptana) yaitu 25-30 hari (4MST) (Susila 2006). Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah cabang dan jumlah daun. Perlakuan dalam penanaman disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat

Kode Perlakuan Dosis/Polybag

KN P0 P1 P2 P3 P4 KP Kontrol Negatif

Pupuk Perlakuan P0 (Tepung ikan (100%)) Pupuk Perlakuan P1 (Dedak padi (50%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (30%)) Pupuk Perlakuan P2 (Dedak padi (40%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (40%)) Pupuk Perlakuan P3 (Dedak padi (30%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (50%)) Pupuk Perlakuan P4 (Dedak padi (20%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (60%)) Kontrol positif Tanpa pupuk 100 gr 100 gr 100 gr 100 gr 100 gr Urea (1,4 gr) + SP36 (2,3 gr) + KC1 (0,8 gr) 3.4 Prosedur Analisis

Analisis yang diamati meliputi pengukuran kadar proksimat, pH, suhu, N-Total, total P, C-Organik, total K, Rasio C/N, pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan bobot tanaman kangkung darat (I. reptana).

3.4.1 Analisis kadar air (BSN 1992)

Prinsip analisis kadar air adalah mengetahui kandungan atau jumlah air yang terdapat dalam suatu bahan. Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan botol timbang dalam oven pada suhu 105°C

(30)

selama 1 jam. Botol timbang tersebut kemudian diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel seberat 1-2 g ditimbang setelah terlebih dahulu digerus. Botol timbang yang telah diisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105°C selama 5-6 jam. Botol timbang kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian ditimbang dan ulangi prosedur ini hingga memperoleh bobot yang tetap.

Perhitungan kadar air dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan: A = Berat botol timbang kosong (g)

B = Berat botol timbang yang diisi dengan sampel (g) C = Berat botol timbang dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)

3.4.2 Analisis kadar abu (BSN 1992)

Prinsip analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis. Cawan porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105°C selama +30 menit. Cawan porselen kemudian dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 2-3 g ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen. Cawan porselen selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 550°C hingga mencapai pengabuan sempurna. Cawan dimasukkan di dalam desikator dibiarkan sampai dingin dan kemudian ditimbang.

Perhitungan kadar abu dapat dilakukan menggunakan rumus:

Keterangan: A = Berat cawan kosong (g)

B = Berat cawan dengan sampel (g)

(31)

3.4.3 Analisis kadar protein (BSN 1992)

Prinsip dari analisis kadar protein yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terbagi atas tiga tahapan, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

1. Tahap destruksi

Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g. Sampel lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL. Tambahkan 2 g selenium dan 25 mL H2SO4 ke dalam

tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410°C ditambah 10 mL air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi jernih.

2. Tahap destilasi

Larutan yang telah jernih didinginkan dan masukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Larutan diencerkan dengan akuades, tepatkan hingga tanda garis. Pipet 5 mL larutan dan masukkan ke dalam alat penyuling, tambahkan 5 mL NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlemeyer 125 mL yang berisi 10 mL asam borat (H3BO3) 2% yang

mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% dengan perbanding 2:1.

3. Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,01 N sampai warna larutan pada erlemeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titrasi dibaca dan dicatat.

Perhitungan kadar protein dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan : W = Bobot sampel

V1 = Volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran

sampel

V2 = Volume HCl yang dipergunakan penitaran blanko

N = Normalitas HCl fp = Faktor pengenceran

(32)

3.4.4 Analisis kadar lemak (BSN 1992)

Sampel sebanyak 1-2 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan

dimasukkan ke dalam selongsong lemak, lalu dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan

tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (Ws).

Perhitungan kadar lemak dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan: W1 = Berat sampel (g)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g)

W3 = Berat lebu lemak dengan lemak (g)

3.4.5 Pengukuran suhu

Suhu selama proses pengomposan diukur dan dicatat setiap hari pada pagi hari. Pengukuran suhu dilakukan menggunakan alat ukur termometer ruang yang ditancapkan pada pupuk di beberapa titik.

3.4.6 Pengukuran pH

Nilai pH selama proses pengomposan diukur dan dicatat setiap hari pada pagi hari. Analisis derajat keasaman (pH) dilakukan dengan menggunakan pH tester yang ditancapkan pada pupuk di beberapa titik.

3.4.7 Karbon organik (AOAC 2007)

Pengukuran karbon organik menggunakan metode pengoksidasian dengan kromat dan asam sulfat. Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan 20 mL K2Cr2O7 2 N dan 15 mL H2SO4 pekat,

(33)

(digoyang setiap 15 menit) sampai semua sampel melarut. Sampel yang sudah larut diencerkan dengan akuades hingga tanda tera. Larutan ini kemudian dipipet sebanyak 10 mL ke dalam erlemeyer dan tambahkan indicator FeSO4 0,2 N

sebanyak 20 mL, encerkan dengan air. Selanjutnya dititrasi dengan larutan KMnO4 0,1 N.

Perhitungan C organik dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan : a = ml KMnO4 untuk sampel

b = ml KMnO4 untuk blanko

N = Normalitas KMnO4

fp = Faktor pengenceran

W = Berat sampel (mg) 3.4.8 Nitrogen total (BSN 1992)

Prinsip dari analisis kadar nitrogen yaitu untuk mengetahui kandungan nitrogen pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis nitrogen total terbagi atas tiga tahapan, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

1. Tahap destruksi

Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g. Sampel dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL. Tambahkan 2 g selenium dan 25 mL H2SO4 ke dalam tabung

tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 °C ditambah 10 mL air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi jernih.

2. Tahap destilasi

Larutan yang telah jernih didinginkan dan masukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Larutan diencerkan dengan akuades, tepatkan hingga tanda garis. Pipet 5 mL larutan dan masukkan ke dalam alat penyuling, tambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlemeyer 125 mL yang berisi 10 mL asam borat (H3BO3) 2% yang

mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% dengan perbanding 2:1.

(34)

3. Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,01 N sampai warna larutan pada erlemeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titrasi dibaca dan dicatat.

Perhitungan nitrogen total dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan : W = Bobot sampel

V1 = Volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran

sampel

V2 = Volume HCl yang dipergunakan penitaran blanko

N = Normalitas HCl fp = Faktor pengenceran

3.4.9 Total fosfor (AOAC 2007)

Fosfor dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer. Sampel yang berbentuk padat harus dilakukan dulu pengabuan basah. Sampel sebanyak 1 g ditambahkan 5 mL HNO3 didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang

asam, kemudian dipanaskan diatas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam). Sampel dibiarkan semalam dalam keadaan tertutup. Sampel ditambahkan 0.4 mL H2SO4 , lalu dipanaskan di atas hot plate sampai

larutan berkurang (lebih pekat), ±1 jam. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4: HNO3 (2:1). Sampel masih tetap di atas hot plate, karena

pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua sampai akhirnya berwarna kuning muda (±1 jam). Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. Pindahkan sampel, dinginkan dan tambahkan 2 mL aquades dan 0.6 mL HCl. Sampel dipanaskan kembali agar larut (± 15 menit) kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Apabila ada endapan disaring dengan glass wool.

Analisis kandungan fosfor dilakukan menggunakan spektrofotometer, namun sebelumnya dilakukan preparasi sampel dengan faktor pengenceran yang dibutuhkan. Sampel dipipet 0,5 mL dari hasil pengabuan basah, ditambah aquades hingga 3 mL dan Cl3La.7H2O 2 mL lalu dikocok. Kemudian sampel diukur

(35)

Perhitungan kandungan P dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan : fp = Faktor pengenceran

W = Bobot sampel (g)

3.4.10 Total kalium (AOAC 2007)

Kalium dianalisis menggunakan AAS. Sampel yang berbentuk padat harus dilakukan pengabuan basah terlebih dahulu. Sampel sebanyak 1 g ditambahkan 5 mL HNO3 didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam, kemudian

dipanaskan diatas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam). Sampel dibiarkan semalam dalam keadaan tertutup. Sampel ditambahkan 0.4 mL H2SO4 , lalu dipanaskan diatas hot plate sampai larutan

berkurang (lebih pekat), ±1 jam. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4: HNO3 (2:1). Sampel masih tetap diatas hot plate, karena

pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua sampai akhirnya berwarna kuning muda (± 1 jam). Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. Pindahkan sampel, dinginkan dan tambahkan 2 mL aquades dan 0.6 mL HCl. Sampel dipanaskan kembali agar larut (±15 menit) kemudian masukkan kedalam labu takar 100 mL. Apabila ada endapan disaring dengan glass wool.

Analisis kandungan kalium dilakukan menggunakan AAS, namun sebelumnya dilakukan preparasi sampel dengan faktor pengenceran sesuai dengan yang dibutuhkan. Sampel sebanyak 0,5 mL ditambah aquades hingga 5 mL dan (Cl3La.7H2O) 0,05 ml lalu divorteks. Kemudian sampel diukur dengan

menggunakan AAS.

Perhitungan kandungan K dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan : fp = Faktor pengenceran

(36)

3.4.11 Tinggi tanaman kangkung darat (I. reptana)

Pengukuran dan pengamatan tinggi kangkung darat dilakukan setiap 1 minggu selama 4 minggu. Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuh dengan menggunakan penggaris. Untuk laju pertambahan tinggi tanaman didapat dari perhitungan berikut:

3.4.12 Jumlah daun tanaman kangkung darat (I. reptana)

Pengukuran dan pengamatan jumlah daun tanaman kangkung darat dilakukan setiap 1 minggu selama 3 minggu. Jumlah daun dihitung berdasarkan jumlah daun yang telah berkembang sempurna.

3.4.13 Bobot basah tanaman kangkung darat (I. reptana)

Penimbangan bobot basah tanaman kangkung darat dilaksanakan setelah tanaman dipanen. Penimbangan bobot basah dilakukan dengan menimbang kangkung yang telah dipanen dan dibersihkan dari tanah dengan menggunakan timbangan digital sehingga didapat bobot basahnya.

3.5 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu komposisi bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi. Dosis bahan baku yang digunakan terdiri atas P0, P1, P2, P3, dan P4. Penelitian ini

digunakan juga kontrol positif menggunakan campuran pupuk urea, SP 36 dan KCl dan kontrol negatif yaitu tanpa pemupukan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali sehingga diperoleh 35 satuan percobaan. Satu satuan percobaan berupa tanaman yang ditanam di polybag. Semua data pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah :

(37)

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

µ = Nilai rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan ke-i terhadap respon

εij = Pengaruh acak yang timbul pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:

H0 : αi = α ( perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

H1 : αi ≠ α (paling sedikit ada sepasang perlakuan dimana αi ≠ α).

Selanjutnya hasil sidik ragam yang menunjukkan pengaruh nyata dilakukan uji Duncan pada selang kepercayaan 95 %. Data diolah dengan menggunakan PASW 18 for windows.

(38)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Karekteristik bahan baku merupakan salah satu informasi yang sangat diperlukan pada awal suatu proses pengolahan, termasuk pembuatan pupuk. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan pupuk organik bokashi adalah tepung ikan, dedak padi dan ampas kelapa. Hasil analisis proksimat dan hara makro pada bahan baku disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil analisis proksimat dan hara makro bahan baku pupuk bokashi

Parameter Bahan baku

Tepung ikan Dedak padi Ampas kelapa

Proksimat Air (%) 7.60±0,04 10.51±0,09 70.52±0,36 Abu (%) 22.34±0,28 11.16±0,64 0.24±0,01 Lemak (%) 16.69±0,02 12.39±0,21 3.75±0,19 Protein (%) 55,62±0,06 29,51±0,56 5,85±0,04 Hara makro C-organik (%) 9,36±0,20 11,68±0,11 7,85±0,14 Total N (%) 9,63±0,01 5,28±0,10 0,93±0,01 Rasio C/N 0,97 2,21 8,44 Total K (%) 0,30 ±0,00 0,54±0,01 0,63±0,01 Total P (%) 3,26±0,08 0,53±0,00 0,03±0,00

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 7,60%, kadar abu sebesar 22,34%, kadar lemak sebesar 16,69%, kadar protein sebesar 55,52%, C-organik sebesar 9,36%, Total N sebesar 9,63%, nilai rasio C/N sebesar 0,97, total K sebesar 0,30% dan total P sebesar 3,26%. Total nitrogen dan total fosfor tepung ikan yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 9,63% dan 3,26% yang menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan cukup potensial sebagai sumber nitrogen dan fosfor untuk pupuk organik bokashi. Kandungan nitrogen yang dianjurkan untuk bahan baku pupuk organik yaitu > 3%, sedangkan untuk fosfor yaitu > 0,5% (Sutanto 2002).

Kadar lemak tepung ikan yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 16,69%. Nilai ini melebihi kadar lemak bahan baku pupuk yang baik yaitu 1%-15%. Kandungan kadar lemak yang terlalu tinggi pada bahan baku pupuk organik dapat memperlambat proses pengomposan. Hal ini disebabkan aktivitas mikrob

(39)

pengurai bahan organik yang terhambat oleh tingginya kandungan lemak, terutama dari golongan Actinomycetes. Untuk bahan baku yang memiliki kadar lemak tinggi, umumnya dilakukan proses pengeluaran minyak melalui pengepresan sebelum bahan baku digunakan atau dikomposkan (Sutanto 2002).

Dedak padi memiliki kadar C-organik paling tinggi yaitu 11,68% yang potensial digunakan sebagai sumber karbon pada proses pengomposan. Dedak dan sekam padi merupakan bahan baku yang umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik karena memiliki kandungan karbon yang tinggi dan rasio C/N yang baik. Bahan ini umumnya dikombinasikan dengan bahan lain seperti kotoran sapi atau limbah sayuran sebagai sumber nitrogen sehingga dapat dihasilkan pupuk yang mampu memenuhi kebutuhan hara makro dan mikro untuk tanaman (Mustari 2004).

4.2 Pengomposan

Pupuk organik bokashi diproduksi melalui proses pengomposan bahan baku (tepung ikan, dedak padi, ampas kelapa) dengan bioaktifator EM. Proses pengomposan berlangsung selama 18 hari dengan dilakukan pengamatan beberapa parameter untuk menentukan kematangan pupuk. Parameter yang diamati selama proses pengomposan adalah pH dan suhu pupuk yang diamati setiap hari selama proses pengomposan berlangsung.

4.2.1 Perubahan pH

Nilai pH merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas akhir pupuk organik. Pupuk yang baik memiliki pH akhir berkisar antara 6,7-7,0. Perubahan pH selama proses pengomposan dapat menjadi suatu parameter aktivitas mikroba dalam mendekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat dalam bahan baku pembuatan pupuk organik. Perubahan pH pupuk selama proses pengomposan disajikan pada Gambar 3.

Perubahan pH selama proses pengomposan yang disajikan pada Gambar 3 memperlihatkan tren yang sama untuk semua perlakuan yaitu penurunan pH pada awal proses pengomposan hingga titik pH terendah pada hari ke-5 lalu pH meningkat hingga mendekati pH normal pada hari ke-18. Hal ini selaras dengan pernyataan Sutanto (2002) yang menyatakan bahwa pada umumnya, pH selama

(40)

proses pengomposan akan turun pada awal proses pengomposan karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Adanya mikroorganisme lain dari bahan yang didekomposisikan, yaitu bakteri perombak protein, maka pH akan kembali naik setelah beberapa hari dan pH akan berada pada kondisi netral pada akhir proses pengomposan. Kenaikan pH juga dipicu oleh perombakan senyawa nitrogen kompleks menjadi basa nitrogen oleh mikrob.

Gambar 3 Grafik perubahan pH pupuk selama proses pengomposan

Perubahan pH terkecil dicapai oleh perlakuan P0, sedangkan perubahan pH

terbesar dicapai oleh perlakuan P1. Dapat dilihat pada Gambar 3 bahwa semakin

besar komposisi tepung ikan yang digunakan pada pembuatan pupuk, maka perubahan pH semakin kecil. Perbedaan perubahan pH pada tiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan ketersediaan karbon karena perbedaan komposisi sumber karbon yang ditambahkan sehingga akan mempengaruhi aktivitas mikroba selama proses pengomposan. Menurut Goyal et al. (2005), senyawa karbon pada proses pengomposan digunakan oleh mikroba pengompos sebagai sumber energi atau bahan bakar untuk merombak senyawa organik komplek menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pada perlakuan P0, ketersediaan karbon

hanya terbatas dari tepung ikan yang memiliki kandungan C-organik yang rendah sehingga aktivitas mikroba pengurai tidak optimal, sedangkan perlakuan P1, P2, P3

dan P4 yang memiliki ketersediaan karbon lebih banyak karena adanya kontribusi

dedak padi sebagai sumber karbon tambahan sehingga memungkinkan mikroba

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 pH Hari

ke-P0 (Tepung ikan 100%) P1 (Tepung ikan 30%)

P2 (Tepung ikan 40%) P3 (Tepung ikan 50%)

P4 (Tepung ikan 60%)

P0 P1

P2 P3

(41)

untuk memiliki aktivitas yang lebih optimal, terutama untuk perlakuan P1 yang

memiliki komposisi dedak padi lebih banyak yaitu 50%.

Aktivitas mikroba selama proses pengomposan juga dipengaruhi oleh kadar lemak dari tepung ikan yang cukup tinggi. Perlakuan P0 memiliki aktivitas

yang paling rendah yang terlihat dari perubahan pH yang kecil dikarenakan komposisi tepung ikan yang paling besar yaitu 100% sehingga perubahan pH selama proses pengomposan lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan P1 memiliki aktivitas yang paling tinggi dikarenakan

komposisi tepung ikan yang paling rendah yaitu 30%. Kandungan lemak yang terlalu tinggi pada bahan baku pupuk dapat memperlambat proses pengomposan. Hal ini disebabkan aktivitas mikroba pengurai bahan organik yang terhambat oleh tingginya kandungan lemak, terutama dari golongan bakteri (Sutanto 2002).

4.2.2 Perubahan suhu

Suhu merupakan salah satu parameter penting dalam proses pengomposan. Selama proses pengomposan, panas dihasilkan dari aktifitas mikroba saat proses pencernaan bahan organik. Perubahan suhu pupuk bokashi selama proses pengomposan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Grafik perubahan suhu pupuk bokashi selama proses pengomposan Gambar 4 menunjukkan perbedaan pola perubahan suhu pada setiap perlakuan. Pola perubahan suhu selama proses pengomposan pada perlakuan P1,

P2, P3 dan P4 memiliki kecendrungan pola yang sama, sedangkan perlakuan P0

memiliki pola yang berbeda dengan perlakuan lainnya. Dapat dilihat pada

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Su hu ( ˚C) Hari

ke-P0 (Tepung ikan 100%) P1 (Tepung ikan 30%)

P2 (Tepung ikan 40%) P3 (Tepung ikan 50%)

P4 (Tepung ikan 60%)

P0 P1

P2 P3

Gambar

Tabel 1 Standar kualitas pupuk organik kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004
Tabel 2 Komposisi bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi  Kode
Gambar 2 Diagram alir pembuatan pupuk organik bokashi
Tabel 3. Aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat
+5

Referensi

Dokumen terkait

Apabila pengeluaran pemerintah sektor industri pengolahan meningkat 1 persen (semula Rp 60.062 juta menjadi Rp 60.662 juta), pembentukan modal tetap sektor industri

Sebagian besar spesies capung yang ditemukan berasal dari Famili Libellulidae karena famili ini memiliki jumlah spesies yang banyak dengan sebaran yang luas dan

Pasien refrakter (±25%-30% pada ITP) didefinisikan sebagai kegagalan terapikortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena ATyang rendah

Tabel 2.3.6 Banyaknya Perolehan Suara Sah Menurut Kecamatan Table Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Blora, Tahun 2005. Number of Voice Result by District in Blora Regency, on

Sebagai salah satu instalasi yang memberikan pelayanan pembedahan, selayaknya memiliki sebuah pedoman yang dapat memandu atau sebagai acuan dalam

Bab ini memaparkan hal-hal yang meliputi: latar belakang penelitian yang diawali dengan fenomena perubahan dari Telkom Learning Center menjadi Telkom Corporate

3 Studi Perencanaan Jaringan Pipa Air Bersih dengan Menggunakan Sistem Zoning pada Daerah Pelayanan Buring Bawah 2 Kota Malang.. Skripsi 2002 T Sipil, FT,

2) Sampai saat ini setelah 3 tahun berjalannya program penanggulangan pengangguran, dari pihak Karang Taruna “Eka Taruna Bhakti” belum dilakukan pemberian kredit