V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2 Karakteristik Habitat
Tumbuhan pakan yang berpotensi menjadi pakan satwaliar adalah tumbuhan yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan oleh satwaliar tersebut. Menurut Alikodra (1990), potensi makanan (penyebaran dan nilai gizinya) di alam berkaitan erat dengan kondisi musim. Penggunaan makanan satwaliar ditentukan oleh perubahan ketersediaan dan kualitas jenis-jenis makanan di dalam lingkungan.
Pada umumnya banteng merupakan satwaliar yang cenderung lebih menyukai memakan rerumputan (grazer) dibandingkan dengan memakan pucuk daun (browser), namun tidak demikian kondisinya di TNUK. Hal ini dikarenakan jumlah dan luasan padang penggembalaan di seluruh TNUK telah mengalami penyempitan akibat dari adanya invasi beberapa jenis tumbuhan berkayu (misalnya lampeni), semak dan herba termasuk yang terjadi di padang penggembalaan Cidaon.
Penyempitan dan kemunduran kualitas padang penggembalaan ini menyebabkan banteng menjadi kurang terkonsentrasi lagi di padang penggembalaan namun sebaliknya banteng lebih sering masuk ke dalam hutan-hutan di sekitar padang penggembalaan. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa tumbuhan pakan yang dapat dijangkau oleh banteng adalah dengan ketinggian pohon pakan mencapai 150 cm dari permukaan tanah.
A. Jumlah Jenis Pakan A.1. Padang Penggembalaan
Padang penggembalaan sangat penting peranannya bagi banteng, terutama bagi social behaviour dan learning process kelompoknya, mengasuh maupun membesarkan anaknya.serta sebagai tempat merumput. Padang penggembalaan Cidaon memiliki luas sekitar 6 ha dan terdiri dari dua macam vegetasi, yaitu vegetasi rumput serta vegetasi semak dan herba (bukan rumput). Berdasarkan hasil analisis vegetasi di padang penggembalaan Cidaon ditemukan 9 jenis rumput dan 6 jenis bukan rumput (semak dan herba). Jenis yang mendominasi diantaranya antanan (Centella asiatica), domdoman (Chrysopogon aciculatus) dan rumput teki (Cyperus brevifolia) dengan INP masing- masing sebesar : 26.50 %, 29.67 % dan 58.30 %. Jenis-jenis rumput yang terdapat di padang penggembalaan Cidaon umumnya merupakan sumber pakan banteng karena
banteng merupakan satwaliar yang tidak selektif dalam memilih makanan. Data selengkapnya mengenai komposisi jenis rumput dan herba disajikan Tabel 6.
Tabel 6. Analisis vegetasi di padang pengembalaan.
Nama Jenis KR (%) FR (%) INP (%)
antanan* 17.86 8.64 26.5 rumput teki 50.89 7.41 58.3 rumput jarum 1.14 9.88 11.02 amis mata* 0.56 9.88 10.44 domdoman* 12.39 17.28 29.67 jejerukan* 2.44 3.7 6.14 meniran* 1.55 9.88 11.43 rumput kawat 0.97 4.94 5.91 tapak liman 5.06 9.88 14.93 jarong* 0.44 6.17 6.61 ki jampang 0.4 3.7 4.1 jampang pait 2.92 3.7 6.63 rumput kiseuseut 2.73 1.23 3.96 ki bareula 0.23 2.47 2.69 kukucayan 0.42 1.23 1.65
Keterangan : * Jenis herba (bukan rumput) A.2. Hutan
A.2.1. Hutan Dataran Rendah
Menurut Endarwin (2006) hutan dataran rendah memiliki komposisi dan keanekaragaman baik tumbuhan maupun satwaliar yang cukup tinggi dibandingkan formasi hutan lainnya. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada hutan dataran rendah terdapat 27 jenis tumbuhan. Data selengkapnya mengenai komposisi dan keanekaragaman jenis di hutan dataran rendah Cidaon disajikan pada lampiran 2.
Pada tingkatan semai dan tumbuhan bawah ditemukan sebanyak 22 jenis dengan jenis yang mendominasi diantaranya salam (Eugenis polyantha) dan tepus (Ammomum coccineum) dengan INP masing-masing sebesar : 28.42 % dan 34.76 %; tingkatan pancang ditemukan sebanyak 16 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya peuris (Aporosa aurita) dan ki genteul (Diospyros javanica) dengan INP masing-masing sebesar 29.10 % dan 29.48 %; pada tingkat tiang ditemukan sebanyak 9 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya salam dan lampeni dengan INP masing-masing sebesar : 63.28 % dan 105.40 %; sedangkan untuk tingkat pohon ditemukan sebanyak 11 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya
lampeni dan salam dengan INP masing-masing sebesar : 47.84 % dan 113.70%. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang mendominasi di hutan dataran rendah disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Analisis vegetasi dominasi di hutan dataran rendah
Tingkatan Jenis KR FR DR INP
Semai dan tumbuhan bawah lampeni 6.89 13.56 - 20.44
salam 21.64 6.78 - 28.42 tepus 24.59 10.17 - 34.76 Pancang ki lalayu 9.84 15.25 - 25.10 peuris 15.54 13.56 - 29.10 ki genteul 17.62 11.86 - 29.48 Tiang ki genteul 11.67 10.34 21.86 43.87 lampeni 15 24.14 8.7 47.84 salam 43.33 31.03 39.33 113.7 Pohon ki tanjung 7.59 8.82 5.2 21.62 bungur 26.58 20.59 20.85 68.02 salam 39.24 29.41 34.33 102.98
Kondisi tumbuhan hutan dataran rendah cukup baik, hal ini dapat dilihat dari kondisi penutupan vegetasi yang masih rapat dan diameter pohon yang besar. Dilihat dari jumlah komposisi tumbuhan yang ditemukan, hutan dataran rendah memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi jika dibandinakan dengan tipe vegetasi lainnya seperti pada hutan pantai dan padang penggembalaan. Di hutan dataran rendah terdapat berbagai macam tumbuhan bawah yang dapat dijadikan sebagai sumber pakan bagi banteng di dalam hutan. Tumbuhan bawah di dalam hutan dataran rendah ini tumbuh di sela-sela tegakan yang merupakan perlintasan banteng, selain tumbuhan bawah anakan rotan yang masih muda juga dimanfaatkan banteng sebagai pakan tambahan.
A.2.2. Hutan Pantai
Tipe vegetasi lainnya yang juga dimanfaatkan oleh banteng yaitu hutan pantai yang dijadikan tempat oleh banteng untuk memperoleh makanan, beristirahat dan juga sebagai tempat berlindung pada saat sebelum maupun sesudah melakukan kegiatan mengasin di pantai. Hutan pantai ini langsung berhadapan dengan laut tetapi pada saat air laut pasang hutan pantai ini tidak akan tergenang oleh air laut karena hutan pantai ini tidak terpenaruh oleh pasang surut air laut. Hutan pantai di lokasi pengamatan memiliki keanekaragaman jenis yang cukup tinggi, berdasarkan hasil analisis vegetasi ditemukan
total jenis sebanyak 12 jenis tumbuhan. Data selengkapnya mengenai komposisi dan keanekaragaman jenis di hutan pantai Cidaon disajikan pada lampiran 3.
Untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah ditemukan sebanyak 10 jenis dengan jenis yang paling mendominasi ketapang (Terminalia catappa) dan lampeni dengan INP masing-masing sebesar : 26.61 % dan 29.17 %; tingkat pancang ditemukan sebanyak 7 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya waru laut (Thespesia populnea) dan lampeni dengan INP masing-masing sebesar 43.70 % dan 57.14 % ; untuk tingkat tiang ditemukan sebanyak 8 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya malapari dan lampeni dengan INP masing-masing sebesar : 53.86 % dan 100.27 %; sedangkan untuk tingkat pohon ditemukan sebanyak 7 jenis dengan jenis-jenis yang paling mendominasi diantaranya lampeni dan nyamplung (Calophyllum inophyllum) dengan INP masing-masing sebesar : 39.30 % dan 133.42 %. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang mendominasi di hutan pantai disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Analisis vegetasi dominasi di hutan pantai
Tingkatan Jenis KR FR DR INP
Semai dan tumbuhan bawah klampis cina 14.20 12.12 - 26.33
ketapang 14.49 12.12 - 26.61
lampeni 17.05 12.12 - 29.17
Pancang malapari 18.49 20.59 - 39.08
waru laut 20.17 23.53 - 43.70
lampeni 33.61 23.53 - 57.14
Tiang waru laut 15.09 21.43 16.27 52.79
malapari 15.09 17.86 20.91 53.86
lampeni 39.62 25 36 100.27
Pohon laban laut 13.16 15.79 7.84 36.79
lampeni 18.42 10.53 10.35 39.30
nyamplung 52.63 42.11 38.69 133.42
Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di padang penggembalaan, hutan dataran rendah dan hutan pantai tersebut, total jenis tumbuhan pakan banteng yang dapat teridentifikasi sebanyak 32 jenis dengan jenis yang paling mendominasi adalah rumput teki (Cyperus brevifolia) dengan besar INP 58.3%. Peyebaran pakan banteng di padang penggembalaan Cidaon, berdasarkan INP terbagi menjadi 3 kategori, yaitu jenis pakan berpotensi rendah, sedang dan tinggi. Tumbuhan yang menjadi pakan banteng
tersebut dapat dikenali dari bagian daunnya yang tersisa setengah bagian sampai 2/3 nya dan juga banyak ditemukan bekas jejak banteng di sekelilingnya (Gambar 15).
(a) (b) (c)
Gambar 15. (a) Langkap (Arenga obtusifolia); (b) Rotan Seel (Daemonorops melanochaetes) dan (c) Sulangkar (Leea indica).
Dari 32 jenis pakan yang ditemukan 20 jenis diantaranya berpotensi rendah (INP≤10%), 8 jenis berpotensi sedang (10%>INP≤20%) dan 4 jenis berpotensi tinggi (INP>20%). Data selengkapnya mengenai kondisi potensi tumbuhan yang menjadi pakan banteng disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Jenis pakan banteng yang dijumpai di lokasi penelitian
No. Nama Jenis INP (%) KET
1 rumput teki 58.3 *** 2 rumput jarum 11.02 ** 3 rumput kawat 5.91 * 4 tapak liman 14.93 ** 5 jampang pait 6.63 * 6 rumput kiseuseut 3.96 * 7 ki bareula 2.69 * 8 jejerukan 6.14 * 9 domdoman 29.67 *** 10 ki jampang 4.1 * 11 sulangkar 10.41 ** 12 huru 7.98 * 13 ki genteul 14.74 ** 14 ki teja 1.8 *
15 cariang 2.64 * 16 ki tanjung 4.44 * 17 sariawan 4.61 * 18 bungur 4.44 * 19 ki calung 1.07 * 20 lampeni 19.09 ** 21 heucit 2.15 * 22 ki lalayu 19.23 ** 23 salam 23.85 *** 24 tepus 18.49 ** 25 kapol 1.25 * 26 kilaja 1.6 * 27 patat 2.84 * 28 langkap 5.54 * 29 rotan seel 7.98 * 30 malapari 17.11 ** 31 waru laut 21.12 *** 32 asahan 7.63 *
Keterangan : *** :Potensi Tinggi ** : Potensi Sedang
* : Potensi Rendah 5.2.1.2 Jumlah Pakan
Penghitungan jumlah pakan banteng yang dinyatakan dalam biomassa basah hanya dilakukan di padang penggembalaan, tidak sama halnya dengan pengukuran jumlah jenis pakan yang merupakan hasil dari analisis vegetasi di tiga tipe habitat, yaitu padang penggembalaan, hutan dataran rendah dan hutan pantai (Gambar 16.) Berdasarkan hasil penghitungan biomassa pada setiap titik plot di padang penggembalaan diperoleh hasil biomassa basah berkisar antara 1927 kg/ha sampai dengan 49.595 kg/ha.
Hasil ini dinilai cukup besar karena penelitian dilakukan pada saat musim hujan, sehingga rumput dapat tumbuh kembali lebih cepat. Berdasarkan hasil analisis data di padang penggembalaan Cidaon menunjukkan besarnya nilai biomassa tersebut berbanding lurus dengan nilai produktivitas, artinya semakin besar nilai biomassa suatu padang penggembalaan maka nilai produktivitasnya akan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan jenis tumbuhan (rumput dan bukan rumput) yang tumbuh kembali umumnya jenis yang paling mendominasi kawasan tersebut. Data selengkapnya mengenai besarnya biomassa dan produktivitas di padang penggembalaan Cidaon disajikan pada lampiran 4
(a) (b)
(c)
Gambar 16. Perlakuan Terhadap Rumput (a) dan (b) Kondisi Sebelum Dilakukan Pemagaran ; (c) Kondisi Setelah Dilakukan Pemagaran.
5.2.2 Ketersediaan Cover
Cover atau pelindung merupakan komponen habitat berikutnya yang mempengaruhi pemilihan habitat oleh banteng. Banteng merupakan salah satu jenis satwaliar yang tidak terlalu menyukai sengatan cahaya matahari yang terik. Hoogerwerf (1970) menyatakan banteng tidak menyukai cuaca dengan panas matahari yang terik dan umumnya mencari perlindungan di bawah tegakan hutan untuk beristirahat. Selain itu, cover juga dijadikan oleh banteng sebagai tempat untuk bersembunyi agar keberadaannya tidak mudah diketahui oleh pemangsa.
Padang penggembalaan Cidaon dikelilingi oleh pohon-pohon dan sebagian besar tertutupi oleh semak dan belukar yang kemudian dijadikan oleh banteng sebagai tempat berlindung (cover) serta padang penggembalaan ini dikelilingi oleh perbukitan, hutan dataran rendah dan hutan pantai yang mampu memberikan rasa aman terhadap satwaliar yang berada di dalam padang penggembalaan khususnya banteng. Pada umumnya banteng di padang penggembalaan Cidaon lebih menyukai melakukan kegiatan
merumput di bawah tegakan pohon dibandingkan di areal padang penggembalaan yang terbuka. Jenis-jenis pohon yang dijadikan cover oleh banteng diantaranya bungur, sempur, ketapang, salam dan gempol. Pada umumnya tajuk yang dimiliki oleh pohon- pohon tersebut lebar dan rindang, sehingga kondisinya sesuai untuk melindungi banteng dari sengatan matahari (Gambar 17). Profil umum tipe penutupan hutan di sekitar padang penggembalaan Cidaon disajikan pada Gambar 18.
5.2.3 Ketersediaan Air
Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup dan komponen terbesar di dalam sel-sel yang berguna untuk proses-proses metabolisme dan pertumbuhan. Di hutan tropis, sungai mengalir sepanjang tahun dan merupakan salah satu sumber air utama bagi makhluk hidup di dalamnya. Air tawar digunakan banteng untuk kebutuhan minum sedangkan air laut penting bagi kehidupan banteng untuk memenuhi kebutuhan garamnya yang berfungsi di dalam membantu proses pencernaan. Oleh karena itu biasanya banteng mendiami habitat yang terutama merupakan padang rumput yang berbatasan langsung dengan sumber air baik mata air, danau maupun sungai yang berair sepanjang tahun dan juga berbatasan langsung dengan pantai.
Menurut Alikodra (1983), ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal dan air memegang peranan penting bagi kehidupan banteng sebagai sumber air minum, sehingga air harus tersedia di dalam wilayah jelajah (home range) banteng dalam keadaan bersih. Perilaku minum banteng sama halnya dengan perilaku makannya, yaitu membutuhkan air pada jumlah yang banyak.
.
(a) (b)
Gambar 19. Beberapa sumber air yang terdapat di lokasi penelitian : (a) Sungai Ciujung Kulon; (b) Genangan Air di Sekitar Pg. Cidaon.
Perilaku dan pergerakan banteng khususnya pada saat musim kemarau akan berbeda pada saat musim penghujan, karena kondisi sumber air minum banteng menjadi lebih terbatas. Pada saat musim hujan banteng di padang penggembalaan Cidaon memperoleh kebutuhan air dari daun dan rumput yang masih mengandung air bekas hujan dan embun. Selain mengambil sisa air yang ada di rumput dan daun, banteng juga
meminum di genangan-genangan air sementara (pond) yang terdapat di sekeliling padang penggembalaan. Namun pada saat musim kemarau tiba, banteng akan lebih agresif mencari sungai-sungai yang terdekat dengan padang rumput untuk memenuhi kebutuhan mineralnya. Di sekitar padang penggembalaan Cidaon terdapat dua sungai yang cukup besar, yaitu sungai Cidaon dan sungai Ciujung Kulon. Peta jaringan sungai (buffer) di sekitar lokasi penelitian disajikan pada Gambar 20.
2.4 Aksesibilitas (Topografi) A. Ketinggian (Elevasi)
Ketinggian tempat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Van Steenis (1972) dan Simbolon & Mirmanto (1997) dalam Dewi (2005) menyatakan adanya zona-zona vegetasi menurut ketinggian di Taman Nasional Halimun–Salak. Masing-masing zona vegetasi terbentuk karena adanya perbedaan kondisi iklim (karena perbedaan ketinggian) dan akibatnya perbedaan spesies yang dominan. Menurut Hoogerwerf (1970), habitat banteng meliputi daerah pantai hingga pegunungan. Secara alami banteng menyukai habitat hutan terbuka yang diselingi daerah berumput atau padang rumput tetapi tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Tempat- tempat yang terbuka dan datar sampai bergelombang merupakan tempat mencari makan sedangkan hutan digunakan sebagai tempat berlindung.
Di lokasi penelitian hanya terdapat dua tipe hutan berdasarkan ketinggian, yaitu hutan dataran rendah dan hutan pantai. Terkait dengan faktor ketinggian dan pengaruhnya pada jenis vegetasi, hutan dataran rendah memiliki komposisi dan tingkat keanekaragaman jenis serta tingkat kerapatan yang tinggi dibanding dengan hutan pantai. Namun, keberadaan hutan pantai sangat penting peranannya bagi banteng, karena seperti yang telah dijelaskan di atas, banteng memerlukan air laut untuk membantu proses pencernannya. Susetyo (1980) juga menyatakan bahwa faktor yang paling mempengaruhi banyaknya bagian rumput yang dimakan oleh satwaliar pada suatu padang penggembalaan adalah topografi lapangan, semakin curam topografinya maka akan semakin kecil bagian rumput yang dimakan. Hal tersebut dikarenakan ruang gerak satwa menjadi terbatas. Dengan demikian diketahui bahwa semakin rendah ketinggian maka semakin sesuai bagi habitat banteng. Peta kelas ketinggian disajikan pada Gambar 21.
B. Kemiringan Lereng (Slope)
Slope adalah ukuran kemiringan dari suatu permukaan yang dinyatakan dalam derajat atau persen. Pembagian kelas lereng didasarkan pada SK. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi. Kondisi kemiringan lereng sebenarnya tidak terlalu menghambat aksesibilitas banteng, kecuali kemiringan lereng yang ekstrim (sangat curam). Seperti yang telah dijelaskan di atas,
banteng dapat hidup mulai dari daerah pantai hingga pegunungan. Namun demikian banteng merupakan satwa yang oportunitis yang akan memilih daerah yang lebih gampang dilalui yaitu daerah yang datar dan terbuka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga beristirahat. Hal tersebut sependapat dengan Susetyo (1980) yang menyatakan bahwa faktor yang paling mempengaruhi jumlah pakan yang dimakan oleh banteng adalah kondisi topografi lapangannya. Semakin curam topografinya, maka akan semakin sedikit bagian tumbuhan yang dimakan, hal tersebut dikarenakan ruang gerak banteng menjadi terbatas. Peta kemiringan lereng di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 22.
Kelas lereng yang dibuat dinyatakan dalam empat kelas dan satuan nilai yang digunakan dalam mendefinisikan kelas lereng pada penelitian ini adalah persen. Di lokasi penelitian kemiringan lereng sebagian besar dengan tingkat kemiringan 0-8% yaitu daerah yang didominasi oleh hutan dataran rendah, datar dan terbuka Data selengkapnya mengenai luasan masing-masing berdasarkan kelas kemiringan lereng disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Luas kawasan padang penggembalaan Cidaon dan sekitarnya berdasarkan kelas lereng
Kelas lereng (%) Luas (ha)
0-8 884.99 8-15 379.73 15-25 39.15 25-40 21.03
Kelas lereng 0-8 % merupakan kelas lereng yang memiliki luas paling besar dibandingkan dengan kelas lereng lainnya pada setiap kelas lereng yang terdapat di sekitar lokasi penelitian yaitu dengan luas sekitar 884.99 hektar. Luasan terkecil dari kelas lereng yang ada di sekitar lokasi penelitian yaitu 21.03 hektar dengan kelas lereng 25-40%. Kondisi lapangan yang demikian sangat ideal bagi banteng untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga aman untuk istirahat, karena apabila banteng merasa terganggu, maka dengan mudah banteng dapat berlari cepat masuk ke dalam hutan yang susah untuk dilalui oleh pemangsanya.
5.2.5 Jarak dengan Jalan
Kondisi populasi banteng yang mengalami penurunan seperti di Taman Nasional Baluran diakibatkan oleh aktivitas manusia melalui perburuan liar. Perburuan liar ini dapat dengan mudah dilakukan apabila aksesibilitas manusia untuk masuk ke dalam hutan yang merupakan habitat banteng juga mudah, misalnya dengan adanya jalan setapak. Di samping itu, adanya jalan setapak secara tidak langsung dapat mengganggu habitat dan satwaliarnya, terutama apabila jalan setapak tersebut juga melintasi jalur pergerakan satwaliar.
Jalan setapak Cidaon-Cibunar merupakan jalan yang paling sering dilalui oleh wisatawan yang akan melakukan trekking di dua lokasi tersebut. Hal ini mengakibatkan banteng di sekitar Cidaon lebih menyukai aktivitas makan dan istirahat jauh di dalam hutan. Dengan demikian semakin dekat habitat banteng dengan jalan yang dapat dilalui oleh aktifitas manusia maka semakin tidak sesuai dengan kondisi yang disukai oleh banteng dan begitu pula dengan sebaliknya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya banteng merupakan salah satu satwaliar yang sangat sensitif yaitu memiliki indera penciuman yang sangat peka sehingga selalu waspada dan menjaga diri jika ada gangguan, termasuk gangguan dari manusia.
5.2.6. Nilai Indeks Vegetasi
NDVI (Natural Difference Vegetation Index) merupakan suatu metode standar dalam membandingkan tingkat kehijauan vegetasi pada satelit. Selain itu NDVI juga dapat digunakan sebagai indikator biomassa pada suatu tutupan lahan. Pengolahan citra pada lokasi penelitian dan sekitarnya menghasilkan rentang nilai NDVI antara -0.67 sampai + 0.523. Nilai NDVI yang dominan yaitu pada rentang nilai 0.21 - 0.3 dengan jenis vegetasi yang sesuai bagi pakan banteng yaitu didominasi dengan jenis rumput yang juga memiliki nilai biomassa yang dapat mendukung kebutuhan hidup banteng. Dengan demikian jika pengolahan citra dengan metode NDVI ini diterapkan di lokasi lain, maka dapat diasumsikan hasil interpretasi citra untuk rentang nilai tersebut akan memberikan informasi bahwa lahan tersebut ditanami oleh jenis rumput yang sesuai bagi kebutuhan banteng. Data selengkapnya mengenai luasan, nilai NDVI, hubungan dengan INP dan biomassa pada setiap kelas klasifikasi disajikan pada Tabel 11, 12 dan 13.
Tabel 11. Kelas Klasifikasi NDVI
Kelas Klasifikasi Luasan (ha)
1 NDVI ≥ -0.67 dan NDVI ≤ 0 400.15
2 NDVI > 0 dan NDVI ≤ 0.1 12.06
3 NDVI > 0.1 dan NDVI ≤ 0.2 20.79
4 NDVI > 0.2 dan NDVI ≤ 0.3 24.93
5 NDVI > 0.3 dan NDVI ≤ 0.4 254.88
6 NDVI > 0.4 dan NDVI ≤ 0.5 608.13
7 NDVI > 0.5 3.96
Total 1324.9
Tabel 12. Perbandingan antara INP dengan kelas NDVI
No. INP (%) KET Kelas NDVI Luasan (ha)
1 58.3 *** 4 24.93 2 11.02 ** 5 254.88 3 5.91 * 6 608.13 4 14.93 ** 5 254.88 5 6.63 * 6 608.13 6 3.96 * 6 608.13 7 2.69 * 6 608.13 8 6.14 * 6 608.13 9 29.67 *** 4 24.93 10 4.1 * 6 608.13 11 10.41 ** 5 254.88 12 7.98 * 6 608.13 13 14.74 ** 5 254.88 14 1.8 * 6 608.13 15 2.64 * 6 608.13 16 4.44 * 6 608.13 17 4.61 * 6 608.13 18 4.44 * 6 608.13 19 1.07 * 6 608.13 20 19.09 ** 5 254.88 21 2.15 * 6 608.13 22 19.23 ** 5 254.88 23 23.85 *** 4 24.93 24 18.49 ** 5 254.88 25 1.25 * 6 608.13 26 1.6 * 6 608.13 27 2.84 * 6 608.13 28 5.54 * 6 608.13 29 7.98 * 6 608.13 30 17.11 ** 5 254.88 31 21.12 *** 4 24.93 32 7.63 * 6 608.13
Keterangan : * Potensi Rendah ** Potensi Sedang
Perbandingan Jenis Pakan Terhadap NDVI 0 10 20 30 40 50 60 70 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 Titik Tumbuh IN P 0 1 2 3 4 5 6 7 Ke la s ND V I INP NDVI
Gambar 23. Histogram perbandingan antara jenis pakan dengan kelas NDVI.
Tabel 13. Perbandingan Jumlah Pakan Terhadap Nilai NDVI
No Plot Biomassa (kg/ha) Tingkat
Potensi Kelas NDVI
Luasan (ha) 1 29157.5 ** 3 20.79 2 6194.0 * 2 12.06 3 10275.0 * 3 20.79 4 27355.0 ** 3 20.79 5 1927.0 * 2 12.06 6 5322.0 * 2 12.06 7 49595.0 *** 4 24.93 8 48233.0 *** 4 24.93 9 15140.0 * 3 20.79 10 43007.0 *** 4 24.93
Keterangan : * Potensi Rendah ** Potensi Sedang
*** Potensi Tinggi
Perbandingan NDVI Terhadap Jumlah Pakan
0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Plot Ju m lah P akan (K g/ ha ) 0 1 2 3 4 5 Ke la s NDV I Jumlah Pakan Kelas NDVI
5.3 Penentuan Model Kesesuaian Habitat