BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
B. Komunitas Berpagar
2. Karakteristik Komunitas Berpagar
McMullen mengatakan bahwa walaupun setiap komunitas berpagar yang dibuat berbeda-beda namun pada umumnya mereka memiliki kesamaan karakteristik yakni; adanya penghalang fisik untuk menghalangi akses dan pergerakan, pemprivatisasian ruang publik dan pengontrolan atas hal itu (ruang publik), dan juga pemprivatisasian pelayanan publik seperti pengambilan sampah dan perlindungan gangguan dan keamanan dari aparat yang berwajib.
Gambar 2.9 Contoh fasilitas didalam komuitas berpagar Sumber : www.chilliwackgatedcommunities.com
Komunitas berpagar menciptakan penghalang fisik untuk akses dan juga memprivatisasikan pelayanan publik, pelayanan pemerintah dan berbagai tanggung jawab yang biasanya diperuntukkan bagi kepentingan umum seperti perlindungan polisi dan pelayanan komunal (edukasi, rekreasi dan hiburan).
Mereka menciptakan ’tanggung jawab’ bagi diri mereka sendiri, dan ’tanggung jawab’ itu hanya terbatas sampai batas area mereka. komunitas berpagar menciptakan dunia private yang hanya ‘sedikit berbagi’ dengan lingkungan sekitar atau dapat dikatakan ‘tertutup’ dalam sistem politikal yang lebih luas.
Mereka ’membawa ke dalam’ semua fasilitas (seperti kolam renang, lapangan tennis, community centre/club house, lapangan golf, taman bermain, area latihan, area makan malam, atau bisa juga area pantai yang bersifat private tergantung kepada banyaknya perkumpulan yang ada serta jika terdapat pemimpin perkumpulan besar maka ia dapat menyediakan lebih banyak fasilitas dari sebelumnya) yang mereka miliki dan melarang pihak luar untuk datang dan menggunakannya.
Komunitas berpagar menempatkan keamanan dan perlindungan sebagai keistimewaan utamanya. Sebenarnya yang dimaksud dengan keamanan di sini lebih dipandang sebagai kebebasan tak hanya dari kejahatan atau kriminal melainkan juga dari gangguan-gangguan seperti peminta sumbangan, pengemis, kenakalan remaja dan ‘pengganggu-pengganggu’ lainnya, baik yang berniat jahat atau tidak. Komunitas berpagar cenderung homogen dalam taraf pendapatan dan usia. Tujuan dari kehomogenitasan ini adalah agar para komunitas ini dapat hidup
dengan lebih nyaman tanpa ada gangguan dari komunitas lain yang dinilai akan mengganggu keamanan dan kenyamanan penghuni yang tinggal di dalamnya.
Gambar 2.10 Contoh gangguan yang dihindari oleh komunitas berpagar Sumber : www.google.com
Komunitas berpagar menyiratkan pengaturan tata ruang lingkungan hunian yang tergolong ideal jika dilihat dari segi fisik. Sedangkan dari segi nonfisik dapat dilihat dari kehomogenan komunitas penghuni komunitas berpagar, yang pada umumnya setara dari segi pendapatan. Hal ini terlihat dari gaya hidup, cara pandang serta gaya rumah yang mencerminkan status dan tingkat sosialnya.
Kondisi ini memberikan kesan bahwa terdapat pembatas dan perbedaan yang jelas antara komunitas berpagar dengan komunitas yang ada diluarnya.
3. Tipikal Penghuni Komunitas Berpagar
Pada awalnya pengguna komunitas berpagar yang seharusnya adalah mereka yang telah lanjut usia karena mereka merupakan golongan yang rentan dengan kasus kejahatan. Selain itu golongan lanjut usia sangat membutuhkan fasilitas yang bisa menghibur mereka di hari tua sebab waktu mereka lebih banyak dihabiskan di rumah dan lingkungan tempat tinggal. Namun sangat disayangkan
dalam perkembangannya penghuni komunitas berpagar adalah para non-lanjut usia yang dibuktikan dengan meningkatnya permintaan rumah tinggal pada komuitas berpagar oleh para non-lanjut usia.
Gambar 2.11 Penghuni komunitas berpagar yang seharusnya Sumber : www.google.com
Disamping itu, pihak yang menjadi sasaran adalah mereka yang memiliki pandangan rumah sebagai investasi, mengingat nilai properti dewasa ini semakin lama semakin meningkat. Sehingga mereka membeli hanya untuk disewakan atau dijual kembali kepada pihak lain.
Tipikal penghuni lain adalah penghuni yang hampir semua anggota keluarganya memiliki aktivitas harian yang sibuk. Umumnya tipe keluarga ini keluarga single-unit family dengan double-income.
Gaya hidup juga mengharuskan beberapa diantara mereka untuk sering berpergian dalam waktu yang cukup lama, sehingga mereka membutuhkan pengamanan yang ketat untuk mengamankan harta benda dan keluarga mereka.
Gambar 2.12 Mayoritas penghuni komunitas berpagar Sumber : www.google.com
Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa tipikal penghuni yang menempati komunitas berpagar adalah orang-orang yang secara langsung atau tidak langsung masih berhubungan dengan kota. Maksudnya disini mereka masih memiliki ketergantungan dengan kota meskipun lokasi huniannya berada jauh dari pusat kota, seperti karena hubungan pekerjaan, fasilitas hiburan, pelayanan pemerintah, pendidikan, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari segi pendapatan, kebanyakan dari mereka adalah masyarakat dari golongan mampu karena semakin baik fasilitas yang diberikan maka semakin besar dana yang harus dikeluarkan.
4. Tipe Komunitas Berpagar Berdasarkan Komunitas
Menurut Blakely & Snyder, terdapat beberapa hal yang memicu orang-orang untuk memilih komunitas berpagar sebagai huniannya. Blakely & Snyder membagi tipe komunitas berpagar menjadi tiga jenis komunitas, ketiga komunitas tersebut dijelaskan sebagai berikut.
a. Komunitas LifeStyle/Gaya hidup
Bagi mereka yang lebih mementingkan keamanan serta pemisahan aktivitas dan sarana hiburan. Subtibe seperti ini bisa dicontohkan seperti pecinta golf, country club, pengembang resort dan kota baru.
b. Komunitas Prestise
Bagi mereka pagar merupakan simbol pembedaan tingkat sosial dan prestise serta melindungi tempat-tempat private mereka. Subtipe seperti ini terdiri dari para konglomerat, orang terkenal, eksekutif manager serta golongan profesional sukses lainnya.
c. Zona Keamanan
Mereka yang sangat waspada dan takut terhadap segala hal yang berhubungan dengan kejahatan, sehingga mereka membangun benteng-benteng pertahanan, yang terbagi menjadi dua zona;
1) Inner-perch, pagar sebagai upaya melindungi properti dan mencegah tindakan kejahatan dari lingkungan sekitar (pribadi).
2) Suburban-perch, pagar sebagai sarana pelindung area kota dengan pola jalan yang dibuat berliku-liku untuk mengurangi kedatangan dan unutk mendeteksi masuknya orang luar (masyarakat).
Berdasarkan pendapat Blakely & Snyder di atas, diketahui bahwa ada tiga alasan penting yang menjadi latar belakang pemilihan seseorang untuk tinggal dalam komunitas berpagar. Latar belakang ini datang dari suatu pandangan tipikal komunitas tertentu yakni komunitas yang mementingkan gaya hidup, prestise,
5. Jenis Komunitas Berpagar Berdasarkan Isu Kriminalitas
Komunitas berpagar merupakan salah satu solusi untuk menanggapi isu kriminalitas. Dalam perkembangannya, terdapat 2 teori yang membagi komunits berpagar menjadi 2 jenis yaitu tipe terbuka dan tipe tertutup.
a. Teori Terbuka (Encounter Model)
Teori terbuka (Encounter Model) digagas oleh Jane Jacob (1961). Teori ini menganjurkan ruang terbuka yang bebas diakses oleh orang asing. Teori ini beranggapan nahwa keberadaan orang asing melalui interaksi dengan penghuni merupakan subjek pendukung keamanan yang turut mengawasi lingkungan sekitar.
Gambar 2.13 Ilustrasi tipe tertutup Sumber : pribadi
b. Teori Tertutup (Enclosure Model)
Teori tertutup (Enclosure Model) digagas oleh Oscar Newman (1973).
Teori ini manganjurkan ruang tertutup dan lingkungan yang tidak bebas diakses oleh orang asing. Teori ini menganggap bahwa keberadaan orang asing sebagai ancaman bagi penghuni didalam lingkungan tersebut.
Gambar 2.14 Ilustrasi tipe tertutup Sumber : pribadi
6. Rangkuman Komunitas Berpagar
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan mengenai komunitas berpagar yang tengah menjadi tren pada saat ini.
Sebelumnya telah dipaparkan untuk sementara bahwa komunitas berpagar merupakan sebuah area (umumnya residensial) yang didalamnya terdapat penjagaan dan sistem pengamanan yang ketat, terlihat dari banyaknya fasilitas
pengontrolan beberapa sarana ’umum’ yang hanya diperuntukkan bagi komunitas berpagar sendiri (hal ini memang disebabkan oleh system kepemilikan lahannya yang memang private/dimiliki secara bersama).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa komunitas berpagar merupakan suatu area (umumnya area redensial) ekslusif yang dikelilingi oleh
‘batas’ serta dimiliki dan dikontrol secara penuh baik secara pribadi maupun secara umum bagi mereka yang mendiami wilayah tersebut dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan ideal bagi mereka sendiri, yangmana segala hal berupa fasilitas sarana dan prasarana didalamnya hanya bisa digunakan oleh mereka sendiri.
C. Komunitas Berpagar Tipe Tertutup (Enclosure Model of Gate Community)
Oscar Newman (1972) melalui bukunya Defensible Space yang dinamakan dengan enclosure model/tipe tertutup yang merupakan salah satu solusi rancangan kota untuk mengantisipasi tindakan kriminalitas secara lebih efektif.
Sebenarnya teori ini memiliki pro dan kontra ditengah masyarakat sebab cara kerjanya yang dirasa cukup eksrim, karena enclosure model menganjurkan ruang tertutup dan lingkungan yang tidak bebas akses (terbatas). Menurut teori ini orang asing dianggap sebagai ancaman, sehingga dengan ruang tertutup yang memisahkan orang asing dapat menurunkan niat/kesempatan melakukan tindakan kriminal.
1. Defenisi Enclosure Model/Tipe Tertutup
Enclosure model merupakan kajian defensible space yang awalnya dikaji oleh Newman dan Roger Montgomery pada tahun 1964 melalui penindak lanjutan pemikiran Elizabeth Wood (social desaign theory) dan Jane Jacob (the death and life of great American cities). Konsep ini kemudian dikaji lebih lanjut oleh Newman yang menghasilkan sebauh buku bejudul Defensible Space (1972).
Menurutnya, defensible space adalah (NCPI, 1986, 121):
“…surrogate term for the range of mechanisms-real and symbolic barriers, strongly defined areas of influence, improved opportunity for surveilance-that combine to bring an environment under the control of its recidennts. A defensible space is a living recidential environment which can be employed by inhabitants for the enhancement of their live, while providing security for their families, neighbors, and friends…”.
Dari sini bisa kita lihat bahwa defensible space ini merupakan mekanisme pencegahan kejahatan yang dilakukan melalui kontrol sosial informal. Mekanisme ini mensyaratkan adanya peran serta masyarakat untuk mengamankan dirinya, miliknya serta lingkungannya melalui pencegahan kejahatan kolektif. Kata kolektif disini mengandung arti ‘bersama-sama untuk kepentingan dan tujuan bersama’, sehingga apabila ada salah seorang warga masyarakat yang menjadi korban kejahatan di lingkungan tersebut, warga yang lain, menganggap bahwa ancaman tersebut juga dirasakan warga lainnya secara keseluruhan. Dengan begitu, upaya penanganan dan pencegahan kejahatannya pun dilakukan melalui tindakan kolektif.
Shaw and Mckay (1942 dan 1969) mengatakan bahwa penting sekali
kriminogen. Tujuannya adalah agar faktor tersebut tidak menyebabkan timbulnya kejahatan secara sedemikian rupa, sehingga menciptakan kondisi yang memperkecil kesempatan dilakukannya kejahatan, baik dengan membangun rintangan, menumbuhkan kohesi sosial untuk memunculkan rasa saling memilki, mengawasi dan melindungi serta memudahkan polisi untuk melaksanakan tugasnya berpatroli atau melakukan tindakan-tindakan kepolisian.
Pengopersionalan konsep defensible space, memungkinkan untuk terciptanya kondisi tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diasumsikan bahwa komunitas berpagar yang banyak berdiri pada saat ini di merupakan penerapan kajian defensible space, yang terlihat dari pembetukan rintangan di area sekitarnya.
Namun kesamaan tersebut hanya pada ketakukatan dan kewaspadan terhadap tindakan kriminalitas, bukan mengacu pada keekslusivan dan keprivasian yang dihadirkan oleh komunitas berpagar yang tengah digalakkan ditengah masyarakat.
Dikarenakan karena teori enclosure model hanya mengusung bagaimana caranya menghadirkan keamanan bagi masyarakat yang berada dalam suatu wilayah dengan cara hidup kolektif antar sesama warga atau komunitas, meskipun menutup diri dari komunitas atau warga asing yang tidak diketahui.
2. Unsur-Unsur Enclosure Model
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya enclosure model/tipe tertutup adalah bagian dari defensible space. Keduanya memiliki konsep yang sama hanya berbeda pada pengaplikasiannya, yangmana konsep enclosure model pada pembahasan ini diaplikasikan pada area perumahan. Oleh karena itu, unsur-unsur
yang tertera pada enclosure model merujuk kepada unsur-unsur defensible space.
Konsep defensible space dibagi dalam empat kategori utama, yaitu (Block, 1981;
Dermawan, 1994):
a. Territoriality, yang mengacu pada sikap untuk mempertahankan wilayah. Para penduduk merasakan keterpaduan dan keakraban yang kuat dan bersatu dalam orientasi mereka sendiri untuk melindungi wilayah mereka. Dengan adanya territorality ini, maka jika terdapat adanya pendatang baru, akan mudah dikenali.
b. Natural Surveillance, yang mengacu pada kemampuan penduduk untuk mengawasi dan mengamati secara sambil lalu maupun terus menerus, lingkungan umum wilayah mereka.
c. Image and Milieu, meliputi kemampuan tentang desain lingkungan yang dapat meniadakan persepsi tentang proyek perumahan yang menjadi terisolasi dan penghuninya mudah diserang kejahatan
d. Safe Area, adalah wilayah yang memungkinkan pengamatan dan pengawasan yang cermat oleh masyarakat sekitar dan aparat berwajib dalam menjamin keselamatan seseorang dari kejahatan.
Konsep di atas hanya mengacu kepada pemusatan konsep tanpa ada indikator-indikator yang jelas untuk mengukur empat kategori tersebut. Untuk itu penulis hanya bisa mengutip dari jurnal yang membahas mengenai aspek defensible space ini.
Berdasarkan jurnal kriminlogi yang berjudul Defensible Space : Operasionalisasi Model Pencegahan Kejahatan Secara Kolektif di Perumahan tulisan Dadang Sudiadi tahun 2003 menjelaskan bahwa.
1) Territoriality
Secara fisik, keberadaan pembatas, baik pagar rumah, portal sektor/blok dan benteng kompleks perumahan diakui mempunyai pengaruh terhadap tingkat kesulitan dilakukannya kejahatan. Beberapa referensi menunjukkan hal tersebut.
Seperti dikemukakan Block (1981) :
“…The significant amount of environment security is accomplished through the creation of barriers …. The objective of barriers is to prevent or delay the un authorized access to property…”
Menurut Hall (Block, 1981) :
“A barrier as a system of device or characteristics constructed to with stand attack for a specified period of time…a barrier as being comprised of living and material elements. The living element include watch or sentry dogs and guards who may be stationed on the premises, and local law enforcement officers and private security forces who are off-premises. The material component of barriers may be psychological in nature, which are bsically deterrent factors resulting from the material bariers, or they may be physical barriers that protect the premises againts actual physical attack. Doors, windows, wall, roofs and locks are all the examples of physical barriers.”
Secara sosial, konsep territoriality ini bisa dioperasionalkan melalui pemahaman tentang kohesi sosial (kedekatan sosial), yang sangat menentukan keberhasilan dari terlaksananya pencegahan kejahatan secara kolektif. Beberapa fakta menunjukkan, pencegahan kejahatan secara kolektif lebih efektif dibandingkan dengan pencegahan kejahatan secara individual. Berkenaan dengan kegiatan kolektif dalam upaya pencegahan kejahatan, kegiatan seperti ini
dinamakan oleh Moore (Moore dalam Dermawan, 1994; Sartomo, 1997) sebagai
“self-help”.
2) Natural Surveillance
Secara fisik, beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pencahayaan dengan keinginan untuk melakukan kejahatan. Seperti dikemukakan oleh Block (1981):
“Illumination is most important is discouraging criminal activity and enhancing public safety. Ample documentation of the efect of lighting on criminal activity is provided by a comparison of day and night crime rates and by the effects of an electrical blackout in a city. Lighting is one of the most effective deterrents to certaint types of crime, such as vandalism, burglary and muggings.
Two ways that lighting can used to prevent crime are : 1) to increase the probability of criminal activity being observed, and 2) to enable an empty structure to assume the semblance of being occcupied. A person intending to commit naturally desires to minimize the probability of being observed either by law enforcement officers or private citizens.“
Oleh karena itu keberadaan dari lampu-lampu penerangan menjadi sesuatu yang penting. Bagitu juga dengan keberadaan dari pohon-pohon yang rindang, sehingga menyulitkan pemandangan. Letak rumah yang saling berhadapan juga sangat berpengaruh, dengan kemungkinan saling mengawasi antar tetangga maupun terhadap lingkungan. Keberadaan alat-alat elektronik untuk memantau keamanan, juga disinyalir cukup menjadi perhitungan para calon pelaku kejahatan dan memudahkan penghuni rumah untuk memantau tamu yang akan masuk. Lain dari itu, keberadaan alat komunikasi dengan petugas keamanan juga banyak dipercaya bisa memperkecil kemungkinan dlakukannya kejahatan.
Secara sosial, bila tanggung jawab keamanan lebih banyak dibebankan
warganya. Begitu juga dengan warga, harus mengenal dengan baik satpamnya.
Apabila satpam dan warga tidak saling mengenal, maka keduanya bisa tertipu oleh calon pelaku kejahatan yang akan melakukan kejahatan di sebuah kompleks perumahan.
Warga juga harus saling mengenal, paling tidak untuk satu sektor atau blok. Dengan demikian, kohesi sosial juga akan tercipta dengan sendirinya.
Kohesi sosial sangat berpengaruh terhadap kuat-lemahnya upaya pencegahan kejahatan yang dilakukan oleh warga secara kolektif, bukan individual.
3) Image and Milieu
Secara fisik, Keberadaan portal akan mempunyai efek antisipatif dan menumbuhkan image tentang lingkungan yang terjaga. Adanya polisi tidur, menyebabkan kendaraan yang akan melewati jalan-jalan kompleks menjadi tidak bisa dengan kecepatan tinggi dan ini juga akan menumbuhkan image tentang rintangan yang sangat besar bagi calon pelaku kejahatan, bila yang bersangkutan melakukan kejahatan di tempat tersebut. Begitu juga dengan keberadaan pos-pos keamanan yang terlihat tersebar keberadaannya di dalam kompleks. Selain itu penempatan publisitas pesan-pesan seperti “Tamu wajiib lapor 1 x 24 jam”, meninggalkan KTP dan “Kaca Mobil, Helm dan Kaca Mata Harap Dibuka juga menggambarkan situasi yang tidak kondusif untuk melakukan kejahatan. Sesuai dengan yang disebutkan oleh Block (1981):
“Messages provided through the use of signs vary. Commonly used one includes : ‘Proverty Protected by Alarm System’, ‘Night Watchman on Duty’, ‘No Loitering Allowed’, ‘Beware of Police Dog’, ‘No Trepassing.’ Signs should strategically be placed at entryways and other vulnerable locations on the outside
grounds. Signs can also be used on the inside of structures to promote security and, in effect, to control access.”
Secara sosial, orang mempersepsikan bahwa kompleks perumahan terjaga, begitu juga orang dalam. Sehingga misalnya bila ada orang yang akan memasuki kompleks, satpam akan menanyakan tujuan dan tamu diminta untuk meningalkan KTP. Dalam beberapa hal adanya kumpulan anak-anak muda di pinggir jalan, mungkin akan dipersepsikan adanya potential offender, tetapi di lain pihak keberadaan mereka dapat menjadi alat untuk memunculkan image bahwa bila masuk lingkungan tersebut, pasti akan berurusan dengan anak-anak muda tersebut.
Keberadaan fasilitas umum yang dapat dipergunakan oleh orang luar kompleks, juga dapat mempengaruhi dan bahkan menurunkan image bahwa lingkungan itu merupakan lingkungan yang terjaga. Misalnya adanya tempat praktek dokter, praktek notaris, salon kecantikan dan pusat kebugaran serta jalan umum yang tersedia dan fasilitas umum lainnya. Fasilitas–fasilitas seperti ini dapat menyulitkan dalam melakukan natural surveillance.
4) Safe Area
Stephanie Mann dan M.C. Blakeman (1993) menyatakan bahwa:
“A Safe Zone can sometimes be created by converting an isolated area into one that people use frequenly. An area in a public park where tall trees cast dark shadows at dusk could be made safer by adding a baseball diamond, under bright lights where people frequenly gather for recreation.”
Safe area ini menunjuk pada kondisi-kondisi behavioral, yang menunjukkan tempat atau pemukiman tersebut berada dalam kondisi yang aman,
Wurff dan Stringer (Evans, ibid.) menekankan ada tiga komponen yang merupakan bagian dari fear of crime, yaitu:
“The existence of a certain element of well-being; the perception of threat to that well-being, and feeling of inability to scope with that threat…In van der Wurff and Stringer’s model of fear of crime, they refers to two comparative judgements : one’s own strength, speed and skill with that of potential offenders.”
Secara sederhana, kondisi ini memungkinkan penghuni kompleks untuk melakukan semua aktifitas dan menyimpan semua barang berharga miliknya dengan tenang, nyaman dan aman. Safe area ini merupakan tingkatan yang paling tinggi dari defensible space dan sekaligus merupakan kondisi ideal. Namun untuk terciptanya safe area ini harus terlebih dahulu tercapai territoriality, natural surveillance, dan image and milieu.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis metode penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif dengan metode deskriptif, mengumpulkan data data primer maupun data sekunder. Penelitian deskriptif juga diartikan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistim pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1999: 63).
Dalam melakukan penelitian ini metode yang di gunakan terhadap permasalahan yang dikaji yaitu, metode kualitatif yaitu metode penelitian yang biasanya memerlukan data kata-kata tertulis, peristiwa, dan perilaku yang dapat diamati. Kelebihan metode kualitatif adalah mempunyai fleksibilitas yang tinggi bagi peneliti ketika menentukan langkah-langkah penelitian (Alwasilah, 2003:97).
B. Variabel penelitian
Variabel adalah segala sesuatu yang memiliki dan mengambil nilai yang beraneka ragam, sekaram dalam ( Sinulingga, 2011).
Variable Sub Variabel Data yang
diperlukan
Metodologi
Portal Pembatas
4. Safe Area keadaan behavior
C. Populasi dan Sample
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian. Dengan meneliti sebagian dari populasi diharapkan hasil yang diperoleh akan dapat menggambarkan sifat populasi yang bersangkutan. Sampel haruslah dipilih sedemikian rupa sehingga setiap elemen mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk dipilih. Jadi, populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam yang lain.
(Kartini, 2014). Populasi pada penelitian ini adalah perumahan yang berada di kota Medan.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki dari