• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Pola Penguasaan Lahan dan Pola Tanam Usahatani Hortikultura di Kawasan Agropolitan Hortikultura di Kawasan Agropolitan

IKHTISAR PENELITIAN

5.1. Karakteristik Pola Penguasaan Lahan dan Pola Tanam Usahatani Hortikultura di Kawasan Agropolitan Hortikultura di Kawasan Agropolitan

Pada umumnya kehidupan di perdesaan adalah kehidupan tani, sehingga lahan merupakan faktor pokoknya. Siapa yang menguasai lahan berarti menguasai salah satu faktor produksi utama di sektor pertanian. Pola Penguasaan lahan merupakan pencerminan keeratan hubungan antara kegairahan petani dalam mengelola lahannya. Di kawasan agropolitan (Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya) luas status hak (entitlement) kepemilikan lahan petani rata-rata relatif sempit 0,02–0,30 ha. Hal ini merupakan fenomena umum yang terjadi di sektor pertanian sebagai dampak alih kepemilikan lahan, alih fungsi lahan, dan juga fragmentasi lahan karena pembagian warisan dari orang tuanya sejak tahun 1987 yang mengakibatkan akses petani terhadap lahan semakin terbatas. Sehingga banyak petani yang mencari kegiatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan membuka warung, berdagang, dan menjadi buruh tani. Karena rata-rata pendidikan yang dimiliki petani di kawasan agropolitan hanya Sekolah Dasar.

Berkaitan dengan pola penguasaan lahan petani sebagai pemilik sekaligus penggarap sudah banyak berkurang dilihat dari luas lahan yang dikuasai oleh petani. Kondisi ini menyebabkan skala ekonomi akan menjadi permasalahan tersendiri. Kedekatan dengan pusat kota dan berkembangnya infrastruktur sejauh ini juga membuat lahan-lahan di kawasan agropolitan menjadi mahal dan strategis untuk dimiliki atau dijadikan obyek investasi oleh orang-orang kota terutama sejak ditetapkannya sebagai lokasi program pengembangan kawasan agropolitan pada tahun 2002.

Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara dari Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur dari 90 petani dengan menggunakan metode purposive sampling dan penetapan petani responden dilakukan secara stratified random sampling secara proporsional yang mencakup Desa Sukatani sebanyak 35 petani, dan Desa Sindangjaya 55 petani dari total luas lahan petani kedua desa sebesar 10,42 ha kemudian dikelompokkan dalam 5 (lima) kelas kemiringan lereng lahan

usahatani, yaitu: (1) >0-8%, (2) >8-15%, (3) >15-30%, (4) >30-45% maka diperoleh status hak (entitlement) kepemilikan lahan di kawasan agropolitan merupakan lahan hak milik sebesar 84% dengan rata-rata luas kepemilikan lahan petani hanya 0,12 ha. Rata-rata pola penguasaan lainnya, meliputi luas lahan milik keluarga 0,06 ha (3%), luas lahan sewa 0,08 ha (2%), luas lahan bagi hasil 0,09 (4%), luas lahan garapan milik pemerintah 0,14 ha (6%), luas lahan garapan hutan lindung 0,1 ha (1%) sebagaimana disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11. Pola Penguasaan Lahan di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur

Desa Sukatani (4,62 ha) Desa Sindangjaya (5,80 ha) Kawasan Agropolitam (10,42 ha) Uraian Satuan Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata

Luas Lahan (%) Luas Lahan (%) Luas Lahan (%) Pola Penguasaan Lahan: a. Lahan milik sendiri ha 0,13 89 0,11 81 0,12 84 b. Lahan milik keluarga ha 0 0 0,06 5 0,06 3 c. Lahan sewa ha 0,09 4 0,05 1 0,08 2 d. Lahan bagi hasil ha 0,11 7 0,13 2 0,09 4 e. Lahan garapan milik pemerintah ha 0,00 0 0,56 9 0,14 6 f. Lahan garapan hutan lindung ha 0 0 0,1 2 0,1 1 g. Lahan garapan milik perkebunan/ tanah terlantar ha 0 0 0 0 0 0 Jumlah % 100 100 100

Sumber: Data Primer (2006) diolah

Tabel 11 menggambarkan bahwa pola penguasaan lahan di kawasan agropolitan relatif sempit sehingga menyebabkan kelangkaan sumberdaya lahan. Yang menjadi kendala justru bagaimana memberikan respon pada petani atas makin menyempitnya lahan pertanian kawasan agropolitan yang ada saat ini akibat sulitnya mengendalikan konversi lahan pertanian ke non-pertanian, sebagai salah satu contoh berubah fungsinya menjadi villa-villa dan obyek wisata.

Di tengah term of trade dari produk-produk pertanian yang terus menurun dan teknologi pertanian serta pengolahan produk yang tidak banyak berkembang, maka ada kecenderungan petani untuk menjual lahan semakin tinggi. Bagi petani yang tetap bertahan di sektor pertanian pada akhirnya nanti akan berubah menjadi petani penggarap atau membuka lahan di daerah-daerah atas yang dekat dengan kawasan Taman Nasional Gede Pangrango. Petani penggarap yang ada saat ini menguasai sekitar 0,10 ha lahan yang berdekatan dengan Desa Sindangjaya. Sehingga degradasi kualitas lingkungan dan sumberdaya alam menjadi tidak terhindarkan. Seperti dinyatakan oleh Saefulhakim (2001) tipe-tipe kepemilikan lahan yang tidak menjamin kepastian (uncertain ownership of land) akan mendorong setiap aktivitas ke arah pola pemanfaatan yang bersifat eksploitatif yang mempercepat degradasi sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa akses petani terutama petani lokal terhadap lahan sudah mulai banyak berkurang. Konsekuensinya apabila tidak ada kebijakan yang jelas berkaitan dengan akses pada lahan, maka para petani lokal akan cepat tersingkir dan otomatis akan timbul konflik atau paling tidak terjadi perambahan hutan yang akan merusak lingkungan dan keberlanjutan dari sistem pertanian itu sendiri. Jika ini yang terjadi, maka pencanangan program pengembangan kawasan agropolitan tidak akan ada gunanya karena akses pada lahan yang terbatas akan menjadi penghambat utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan pendapatan petani. Meskipun sudah banyak himbauan dan peraturan dibuat, namun konversi lahan tetap terjadi. Akar permasalahannya adalah karena aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah kurang memiliki landasan yang kuat dalam hukum agraria nasional, dibandingkan dengan aspek penguasaan dan pemilikan tanah (Sjahyuti, 2002).

Pembaharuan agraria atau adakalanya disebut dengan “Reformasi Agraria” terdiri dari dua pokok permasalahan, yaitu “penguasaan dan kepemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat

dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. “Aspek Landreform

dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan kepemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan lapangan kerja

non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik penguasaan dan kepemilikan. Secara vertikal dan horizontal inkonsistensi hukum (misalnya

antara UUPA dan “turunannya”). Ketimpangan penguasaan dan kepemilikan,

penguasaan yang sempit oleh petani sehingga tidak ekonomis serta ketidaklengkapan dan inkonsistensi data. Aktivitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah guntae (absentee).

Hasil penelitian di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur untuk tingkat ketimpangan berdasarkan luasan kecil atau besarnya kepemilikan lahan petani dengan didasarkan golongan luas lahan, jumlah pemilik, kumulatif pemilik, persentase kumulatif, jumlah luas, kumulatif luas, persentase kumulatif analisis Ratio Gini Lorentz (RGL) menunjukkan tingkat ketimpangan kepemilikan lahan di kawasan agropolitan sebesar 0,765 (Desa Sukatani sebesar 0,547 dan Desa Sindangjaya sebesar 0,771) menandakan tingkat ketimpangan yang berat sehingga perlu diwaspadai sejak dini dan perlu upaya pengendalian agar tidak terjadi alih fungsi lahan, misalnya adanya kebijakan dan implementasi yang jelas (misalnya: adanya Master Plan) tentang akses terhadap lahan dalam hal penggunaan dan pemanfaatan lahan dalam rangka pencanangan program pengembangan kawasan agropolitan Pacet-Cianjur.

Ketimpangan kepemilikan dan kelas kemampuan lahan di kawasan agropolitan merupakan problem penting dalam pemikiran logik dan teoritik perencanaan wilayah. Berbagai fenomena menunjukkan bahwa keterbatasan kepemilikan dan kelas kemampuan lahan akan menghambat pertumbuhan aktivitas ekonomi utamanya yang berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam. Akses penduduk terhadap lahan semakin terbatas sehingga produktivitas dan nilai tambah dari sektor primer pertanian (on-farm) secara relatif cenderung rendah dan kurang mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat perdesaan. Adanya perbedaan mencolok antara kepemilikan dan kelas kemampuan lahan akan menyebabkan terkurasnya sumberdaya lahan sehingga pada akhirnya lahan tidak produktif lagi. Masyarakat perdesaan akan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah

sekitarnya yang dianggap mampu menyediakan lapangan pekerjaan sebagai sumber pendapatan dalam meningkatkan kesejahteraan. Terutama kawasan perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan jasa. Anggapan ini akan mendorong terjadinya ketimpangan yang lebih besar antara desa dan kota. Arus urbanisasi dari desa ke kota akan menjadi lebih besar. Transfer surplus dari sektor/kawasan pertanian ke industri-industri perkotaan melalui pengambilan dan penarikan sumberdaya-sumberdaya manusia (tenaga kerja), modal dan sumberdaya lainnya oleh perkotaan mengakibatkan perkotaan banyak mengalami penyakit-penyakit urbanisasi (kongesti, pencemaran hebat, permukiman kumuh, keadaan sanitasi yang buruk, menurunnya kesehatan, kriminalitas) dan pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat dalam hubungan yang saling memperlemah, bukannya hubungan yang saling memperkuat (Rustiadi et al., 2001).

Dengan berkembangnya masalah serupa maka pembangunan wilayah perdesaan menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi disparitas antar wilayah dan sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian menjadi lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan melalui kebijakan pelaksanaan program agropolitan sudah berjalan di wilayah penelitian, yaitu Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya yang bertujuan untuk menciptakan pembangunan desa kota secara berimbang, diversifikasi dan perluasan basis peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, mengoptimalkan akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi (terutama lahan) melalui penataan dan pemanfaatan ruang, pemanfaatan teknologi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang ada di perdesaan sehingga mampu menghasilkan komoditas dan produk olahan pertanian unggulan.

Pada dasarnya hubungan fungsional antara kota (urban) sebagai pusat dengan kapasitas daya serap besar terhadap daerah pedesaan di sekitarnya saling ketergantungan karena adanya saling membutuhkan antara kota sebagai daerah inti (core areas) dengan perdesaan di daerah pinggiran (periphery). Interaksi terjadi jika ada pengembangan. Pengembangan itu intinya adalah adanya inovasi dan saling ketergantungan antara core dan periphery secara dinamis. Akhir-akhir ini permasalahan di daerah urban dikaitkan dengan kecenderungan perkembangan dan pembangunan wilayah dan nasional. Banyaknya orang tinggal di kota atau

banyaknya penduduk kota di suatu negara atau wilayah dapat merupakan pertanda tingkat pendapatan per kapitanya. Teori distribusi kota-kota menyatakan, jika urutan hierarki besarnya penduduk kota mengikuti kaidah log-normal akan menunjukkan keadaan yang lebih berkembang. Jika tidak terjadi distribusi seperti tersebut terakhir ini, kesenjangan pendapatan penduduk akan lebih menyolok karena adanya kota besar yang unggul dalam fungsinya. Sedangkan kota-kota yang lain di wilayah tersebut merupakan permukiman yang dapat berfungsi lain, bahkan dapat bersifat parasitis dan menghambat berlangsungnya pembangunan dan perkembangan. Dalam lingkup sistem perkotaan dimana ada keterkaitan satu sama lain maka proses konsentrasi menjadi selektif, hanya terpusat di beberapa daerah inti (core areas atau primatecities saja) yang mempunyai kapasitas unggul sebagai inovasi. Dalam tahap inilah kesenjangan yang diukur dengan rata-rata pendapatan per kapita antar satuan (administratif) di suatu negara menjadi sangat besar. Berhubung proses penjalaran atau perambatan perkembangan dari kota ke wilayah sekitar core-areas tersebut bekerjanya lambat atau bahkan kurang dapat dijelaskan secara menyakinkan, maka orangpun berpaling kepada sisi lain dari daerah perkotaan, yaitu di pedesaan. Perdesaan merupakan sumber penghidupan dari sebagian besar penduduknya. Adanya keterkaitan antara perdesaan dan perkotaan dalam hal pasar kota menyerap hasil produksi desa, tenaga desa dipekerjakan di lapangan kerja kota dan fasilitas pelayanan di kota dimanfaatkan penduduk desa. Atas dasar alasan tersebut Friedmann dan Douglass (1976) dalam Sitorus (1998) mengusulkan pengembangan Agropolitan.

Perwujudan dari konsep agropolitan diharapkan mampu mengurangi kesenjangan pertumbuhan desa-kota melalui keterkaitan yang saling menguntungkan, dan penyamaan dasar kemitraan. Keterkaitan dalam konteks ini desa-desa utama harus dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang berfungsi sebagai tempat untuk memulai penyamaan kemitraan dalam mengurangi kesenjangan pertumbuhan. Konsep ini menurut Friedmann dan Douglass (1976) dalam Sitorus (1998) dinamakan “Perwilayahan Agropolitan”

dengan ciri sebagai berikut:

a. Mempunyai tingkat kemandirian dan kepercayaan diri untuk tumbuh

c. Diversifikasi ketenagakerjaan (tidak hanya petani) yang dapat menumbuhkan agroindustri

d. Keterkaitan yang baik antara sektor pertanian, pengolahan dan industri manufaktur yang banyak menggunakan hasil pemanfaatan sumberdaya setempat

e. Banyak mendorong penggunaan teknologi tepat guna dan sumberdaya setempat

Jika dilihat sebarannya kepemilikan lahan di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur berdasarkan golongan luas lahan, jumlah pemilik, proporsi pemilik dengan menggunakan analisis entropy memiliki nilai entropy relatif kepemilikan lahan 0,561. Secara umum bisa dikatakan sebaran proporsi kepemilikan lahan di kawasan agropolitan cukup merata, karena rata-rata lahan yang diusahakan merupakan lahan dengan status hak milik (entitlement) yang dimiliki petani sebagian besar merupakan lahan pembagian warisan. Sedangkan nilai entropy relatif kepemilikan lahan yang paling besar di Desa Sukatani sebesar 0,669 memiliki sebaran proporsi kepemilikan lahan yang paling merata. Berbeda dengan Desa Sindangjaya sebesar 0,597 yang memiliki entropy lebih kecil dibandingkan dengan Desa Sukatani. Walaupun demikian, secara umum bisa dikatakan sebaran proporsi kepemilikan lahan Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya relatif sama. Rata-rata luas kepemilikan lahan di Desa Sukatani 0,13 ha sedangkan di Desa Sindangjaya 0,11 ha, dan untuk kawasan agropolitan rata-rata luas lahan 0,12 ha Hasil analisis nilai indeks gini dan entropy sebagaimana disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Analisis Rasio Gini Lorentz dan Entropy Kepemilikan Lahan di

Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur

No. Desa / Wilayah

Indeks Gini Nilai Entropy Nilai Entropy Maksimum Nilai Entropy Relatif 1. 2. 3. Desa Sukatani (4,62 ha) Desa Sindangjaya (5,80 ha) Kawasan Agropolitan (10,42 ha) 0,547 0,771 0,765 2,379 2,394 2,523 3,555 4,007 4,500 0,669 0,597 0,561

Sumber: Data Primer (2006) diolah Keterangan:

Klasifikasi Indeks Gini :

1. IG < 0.30 = Menandakan ketimpangan yang ringan 2. IG = 0.4 = Menandakan ketimpangan yang sedang 3. IG > 0.50 = Menandakan ketimpangan yang berat

Akibat penguasaan lahan yang sempit di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur petani cenderung melakukan pola tanam monokultur dan tumpangsari. Siklus tanam dengan intensitas tinggi dan cepat yang bertujuan untuk memperoleh uang cash dalam jangka waktu yang relatif singkat untuk setiap komoditas dalam yang berbeda, karena dengan pola tanam seperti ini petani dapat mencapai lima kali panen dalam setahun. Kemudahan ketersediaan air, kesesuaian lahan, kemudahan pengelolaan teknis budidaya, umur tanaman yang pendek dan kemudahan dalam memperoleh benih sendiri dari hasil panen sebelumnya, merupakan alternatif penunjang bagi petani dalam memilih pola tanam.

Pola tanam monokultur, artinya petani mengusahakan satu jenis tanaman saja dalam lahan garapannya, sedangkan pola tumpangsari adalah penanaman yang terdiri dari beragam jenis komoditas dalam satu hamparan tanah garapan.

Jenis tanaman hortikultura lebih banyak ditanam di lahan dengan kelas kemiringan lereng antara >8-15% sedangkan lahan dengan kelas kemiringan lereng antara >15-30% ditanami lebih sedikit. Seperti halnya di Desa Sukatani kondisi lahan datar sehingga jarang atau tidak ada yang mengusahakan di kelas kemiringan lereng >15-30% dan >30-45% yang membedakan dengan Desa Sindangjaya kondisi lahan bergelombang sampai berbukit. Pola tanam tumpangsari (polyculture) di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur sebagaimana disajikan pada Tabel 13.

Dalam pemilihan komoditi yang diusahakan petani pada umumnya didasarkan pada tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari pengelolaan usahatani, kejelasan dan jaminan ketersediaan pasar, tingkat modal yang tidak besar serta pengalaman pribadi menyangkut kebiasaan dan hobi. Hal ini menunjukkan bahwa petani di kawasan agropolitan sudah dapat mengantisipasi resiko kerugian dalam usahatani, misalnya resiko disebabkan oleh musim hujan yang dapat mempercepat proses pembusukan dan resiko pasar berupa perubahan harga ketika panen. Perubahan harga yang merugikan salah satu komoditi biasanya dikompensasi dengan kenaikan harga komoditi lainnya.

Di kawasan agropolitan petani banyak menanam wortel dan bawang daun karena kedua tanaman ini mempunyai iklim yang sangat cocok dan tingginya permintaan pasar. Begitu juga tanaman horinzo dan kailan walaupun bukan

merupakan tanaman lokal namun juga dibudidayakan, biasanya berdasarkan pesanan dari super market dengan sistem perjanjian.

Tabel 13. Pola Tanam Tumpangsari Komoditas Hortikultura Pada Masing-Masing Kelas Kemiringan Lereng Yang Diusahakan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur

Di Kawasan Agropolitan (10,42 ha)

No >0-8% >8-15% >15-30% >30-45% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Wt-Bkl-Dk-Kl Wt-Lb Hs Wt Wt-Lb-Sw-Bd Wt-Bd Wt-Hs Wt-Hs-Kl-Lb Wt-Hs-Kl Lb Wt-Bd-Dk Wt-Dk-Kl Wt-Lb-Cs Wt-Lb-Cs-Dk Wt-Dk-Cs-Bd Wt-Bkl-Bd Wt-Bd Wt-Bd-Kl Wt-Hs Wt-Bd-Kl-Lb-Hs Bkl-Sw-Bd-Pl Wt-Bd Wt-Lb Dm-Bd Bd-Sld-Lb

Di Desa Sukatani (4,62 ha)

No >0-8% >8-15% >15-30% >30-45% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Wt-Bkl-Dk-Kl Wt-Lb Wt Hs Wt-Bd Wt-Bd-Dk Wt-Dk-Cs Wt-Dk Wt-Dk-Bd Wt-Dk-Kl Wt-Hs Wt-Bd-Cs Wt-Lb-Cs Wt-Lb-Cs-Dk Wt-Cs Wt-Dk-Cs-Bd Wt Lb

Di Desa Sindangjaya (5,80 ha)

No >0-8% >8-15% >15-30% >30-45% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Wt Bkl Wt-Lb-Sw-Bd Wt-Bd Wt-Hs-Kl Wt-Hs Wt-Hs-Kl-Lb Wt-Pl-Bd Wt-Bkl-Bd Wt Wt-Bd Bd Bkl Wt-Bd-Kl Hs Wt-Hs Wt-Bd-Kl-Lb-Hs Bkl-Sw-Bd-Pl Wt-Bd Wt-Lb Dm-Bd Bd-Slb-Lb Keterangan:

Wt = Wortel Lb = Lobak Cs = Ceisin Dk = Daikon Bkl = Brokoli Hs = Horinso Pl = Poling/Horinso Kl = Kailan Dm = Daun Mint Sld = Seladri Sw = Sawi Bd = Bawang Daun

Tabel 13 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi kemiringan lereng semakin rendah keragaman pola tanam. Tingginya kemiringan

lereng cenderung semakin membatasi pilihan komoditi pola tanam yang dapat ditanam. Faktor teknis budidaya seperti penyiapan lahan dan pemeliharaan tanaman mengakibatkan jenis tanaman tertentu seperti horinso dan kailan tidak dapat diusahakan petani pada lahan dengan kelas kelerengan >15-30%. Gambaran pola tanam tumpangsari yang diusahakan petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur sebagaimana disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Pola Tanam Tumpangsari di Kawasan Agropolitan

Untuk permintaan pasar terhadap berbagai jenis sayuran dan produk tanaman hortikultura mendorong petani untuk mengusahakan berbagai jenis tanaman. Walaupun skala pengusahaannya kecil, tetapi petani merasa lebih aman jika menanam tanaman yang mudah dijual meskipun nilainya tidak terlalu mahal.

Keterbatasan kemampuan tenaga kerja keluarga dan kurang tersedianya modal usaha yang cukup, menjadikan lahan yang mereka usahakan relatif sempit berkisar antara 0,02-0,30 ha. Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah, tanggungan keluarga rata-rata 3 sampai 5 orang, menjadikan petani lebih memilih tanaman yang cepat menghasilkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Dari sekian banyak tanaman yang diusahakan, semuanya tergolong tanaman semusim dengan pola tanam tumpangsari (polyculture) yang diganti setiap periode panen. Jika dilihat dari aspek penutupan lahan, pola tanam seperti ini tidak memiliki perlindungan tanah secara permanen. Sementara itu tindakan konservasi tanah yang diperlukan terutama pada lahan berlereng tidak dilakukan oleh petani.

Dalam pengelolaan lahan dengan sistem pola tanam yang bersifat tumpangsari di kawasan agropolitan lahan digunakan secara terus menerus tidak pernah diistirahatkan. Karena petani tidak akan mendapatkan penghasilan

terutama untuk kebutuhan sehari-hari. Konsekuensi nantinya akan mengakibatkan produktivitas lahan dari waktu ke waktu semakin menurun. Hal ini sangat terkait dengan hasil penelitian Situmorang (2004), kondisi lahan di kawasan agropolitan sudah miskin kandungan bahan organik sehingga apabila kondisi fisik lahan tidak diperhatikan maka pengembangan kawasan agropolitan akan gagal. Menurut Saefulhakim (2004), semakin tinggi nilai indeks diversitas tanaman dari suatu petak lahan mengindikasikan bahwa resiko yang dihadapi oleh petani semakin tinggi. Karena itu pola tanam polikultur menjadi pola tanam paling rasional dalam kondisi penguasaan lahan yang sempit dan resiko fluktuasi harga yang tinggi.

5.2. Analisis Kelayakan Usahatani Komoditas Hortikultura dan