• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

18. Kriteria yang Dipergunakan Pengelompokan Kelas

1. IKLIM CH dan temperatur 2. TOPOGRAFI

A 0 – 3% Datar (flat)

B 3 – 8% Agak landai (gently sloping) C 8 – 15% Landai (sloping)

D 15 – 25% Agak curam (moderately steep) E 25 – 40% Curam (steep)

F 40 – 60% Sangat curam (very steep)

G > 60% Terjal (extremely steep and abrupt) 3. ANCAMAN EROSI KE 1 = 0,00-0,10 (sangat rendah) KE 2 = 0,11-0,20 (rendah) KE 3 = 0,21-0,32 (sedang) KE 4 = 0,33-0,43 (agak tinggi) KE 5 = 0,44-0,55 (tinggi) KE 6 = 0,56-0,64 (sangat tinggi)

4. EROSI YANG TELAH TERJADI e0 = tidak ada erosi

e1 = ringan : < 25 % lapisan atas hilang

e2 = sedang : 25 – 75 % lapisan atas hilang

e3 = agak berat : >75% lapisan atas hilang, < 25 % lapisan bawah hilang

e4 = berat : > 25 % lapisan bawah hilang

e5 = sangat berat : erosi parit

5. KEDALAMAN TANAH

k0 = lebih dari 90 cm (dalam)

k1 = 90 sampai 50 cm(sedang)

k2 = 50 sampai 25 cm (dangkal)

k3 = kurang dari 25 cm (sangat dangkal)

6. TEKSTUR TANAH

t1 = tanah bertekstur halus, meliputi tekstur liat berpasir, liat berdebu dan liat t2 = tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur lempung liat berpasir, lempung

berliat dan lempung liat berdebu

t3 = tanah bertekstur sedang, meliputi tekstur lempung, lempung berdebu dan debu

t4 = tanah bertekstur agak kasar, meliputi tekstur lempung berpasir, lempung

berpasir halus dan lempung berpasir sangat halus

t5 = tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir berlempung dan pasir

7. PERMEABILITAS

P1 = Lambat : < 0,5 cm/jam

P2 = Agak lambat : 0,5 – 2,0 cm/jam

P3 = Sedang : 2,0 – 6,25 cm/jam

P4 = Agak cepat : 6,25 – 12,5 cm/jam

P5 = Sangat cepat : > 12,5 cm/jam

8. DRAINASE d0 = berlebihan d1 = baik d2 = agak baik d3 = agak buruk d4 = buruk d5 = sangat buruk

Lampiran 18. (lanjutan)

FAKTOR-FAKTOR KHUSUS

Kerikil

b0 = tidak ada atau sedikit : 0 – 15 % volume tanah

b1 = sedang : 15 – 50% volume tanah

b2 = banyak : 50 -90 % volume tanah

b3 = sangat banyak : > 90 % volume tanah Batuan Kecil

b0 = tidak ada atau sedikit : 0 – 15 % volume tanah

b1 = sedang : 15 – 50 % volume tanah ; pengolahan tanah mulai agak sulit dan

pertumbuhan tanaman Agak terganggu

b2 = banyak : 50 – 90 % volume tanah ; pengolahan tanah sangat sulit dan

pertumbuhan tanaman terganggu

b3 = sangat banyak : > 90 % volume tanah; pengolahan tanah tidak mungkin

dilakukan dan pertumbuhan tanaman terganggu

Batuan lepas

b0 : tidak ada (<0,01% luas areal)

b1 : sedikit (0,01-3% permukaan tanah tertutup)

b2 : sedang (3-15% permukaan tanah tertutup)

b3 : banyak (15-90% permukaan tanah tertutup)

b4 : sangat banyak (>90% permukaan tanah tertutup). Batuan tersingkap (rock)

b0 = tidak ada (<2% permukaan tanah tertutup)

b1 = sedikit (2-10% permukaan tanah tertutup)

b2 = sedang (10-50% permukaan tanah tertutup)

b3 = banyak (50-90% permukaan tanah tertutup)

b4 = sangat banyak (>90% permukaan tanah tertutup; tanah sama sekali tidak dapat

digarap).

1. ANCAMAN BANJIR ATAU GENANGAN

O0 : tidak pernah : dalam periode 1 tahun tanah tidak pernah tertutup banjir

untuk waktu lebih dari 24 jam

O1 : jarang : banjir yang menutupi tanah lebih dari 24 jam terjadinya tidak teratur

dalam periode kurang dari 1 bulan

O2 : kadang-kadang : selama waktu 1 bulan dalam setahun tanah secara teratur

tertututp banjir untuk jangka waktu lebih dari 24 jam

O3 : sering : selama waktu 2–5 bulan dalam setahun, secara teratur selalu dilanda

banjir yang lamanya lebih dari 24 jam

O4 : sangat sering : selama waktu 6 bulan atau lebih tanah selalu dilanda banjir

secara teratur yang lamanya lebih dari 24 jam 2. SALINITAS

g 0 = bebas (0-0,15% garam larut; 0-4 (ECx103 ) mmhos/cm pada suhu 25oC

g 1 = terpengaruh sedikit (0,15-0,35% garam larut; 4-8 (ECx103) mmhos/cm

pada suhu 25oC

g 2 = terpengaruh sedang (0,35-0,65% garam larut; 8-15 (ECx103 ) mmhos/cm

pada suhu 25oC)

g 3 = terpengaruh hebat (>0,65% garam larut; >15 (ECx103) mmhos/cm

Lampiran 19. Faktor Kedalaman Ekuivalen untuk 30 Sub Ordo Tanah

Taxonomi Tanah (Sub-Order)

Harkat Kemerosotan Sifat Fisik dan Kimia

Nilai Faktor Kedalaman Tanah Fisik Kimia 1. Aqualf*) S R 0,90 2. Udalf *) S R 0,90 3. Ustalf S R 0,90 4. Aquent S R 0,90 5. Arent R R 1,00 6. Fluvent*) R R 1,00 7. Orthent R R 1,00 8. Psmamment R R 1,00 9. Andept*) R R 1,00 10. Aquept *) R S 0,95 11. Tropept R R 1,00 12. Alboll T S 0,75 13. Aquoll S R 0,90 14. Rendoll S R 0,90 15. Udoll R R 1,00 16. Ustoll R R 1,00 17. Aquox R T 0,90 18. Humox R R 1,00 19. Orthox *) R T 0,90 20. Ustox R T 0,90 21. Aquod R T 0,90 22. Ferrod R S 0,95 23. Humod R R 1,00 24. Orthod R S 0,95 25. Aquult S T 0,80 26. Humult R R 1,00 27. Udult S T 0,80 28. Ustult S T 0,80 29. Udert R R 1,00 30. Ustert R R 1,00 Sumber: Hammer (1982)

TRI WAHYUDIE. An Analysis of Horticulture Commodity Farm Characteristic and Its Factors Influencing them in Agropolitan Area Pacet – Cianjur. Under direction of SANTUN R.P. SITORUS and ERNAN RUSTIADI.

Research result indicates size of the land ownership on research locations in agropolitan area (Sukatani and Sindangjaya villages) were relative narrow, with farm domination pattern for both villages were as land owner (1), as rent, sharing holder, mortage (2), as a governmental property (3). Meanwhile the farm enterprise characteristic the farmer was tends to conduct multiple cropping planting pattern (polyculture). Planting pattern was formed using four considerations, such as: (1) technique of cultivation, (2) market request, (3) the limited of capital and labour owned by farmer and (4) socio-economic condition. Crop rotation with high and quick intensity, causing type fertilizer and chemicals used immeasurable progressively.

Based on farm enterprise characteristics on research location, if conducted of

efficiency analysis of farm enterprise, indicate that all of R/C ratio value were above 1 that means all commodities were efficient. Meanwhile, analysis of multiple regression productivity farm enterprise productivity in agropolitan area indicate that variable having a significant effect on reality to farm enterprise advantage were land size, fertilizer, labour, and dummy variable about conservation activity (-p<0.05). There are three free significant variables in the factors of model binary logistic regression analysis that influence the farmer’s role in application of soil conservation techniques. Those are (1) land governance, (2) planting pattern, and (3) land ownership.

Keywords: characteristic of farm, horticulture commodity, influenced factors, agropolitan area

TRI WAHYUDIE. Analisis Karakteristik Usahatani Komoditas Hortikultura dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Kawasan Agropolitan Pacet - Cianjur. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan ERNAN RUSTIADI

Pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdayasaing berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi di kawasan agropolitan.

Berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga ”off farm”, yaitu: usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui karakteristik pola penguasaan lahan dan pola tanam usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan, (2) Mengetahui tingkat kelayakan dan produktivitas usahatani komoditas hortikultura dengan penguasaan lahan serta peran petani terhadap penerapan teknik konservasi tanah, (3) Mengetahui tingkat erosi berdasarkan komoditi yang di budidayakan, (4) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usahatani komoditas hortikultura.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik kepemilikan lahan di lokasi penelitian kawasan agropolitan (Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya) relatif sempit, dengan pola kepemilikan lahan usahatani (1) pemilik, (2) sewa, bagi hasil, gadai, (3) milik pemerintah. Karakteristik usahatani komoditi hortikultura petani responden cenderung melakukan pola tanam tumpangsari (polyculture). Pola tanam yang terbentuk didasari beberapa pertimbangan, yaitu: (1) teknis budidaya, (2) permintaan pasar, (3) terbatasnya modal dan tenaga kerja yang dimiliki petani serta (4) kondisi sosial ekonomi. Siklus tanam dengan intensitas tinggi dan cepat, menyebabkan jenis-jenis pupuk dan obat-obatan yang digunakan semakin beragam.

Berdasarkan karakteristik usahatani di lokasi penelitian, jika dilakukan analisis kelayakan usahatani menunjukkan bahwa nilai R/C rasio bernilai diatas 1 yang berarti semua komoditas layak diusahakan. Hasil analisis produktivitas usahatani di kawasan agropolitan menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap keuntungan usahatani adalah luas lahan garapan, dummy variable

kepemilikan lahan dan dummy variable mengenai kegiatan konservasi.

Selanjutnya untuk faktor-faktor yang mempengaruhi peran petani dalam penerapan teknik konservasi tanah model binary logistic regression analysis

menunjukkan ada 3 variabel bebas yang signifikan mempengaruhi peran petani terhadap lahan dalam menerapkan teknik konservasi tanah, yaitu (1) luas lahan garapan, (2) kepemilikan lahan dan (3) kegiatan konservasi tanah. Dan untuk hasil analisis tingkat erosi menunjukkan bahwa pada kelas kemiringan lereng >8-15% dan >15-30% masih berada dibawah batas erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) berkisar antara 9,75-12,67 ton/ha/tahun.

Kata kunci: karakteristik usahatani, komoditas hortikultura, faktor-faktor yang mempengaruhi, kawasan agropolitan

1 1.1. Latar Belakang

Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan dan hutan merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Hilang atau berkurangnya ketersediaan sumberdaya tersebut akan berdampak sangat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia. Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia, namun juga memberikan kontribusi yang besar bagi kesejahteraan suatu bangsa (Fauzi, 2004).

Pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk. Oleh karena itu, persoalan mendasar sehubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam adalah bagaimana mengelola sumberdaya alam tersebut agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.

Salah satu sumberdaya alam yang menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir adalah lahan. Lahan merupakan sumberdaya utama dalam kegiatan pertanian. Di sebagian wilayah Indonesia terutama di Jawa, Madura dan Bali, serta di beberapa pusat pemukiman di luar pulau tersebut, kepadatan penduduk dan nisbah jumlah penduduk terhadap luas tanah (man-land ratio) sudah sedemikian besar sehingga lahan menjadi sumberdaya produksi pertanian yang semakin langka, baik secara kuantitatif (luas areal yang semakin sempit dan terpencar) maupun secara kualitatif (mutu dan kesuburan tanah menurun). Akibat dari tekanan penggunaan yang berlebihan tersebut adalah terjadinya degradasi lahan (Sitorus, 2004).

Saat ini pengelolaan lahan yang terjadi kurang memperhatikan karakteristik dan daya dukung lahan atau kelas kemampuan lahan, serta kaidah- kaidah pengelolaan dan konservasi tanah yang benar sehingga menjadi penyebab degradasi lingkungan. Program penerapan konservasi tanah harus dilakukan secara terpadu antara lembaga/instansi terkait dengan penataan kembali implementasi teknik konservasi, penataan usahatani konservasi, penataan kelembagaan pendukung konservasi tanah dan kebijakan finansialnya (Padusung dan Arman, 2002).

Menurut Nasution (2004), terdapat ketimpangan kepemilikan tanah pertanian, dimana 43% rumahtangga perdesaan petani ”miskin tanah” (memiliki kepemilikan tanah kurang dari 0,1 hektar), dan 16% rumahtangga perdesaan memiliki luas kepemilikan tanah sekitar lebih dari 1 hektar, sehingga diperlukan penataan kembali kepemilikan tanah pertanian yang sesungguhnya lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan dari pada masalah peningkatan efisiensi ataupun produktivitas sumberdaya lahan.

Menurut Sumaryanto et al. (2002), struktur kepemilikan tanah rumahtangga pertanian cukup timpang, dimana hampir dua pertiga bagian petani tergolong dalam kelompok penguasaan kurang dari satu hektar. Menurut Putera (1999), rata-rata penguasaan lahan pertanian di Jawa berkurang dari 0,58 hektar di tahun 1983 menjadi 0,47 hektar di tahun 1993. Lahan yang ada saat ini rentan sekali untuk berpindah kepemilikan dimana petani yang tidak memiliki lahan cenderung bertambah, dan akumulasi penguasaan lahan pada satu tangan banyak terjadi. Hasil penelitian Bachriadi (1999) menunjukkan bahwa pada tahun 1993, petani yang tidak memiliki lahan meliputi 28 persen dari seluruh rumahtangga petani, sementara itu 2 persen rumahtangga petani menguasai 20,4 persen lahan pertanian yang ada.

Proses pembangunan daerah, khususnya sektor pertanian, telah membuktikan bahwa berbagai kendala masih dihadapi. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan kebijakan-kebijakan penajaman teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan dimana dalam pengelolaannya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi lahan sehingga hasil yang diharapkan dapat lebih optimal. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan teknologi pengelolaan lahan, adalah: (1) Teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, (2) Ekonomis menguntungkan, (3) Sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (4) Aman lingkungan, dan (5) Mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan.

Salah satu kunci untuk menyelesaikan konflik pengelolaan lahan dan problematik degradasi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan yang didukung

oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu. Kebijakan dalam konteks ini harus mampu mempromosikan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem pertanian yang didukung oleh adanya insentif bagi produsen (pemilik lahan dan tenaga kerja), kredit pedesaan, kebijakan pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi tepat guna yang site-specific, serta program penelitian dan penyuluhan. Hal ini membawa konsekuensi yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal sesuai dengan kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan lahan yang dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada permukaan lahan.

Tiga faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi pengembangan kebijakan- kebijakan lokal ini adalah: (1) Tersedianya data base management system tentang sumberdaya lahan, air, vegetasi, manusia, dan sumberdaya ekonomi lainnya, (2) Mekanisme analisis kendala dan problematik, dan (3) Mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware, software dan hardware yang dapat diakses oleh para perencana pembangunan di tingkat daerah. Untuk dapat mendorong dan mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal tersebut, maka kebijakan nasional tentang penggunaan dan pengelolaan lahan harus diarahkan kepada: (1) Perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, (2) Menggalang partisipasi aktif dari para pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenaga kerja), dan (3) Pengembangan kelembagaan penunjang, terutama lembaga-lembaga perencana dan pemantau di daerah.

Sektor pertanian sangat berkepentingan untuk memberikan kontribusi dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Sektor inilah yang secara langsung maupun tidak langsung selalu menghadapi permasalahan struktur penguasaan lahan berikut segala implikasinya, meskipun seringkali permasalahannya bukan hanya terletak pada sektor pertanian.

Pola penggunaan lahan untuk usaha pertanian dapat dipilah menjadi dua hal, yaitu: usaha pertanian skala besar yang dikelola oleh badan usaha milik negara maupun swasta, dan usaha pertanian rakyat (Sumaryanto et al. 2002). Meskipun usaha pertanian rakyat umumnya menerapkan pola campuran, tetapi menurut komoditas dominan yang diusahakannya, secara garis besar dapat dibagi

menjadi dua kategori, yaitu: usaha pertanian tanaman pangan (hortikultura), dan perkebunan rakyat.

Menyikapi berbagai tantangan dan ancaman dalam penerapan pola campuran tersebut, maka perlu dilakukan terobosan program yang melibatkan berbagai pihak secara terarah dan terkoordinasi. Salah satu program tersebut adalah pengembangan kawasan agropolitan yang dilakukan pada daerah pemasok hasil produksi pertanian melalui pengembangan Daerah Pusat Pertumbuhan.

Pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat) di kawasan agropolitan.

Adapun kawasan agropolitan di Pulau Jawa dan komoditas unggulannya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kawasan Agropolitan di Pulau Jawa dan Komoditas Unggulan No Provinsi Kabupaten / Kota Komoditas Unggulan

1 Banten Kab. Pandeglang Durian dan Melinjo 2 Jawa Barat Kab. Cianjur

Kab. Kuningan Kab. Bogor Kab. Bekasi

Sayuran dataran tinggi Sapi

Manggis dan Durian Sayuran dataran rendah 3 Jawa Tengah Kab. Semarang

Kab. Pemalang Kab. Magelang

Sayuran dan Bunga-bungaan Hortikultura dan Sapi

Salak dan Cabe 4 D.I. Yogyakarta Kab. Kulon Progo Biofarmaka 5 Jawa Timur Kab. Banyuwangi

Kab. Mojokerto Kab. Ngawi Kab. Lumajang Kota Batu Kab. Tulungagung Kab. Madiun Kab. Bangkalan

Sayuran dan Jeruk Sirsak dan Palawija Jagung

Padi dan Kedelai Tanaman Hias

Padi, Jagung dan Kedelai Padi dan Kedelai

Kacang Tanah Sumber: Badan Pengembangan SDM Pertanian (2002)

Berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga ”off farm”, yaitu: usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan

hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur terdiri dari Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya. Permasalahan yang dihadapi kawasan agropolitan khususnya di Desa Sukatani adalah rendahnya pendapatan, sedangkan yang menjadi faktor pembatas adalah ketersediaan air dalam melakukan kegiatan usahataninya. Hal ini terkait dengan lahan dominan merupakan lahan tadah hujan yang menggantungkan sumber air kegiatan usahataninya dari air hujan. Berbeda halnya dengan Desa Sindangjaya, pada umumnya tidak menganggap air sebagai faktor pembatas, tetapi masalah produktivitas dan kesuburan tanah yang menjadi permasalahan yang perlu diperhatikan, karena sistem usahataninya lebih intensif.

Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik usahatani komoditas hortikultura dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur.

1.2. Perumusan Masalah

Lahan merupakan sumberdaya strategis dan merupakan salah satu faktor kunci bagi keberhasilan pengembangan agropolitan. Lahan mempunyai sifat yang unik, ditinjau dari segi kepemilikan maupun dari segi penggunaannya. Lahan memiliki nilai sosial, budaya, ekonomi dan politik, serta nilai sakral bagi pemiliknya terutama masyarakat perdesaan. Ditinjau dari aspek pertanian, kualitas lahan sangat bervariasi dan tidak merata di semua tempat, baik dari segi fisiknya maupun nilai strategis lokasinya. Kualitas lahan dan kondisi lingkungan yang tidak sama menyebabkan keragaman tingkat kegiatan penggunaannya dan tingkat pembangunan di berbagai wilayah. Selain itu, ketersediaan lahan tidak saja ditentukan oleh faktor kesesuaiannya untuk penggunaan komoditi atau kegiatan tertentu, namun juga ditentukan oleh aspek kelembagaan, yaitu kebijakan dalam kepemilikan, penggunaan, produktivitas dan teknik konservasi tanah.

Pengelolaan lahan pertanian di kawasan agropolitan pada kenyataannya melibatkan banyak pihak dengan kepentingannya masing-masing. Dalam kondisi

seperti ini diperlukan pendekatan sistemik untuk mengevaluasi keadaan yang optimal dengan mengorbankan sebagian kepentingan suatu pihak dan memprioritaskan sebagian kepentingan beberapa pihak lainnya. Suatu model dan metode optimasi pengelolaan lahan merupakan idaman banyak pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya lahan. Akan tetapi model seperti ini sangat sulit dikembangkan dan biasanya akan menghadapi berbagai hambatan dalam penerapannya di lapangan.

Benturan kepentingan dari berbagai pihak yang terlibat biasanya tercermin dalam konflik-konflik penggunaan lahan yang pada akhirnya akan menimbulkan berbagai masalah degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, seperti erosi tanah, sedimentasi, banjir, tanah longsor, dan gangguan-gangguan terhadap kawasan sekitarnya.

Masalah degradasi sumberdaya lahan mungkin terjadi berpangkal dari pesatnya pembangunan infrastruktur fisik yang membuka aksesibilitas lokasi, sehingga semakin banyak penduduk yang memanfaatkan sumberdaya lahan secara lebih intensif berorientasi profit. Konflik-konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya lahan menjadi semakin banyak dan semakin parah. Salah satu kepentingan utama dari pengelolaan lahan ini adalah untuk mendapatkan produk- produk pertanian, seperti tanaman sayuran, tanaman hias, dan ternak. Komoditi- komoditi ini dibudidayakan oleh para petani (sebagai pengelola lahan milik atau lahan sewa) pada lahan usahanya, baik yang berupa tegalan, pekarangan, maupun kebun campuran.

Tindakan konservasi tanah, pengelolaan dan rehabilitasi lahan telah lama dirintis dan terus dikembangkan, mencakup aspek teknis-sipil, biologi, dan sosial- ekonomi. Namun demikian dalam penerapannya di lapangan seringkali usaha- usaha ini menghadapi berbagai kendala yang serius. Tampaknya hal seperti ini terjadi karena adanya konflik antara kepentingan pelestarian sumberdaya lahan dengan kepentingan ekonomi penduduk setempat. Kepentingan-kepentingan ini biasanya tidak saling menenggang, sehingga dalam upaya pengelolaan lahan diperlukan adanya prioritas kepentingan. Konflik-konflik kepentingan ini menjadi semakin banyak dan semakin parah sejalan dengan bertambahnya jumlah

penduduk yang memanfaatkan sumberdaya lahan seperti yang terjadi di kawasan agropolitan.

Dalam penelitian ini akan ditelaah proses-proses penggunaan lahan dan pengelolaan lahan yang akan memadukan antara kepentingan konservasi tanah dan kepentingan produksi pertanian untuk menjamin ketersediaan hasil komoditas bagi penduduk setempat. Pengelolaan lahan di suatu kawasan menyangkut aspek- aspek sumberdaya tanah, sumberdaya air, sumberdaya manusia, unsur teknologi, dan perekonomian masyarakat.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian adalah: 1. Bagaimana karakteristik pola penguasaan lahan dan pola tanam usahatani

komoditas hortikultura di kawasan agropolitan?

2. Bagaimana kelayakan dan produktivitas usahatani komoditas hortikultura dengan penguasaan lahan serta peran petani terhadap penerapan teknik konservasi tanah?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produktivitas usahatani komoditas hortikultura?

4. Bagaimana tingkat erosi berdasarkan komoditi yang dibudidayakan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah:

1. Mengetahui karakteristik pola penguasaan lahan dan pola tanam usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan.

2. Mengetahui tingkat kelayakan dan produktivitas usahatani komoditas hortikultura dengan penguasaan lahan serta peran petani terhadap penerapan teknik konservasi tanah.

3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usahatani komoditas hortikultura.

4. Mengetahui tingkat erosi berdasarkan komoditi yang dibudidayakan.

1.4. Kerangka Pemikiran

Karakteristik usahatani sangat berpengaruh terhadap kemampuan petani dalam mengelola dan menjalankan aktivitas usahataninya, baik dari segi

penggunaan sarana produksi, alat dan mekanisasi pertanian, teknologi maupun tenaga kerja. Salah satu sarana produksi yang paling penting dalam kegiatan usahatani adalah ketersediaan dan status kepemilikan tanah. Status kepemilikan tanah menentukan kemauan petani untuk melakukan kegiatan konservasi tanah. Upaya konservasi tanah merupakan upaya yang bersifat jangka panjang, sehingga hasilnya baru akan dirasakan dalam jangka waktu lama. Oleh karena itu, petani bersedia melakukan konservasi jika status lahan yang dikerjakannya adalah milik sendiri. Jika lahan yang digarap bukan milik sendiri, maka sulit buat petani melakukan upaya konservasi tanah (Susilowati et al. 1997).

Eratnya keterkaitan lahan dengan kegiatan pertanian menyebabkan upaya perbaikan kesejahteraan petani tidak cukup hanya melalui perbaikan teknologi dan kelembagaan yang terkait dengan proses produksi dan perbaikan akses petani terhadap penggunaan lahan (Jamal, 2000). Namun, perlu diikuti dengan kepemilikan lahan yang merata, penggunaan lahan yang tepat, produktivitas lahan yang memadai dan upaya penggunaan teknik konservasi tanah yang tepat.

Tindakan konservasi tanah pada prinsipnya adalah usaha untuk menempatkan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Jadi upaya konservasi tanah ditujukan untuk dua hal, yaitu: mencegah kerusakan tanah dan memperbaiki tanah-tanah yang rusak agar dapat tercapai produksi yang setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas (Sitorus, 2004).

Kawasan agropolitan, khususnya pada lokasi penelitian sangat menarik untuk dilakukan penelitian berkaitan dengan sumberdaya yang terbatas dalam kegiatan usahatani serta penerapan teknik konservasi tanah yang jarang dilakukan oleh petani, sebagaimana diagram kerangka pikir penelitian yang tertera pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Kawasan Agropolitan : Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya