DAFTAR LAMPIRAN
2.3 Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil
Seperti dikemukakan pada bab terdahulu bahwa klasifikasi perikanan skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial hingga saat ini masih menjadi perdebatan mengingat dimensinya yang cukup luas. Sering kali pengelompokkan berdasarkan atas ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap, jarak daerah penangkapan dari pantai (Smith, 1983).
Menurut Charles (2001) skala usaha perikanan dapat dilihat dari berbagai aspek diantaranya berdasarkan ukuran kapal yang dioperasikan, berdasarkan daerah penangkapan, yaitu jarak dari pantai ke lokasi penangkapan dan berdasarkan tujuan produksinya. Pengelompokan tersebut dilakukan melalui perbandingan perikanan skala kecil (small-scale fisheries) dengan perikanan skala besar (large-scale fisheries), walaupun diakuinya belum begitu jelas sehingga masih perlu dilihat dari berbagai aspek yang lebih spesifik. Lebih lanjut karakteristik perikanan skala kecil diungkapkan oleh Smith (1983), bahwa skala usaha perikanan dapat dilihat dengan cara membandingkan perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan dan membaginya ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan tradisional.
Perikanan tradisional menurut Smith (1983) adalah diantaranya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali.
2) Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan di luar penangkapan. 3) Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri.
4) Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin.
5) Investasi rendah dengan modal pinjaman dari penampung hasil tangkapan. 6) Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada level sedang sampai
sangat rendah.
7) Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisir dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau dijual di laut.
8) Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama keluarganya.
9) Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai batas minimal.
Kesteven (1973) mengelompokan nelayan ke dalam tiga kelompok yaitu nelayan industri, artisanal dan subsiten, di mana nelayan industri dan artisanal berorientasi komersial sedangkan hasil tangkapan nelayan subsisten biasanya tidak untuk dijual di pasar tetapi lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan konsumsi sendiri beserta keluarganya atau untuk dijual secara barter. Lebih lanjut Smith (1983) yang dilengkapi oleh referensi Kesteven (1973),
membuat rincian perbandingan perikanan skala tradisional dan industri berdasarkan technico-socio-economic yang di dalamnya termasuk karakteristik
perikanan skala kecil (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Perbandingan situasi technico-socio-economic antara nelayan tradisional dengan nelayan industri
Komersial Subsisten Artisanal Keterangan Industrial Tradisional 1. Unit penangkapan
Tepat, dengan divisi pekerjaan dan prospek jelas.
Tepat, kecil, spesialisasi dengan pekerjaan yang tidak terbagi
Tenaga sendiri, atau keluarga, atau grup masyarakat 2. Kepemilikan Dikonsentrasikan
pada beberapa pengusaha, kadang bukan nelayan
Biasanya dimiliki oleh nelayan yang berpengalaman, atau nelayan nelayan gabungan Tersebar diantara partisipan partisipan 3. Komitmen waktu Biasanya penuh waktu Seringkali merupakan pekerjaan sampingan Kebanyakan paruh waktu
4. Kapal Bertenaga, dengan peralatan yang memadai
Kecil; dengan motor di dalam (atau motor tempel kecil diluar)
Tidak ada, atau berbentuk kano 5. Perlengkapan Buatan mesin, atau
pemasangan lainnya
Sebagian atau seluruhnya menggunakan material material buatan mesin
Material material buatan tangan, dipasang oleh pemilik 6. Sifat Pekerjaan Dengan bantuan
mesin
Bantuan mesin yang minim
Dioperasikan dengan tangan
7. Investasi Tinggi, dengan proporsi yang besar diluar nelayan
Rendah; penghasilan nelayan (sering kali diambil dari pembeli hasil tangkapan)
Sangat rendah sekali
8. Penangkapan (per unit penangkapan)
Besar Menengah atau rendah Rendah hingga sangat rendah
9. Produktivitas (per orang
Tinggi Menengah atau rendah Rendah hingga sangat rendah
Komersial Subsisten Artisanal Keterangan Industrial Tradisional nelayan) 10. Pengaturan hasil tangkapan
Dijual ke pasar yang terorganisir
Penjualan untuk lokal yang tak terorganisir, sebagian dikonsumsi sendiri
Umumnya di
konsumsi oleh nelayan itu sendiri, keluarganya, dan kerabatnya; atau di tukar 11. Pengolahan hasil tangkapan Diolah menjadi tepung ikan atau untuk bahan konsumsi bukan untuk manusia
Beberapa di keringkan, diasap, diasinkan; untuk kebutuhan manusia
Kecil atau tidak ada sama sekali; semuanya untuk di konsumsi
12. Keberadaan ekonomi nelayan
Sering kali kaya Golongan kebawah Minimal
13. Kondisi sosial Terpadu Kadang terpisah Masyarakat yang terisolasi
Kategori (1), (4)-(10) dan (13) dari Kesteven (1973). Ungkapan didalam kurung adalah tambahan perubahan karakteristik menurut Kesteven.
2.4 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut
Pengelolaan sumberdaya perikanan laut menyangkut aspek biologi, lingkungan, ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sumberdaya perikanan tidak terbatas baik dalam kualitas maupun kemampuan untuk melakukan regenerasi. Untuk menjaga keberlanjutannya upaya mengeksploitasi harus dilakukan secara rasional, yakni tidak melampaui daya dukungnya. Hak pemanfaatan yang bersifat terbuka (open access) dapat menjurus ke arah timbulnya persaingan diantara nelayan.
Aspek biologi yang harus diperhatikan adalah terjaminnya proses rekruitmen (pertumbuhan) dari masing-masing jenis ikan, serta adanya proses interaksi biologi antar jenis yang dapat berupa pemangsaan atau persaingan. Faktor lingkungan yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan mutu lingkungan terutama untuk daerah pemijahan dan daerah pengasuhan (nursery ground).
Aspek ekonomi yang harus dipertimbangkan terutama adalah ketimpangan antara pendapatan total dan biaya total yang akan menentukan tinggi rendahnya keuntungan total dan usaha perikanan termasuk penangkapan ikan di laut.
Aspek sosial budaya dan politik yang selama ini terabaikan perlu mendapatkan perhatian serius dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan laut, sehingga upaya pencapaian distribusi dan pemerataan pendapatan yang proporsional diantara berbagai kelompok pengguna sumberdaya perikanan seperti nelayan dengan bukan nelayan, nelayan skala besar dengan nelayan skala kecil dan nelayan buruh dengan nelayan pemilik dapat tercapai.
Djamal (1995) mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya laut perlu dibatasi dengan pengendalian atas jumlah upaya penangkapan dan atau hasil tangkapan agar terhindar dari adanya upaya yang berlebihan, investasi modal yang berlebihan atau kelebihan tenaga kerja. Pemanfaatan sumberdaya tanpa pengendalian cenderung diikuti oleh penipisan sumber (stok), menurunnya hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit of effort/CPUE), serta menipisnya keuntungan yang diperoleh. Efisiensi dari satu pengaturan pemanfaatan sumberdaya dapat dicapai dengan cara penetapan upaya penangkapan sampai pada tingkat yang sesuai dengan tingkat yang diperlukan untuk memperoleh hasil tangkapan yang optimal.
Kebijaksanaan pengelolaan seyogyanya bersifat lentur atau adaptif untuk mampu mengantisipasi segala perubahan yang terjadi pada sumberdaya yang diakibatkan oleh proses interaksi biologi maupun interaksi teknologi serta oleh ketidakstabilan ekosistem, sehingga kebijaksanaan baru dapat segera disusun dan dapat dilaksanakan. Kebijaksanaan pengelolaan harus mudah dipahami dan diterima oleh nelayan serta unsur terkait lainnya, agar dapat dicapai mufakat yang harus dirumuskan secara institusional oleh lembaga yang berwenang, sehingga penerapannya dapat berjalan baik dan efisien.
Ketersediaan stok ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pertumbuhan dan kematian ikan (Effendie, 1997). Pertumbuhan pada tingkat individu dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu periode waktu tertentu sedangkan pertumbuhan populasi adalah pertambahan jumlah. Lebih lanjut dikatakan, pertumbuhan merupakan fungsi biologi yang kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini dapat digolongkan menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol di antaranya adalah
keturunan, sex, parasit dan penyakit. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan. Faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan adalah jumlah dan ukuran pakan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan pakan yang tersedia, iklim kualitas air terutama suhu dan oksigen terlarut, umur, ukuran ikan serta kematangan gonad.
Menurut Biusing (1987), struktur populasi ikan tropis berubah dari waktu ke waktu namun relatif stabil dibandingkan dengan populasi ikan di subtropis karena dipengaruhi oleh penambahan ikan baru (recruitment) di daerah tropis terjadi secara kontinyu. Kestabilan ini disebabkan oleh “multispawning behavior” ikan yang berlangsung sepanjang tahun.
Bahaya punahnya cadangan ikan dapat disebabkan antara lain oleh adanya penangkapan ikan yang melebihi kemampuan reproduksi ikan tersebut dan rusaknya lingkungan perairan di tempat ikan tersebut menetap (Clark, 1985 dan Effendie, 1997). Dengan demikian kriteria pemanfaatan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) adalah bahwa laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu (Clark, 1985).
Untuk menduga tingkat eksploitasi ikan di suatu perairan maka diperlukan informasi mengenai laju mortalitas (alami dan penangkapan) dan populasi ikan yang dieksploitasi tersebut (Biusing 1987). Mortalitas alamiah merupakan pengaruh dari relatif besarnya faktor-faktor lingkungan yang berinteraksi secara bebas (Aziz 1989). Mortalitas alami terdiri dari beberapa komponen yaitu predasi, penyakit dan penyebab fisiologis (Beverton and Holt 1957). Suatu pendekatan mortalitas alam dapat diukur dan pola pertumbuhan spesies yang bersangkutan. Pola pertumbuhan ikan yang cepat akan mempunyai laju mortalitas alami yang rendah. Meskipun pendugaan ini tidak selalu tepat, tetapi penting untuk studi awal penentuan jenis mortalitas yang dominan (Gulland 1983 dalam Aziz 1989).
Mortalitas akibat penangkapan ditentukan oleh upaya tangkap dan jumlah tangkapan per unit. Upaya tangkap dipengaruhi oleh musim penangkapan. Mortalitas penangkapan cenderung bervariasi karena ikan besar dan kecil
disebarkan dengan berbeda dan karena pemilihan ukuran tidak dapat ditentukan dengan alat penangkapan.
Sumberdaya perikanan laut merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dipulihkan (renewable resources), di mana pengelolaannya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari (maximum sustainable yield). Tujuan konsep MSY adalah pengelolaan sumberdaya alam yang sederhana yakni mempertimbangkan fakta bahwa persediaan sumberdaya biologis seperti ikan tidak dimanfaatkan terlalu berat, karena akan menyebabkan hilangnya produktivitas.
Menurut Gulland (1983), ada beberapa faktor penyebab pertumbuhan surplus populasi ikan, yaitu:
1) Kegiatan menangkap ikan akan memperkecil cadangan, namun dengan kepadatan yang rendah dalam keseimbangan alamiah, berarti cadangan yang tertinggal akan memanfaatkan makanan lebih banyak.
2) Kegiatan menangkap akan menggeser umur rata-rata cadangan ikan menjadi lebih muda dan cepat besar.
3) Cadangan yang tidak banyak ditangkap, kapasitas hidup telur akan berbanding terbalik dengan jumlah ikan yang bertelur dan jumlah telur yang dihasilkan. Hal ini berarti kalau jumlah anggota yang bertelur berkurang maka jumlah anggota muda akan bertambah besar.
Christy dan Scott (1986) mengemukakan bahwa sifat dasar dari sumberdaya ikan adalah milik bersama (common property) di mana pemanfaatannya dapat digunakan pada waktu yang bersamaan oleh lebih dari individu atau satu satuan ekonomi. Salah satu alasan mengapa sumberdaya tersebut digolongkan sebagai milik bersama, karena biaya untuk mempertahankan hak penggunaannya secara khusus dirasakan lebih tinggi dari pendapatan tambahan yang mungkin diperoleh dari pemilikan sumberdaya.
Cruitchfild dan Pontecorvo (1978) yang diacu dalam Setyono (2000) menyatakan sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang mudah ditangkap sehingga tidak mungkin mengurangi upaya dengan pembatasan input, dalam arti bahwa pengawasan tidak mungkin mencegah orang dalam penggunaan sarana
untuk menangkap ikan. Untuk itu diperlukan pengelolaan dengan baik, agar dapat mempertahankan dan mengembangkan populasi yang ada.
Salah satu pendekatan dalam pemanfataan sumberdaya ikan berkelanjutan adalah pendekatan ekologi (Dahuri, et al., 2001). Menurut Anggoro (2000) pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berwawasan ekologi secara umum ditandai dengan beberapa ciri sebagai berikut :
1) Kemantapan produktivitas pada skala temporal (berdasarkan waktu/musim) dan spasial (berdasarkan tempat/daerah penangkapan ikan)
2) Kemantapan daya dukung lingkungan (habitat) serta daya lenting sumberdaya terpulihkan (ikan) dalam rentang waktu tertentu.
3) Kemantapan daya tampung lingkungan (habitat) dalam merespons gangguan eksploitasi dan atau masukan bahan pencemar perairan
4) Keberlangsungan daur hidup dan daur ruaya alami serta tetap berperannya habitat vital sebagai daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan anak ikan (nursery ground).
Lebih lanjut dikatakan oleh Anggoro (2000) bahwa secara ideal pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan hidupnya harus mampu menjamin kesinambungan fungsi ekologi secara mantap guna mendukung keberlanjutan perikanan yang ekonomis dan produktif.