• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.1 Profil Perikanan di Indonesia

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 menyebutkan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan sumberdaya ikan diartikan sebagai semua upaya yang bertujuan agar ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus, sedangkan pemanfaatan sumberdaya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan. Penangkapan ikan didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan/atau mengawetkannya.

Usaha perikanan merupakan semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap dan membudidayakan ikan untuk tujuan komersil. Usaha perikanan mencakup aspek produksi, pengolahan/pasca panen dan pemasaran, sehingga terdapat rangkaian kegiatan yang membentuk suatu sistem usaha perikanan.

Kegiatan usaha perikanan laut di Indonesia pada umumnya dilakukan di wilayah pantai karena wilayah pantai memiliki produktivitas hayati tertinggi yakni 85% kehidupan biota laut tropis bergantung pada ekosistem pesisir (Odum, 1976; Berwick,1983).

Secara historis perairan pantai Indonesia merupakan daerah penangkapan (fishing ground) bagi perikanan rakyat (artisanal fisheries). Perikanan rakyat ini sejak tahun 1975 menghasilkan hampir seluruh (90%) produksi perikanan laut Indonesia (Soegiarto, 1976). Produksi perikanan laut meningkat dari 970 ribu ton pada tahun 1975 menjadi 3,6 juta ton pada tahun 1997 dan menjadi 4,07 juta ton pada tahun 2002 (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004). Kenaikan produksi tersebut disebabkan antara lain oleh modernisasi armada penangkapan dan adanya

penemuan baru potensi sumberdaya perikanan laut dan perluasan daerah penangkapan ikan. Meskipun demikian, daerah penangkapan perikanan rakyat yang merupakan ciri dominan perikanan Indonesia tetap terkonsentrasi di wilayah pesisir/pantai.

Armada perikanan rakyat tersebut mengandalkan teknologi kapal/perahu yang ukurannya kurang dari 30 GT (Tabel 2.1). Dengan demikian terlihat jelas bahwa perikanan rakyat tersebut mengandalkan sumberdaya ikan di perairan yang relatif sempit dan dieksploitasi oleh relatif banyak nelayan.

Tabel 2.1 Profil perikanan di Indonesia berdasarkan komposisi kapal ikan, 1992- 2002 T a h u n (Satuan : Unit) Rincian 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Perahu Tanpa Motor 229.377 247.745 245.436 245.162 252.561 228.919 223.490 241.517 230.867 241.714 219.079 Perahu/Kapal Motor 129.529 141.753 150.699 159.481 166.846 173.185 189.212 214.413 218.691 226.807 241.219 Motor Tempel 77.779 82.217 87.749 94.024 96.955 95.022 102.125 124.043 121.022 120.054 130.185 Kapal Motor 51.750 59.536 62.950 65.457 69.891 78.163 87.087 90.370 97.669 106.753 111.034 < 5 Gt 37.913 43.396 45.331 48.855 51.327 55.814 58.448 57.768 65.897 70.925 74.292 5-10 Gt 7.936 9.791 9.604 9.562 10.312 13.440 15.898 18.850 19.460 22.641 20.208 10-20 Gt 3.156 2.812 3.376 2.789 3.074 3.587 5.575 6.792 5.599 6.005 5.866 20-30 Gt 984 1.558 1.688 1.519 1.500 1.941 3.204 3.439 2.974 3.008 3.382 30-50 Gt 1.049 1.170 1.869 1.682 1.626 1.818 2.166 1.516 1.543 781 2.685 50-100 Gt 208 351 567 687 1.535 1.110 1.112 1.038 1.129 1.602 2.430 100-200 Gt 184 213 340 253 354 393 519 756 741 1.295 1.612 >200 Gt 320 245 175 120 163 60 165 211 326 495 559 Jumlah 358.906 389.498 396.135 404.643 419.407 402.104 412.702 455.930 449.558 468.521 460.298 Sumber : Statistik perikanan tangkap Indonesia 2004

Keterangan :

Kapal Motor di atas 30 GT = 0,4 % (1992) menjadi 1,6 % (2002) dari seluruh armada perikanan

2.2 Kondisi Umum Nelayan Indonesia

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia.

Dari sisi sumberdaya, wilayah pantai merupakan kawasan yang memiliki sumberdaya alam paling kaya dan merupakan bagian paling produktif diantara

seluruh perairan bahari bahkan menurut Mulyana (1999) wilayah pesisir atau pantai menghasilkan sebagian besar (80 %) produksi perikanan dunia. Walaupun demikian masyarakat nelayan di beberapa wilayah di Indonesia masih tergolong masyarakat miskin bahkan secara ekonomi dianggap kelompok dengan

opportunity cost yang rendah. Pendapat lain yang lebih menyedihkan adalah seperti diungkapkan oleh Subade and Abdulllah (1993) yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Oleh karenanya hampir seluruh kegiatan di wilayah ini menarik dipelajari dan diteliti termasuk kegiatan perikanan yang sebagian besar dilakukan di wilayah ini.

Dalam berbagai hal yang berkaitan dengan badan legal seperti perbankan, nelayan tidak mudah memperoleh akses yang diharapkannya karena ada penilaian rendahnya opportunity cost dari para nelayan. Opportunity cost nelayan adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau kegiatan ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain opportunity cost

adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan kegiatannya meskipun kegiatan tersebut tidak lagi menguntungkan dan tidak efisien. Ada lagi yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.

Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dijelaskan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain hidup dalam kemiskinan, bagi

nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupannya.

Smith (1979) dan Anderson (1979) menyimpulkan bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama nelayan tetap terperangkap dalam kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kapal dan alat penangkap ikan sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu walaupun rendah produktivitasnya, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang mungkin tidak efisien secara ekonomis.

Perikanan tangkap skala kecil di Indonesia adalah kontributor terbesar terhadap produksi perikanan. Bahkan sekitar 85% tenaga yang bergerak di sektor penangkapan ikan masih merupakan nelayan tradisional dan sangat jauh tertinggal dari nelayan negara lain (Widiyanto et al., 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu titik strategis dari penyebab utama kemiskinan dan ketidakberdayaan nelayan adalah lemahnya kemampuan manajemen usaha. Hal ini juga terjadi karena rendahnya pendidikan dan penguasaan ketrampilan bidang perikanan. Oleh karena itu pemberdayaan sumberdaya perikanan laut sudah semestinya dilakukan melalui pendekatan dengan nelayan, antara lain dengan melakukan pemberdayaan kepada kelompok nelayan kecil agar mereka dapat mengorganisasikan kegiatan usahanya.

Walaupun nelayan skala kecil menjadi kontributor terbesar dalam produksi perikanan tangkap, namun nelayan masih selalu diidentikkan dengan kemiskinan Elfindri (2002). Kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan masyarakat nelayan disebabkan oleh tiga hal utama yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural (Nikijuluw, 2001).

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal diluar individu nelayan yaitu struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara

variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini maka kemiskinan semakin berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi, hubungannya dengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi disekitar atau dilingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka.

Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel tersebut diantaranya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit diatasi bila tidak ada keinginan dan kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan karena kompetisi antar sektor, antar daerah, antar institusi sehingga menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa di atasi apabila pemerintah pusat dan daerah memiliki komitmen khusus bagi kepentingan masyarakat miskin, dengan kata lain perlu dilakukan affirmative actions.

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel- variabel yang melekat, inheren dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu serta ketaatan pada panutan. Kemiskinan kultural ini sulit di atasi terutama karena pengaruh panutan (patron) baik yang bersifat formal, informal, maupun asli dan sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural (Nikijuluw, 2001). Seperti yang dinyatakan Shari (1990) dan Mashuri (1993) bahwa faktor penyebab utama kemiskinan nelayan yang dapat dikategorikan kultural adalah masa kerja yang terbatas dan tidak pasti, nilai produksi dibagi bersama terutama nelayan buruh. Selain itu, keluarga nelayan juga memiliki mutu modal manusia yang relatif rendah (Saedan, 1999; Elfindri, 2001).