• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

3. Kondisi Open Access (OA)

4.1 Kabupaten Serang

4.2.3 Unit penangkapan ikan

Pada Tabel 4.2, kapal/perahu sebagai bagian unit penangkapan di Kabupaten Tegal pada akhir tahun 2004 umumnya merupakan perahu dengan motor tempel berjumlah 416 unit yang terdiri dari jukung sebanyak 212 unit, perahu motor tempel 3–5 GT 180 unit, perahu motor tempel 5-10 GT 14 unit (Tabel 4.3).

Tabel 4.3 Jumlah nelayan dan perahu motor tempel (PMT) Kabupaten Tegal tahun 2004.

Nelayan Perahu Motor Tempel

(PMT) No Kecamatan Juragan (RTP) Pendega Jukung 3 – 5 GT 5 – 10 GT Jumlah ( PMT ) 1. 2. 3. Kramat Suradadi Warurejo 145 245 4 1.450 1.186 40 - 212 - 139 47 4 6 8 - 145 267 4 Jumlah 422 2.676 212 180 14 416

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tegal (2005)

Kondisi terakhir alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Tegal cukup beragam dan dapat berubah-ubah setiap tahunnya. Alat tangkap yang digunakan pada tahun 2004 semakin sedikit dan didominasi oleh payang gemplo yang digunakan untuk menangkap teri. Walaupun menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tegal masih ada trammel net dan bagan, namun hasil wawancara dan pengamatan lapangan pada pertengahan tahun 2005 alat tangkap bagan dan trammel net sudah tidak ada yang digunakan mengingat secara finansial sudah dianggap tidak layak.

Tabel 4.4 Jumlah dan jenis unit alat tangkap Kabupaten Tegal tahun 2004

Jenis alat tangkap Jumlah

No Kecamatan

Payang Bundes Trammel

net

Rampus/

Kopek Wadong Bagan (Unit)

1. 2. 3. Kramat Suradadi Warurejo 145 46 4 - 5 - - 130 - - 236 - - 85 - - 19 - 145 521 4 J u m l a h 195 5 130 236 85 19 670

5.1 Pendahuluan

Salah satu keberlanjutan perikanan tangkap ditentukan oleh kondisi ekologi. Penelitian pada bab ini bertujuan untuk menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil ditinjau dari dimensi ekologi. Pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak boleh mengancam kesinambungan fungsi ekologi pendukung keberlanjutan kegiatan perikanan yang ekonomis dan produktif. Bab ini akan membahas beberapa atribut keberlanjutan dari dimensi ekologi yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan di dua lokasi, yaitu Kabupaten Serang dan Tegal. Atribut-atribut tersebut adalah tingkat eksploitasi perikanan, proporsi

ikan yang dibuang (by catch dan discards), tekanan pemanfaatan perairan,

perubahan ukuran ikan tertangkap dalam 10 tahun terakhir, perubahan jenis ikan yang tertangkap dalam 10 tahun terakhir dan pemanfaatan lingkungan perairan oleh pariwisata bahari.

Tujuan utama pengelolaan sumberdaya perikanan ditinjau dari segi biologi adalah dalam upaya konservasi stok ikan untuk menghindari tangkap lebih (King and Ilgorm, 1989). Dengan kata lain bahwa untuk keberlanjutan perikanan tangkap diperlukan upaya agar tidak terjadi tangkap lebih melalui konservasi stok ikan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31/2004 tentang perikanan (pasal 1), konservasi sumberdaya ikan didefinisikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan.

Dalam mempertahankan ketersediaan dan kesinambungan sumberdaya ikan perlu dilakukan pendekatan kehati-hatian dalam eksploitasi sumberdaya ikan sehingga keberlanjutan perikanan tangkap secara ekologi dapat dipertahankan. Oleh karena itu dalam eksploitasi sumberdaya perikanan diperlukan potensi dugaan sumberdaya perikanan yang dapat memberikan gambaran mengenai tingkat dan batas maksimal dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di suatu

wilayah, sehingga pembangunan perikanan dapat direncanakan sedemikian rupa dan sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pada dasarnya secara ekologi, kegiatan perikanan akan dapat dilaksanakan dan berkelanjutan apabila komponen yang merupakan persyaratan pokok dapat dipenuhi. Persyaratan tersebut diantaranya adalah terjaminnya tingkat pertumbuhan (r), terjaganya daya dukung lingkungan perairan (K), dan tingkat pemanfaatan (koefisien daya tangkap, q) yang terkendali.

5.2 Metodologi

Metode yang digunakan dalam penelitian dimensi ekologi adalah gabungan dari penelitian deskriptif dan survei langsung (pengamatan dan wawancara). Data tentang jumlah unit dan trip alat tangkap serta hasil tangkapan tiap alat tangkap diperoleh dari laporan tempat pelelangan pendaratan ikan (TPI) di kedua lokasi penelitian. Data tentang alat tangkap, dimensi kapal serta anak buah kapal (ABK), daerah penangkapan, serta jenis ikan hasil tangkapan dominan diperoleh melalui wawancara dan survei langsung dengan nelayan di fishing base di kedua lokasi penelitian, yaitu Kabupaten Serang dan Kabupaten Tegal. Pemilihan responden yang diwawancarai langsung ditentukan berdasarkan petunjuk atau rekomendasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan tiap kabupaten, ketua kelompok nelayan, dan petugas penyuluh perikanan setempat (khusus untuk lokasi penelitian di Kabupaten Tegal). Responden tersebut tidak dipilih secara random. Jumlah responden tiap lokasi penelitian ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah populasi dan kemampuan enumerator dalam melakukan identifikasi.

Tabel 5.1 Jumlah responden menurut jenis alat tangkap dan lokasi penelitian Jumlah sampel (responden) No Tempat Pendaratan

Ikan (TPI) Kecamatan Kabupaten Alat tangkap Jumlah 1 Pasauran Cinangka Serang Payang bugis

Jaring udang

38 33 2 Munjung Agung Kramat Tegal Payang gemplo

Bundes Rampus

25 12 12 3 Surodadi I Surodadi Tegal Payang gemplo

Bundes Rampus 15 10 20 J u m l a h 165

Analisis terhadap data yang diperoleh akan difokuskan pada kajian potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan serta peran atribut faktor ekologis yang mempengaruhi keberlanjutan perikanan. Pendugaan tingkat dan batas maksimal pemanfaatan sumberdaya perikanan dilakukan dengan menerapkan model surplus produksi. Model ini memanfaatkan data produksi dan upaya penangkapan, seperti dijelaskan Clark, Yoshimoto and Pooley (1992). Parameter model yang diduga adalah r (laju pertumbuhan alami/intrinsic), q (koefisien

kemampuan penangkapan) dan K (daya dukung lingkungan). Parameter-parameter

tersebut diduga dengan menggunakan OLS (ordinary least square) dengan

meregresikan tangkap perunit upaya (catch per unit effort = CPUE) pada periode t+1 dengan tangkap perunit upaya pada periode t serta penjumlahan input pada periode t dan t+1. Input yang digunakan adalah jumlah trip penangkapan dari semua jenis alat tangkap dengan indeks penangkapan yang telah distandardisasi. Standardisasi alat tangkap pada penelitian ini menggunakan persamaan Tai dan Heaps (1996) yang diacu dalam Bintoro (2005).

Atribut ekologi yang lain dalam Rapfish antara lain discard and by cacth, yaitu sejumlah ikan tangkapan yang tidak dimanfaatkan atau dibuang nelayan karena tidak mempunyai nilai ekonomis penting atau pertimbangan lain. Jika jumlah discard dan by catch sedikit bahkan jika tidak ada ikan yang dibuang maka sumberdaya perikanan dari perairan tersebut merupakan sumber pendapatan yang sangat penting bagi para nelayan. Dalam situasi seperti ini semua jenis dan ukuran dikonsumsi atau dimanfaatkan oleh nelayan dan masyarakat.

Tekanan pemanfaatan perairan atau tingkat intensitas pemanfaatan perairan oleh berbagai kegiatan secara langsung akan mempengaruhi kondisi ekologi perairan. Semakin tinggi tingkat pemanfaatan (tekanan) perairan maka akan menyebabkan semakin menurunnya kualitas perairan tersebut. Tekanan perairan ini dapat berupa pemanfaatan laut sebagai lahan budidaya laut, jalur-jalur sarana lalu lintas transportasi laut, tempat pembuangan sampah, daerah penangkapan ikan yang padat dan sebagainya.

Perubahan ukuran ikan dan jenis ikan dalam 10 tahun terakhir akan menggambarkan dampak akibat terjadinya perubahan ekologi. Jika ukuran ikan semakin kecil maka dapat dikatakan lingkungan perairan dan sumberdaya

perikanan mengalami kerusakan (degradasi), begitu juga yang terjadi pada perubahan jenis ikan yang tertangkap dimana ikan yang tertangkap semakin kecil

dari masa kemasa. Kondisi yang demikian dapat dikategorikan growth

overfishing yaitu terjadi manakala stok ikan yang ditangkap rata-rata ukurannya lebih kecil daripada ukuran yang seharusnya untuk berproduksi pada tingkat yield per recruit yang maksimum (Fauzi, 2005; Nikijuluw, 2005).

Pemanfaatan pariwisata yang sesuai dan optimal merupakan pendorong ke arah perbaikan ekologi karena secara tidak langsung pariwisata akan menciptakan kondisi lingkungan yang lebih baik, bersih, tertib, aman dan nyaman. Pemanfaatan pariwisata juga akan menciptakan alternatif lapangan pekerjaan dan pendapatan tambahan bagi para penduduk atau nelayan sekitar. Kegiatan pariwisata yang berlebihan juga akan berdampak kurang baik karena justru akan menciptakan masalah baru berupa peningkatan kerusakan ekologi.

Metode penentuan indeks keberlanjutan ekologi perikanan tangkap dengan teknik Rapfish dilakukan secara sistimatis seperti diuraikan pada Bab 3 (Metode Umum Penelitian). Indeks status keberlanjutan ekologi perikanan tangkap dimulai dengan pembuatan skor setiap atribut pada dimensi ekologi berdasarkan kondisi di lapangan, baik dari hasil berdasarkan wawancara dan pengamatan (data primer) maupun data sekunder. Penyusunan skor ini berdasarkan acuan-acuan yang telah dibuat baik melalui literatur seprti Alder, et. al., 2000 yang diacu dalam Fauzi dan Anna (2002), maupun pertimbangan dari penulis dengan asumsi-asumsi dan dasar-dasar ilmiah.

Skor yang diperoleh kemudian diolah dengan program Microsoft Excel

dengan template ekologi yang telah dipersiapkan sebelumnya kemudian di-run

sehingga diperoleh nilai multidimenstional scaling dari Rapfish yang lebih dikenal dengan indeks keberlanjutan. Nilai indeks keberlanjutan perikanan skala kecil ini pada metode Rapfish diketahui mempunyai nilai bad (buruk) sampai good (baik) dalam selang 0-100. Untuk memudahkan penentuan status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil baik di Kabupaten Serang maupun Kabupaten Tegal maka selang dari bad (0) sampai good (100) tersebut dibagi menjadi beberapa kategori atau status, yaitu dengan membagi empat selang 0-100 tersebut. Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-50

dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76-100 dalam status baik. Pembagian selang yang menggambarkan status indeks keberlanjutan ekologi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Selang indeks dan status keberlanjutan ekologi perikanan tangkap skala kecil

No Selang Indeks Keberlanjutan Status Keberlanjutan

1 0-25 Buruk

2 26-50 Kurang

3 51-75 Cukup

4 76-100 Baik