• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.9 Sistem Perikanan Berkelanjutan

Keberlanjutan sistem perikanan menurut Charles (2001) ditentukan oleh keberlanjutan empat aspek berikut :

1) Keberlanjutan aspek ekologis (menghindari punahnya sumber daya ikan di masa datang).

2) Keberlanjutan aspek sosial ekonomis (keberlanjutan dan kelayakan ekonomi dan keuntungan sosial).

3) Keberlanjutan aspek kemasyarakatan (menilai masyarakat lebih dari sekedar kumpulan individu).

4) Keberlanjutan aspek institusional (kelayakan jangka panjang sistem pengelolaan sumberdaya).

Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mewujudkan sistem perikanan berkelanjutan dapat dilakukan dengan pendekatan dari aspek lingkungan biofisik, lingkungan manusia dan institusi politik dan ekonomi.

Lingkungan biofisik dapat ditentukan dengan 3 cara, yaitu : (1) menetapkan batas-batas ekologis dan menyesuaikan dalam hubungan dengan ekosistem; (2) mengenali kebutuhan untuk menggabungkan aktivitas manusia dengan siklus alam dan (3) aktivitas utama didasarkan pada sumberdaya yang dapat diperbaharui. Pendekatan aspek manusia dilakukan dengan 3 cara, yaitu : (1) pemenuhan kebutuhan dasar manusia; (2) menerapkan asas kesamaan dan keadilan sosial dan (3) peraturan yang pasti.

Lingkup institusi politik dan ekonomi (kelembagaan) dapat ditentukan dengan 6 cara, yaitu: (1) membangun perspektif jangka panjang lebih dominan; (2) menetapkan tujuan ganda (sosial/lingkungan/ekonomi); (3) mengantisipasi perkembangan di masa datang/adaptif (institusi dirancang untuk merespon dan memecahkan masalah); (4) responsif terhadap krisis pada level berbeda; (5) menetapkan orientasi dari sistem yang dibangun (interaksi antar komponen, pertukaran, umpan balik) dan (6) menetapkan prinsip-prinsip manajemen yang kondusif (terbuka/jujur/diinformasikan/pemberdayaan pengambilan keputusan).

Pendekatan ketiga aspek tersebut mempunyai kriteria dan indikator yang jelas untuk menilái keberlanjutan sistem perikanan. Menurut Charles (2001)

bahwa kriteria sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dan aspek ekologi meliputi tingkat penangkapan, jumlah biomass, ukuran ikan, kualitas lingkungan, keragaman spesies, keragaman ekosistem, luas area rehabilitasi, luas area dilindungi dan pemahaman ekosistem (Tabel 2.5).

Tabel 2.5 Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek ekologi sistem perikanan (Charles, 2001) Kriteria KeberIanjutan Indikator Keberlanjutan minimum jika : Tingkat Penangkapan (MSY-tangkapan) / MSY

Tangkapan melebihi MSY

Biomass Biomass (relatif ke rata- rata)

Total biomas atau reproduksi stok biomass di bawah ambang kritis

Trend biomas Persentase perubahan rata-rata tahunan selama beberapa tahun

Biomas turun secara cepat (atau kurangnya rekruitmen)

Ukuran ikan Rata-rata ukuran ikan (relatif ke rata-rata)

Ukuran rata-rata yang tertangkap relatif lebih kecil dari ukuran optimal

Kualitas Iingkungan Kualitas (relatif ke rata- rata) + (% perubahan rata-rata)

Kualitas lingkungan rendah dan menurun Keragaman (spesies tangkapan) (Jumlah spesies/rata- rata tangkapan) + (diversitas/rata-rata)

Jumlah spesies tertangkap dan indeks diversitas relatif di bawah tingkat sebelumnya Keragaman

(ekosistem)

(Jumlah spesies/rata- rata tangkapan) + (diversitas/rata-rata)

Jumlah spesies dan indeks diversitas rendah dan menurun

Area rehabilitasi Luas area rehabilitasi (% total area)

Peningkatan luas area yang tercemar

Area dilindungi Luas area dilindungi (% total area)

Pengurangan kawasan lindung karena ekploitasi Pemahaman

ekosistem

Tingkat pengetahuan relatif ke level lebih tinggi

Pemahaman sumberdaya dan ekosistem tidak jelas

Kriteria sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dan aspek ekonomi masyarakat menurut Charles (2001) meliputi fleksibilitas masyarakat, kemandirian masyarakat, daya dukung manusia, daya dukung lingkungan, kesamaan distribusi, kapasitas armada lestari; investasi, suplai pangan dan ketahanan pangan jangka panjang (Tabel 2.6).

Tabel 2.6 Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek sosial ekonomi/masyarakat sistem perikanan (Charles, 2001)

Kriteria

Keberlanjutan Indikator Keberlanjutan minimum jika Fleksibilitas

masyarakat

Indeks keragaman tenaga kerja

Kurangnya alternatif

pekerjaan yang dapat dilakukan nelayan Kemandirian masyarakat Proporsi kegiatan ekonomi berbasis lokal

Ketergantungan tinggi terhadap kekuatan ekonomi luar

Daya dukung manusia (mata pencaharian) Penggunaan atau potensial kelangsungan tenaga kerja (relatif ke populasi)

Keberlanjutan ekonomi atau lapangan kerja di bawah perkiraan penggunaan atau potensial populasi Daya dukung manusia (lingkungan) Kapasitas daya serap lingkungan/produksi limbah manusia

Limbah manusia melebihi kemampuan lingkungan untuk menerimanya

Kesamaan Rasio koefisien Gini dan pendapatan atau distribnsi pangan

Penyebaran pendapatan dan suplai makanan di bawah ketentuan minimum Kapasitas

penangkapan ikan (fishing capacity)

Rasio kapasitas pada tingkat MSY terhadap kapasitas terpasang

Kapasitas terpasang melebihi hasil tangkapan lestari MSY

Investasi tepat Kapastas investasi (saat stok < optimal)

Investasi di atas tingkat kapasitas stok maksimum atau

> 0 saat stok menurun Suplai makanan Suplai pangan per

kapita (kebutuhan minimum nutrisi relatif)

Ketersediaan pangan per orang di bawah -kebutuhan minimum nutrisi Ketahanan pangan jangka panjang Kemungkinan kecukupan pangan 10 tahun ke depan

Stabilitas suplai pangan rendah atau suplai turun dengan cepat

Kriteria sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dari aspek institusional menurut Charles (2001) meliputi efektivitas manajemen, penggunaan metode tradisional, penggabungan input lokal, kapasitas terpasang dan keberlangsungan institusi (Tabel 2.7).

Tabel 2.7 Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek institusional sistem perikanan (Charles, 2001)

Kriteria

Keberlanjutan Indikator Keberlanjutan minimum jika Keefektivan manajemen Tingkat keberhasilan pengelolaan negara dan kebijakan pengaturan

Organisasi pengelolaan (DKP) yang ada tidak mampu mengontrol tingkat eksploitasi dan mengatur pengguna sumberdaya Penggunaan metode pengelolaan tradisional (local wisdom)

Tingkat penggunaan Metode pengelolaan

lingkungan dan sumberdaya tradisional (local wisdom) tidak digunakan Pemanfaatan atau pemberdayaan institusi lokal Tingkat pemberdayaan Pengelolaan/kegiatan perencanaan tidak mempertimbangkan dan menerapkan faktor sosial kultural lokal (tradisi, pengambilan keputusan masyarakat, pengetahuan ekologi, dll Kapasitas

terpasang

Tingkat upaya kapasitas terpasang

Kapasitas terpasang dalam organisasi kurang relevan

Keberlangsungan institusi

Tingkat keuangan dan keberlangsungan organisasi

Organisasi pengelola kekurangan dukungan finasial jangka panjang atau politik pendukung struktur

2.10 Alternatif Evaluasi/ Penentuan Status Keberlanjutan Perikanan

Konsep keberlanjutan dalam perikanan ini sudah mulai dapat difahami, namun sampai saat ini kita masih menghadapi kesulitan dalam menganalisis/mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri terutama ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi/data dari keseluruhan komponen secara holistik dari berbagai aspek seperti aspek biologi, sosial, ekonomi, teknologi maupun etika (Fauzi dan Anna, 2002a). Oleh karena evaluasi keberlanjutan eksploitasi perikanan selama ini lebih difokuskan kepada penentuan status stok relatif dari spesies target dengan referensi biologi atau pada beberapa kasus adalah referensi ekologi seperti tingkat kematian ikan,

spawning biomass atau struktur umur (Smith, 1993 yang diacu dalam Fauzi dan Anna, 2002). Dengan demikian analisis yang diaplikasikan dalam berbagai studi tersebut masih bersifat parsial. Durand et al. (1996) yang diacu dalam Taryono (2003) menyatakan bahwa secara klasik ahli biologi perikanan cenderung

menitikberatkan pada dinamika populasi dan eksploitasi. Hubungan antara analisis biologis dengan ilmu sosial hanya terjadi pada akhir proses produksi di mana ikan didaratkan di pelabuhan. Ahli ekonomi selanjutnya cenderung menghitung secara kuantitatif maupun kualitatif, melalui pengangkutan dan pemasaran. Hal ini menggambarkan bahwa pengkajian keberlanjutan perikanan belum menerapkan analisis terpadu yang komprehensif terhadap berbagai dimensi yang mempengaruhi kegiatan perikanan tersebut. Hal ini memberikan kesan seolah- olah tidak ada keterkaitan antara keberlanjutan sumberdaya dengan keberlanjutan sosial atau keberlanjutan ekonomi.

Salah satu alternatif pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian ini untuk mengevaluasi/menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap adalah Rapfish. Pada metode ini, analisis terhadap semua dimensi dilakukan secara bersamaan atau simultan sehingga dihasilkan suatu vektor skala. Dengan Rapfish dapat diperoleh gambaran jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya perikanan, khususnya perikanan di daerah penelitian sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

Menurut Taryono (2003) berbagai hasil empiris analisis kelestarian sumberdaya dengan aplikasi Rapfish, diantaranya telah dilakukan oleh Pitcher and Preikshot (2000), serta Fauzi dan Anna (2002a).

Hasil analisis terhadap perikanan Atlantik Utara (sisi Barat dan sisi Timur) menurut Alder et al. (2000) yang diacu dalam Taryono (2003) didapatkan bahwa Perikanan Teluk Meine (Amerika Serikat) mempunyai indikator kelestarian sosial dan teknis yang lebih tinggi dibandingkan dengan perikanan Kanada, Inggris, maupun Jerman.

Hasil aplikasi pendekatan Rapfish pada perikanan laut di DKI Jakarta dan pertama kali di Indonesia yang dilakukan oleh Fauzi dan Anna (2002a) menunjukkan bahwa dari dua belas jenis alat tangkap yang dianalisis disimpulkan bahwa alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing, berdasarkan indikator kelestarian ekologi berada diantara good dan bad, tetapi secara sosial dan ekonomi cenderung ke arah bad score. Sebaliknya pada perikanan aktif secara

teknologi dan ekologi mempunyai skor buruk (bad score), tetapi sebaliknya secara ekonomis dan sosial cenderung ke arah baik (good).

Fauzi dan Anna (2005) menyimpulkan bahwa dari sisi ekologi, alat tangkap yang beroperasi di luar teluk Jakarta cenderung memiliki skor keberlanjutan relatif lebih rendah, sebab alat tangkap aktif cenderung menimbulkan masalah ekologi, seperti by catch, non selective, dan catch before maturity. Sebaliknya, alat tangkap yang beroperasi di dalam teluk Jakarta cenderung pasif dan lebih bersifat selektif dan tradisional, sehingga tidak terlalu destruktif. Namun skor keberlanjutan ekonomi antara perikanan di luar teluk dan di dalam teluk menunjukkan bahwa perikanan di dalam teluk Jakarta cenderung memiliki skor sustainability rendah. Hasil analisis leverage untuk menguji sensitivitas atribut untuk setiap dimensi terhadap skor kelestarian perikanan pesisir Jakarta diperoleh bahwa marketable right, employment sector dan other income mempunyai derajat kepekaan yang tinggi. Sementara pada dimensi sosial, maka tingkat pendidikan, pengetahuan lingkungan serta fishing income

mempunyai derajat yang penting dalam mempengaruhi tingkat kelestarian sumberdaya perikanan tersebut. Sementara secara teknis (teknologi) atribut

selective gear mendominasi atribut lainnya dalam mempengaruhi tingkat kelestarian tersebut. Sedangkan pada dimensi etika, keterlibatan nelayan dalam penentuan kebijakan (just management) sangat nyata mempengaruhi nilai kelestarian tersebut.

Dengan memperhatikan berbagai teori dari berbagai referensi dan sejumlah penelitian terdahulu dikaitkan dengan kondisi perikanan tangkap skala kecil Indonesia saat ini, dapat disimpulkan bahwa keberlanjutan perikanan tangkap harus didukung oleh berbagai aspek/dimensi keberlanjutan yaitu, keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum serta kelembagaan. Oleh karena itu penelitian ini sangat perlu dilakukan.