• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skor atribut dan indeks keberlanjutan dimensi ekolog

DAFTAR LAMPIRAN

3) Kondisi open access ( OA )

5.3.3 Skor atribut dan indeks keberlanjutan dimensi ekolog

Tabel 5.20 menunjukkan realitas data berupa skor-skor berdasarkan kondisi lapangan masing-masing atribut pada dimensi ekologi. Jumlah atribut pada dimensi ekologi dianalisis pada 6 atribut. Untuk data discard and by catch, tekanan pemanfaatan perairan, perubahan ukuran ikan tertangkap dalam 10 tahun terakhir, dan pemanfaatan pariwisata bahari diperoleh melalui data primer sedangkan tingkat eksploitasi perikanan diperoleh dari data sekunder melalui perhitungan pengkajian stok. Skor pada tingkat eksploitasi perikanan, tekanan pemanfaatan perairan, dan pemanfaatan pariwisata bahari dilakukan secara agregat untuk wilayah dari kegiatan perikanan tangkap, sedangkan discard and by catch, perubahan ukuran ikan tertangkap dalam 10 tahun terakhir, dan perubahan jenis ikan yang tertangkap dalam 10 tahun terakhir dilakukan pada kegiatan perikanan dengan masing-masing alat tangkap.

Tabel 5.20 Realitas data di lapangan dan nilai skor setiap atribut pada dimensi ekologi

No Atribut Baik Buruk Payang bugis Jaring Udang Jaring Rampus Bundes Payang Gemplo 1. Tingkat eksploitasi perikanan 0 4 2 2 3 3 3

2. Discard and by catch (Persentasi ikan yang dibuang)

0 2 0 0 0 0 0

3. Tekanan pemanfaatan

perairan 0 2 0 0 2 2 2

4. Perubahan ukuran ikan tertangkap dalam 10 tahun terakhir

0 2 1 1 2 2 2

5. Perubahan jenis ikan yang tertangkap dalam 10 tahun terakhir

0 3 1 0 2 2 2

6. Pemanfaatan

pariwisata bahari 3 0 2 2 0 0 0 Nilai skor pada dimensi ekologi seperti yang tercantum pada Tabel 5.20 kemudian dianalisis menggunakan metode Rapfish. Hasil yang diperoleh dengan metode Rapfish pada dimensi ekologi menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap secara ekologi.

Hasil analisis pada Tabel 5.21 dapat lebih dijelaskan pada Gambar 5.23 yang sekaligus menggambarkan ordinasi seluruh alat tangkap pada dimensi ekologi. Ordinasi Rapfish ini menggambarkan posisi keberlanjutan setiap alat tangkap berdasarkan indeks keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di perairan Pantai Pasauran Kabupaten Serang dan perairan Pantai Kabupaten Tegal. Tabel 5.21 Indeks keberlanjutan perikanan (IKP) setiap alat tangkap pada

dimensi ekologi di perairan pantai Pasauran Kabupaten Serang dan perairan Kabupaten Tegal

No. Kegiatan Perikanan Tangkap

IKP pada Atribut Ekologi

Status Keberlanjutan Serang

1. Payang bugis 63,16 Cukup

2. Jaring Udang 70,63 Cukup

Rata-rata indeks Kab. Serang 66,90 Cukup Berkelanjutan

Tegal

1. Jaring Rampus 28,53 Kurang

2. Bundes 28,53 Kurang

3. Payang Gemplo 28,53 Kurang

Gambar 5.23 Posisi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Serang dan Tegal pada dimensi ekologi

Nilai stress yang diperoleh untuk dimensi ekologi ini adalah 15,63 %. Hal

ini menurut prosedur multidimensional scaling (MDS) diacu dalam Fauzi dan

Anna (2004) adalah jika nilai stress atau yang dilambangkan dengan S semakin

rendah menunjukkan good fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukkan

sebaliknya. Nilai stress (S) sudah memenuhi kondisi fit (goodness of fit) karena S < 25% (Fauzi dan Anna, 2004). Beberapa nilai statistik yang diperoleh dari MDS dalam Rapfish pada dimensi ekologi dapat dilihat pada Tabel 5.22.

Tabel 5.22 Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish pada dimensi ekologi

No Atribut Statistik Nilai Statistik Persentase

1 Stress 0,1563 15,63

2 R2 0,9347 93,47

3 Jumlah Iterasi 3

Tabel 5.22 menunjukkan nilai koefisien determinasi (selang kepercayaan)

atau R2 sebesar 93,47 %. Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi ekologi

48 51 63,16 70,63 28,53 28,53 28,53 100 0 -60 -40 -20 0 20 40 60 0 25 50 75 100

Serang Payang bugis Serang Jaring udang Tegal Rampus Tegal Bundes Tegal Gemplo Anchor Reference Su mbu Y Setelah Ro tasi

dapat dilihat pada Gambar 5.24. Hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa kegiatan perikanan tangkap skala kecil di kedua Kabupaten pada setiap jenis alat

telah banyak mengalami gangguan (perturbation) yang ditunjukkan oleh plot

yang menyebar.

Gambar 5.24 Kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada dimensi ekologi

Analisis sensitivitas pada dimensi ekologi dengan metode analisis leverage pada Rapfish memperlihatkan bahwa atribut discard and by cacth (proporsi ikan yang dibuang) dan perubahan ukuran ikan yang tertangkap dalam 10 tahun terakhir merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan skala kecil. Perubahan sedikit saja pada atribut ini akan berdampak besar terhadap status keberlanjutan pada dimensi ekologi. Hal ini dapat dilihat dari nilai root mean square change (Gambar 5.25) kedua atribut tersebut dua bahkan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya.

-60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 Sum b u Y set el ah rot asi

Leverage of Attributes Ecology 3,98 9,23 6,28 7,86 3,34 4,18 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tingkat eksploitasi perikanan Discard dan by catch (Persentasi ikan yang dibuang) Tekanan pemanfaatan perairan Perubahan ukuran ikan tertangkap dalam 10 tahun terakhir Perubahan jenis ikan yang tertangkap dalam 10 tahun terakhir Pemanfaatan pariwisata bahari

Attr

ib

u

te

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 5.25 Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi ekologi

5.4 Pembahasan

Berbagai tahapan dan analisis untuk menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di dua lokasi penelitian telah dilakukan, di antaranya: (1) analisis sumberdaya (Schaefer, 1954) dan analisis bioekonomi Gordon Schaefer dengan metode Clark, Yoshimoto & Polley, 1992 (CYP, 1992), (2) penentuan skor dan indeks keberlanjutan, (3) penggambaran ordinasi Rapfish dimensi ekologi atas dasar alat tangkap dan lokasi penelitian, (4) uji kesahihan goodness of fit dengan prosedur multidimensional scaling (MDS), (5) penentuan nilai koefisien determinasi (R2), (6) uji kestabilan ordinasi dengan teknik analisis

Monte Carlo, (7) uji sensitivitas dengan metode analisis leverage, dan (8)

penggambaran artribut sensitif pada dimensi ekologi serta (9) penentuan respons (alternatif implikasi kebijakan) yang harus dilakukan terhadap atribut sensitif.

Model produksi surplus, yaitu Schaefer (1954) dan CYP (1992) dalam pendugaan potensi lestari dilakukan untuk melihat kondisi sumberdaya secara akurat dan obyektif sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan kedua metode tersebut dapat dibandingkan metode mana yang lebih mendekati kondisi riil di lapangan agar prinsip kehati-hatian betul-betul menjadi prinsip dasar dalam

pengelolaan sumberdaya perikanan dalam kontek keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil.

Hasil analisis sumberdaya untuk menduga potensi lestari (MSY) dengan metode Schaefer (1954) menunjukkan bahwa secara teoritis pemanfaatan sumberdaya ikan diperairan pantai Pasauran relatif masih baik. Hal ini terlihat dengan masih adanya peluang peningkatan pemanfaatan yang cukup besar. Upaya aktual masih lebih rendah dari E-MSYdan produksi aktual masih lebih rendah dari tingkat produksi maksimum lestari (Y-MSY). Secara teoritis kondisi sumberdaya di perairan pantai Pasauran dapat disimpulkan belum overfishing (tingkat overfishing -22,78%). Dengan kata lain masih ada peluang meningkatkan upaya sebanyak 1.274,05 trip untuk mencapai tingkat produksi MSY.

Dengan metode yang sama (Schaefer, 1954), tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan pantai Tegal juga masih dibawah MSY dengan perbandingan upaya penangkapan maksimum (E-MSY) = 17.629 trip dengan upaya aktual rata-rata 15.119 trip/tahun. Setelah memasukkan nilai upaya maksimum

(E-MSY) tersebut ke dalam persamaan penangkapan lestari diperoleh tingkat

produksi lestari (Y-MSY) = 602,91 ton dengan produksi aktual rata-rata sebesar 556,25 ton. Secara teoritis kondisi sumberdaya di perairan pantai Tegal belum

overfishing. Gambaran penurunan kualitas sumberdaya ikan sebenarnya sudah

sangat jelas dengan melihat CPUE yang terus menurun, seperti disajikan dalam

Tabel 5.11 untuk perikanan pantai Tegal bahwa telah terjadi penurunan CPUE

rata-rata dari 0,055 ton atau sama dengan 55 kg/trip pada tahun 1994 menjadi 0,026 ton atau 26 kg/trip pada tahun 2004. Dengan asumsi tidak ada perubahan faktor lain kecuali perubahan trip, penurunan CPUE dalam kurun waktu 11 tahun ini cukup signifikan dan perlu mendapat perhatian yang serius agar kegiatan usaha perikanan skala kecil ini dapat berkelanjutan. Di sisi lain, nelayan setempat pada umumnya mereka merasakan sudah terjadi penurunan sumberdaya yang sangat signifikan dengan ciri-ciri pokok di antaranya jumlah hasil tangkapan yang terus

menurun, fishing ground yang semakin menjauh bahkan diakuinya telah ada

beberapa jenis ikan yang sulit diperoleh atau telah hilang dari perairan tempat yang biasa dilakukan penangkapan.

Analisis bioekonomi Gordon Schaefer dengan metode Clark, Yoshimoto & Polley, 1992 (CYP, 1992) memberikan hasil yang berbeda dengan metode sebelumnya. Hasil yang diperoleh adalah untuk perairan pantai Pasauran, Kabupaten Serang diperoleh nilai dugaan MSY sebesar 332,56 ton per tahun dengan rata-rata produksi aktual sebesar 375,16 ton per tahun. Kalau MSY dijadikan patokan batas produksi maksimum agar sumberdaya berkelanjutan, angka ini telah menunjukkan bahwa di perairan pantai Pasauran Kabupaten Serang telah mengalami lebih tangkap 12,81 % dari produksi lestarinya agar tetap berkelanjutan. Demikian juga halnya yang terjadi di perairan Kabupaten Tegal diperoleh sebesar 396,49 ton per tahun sedangkan rata-rata produksi aktual telah mencapai 556,25 ton per tahun. Angka ini menunjukkan bahwa di perairan Kabupaten Tegal telah terjadi overfishing atau lebih tangkap sebesar 40,29 % dari produksi lestarinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa di kedua wilayah sudah mengalami tangkap lebih.

Dalam perspektif biologi, pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk memproduksi ikan semaksimal mungkin secara besar tanpa melihat aspek lain. Pendekatan yang hanya mementingkan MSY kurang tepat dalam kontek pengelolaan perikanan berkelanjutan karena beberapa alasan. Pertama, MSY hanya memperhatikan aspek biologi saja dimana ada keinginan untuk lebih meningkatkan produksi. Bila produksi aktual melebihi MSY maka stok ikan akan lebih cepat menurun, sementara itu produksi aktual sama dengan tingkat MSY merupakan kondisi yang relatif sulit dicapai karena merupakan suatu titik yang distable atau tidak stabil. Bila produksi aktual kurang dari tingkat MSY maka hal ini juga akan tergantung dari ukuran stok ikan. Kedua, produksi yang tinggi belum tentu menghasilkan pendapatan yang tinggi karena tergantung dari faktor harga ikan dan biaya input. Padahal pemanfaatan sumberdaya ikan bertujuan untuk dapat memberikan manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya dan berkelanjutan (Fauzi, 2004).

Pengelolaan perikanan sebaiknya tidak menciptakan situasi keseimbangan

open access karena sumberdaya perikanan akan terus menerus dieksploitasi

sehingga sumberdaya perikanan yang ada akan semakin menurun. Keseimbangan

tinggi atau masih ada keuntungan maka nelayan akan berlomba-lomba turun ke laut untuk menangkap ikan. Pada saat tidak ada keuntungan bahkan minus, umumnya nelayan akan sulit keluar karena selalu berharap mendapat keuntungan, sehingga membuat nelayan menjadi tetap miskin akibat investasi (capital) yang dimilikinya tidak dapat digunakan untuk kegiatan lain (Fauzi, 2005).

Dalam perspektif bioekonomi pemanfaatan sumberdaya ikan bertujuan untuk memaksimumkan manfaat ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Dengan kata lain, bagaimana manfaat ekonomi dari ekstraksi sumberdaya ikan tersebut dapat diperoleh secara berkelanjutan. Analisis bioekonomi merupakan pemecahan masalah biologi dari sudut pandang ekonomi, yaitu bagaimana memaksimalkan manfaat ekonomi dari pengelolaan sumberdaya perikanan dengan kendala aspek biologi. Manfaat ekonomi tersebut merupakan rente sumberdaya ikan, yaitu selisih antara nilai produksi dan biaya untuk memproduksinya, sehingga solusi bioekonomi yang dapat dilakukan adalah kondisi MEY pada tingkat produksi lestari dan effort optimal MEY. Produksi lestari MEY adalah tingkat produksi optimal yang tidak mengancam kelestarian sumberdaya perikanan atau dapat dikatakan pemanfaatan sumberdaya perikanan

dapat berkelanjutan secara biologi dan ekonomi. Tingkat effort MEY adalah

tingkat upaya penangkapan yang dianjurkan agar hasil (rente) yang diperoleh masih dapat memberikan manfaat maksimal secara ekonomi (Fauzi, 2004).

Dengan melihat hasil analisis status sumberdaya dengan metode yang berbeda dan memberikan hasil yang juga berbeda yakni gambaran kondisi sumberdaya yang optimis menurut Schaefer (1954) dan kondisi sumberdaya yang pesimistis menurut metode CYP (1992), maka dalam konteks keberlanjutan metode CYP (1992) akan dijadikan patokan kondisi sumberdaya dalam mendukung dimensi ekologi. Di samping alasan yang telah dikemukakan diatas, pemilihan metode ini juga didukung oleh kondisi nyata dilapangan yang mengindikasikan bahwa metode CYP (1992) ini adalah suatu pendekatan teoritis metode pendugaan status sumberdaya lebih mendekati kenyataan di lapangan yang didukung oleh data sekunder berupa penurunan produktivitas maupun rata- rata CPUE yang terus menerus, dan didukung juga oleh data primer hasil wawancara dan pengamatan.

Ditinjau dari status keberlanjutan perikanan tangkap dengan teknik Rapfish pada dimensi ekologi, dapat dilihat bahwa status perikanan tangkap di Kabupaten Serang berada dari selang 51-75 (cukup berkelanjutan), sedangkan status perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Tegal dari ketiga alat tangkap dalam kondisi kurang berkelanjutan dengan selang indeks keberlanjutan 26-50.

Alat tangkap jaring udang mempunyai indeks keberlanjutan paling tinggi dari dimensi ekologi, sedangkan indeks yang paling rendah adalah alat tangkap yang beroperasi di perairan Kabupaten Tegal. Secara umum pada dimensi ekologi Kabupaten Serang mempunyai indeks status yang cukup berkelanjutan, hal ini berbanding terbalik dengan Kabupaten Tegal yang mempunyai indeks status kurang keberlanjutannya.

Indeks keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi ekologi di kedua lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang jelas (Tabel 5.21). Indeks keberlanjutan di Kabupaten Serang untuk payang bugis sebesar 63,16 dan jaring udang sebesar 70,63. Walaupun nilai yang diperoleh untuk perikanan tangkap di Kabupaten Serang dengan menggunakan alat tangkap payang bugis dan jaring udang > 50, namun indeks keberlanjutan secara ekologis dalam status cukup berkelanjutan karena masih < 76. Indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Serang berbanding terbalik dengan indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Tegal. Pada ketiga jenis kegiatan perikanan tangkap dengan alat tangkap yaitu jaring rampus, bundes dan payang gemplo semuanya memperoleh nilai atau indeks keberlanjutan yang sama yaitu sebesar 28,53 yang masih berada dalam selang 26-50 namun lebih mendekati selang 0-25. Hal ini menyatakan sebenarnya status perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Tegal pada dimensi ekologi dengan alat tangkap jaring rampus, bundes dan payang gemplo dalam kondisi kurang berkelanjutan bahkan cenderung sudah mendekati status keberlanjutan yang buruk.

Nilai R2 yang diperoleh dalam analisis keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di kedua lokasi penelitian pada dimensi ekologi (Tabel 5.22) adalah sebesar 93,47 %. Nilai ini sudah termasuk tinggi yang berarti tingkat kepercayaan terhadap analisisi data yang ada dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,

namun alangkah baiknya bila dimensi ekologi ini ditambah jumlah atributnya pada penelitian sejenis.

Informasi lain yang diperoleh pada Tabel 5.22 adalah jumlah iterasi. Jumlah iterasi ini menyatakan pengulangan perhitungan sebanyak 3 kali pada metode Rapfish. Iterasi atau pengulangan perhitungan pada dimensi ekologi ini untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut maupun kesalahan prosedur yang berakibat pada jarak terhadap titik referensi. Jumlah iterasi ini dapat juga dikatakan untuk mengetahui tingkat kepercayaan dari indeks keberlanjutan perikanan tangkap yang telah diperoleh.

Menurut Fauzi dan Anna (2004), yang perlu diperhatikan dalam analisis Rapfish adalah aspek ketidakpastian. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah (1) dampak dari kesalahan dalam skoring akibat minimnya informasi, (2) dampak dari keragaman dalam skoring akibat perbedaan penilaian, (3) kesalahan dalam data entry, dan (4) tingginya nilai stress yang diperoleh dari algoritma ALSCALL.

Teknik analisis Monte Carlo merupakan metode simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak (random error) dilakukan terhadap seluruh dimensi. Kavanagh (2001) yang diacu dalam Fauzi dan Anna (2004) menyatakan ada tiga tipe untuk melakukan algoritma Monte Carlo. Dalam studi ini hanya dilakukan analisis Monte Carlo dengan metode “scatter plot” yang menunjukkan ordinasi dari setiap dimensi. Analisis dalam melihat tingkat kestabilan hasil ordinansi tersebut untuk melihat tingkat gangguan (perturbation) terhadap nilai ordinasi (Spence and Young, 1978), yang dalam penelitian ini dilakukan iterasi sebanyak 25 kali. Analisis kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada dimensi ekologi ini menggambarkan bahwa data yang dianalisis pada posisi yang stabil.

Secara keseluruhan, hasil Rapfish yang diperoleh menggambarkan kondisi secara umum berdasarkan penilaian atas atribut-atribut ekologi yang digunakan. Atribut-atribut ekologi yang digunakan tersebut perlu dianalisis atribut mana yang paling sensitif mempengaruhi tingkat keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil menurut dimensi ekologi. Oleh karena itu diperlukan analisis sensitivitas atau analisis leverage. Analisis leverage ini pada dasarnya untuk melihat bagaimana

pengaruhnya terhadap skor keberlanjutan ekologi apabila satu atribut dikeluarkan dari analisis sehingga bisa dilihat tingkat sensitivitas skor keberlanjutan ekologi

akibat dikeluarkannya satu atribut. Menurut Picther et al. (2002), analisis

sensitivitas atau analisis leverage dilakukan terhadap seluruh atribut masing-

masing dimensi. Perhitungan dilakukan dengan metode stepwise yaitu dengan

membuang setiap atribut secara berurutan satu persatu kemudian menghitung berapa nilai error atau root mean square (RMS) tersebut dibandingkan dengan RMS yang dihasilkan pada saat seluruh atribut dimasukkan. Dalam statistik metode ini dikenal dengan metode Jackknife (Kavanagh, 2001).

Analisis ini juga menunjukkan bahwa pada dimensi ekologi

memperlihatkan bahwa atribut discard and by cacth (persentasi ikan yang

dibuang) dan perubahan ukuran ikan yang tertangkap dalam 10 tahun terakhir merupakan atribut yang sangat sensitif dalam keberlanjutan perikanan skala kecil dikedua lokasi penelitian. Nilai root mean square change kedua atribut tersebut dua bahkan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya.

Kondisi sensitivitas yang demikian menggambarkan bahwa perlu ada respons atau kebijakan ekologi, khususnya untuk merespons isu penurunan ukuran ikan yang tertangkap dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Hal ini sangat mendasar mengingat penurunan ukuran ikan merupakan salah satu indikasi penting bahwa telah terjadi penurunan stok ikan (Fauzi, 2005). Apabila hal ini dibiarkan maka kerusakan sumberdaya tidak akan dapat dicegah karena bisa saja bahwa ikan-ikan yang tertangkap adalah ikan-ikan yang belum dewasa dan belum sempat memijah sehingga proses penambahan stok melalui pembiakan (recruitment) terhenti (Fauzi, 2005). Di sisi lain proses pertumbuhan (growth) yang merupakan bagian dari recruitment juga terhenti, sehingga pada akhirnya akan mengarah pada penurunan stok secara keseluruhan (biologcal overfishing) tidak dapat dihindari (Nikijuluw, 2005).

Dengan mencermati atribut yang paling mempengaruhi penentuan indeks dari dimensi ekologi yaitu discard and by catch dan perubahan ukuran ikan yang tertangkap seperti diuraikan di atas maka alternatif kebijakan juga harus mengakomodir status keberlanjutan dan faktor yang paling berpengaruh dalam keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di kedua lokasi penelitian. Kebijakan

yang terkait dengan atribut tersebut adalah peningkatan selektivitas alat tangkap yang digunakan dan ini harus mendapat perhatian dari pembuat kebijakan di kedua wilayah administrasi yang dikaji, terutama di Kabupaten Tegal dimana alat tangkap yang dioperasikan seperti bundes merupakan alat tangkap yang tidak selektif karena dapat menangkap ikan berbagai ukuran baik habitat dasar maupun permukaan. Di sisi lain beroperasinya jaring arad yang datang dari wilayah lain semakin memperburuk keadaan sumberdaya, karena sifat pengoperasian jaring arad yang menggaruk dasar perairan, juga tidak mempertimbangkan selektivitas ukuran dan jenis ikan yang hidup di habitat dasar perairan. Pertimbangan ekologi dalam perikanan tangkap merupakan keharusan mengingat sudah sangat banyak contoh kerusakan sumberdaya akibat pengabaian terhadap aspek ekologi misalnya praktek penangkapan dengan cara-cara yang merusak. Menurut Fauzi dan Buchary (2002) bahwa praktek perikanan yang unsustainable melalui destructive

fishing practice di Indonesia, menimbulkan kerugian negara mencapai US$

386.000/tahun atau sama dengan 4 kali lebih besar dari manfaatnya. Demikian juga yang terjadi terhadap 40.000 nelayan Atlantik Canada yang kehilangan pekerjaan karena penurunan drastis stok ikan cod di perairan barat daya Atlantik pada tahun 1990.

Kepentingan penggunaan alat tangkap yang selektif disamping bermanfaat bagi pengelolaan sumberdaya perikanan, juga bermanfaat secara ekonomi karena dengan menggunakan alat tangkap yang selektif diharapkan akan diperoleh ukuran ikan sesuai dengan kebutuhan pasar dan mengurangi risiko ikan tidak laku di pasar. Dengan demikian ikan yang berhasil ditangkap juga merupakan ikan yang bernilai lebih tinggi walaupun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan tidak dilakukan upaya peningkatan selektivitas alat tangkap yang banyak menghasilkan ikan dengan kualitas rendah.

5.5 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh tentang kondisi atribut dimensi ekologi dalam penelitian keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di kedua lokasi penelitian adalah :

(1) Rata-rata produksi ikan aktual di perairan pantai Tegal adalah 556,25 ton/tahun dengan rata-rata upaya aktual 15.119 trip/tahun, sedangkan rata- rata produksi aktual di perairan pantai Pasauran Serang adalah 375,16 ton/tahun dan rata-rata upaya aktual 3.163 trip/tahun.

(2) Potensi lestari sumberdaya perikanan di perairan Tegal dengan analisis

bioekonomi Gordon Schaefer dengan metode Clark, Yoshimoto & Polley (1992) adalah sebesar 396 ton per tahun, sehingga telah terjadi kelebihan rata- rata tangkapan terhadap MSY sebesar 40,29% dan kelebihan upaya sebesar 46%. Potensi lestari sumberdaya perikanan di perairan Pasauran, Kabupaten Serang sebesar 332,56 ton per tahun, sehingga telah mengalami kelebihan tangkap sebesar 12,81% terhadap MSY namun upayanya masih dibawah upaya optimal (3.651 trip) sebesar 13,36%.

(3) Untuk tujuan keberlanjutan kegiatan usaha perikanan tangkap skala kecil yang harus didukung oleh ketersediaan dan kelestarian sumberdaya ikan, maka hasil analisis bioekonomi Gordon Schaefer dengan metode Clark, Yoshimoto & Polley (1992) yang dijadikan basis analisis lanjutan untuk mendukung atribut tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan dalam dimensi ekologi. Metode ini dipilih dengan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian

(precautionary approach) dalam pengelolaan sumberdaya untuk tujuan

keberlanjutan, dan didukung oleh kondisi riil di lapangan dimana hasil analisis ini lebih mendekati kenyataan.

(4) Solusi bioekonomi Gordon Schaefer adalah pengelolaan MEY (sole owner)

sumberdaya perikanan di kedua wilayah penelitian. Analisis optimal dari tingkat produksi MEY di perairan Kabupaten Tegal sebesar 378,30 ton dengan tingkat upaya yang terkecil yaitu 8.163 trip, namun menghasilkan nilai rente ekonomi pemanfaatan yang terbesar yaitu Rp.1.407.835.829,00. Analisis optimal dari tingkat produksi MEY di perairan Pasauran, Kabupaten Serang sebesar 314,62 ton dengan tingkat upaya 2.803 trip dan memberikan nilai rente ekonomi pemanfaatan sebesar Rp.509.651.749,00.

(5) Alat tangkap jaring udang yang dioperasikan di perairan pantai Pasauran

mempunyai indeks keberlanjutan paling tinggi dibandingkan alat tangkap lainnya yang dioperasikan di kedua lokasi penelitian baik di Serang maupun