• Tidak ada hasil yang ditemukan

III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.4. Karakteristik Produk

Kualitas produk adalah evaluasi menyeluruh konsumen atas kebaikan kinerja barang atau jasa (Sunarto 2006). Konsumen akan memiliki harapan

21 mengenai bagaimana produk tersebut seharusnya berfungsi (performance expectation). Harapan tersebut adalah standar kualitas yang akan dibandingkan dengan fungsi atau kualitas produk yang sesungguhnya dirasakan konsumen. Dalam mengevaluasi kualitas suatu produk atau jasa, konsumen akan menilai berbagai atribut seperti yang terdapat dalam dimensi kualitas pelayanan dan dimensi kualitas produk. Daging ayam segar yang merupakan produk utama Prima Fresh Mart (PFM) jual merupakan produk yang banyak dijual di pasar tradisional dan pasar modern atau retail dengan mengandalkan sistem distribusi dan tidak menyertai jasa secara langsung. Hal ini membuat dimensi kualitas produk lebih berperan dibandingkan dimensi kualitas pelayanan. Dimensi kualitas barang Gasperz diacu dalam Umar (2005) terdiri atas:

1. Performance, yaitu aspek fungsional yang terdapat pada produk dan menjadi karakteristik utama pelanggan dalam membeli barang.

2. Features, berkaitan dengan aspek performansi yang mendukung fungsi dasar dari suatu produk dan berkaitan dengan pilihan produk dan pengembangannya.

3. Reliability, yaitu konsistensi kinerja produk. Hal ini berkaitan dengan probabilitas suatu barang berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan dalam periode waktu dan kondisi tertentu.

4. Conformance, yaitu tingkat kesesuaian terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarka keinginan pelanggan.

5. Durability, suatu refleksi umur ekonomis berupa ukuran daya tahan atau masa pakai barang.

6. Serviceability, berkaitan dengan kecepatan, kompetensi, kemudahan, dan akurasi dalam memberikan layanan untuk perbaikan barang.

7. Aesthetics, karakteristik yang bersifat subjektif tentang nilai-nilai estetika yang berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dari preferensi individual.

8. Perceived quality, merupakan citra dan reputasi barang serta tanggung jawab perusahaan terhadap barang tersebut.

Menurut Mowen dan Minor (1998), selain dimensi kualitas barang, dimensi kualitas jasa juga penting untuk diperhatikan. Kualitas jasa

22 menggambarkan sejauh mana jasa dapat memenuhi spesifikasi-spesifikasi berdasarkan perspektif konsumen. Dimensi kualitas jasa terdiri atas:

1. Bukti Fisik (Tangibles), dimensi ini mencakup penampilan fisik fasilitas, peralatan atau perlengkapan, serta penampilan pekerja.

2. Keandalan (Reliability), dimensi ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan secara akurat dan handal, dapat dipercaya dan bertanggung jawab atas apa yang dijanjikan, tidak pernah memberikan janji yang berlebihan, serta selalu memenuhi janjinya. Dimensi ini dapat juga diartikan sebagai kemampuan perusahaan untuk memberikan layanan yang akuran sejak pertama kali dilakukan kesepakatan terhadap jasa tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Dimensi ini secara umum menggambarkan konsistensi dan keandalan.

3. Daya Tanggap (Responsiveness), dimensi ini mencakup keinginan untuk membantu pelanggan, memberikan tanggapan, menginformasikan kapan jasa akan diberikan, serta pelayanan yang cepat dan tepat. Dimensi ini merefleksikan komitmen perusahaan untuk memberikan pelayanan yang tepat pada waktunya, dan berkaitan dengan keinginan serta kesiapan karyawan untuk melayani pelanggan.

4. Jaminan (Assurance), dimensi ini meliputi pengetahuan dan kesopanan pekerja serta kemampuannya untuk memberikan kepercayaan kepada pelanggan. Dimensi ini merefleksikan kompetensi perusahaan yang berkaitan dengan pengetahuan serta keterampilan dalam memberikan jasa, keramahan kepada pelanggan, dan keamanan operasinya.

5. Empati (Emphaty), pada dimensi ini perusahaan memahami masalah pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian para personal kepada para pelanggannya, serta memberikan perhatian para personal kepada para pelanggannya dan memiliki jam operasi yang nyaman. Dimensi ini menunjukkan derajat perhatian yang diberikan kepada setiap pelanggan. Dimensi ini juga merefleksikan kemampuan pekerja dalam menyelami perasaan sebagaimana jika pekerja tersebut mengalaminya.

23 3.1.5. Ritel

Ritel (retail) secara harfiah berarti eceran atau perdagangan eceran, sedangkan peritel (retailer) adalah pengecer atau pengusaha perdagangan eceran. Menurut kamus, kata retail diartikan sebagai selling of goods and services to publics, atau penjualan barang atau jasa kepada khalayak (Manser diacu dalam Sujana 2005). Kotler (2005) mendefinisikan usaha eceran (retailing) adalah kegiatan yang terlibat dalam penjualan jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis. Sedangkan pengecer (retailer) adalah lembaga pemasaran yang berhubungan langsung dengan konsumen akhir atau usaha bisnis yang volume penjualannya terutama berasal dari penjualan eceran. Organisasi apapun yang menjual produk kepada konsumen akhir baik itu produsen, grosir, atau pengecer dikatakan melakukan usaha eceran.

3.1.5.1. Sejarah Ritel di Indonesia

Dalam memperoleh produk atau jasa konsumen tidak langsung mendapatkan apa yang mereka butuhkan, antara produsen dan konsumen terdapat sekelompok perantara pemasaran. Fungsi pemasaran tersebut pada dasarnya adalah untuk menyalurkan produk-produk dari produsen ke dalam pasar. Salah satu bentuk perantara pemasaran yang berhubungan langsung dengan konsumen adalah pedagang eceran (retailer). Bisnis ritel ini sangat membantu produsen dalam memasarkan produk-produk yang berjumlah besar untuk memenuhi permintaan pasar. Ritel merupakan bagian dari saluran distribusi dari suatu sistem pemasaran.

Evolusi perkembangan format ritel di Indonesia berkembang dalam siklus 10 tahunan yang dapat dibagi atas beberapa tahap. Menurut Muharam (2001), evolusi format ritel di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Sebelum 1960-an. Era perkembangan ritel tradisional berupa retailer atau pedagang-pedagang independen.

2. Tahun 1960-an. Era perkenalan ritel modern dengan format Department Store (Mass Merchandiser) yaitu dibukanya gerai ritel pertama Sarinah di Jl. MH Thamrin.

24 3. Tahun 1970-1980-an. Era perkembangan ritel modern dengan format

Supermarket dan Department Store yaitu berkembangnya retailer modern

(Mass Merchandiser dan Grocery) seperti Matahari, Hero, Golden Truly, Pasar Raya, dan Ramayana.

4. Tahun 1990-an. Era perkembangan Convenience Store (C-Store), High Class Department Store, Branded Boutique (High Fashion), dan Cash and Carry. Perkembangan High Class Department Store dan High Fashion Outlet, yaitu masuknya SOGO, Metro, Seibu, Yaohan, Mark & Spencer, dan berbagai outlet high fashion lainnya. Perkembangan format Cash and Carry yaitu berdirinya Makro (Latte Mart), diikuti oleh retailer lokal dengan format serupa misalnya GORO, Indogrosir, dan Alfa.

5. Tahun 2000-2010. Era perkembangan Hypermarket, Factory Outlet,

Category Killer, dan perkenalan dengan e-retailing. Era Hypermarket

ditandai dengan berdirinya Continent Hypermarket dan paserba Carrefour di tahun 1998. Pada tahun 2002 dibuka Hypermarket Giant, dan beberapa gerai

hypermarket lainnya. Adanya kebutuhan barang bagus/bermerek dengan “harga miring” akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan mendorong perkembangan Category Killer dan Factory Outlet.

6. Tahun 2010-2020. Era perkembangan Hard Discounter Store dan Catalog Services diprediksi akan segera muncul. Persaingan harga yang semakin sengit akan mengarahkan retailer mencari alternatif format ritel yang lebih efisien. Sehingga pada masa ini akan menjamur format Hard Discounter

akan menggantikan format Hypermarket. Format ini menawarkan produk sejenis dengan harga 15-30 persen lebih murah dibandingkan format ritel lainnya. Selain itu untuk barang-barang tahan lama misalnya pakaian,

appliances, dan elektronik, akan berkembang melalui format catalog services. Format ini memungkinkan retailer untuk menjual dengan harga lebih murah karena tidak mengeluarkan biaya investasi dan operasional toko secara fisik.

7. Setelah tahun 2020. Era perkembangan e-retailing dan toko spesialisasi diprediksikan akan menggantikan Hard Discounter Store dan Catalog Services. Tingkat kepemilikan komputer dan akses internet akan semakin

25 merata di Indonesia, sehingga mendorong ke arah perkembangan e-retailing

yang sesungguhnya. Pemesanan dan pembayaran produk dilakukan melalui internet, bahkan pada masa tersebut kita dapat menggunakan handphone- PDA atau handheld terminal yang disediakan retailer untuk melakukan pembelian produk saat berkunjung ke supermarket.

3.1.5.2. Klasifikasi Ritel

Organisasi-organisasi ritel memiliki banyak ragam dan bentuk-bentuk baru terus bermunculan. Klasifikasi ritel menurut Kotler (2005) adalah:

A. Pengecer Toko (Store Retailing)

Saat ini konsumen dapat berbelanja barang dan jasa di berbagai jenis toko. Toko eceran dibagi menjadi delapan, yaitu:

1. Toko Khusus (Specialty Store). Menjual lini produk yang sempit dengan ragam yang lebih banyak dalam lini tersebut misalnya toko mainan, toko alat-alat olahraga, toko bunga, dan lain-lain.

2. Toko Serba Ada (Department Store). Menjual beberapa lini produk, khususnya makanan, pakaian, perlengkapan rumah, dan barang kebutuhan rumah tangga, dimana setiap lini produk dioperasikan sebagai suatu departemen yang terpisah dan dikelola oleh pembeli spesialis atau pedagang khusus.

3. Pasar Swalayan (Supermarket). Pasar swalayan adalah operasi yang relatif besar, memiliki biaya yang rendah, margin yang rendah, volume tinggi, bersifat swalayan yang dirancang untuk melayani kebutuhan total konsumen seperti makanan, pakaian, dan produk- produk perlengkapan rumah tangga.

4. Toko Kebutuhan Sehari-hari (Convinience Store). Toko yang sering disebut sebagai toko kelontong ini merupakan toko yang relatif kecil dan terletak di daerah pemukiman, menjual lini produk yang terbatas untuk kebutuhan sehari-hari dan mempunyai perputaran yang tinggi.

5. Toko Diskon (Discount Store). Menjual barang-barang standar dengan harga yang lebih rendah karena menerima margin yang lebih

26 rendah dan menjual dengan volume yang tinggi. Toko diskon sebenarnya secara teratur menjual barang dengan harga yang lebih rendah, menawarkan kebanyakan merek nasional dan bukan barang inferior.

6. Pengecer Potongan Harga (Off-price Retailer). Pengecer potongan harga membeli pada harga yang lebih rendah dari harga grosir dan menetapkan harga pada konsumen lebih rendah dari harga eceran. Ada tiga jenis utama pengecer potongan harga yaitu toko pabrik (factory outlet), pengecer potongan harga independen (independent off-price retailers), dan klub gudang atau grosir (warehouse/wholesale club). 7. Toko Super (Superstore). Toko super merupakan toko yang lebih

besar daripada pasar swalayan yang rata-rata memiliki ruang jual 3252 meter persegi dan bertujuan memenuhi semua kebutuhan konsumen untuk produk makanan yang dibeli rutin maupun bukan makanan. Biasanya menawarkan pelayanan seperti binatu, perbaikan sepatu, dan lain-lain. Variasi toko super adalah toko kombinasi (combination store) dan pasar hiper (hypermarket).

8. Ruang Pamer Katalog (Catalog Show Rooms). Ruang pamer katalog menerapkan prinsip-prinsip pemotongan harga dan katalog (produk bermerek, mudah dijual, dan memiliki margin yang tinggi) meliputi perhiasan, alat-alat listrik, kamera, peralatan olahraga, dan lain-lain.

B. Pengecer Eceran Bukan Toko

Sebagian besar barang dan jasa memang dijual melalui toko, akan tetapi penjualan eceran bukan toko telah berkembang lebih pesat dibandingkan penjualan eceran melalui toko. Penjualan tanpa toko terbagi menjadi empat kategori yaitu, penjualan langsung, pemasaran langsung, penjajaan otomatis, dan jasa pembelian. Beberapa pengamat meramalkan bahwa sepertiga dari penjualan eceran barang umum akan dilakukan melalui saluran bukan toko, seperti belanja lewat pos, belanja lewat TV, dan belanja melalui internet.

27 C. Organisasi Eceran

Toko eceran yang dimiliki secara independen, semakin banyak yang berada dalam bentuk penjualan eceran korporasi (corporate retailing). Organisasi- organisasi eceran mencapai skala ekonomis yang besar, seperti daya beli yang lebih besar, pengakuan merek yang lebih luas, dan pegawai yang lebih terlatih. Jenis-jenis utama penjualan eceran korporat adalah jaringan sukarela, koperasi pengecer, koperasi konsumen, organisasi waralaba, dan konglomerat perdagangan.

3.1.6. Kepuasan Konsumen

Di dalam suatu proses keputusan, konsumen tidak akan berhenti sampai proses konsumsi saja. Konsumen akan melakukan proses evaluasi terhadap konsumsi yang telah dilakukannya. Hasil dari proses evaluasi pasca konsumsi adalah konsumen puas atau tidak puas terhadap konsumsi produk atau merek yang telah dilakukan. Kepuasan dan ketidakpuasan konsumen merupakan dampak dari perbandingan antara harapan konsumen sebelum pembelian dengan yang sesungguhnya diperoleh oleh konsumen dari produk yang dibeli tersebut (Sumarwan 2004).

Menurut Irawan (2007), kepuasan atau satisfaction adalah kata dari bahasa latin yaitu sati yang berarti enough atau cukup dan facere yang berarti to do atau melakukan, jadi produk atau jasa yang bisa memuaskan adalah produk atau jasa yang sanggup memberikan sesuatu yang dicari oleh konsumen sampai pada tingkat cukup. Engel, et al. (1995) mendefinisikan kepuasan sebagai evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya memenuhi atau melebihi harapan. Kepuasan akan mendorong konsumen membeli dan mengkonsumsi ulang produk tersebut. Sebaliknya, perasaan yang tidak puas akan menyebabkan konsumen kecewa dan menghentikan pembelian kembali dan konsumsi produk tersebut. Kepuasan konsumen penting bagi perusahaan agar pelanggannya tetap setia pada produk yang diciptakan dantidak berpaling ke produk lain.

Teori yang menjelaskan bagaimana kepuasan atau ketidakpuasan konsumen terbentuk adalah The Expectancy Disconfirmation Model. Teori ini

28 mengemukakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan konsumen merupakan dampak dari perbandingan antara harapan konsumen sebelum pembelian dengan yang sesungguhnya diperoleh konsumen dari produk yang dibeli tersebut. Ketika konsumen membeli suatu produk, maka ia memiliki harapan tentang bagaimana produk tersebut berfungsi (product performance). Menurut Rangkuti (2006), teori

The Expectancy Disconfirmation Model dapat dirangkum pada bagan Gambar 1.

Kotler (2005) menyatakan ada empat perangkat yang digunakan untuk melacak dan mengukur kepuasan pelanggan yaitu sistem keluhan dan saran, survei kepuasan pelanggan, belanja siluman, dan analisis pelanggan yang hilang. a. Sistem Keluhan dan Saran

Perusahaan yang berpusat pada pelanggan mempermudah para pelanggannya untuk memberikan kritik dan saran. Cara yang digunakan masing- masing perusahaan berbeda seperti perusahaan memberikan layanan telepon bebas pulsa hot lines maupun menggunakan situs web dan e-mail untuk komunikasi dua arah yang cepat.

b. Survei Kepuasan Pelanggan

Perusahaan yang responsif akan mengukur kepuasan pelanggan secara langsung dengan melakukan survei secara berkala dengan cara bertanya secara langsung atau mengirim daftar pertanyaan ke pelanggan yang digunakan sebagai sampel. Selain mengumpulkan informasi mengenai kepuasan pelanggan, survei ini juga berguna untuk mengajukan pertanyaan tambahan mengenai keinginan pelanggan untuk membeli ulang. Survei kepuasan pelanggan juga berfungsi untuk

Sumber : Rangkuti, 2006 Tujuan Perusahaan

Tingkat Kepuasan Pelanggan

Kebutuhan dan Keinginan Pelanggan

Harapan Pelanggan terhadap Produk Produk

Nilai Produk bagi Pelanggan

29 mengukur kesediaan pelanggan untuk merekomendasikan produk atau merek perusahaan kepada orang lain.

c. Belanja Siluman

Perusahaan dapat membayar orang untuk berperan sebagai pembeli guna melaporkan titik kuat dan titik lemah yang sering dialami sewaktu membeli produk perusahaan dan pesaingnya. Para pembelanja siluman juga dapat menyampaikan masalah tertentu untuk menguji apakah staf penjualan perusahaan mengatasi situasi tersebut dengan baik.

d. Analisis Pelanggan yang Hilang

Perusahaan harus menghubungi para pelanggan yang berhenti membeli atau berganti pemasok untuk mempelajari alasan mereka pindah atau berhenti. Bukan saja penting untuk melakukan wawancara keluar ketika pelanggan sudah berhenti membeli, tetapi juga harus memperhatikan tingkat kehilangan pelanggan. Jika tingkat kehilangan pelanggan meningkat, menunjukkan bahwa perusahaan gagal memuaskan pelanggannya.

Menurut Rangkuti (2006), kepuasan pelanggan dapat diukur dengan cara berikut :

1. Traditional Approach

Berdasarkan pendekatan ini konsumen diminta memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk atau jasa yang mereka nikmati. Pada umumnya, pendekatan ini menggunakan skala Likert, yaitu dengan cara memberikan rating dari 1 (sangat tidak puas) sampai 5 (sangat puas sekali). Kemudian, konsumen diminta untuk memberikan penilaian atas produk atau jasa tersebut secara keseluruhan. Pengukuran kepuasan dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Skala Likert merupakan salah satu varian pendekatan semantic differential.

Skala Likert merupakan skala yang dapat menunjukkan tanggapan kosumen terhadap suatu produk.

2. Analisis deskriptif

Analisis kepuasan pelanggan seringkali hanya sampai mengetahui pelanggan tersebut puas atau tidak dengan menggunakan analisis statistik secara deskriptif, seperti penghitungan rata-rata, nilai distribusi serta standar deviasi. Analisis kepuasan pelanggan sebaiknya dilanjutkan dengan cara membandingkan

30 hasil kepuasan tahun lalu dengan hasil tahun ini sehingga kecenderungan perkembangannya dapat ditentukan. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan karakteristik dan informasi mengenai perilaku konsumen.

3. Pendekatan secara terstruktur

Pendekatan ini seringkali digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan. Salah satu teknik yang paling terkenal adalah semantic differential dengan menggunakan prosedur scalling. Caranya adalah responden diminta untuk memberikan penilaiannya terhadap suatu produk atau fasilitas. Penilaian ini juga dapat dilakukan dengan membandingkan suatu produk atau fasilitas lainnya dengan syarat variabel yang diukur sama. Salah satu bentuk pendekatan secara terstruktur adalah analisis Importance Performance Matrix. Matriks ini terdiri dari empat kuadran yaitu kuadran pertama terletak di sebelah kiri atas, kuadran kedua di sebelah kanan atas, kuadran ketiga di sebelah kiri bawah, dan kuadaran keempat di sebalah kanan bawah.

3.1.7. Loyalitas Konsumen

Menurut Griffin (2005), loyalitas konsumen adalah komitmen yang kuat dari konsumen sehingga bersedia melakukan pembelian ulang terhadap produk dan atau jasa yang disukai secara konsisten dalam jangka panjang. Imbalan dari loyalitas bersifat jangka panjang dan kumulatif. Semakin lama loyalitas seorang pelanggan, semakin besar laba yang dapat diperoleh perusahaan dari satu pelanggan ini. Jadi, loyalitas konsumen merupakan suatu sikap yang dapat membuat konsumen melakukan pembelian kembali secara konsisten terhadap produk perusahaan tertentu. Dalam konteks loyalitas konsumen, fokus perusahaan bukanlah menarik pelanggan baru tetapi memperoleh kesetiaan dari pelanggan yang sudah ada.

Loyalitas yang meningkat dapat menghemat biaya perusahaan sedikitnya di enam bidang yaitu biaya pemasaran menjadi berkurang, biaya transaksi menjadi lebih rendah, biaya perputara pelanggan jadi berkurang, keberhasilan cross-selling

31 itu, pemberitaan dari mulut ke mulut menjadi lebih positif dengan asumsi para pelangga yang loyal juga merasa puas, dan biaya kegagalan menjadi menurun.

Konsumen yang loyal merupakan asset tak ternilai bagi perusahaan. Karakteristik dari konsumen loyal menurut Griffin :

1. Melakukan pembelian secara teratur pada merek produk yang sama. 2. Membeli di luar lini produk dan atau jasa.

3. Mereferensikan produk atau jasa ke orang lain.

4. Menunjukkan kekebalan dari daya tarik produk sejenis dari pesaing.

Durianto et al. (2004) menyatakan bahwa loyalitas merupakan hasil akumulasi pengalaman penggunaan produk. Terdapat lima tingkatan loyalitas merek yaitu, swticher/price buyer, habitual buyer, satisfied buyer, liking the brand, dan commited buyer. Loyalitas merek dapat memberikan nilai kepada perusahaan berupa:

1. Mengurangi biaya pemasaran. Biaya pemasaran untuk mempertahankan konsumen lebih murah dibandingkan untuk mendapatkan konsumen baru. 2. Meningkatkan perdagangan. Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek

akan meningkatkan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran.

3. Menarik konsumen baru. Perasaan puas dan suka terhadap suatu merek akan menimbulkan perasaan yakin bagi calon konsumen untuk mengkonsumsi merek tersebut dan biasanya akan merekomendasikan/mempromosikan merek yang dia pakai kepada orang lain, sehingga kemungkinan dapat menarik konsumen baru.

4. Memberi waktu untuk merespon ancaman persaingan. Bila pesaing mengembangkan produk yang lebih unggul, konsumen yang loyal akan memberikan waktu bagi perusahaan untuk merespon pesaing dengan memperbarui produknya.

3.1.8. Dimensi Kualitas Pelayanan (SERVQUAL Dimension)

Pelayanan yang sangat baik akan menciptakan konsumen yang sebenarnya (true consumer), konsumen yang senang dan puas dengan perusahaan yang dipilihnya setelah mendapat pengalaman pelayanan, konsumen yang akan

32 berkunjung kembali dan menceritakan hal-hal yang baik mengenai perusahaan tersebut (Zeithaml et al. 1990). Namun menilai kualitas pelayanan atau jasa merupakan hal yang cukup sulit dibandingkan menilai kualiatas pelayanan dari produk barang. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan karakteristik yang jelas dari jasa yang bersifat tidak berwujud, berubah-ubah, tidak tahan lama, dan jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan. Faktanya kualitas aktual dari pelayanan dapat berubah-ubah dari baik hari ke hari, karyawan ke karyawan, maupun dari konsumen ke konsumen.

Zeithaml et al. (1990) melakukan suatu studi berupa penelitian untuk mengembangkan konsep yang komprehensif dalam memahami dan meningkatkan kualitas pelayanan atau jasa. Studi yang dilakukannya yaitu dengan mewawancarai 12 orang konsumen dengan setiap tiga konsumen mewakili sektor jasa yang berbeda. Melalui wawancara tersebut dapat diketahui bahwa banyak pandangan konsumen mengenai kualitas pelayanan. Mereka membicarakan banyak hal, mengenai harapan, prioritas, dan pengalaman mereka. Beberapa puas dengan pelayanannya, sedangkan lainnya puas dengan karyawan yang memberikan pelayanan. Para konsumen tersebut sepakat bahwa kunci yang memastikan baiknya kualitas pelayanan adalah selama pelayanan itu dapat memenuhi atau melebihi apa yang mereka harapkan dari produk jasa.

Skala kualitas pelayanan dibuat untuk mengukur perbedaan antara harapan konsumen dari jasa dan persepsi mereka dari pelayanan aktual yang diberikan, didasari oleh lima dimensi berikut ini: (1) tangibles, (2) reliability, (3)

responsiveness, (4) assurance, dan (5) emphaty. Dimensi-dimensi tersebut dibagi ke dalam dua kelompok yaitu, dimensi hasil (yang berfokus pada reliability dari pelayanan) dan dimensi proses (yang berfokus pada responsiveness, assurance, dan emphaty dalam melayani konsumen), dan aspek tangible dari pelayanan atau jasa. Penjelasan dari dimensi-dimensi tersebut adalah sebagai berikut (Zeithaml et al. 1990):

1. Tangibles, yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, karyawan, dan peralatan komunikasi.

2. Reliability, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan.

33 3. Responsiveness, yaitu kemauan karyawan dalam membantu pelanggan dan

memberikan pelayan yang cepat.

4. Assurance, yaitu pengetahuan dan kesopansantunan dari karyawan serta kemampuan mereka untuk memberikan kepercayaan atau keamanan.

5. Emphaty, yaitu kepedulian dan perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada konsumen.

Suatu pelayanan dapat diterima oleh konsumen dikarenakan adanya pengaruh internal dan eksternal konsumen serta atribut dari setiap dimensi kualitas pelayanan. Proses dan hubungan dimensi kualiatas pelayanan sampai diterimanya kualitas pelayan tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar 2.

3.1.8. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam

Dokumen terkait