• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Kriteria dan Atribut

Berdasarkan bobot kriteria yang dimiliki responden diketahui bahwa terdapat perbedaan penetapan urutan prioritas kriteria dalam menentukan besarnya nisbah bagi hasil baik pada responden mudharib maupun responden kru BMI. Pada mudharib, terdapat perbedaan urutan prioritas yang cukup signifikan antara mudharib dalam organisasi pemerintah dengan mudharib dalam organisasi swasta. Sedangkan pada responden kru BMI, tidak terdapat perbedaan urutan prioritas yang signifikan antara kru BMI di kantor Cabang Bogor dengan kru BMI di kantor pusat.

5.5.1. Mudharib BMI Cabang Bogor

1). Tingkat Marjin Bagi Hasil Perbankan Syariah (TBBS) Baik mudharib pada organisasi pemerintah maupun mudharib pada organisasi swasta memiliki preferensi yang kuat terhadap kriteria TBBS. Mudharib pada organisasi pemerintah menetapkan kriteria ini sebagai prioritas pertama dengan bobot sebesar 0,397 dan mudharib pada organisasi swasta menetapkannya pada prioritas kedua dengan bobot sebesar 0,22.

Faktor yang membedakan kedua preferensi tersebut diduga terletak pada cara pandang kedua mudharib terhadap sistem bagi hasil. Mudharib yang menetapkan kriteria TBBS sebagai prioritas pertama memandangnya dari sudut pandang agama. Sehingga menurutnya, sistem bagi hasil yang diperintahkan oleh

agamanya dapat mendatangkan keuntungan baginya. Sedangkan mudharib yang menetapkan kriteria TBBS sebagai prioritas kedua melihat dari sudut pandang rasio logika. Menurutnya, selama sistem bagi hasil menguntungkan, maka mudharib akan terus menggunakan sistem tersebut dalam usahanya.

Terdapat tiga variabel yang menjadi atribut dari kriteria TBBS. Atribut itu terdiri dari Marjin Bagi Hasil Bank Syariah Tertentu (BBST), Marjin Bagi Hasil Rata-Rata Beberapa Bank Syariah (BRBS), dan Marjin Bagi Hasil Rata-Rata Perbankan Syariah (BRPS) (Tabel 16).

Tabel 16. Bobot Atribut TBBS Berdasarkan Gabungan Pendapat Seluruh Mudharib

Kriteria Atribut Bobot

Marjin Bagi Hasil Rata-Rata

Perbankan Syariah (BRPS) 0,10 Marjin Bagi Hasil Rata-Rata

Beberapa Bank Syariah (BRBS)

0,35

Tingkat Marjin Bagi Hasil Perbankan Syariah (TBBS)

Marjin Bagi Hasil Bank

Syariah Tertentu (BBST) 0,55

Sebagian besar mudharib memiliki pertimbangan yang kuat terhadap atribut BBST dan BRBS. Alasannya, sebagian besar responden mudharib cukup familiar dengan salah satu ataupun beberapa bank syariah ternama yang menjadi pesaing BMI secara langsung, sehingga mereka dapat dengan mudah mendapatkan informasi mengenai besarnya marjin bagi hasil pembiayaan mudharabah. Konsekuensinya, mudharib selalu membandingkan besarnya marjin bagi hasil BMI dengan besarnya marjin bagi hasil bank-bank tersebut ketika akan melakukan transaksi pembiayaan.

Atribut BRPS menempati prioritas terakhir karena atribut tersebut mencerminkan kondisi sebagian responden mudharib yang kurang terbiasa dalam menganalisis atau mengikuti

perkembangan tingkat marjin keuntungan perbankan syariah nasional.

2). Tingkat Suku Bunga Perbankan Konvensional (TBBK)

Mudharib pada kedua jenis organisasi memiliki pertimbangan yang berbeda dalam hal menetapkan kriteria TBBK. Mudharib pada organisasi pemerintah menetapkannya sebagai prioritas terakhir dengan bobot sebesar 0,117. Sementara itu, mudharib pada organisasi swasta menetapkannya pada prioritas ketiga dengan bobot sebesar 0,21. Sebagaimana pada kriteria TBBS, perbedaan tersebut diduga timbul akibat perbedaan cara pandang mudharib terhadap sistem bunga.

Mudharib yang menetapkan kriteria TBBK pada prioritas ketiga menilai suku bunga lebih realistis dibandingkan mudharib yang menetapkannya sebagai prioritas terakhir. Realistis yang dimaksud adalah mudharib menerima keberadaan suku bunga sebagai suatu bagian dari elemen perbankan yang dapat dipertimbangkan guna mendapatkan imbalan yang menguntungkan. Sementara mudharib lainnya menilai suku bunga sebagai elemen yang seharusya tidak diperhitungkan agar terhindar dari hal-hal yang dilarang oleh agama.

Atribut yang dipertimbangkan sebagian besar responden mudharib dalam mempertimbangkan kriteria TBBK adalah Suku Bunga Rata-Rata Beberapa Bank Konvensional (SRBK), Suku Bunga Bank Konvensional Tertentu (SBKT), serta atribut Suku Bunga Rata-Rata Perbankan Konvensional (SRPK) (Tabel 17).

Responden mudharib lebih memprioritaskan atribut SRBK karena sebagian besar mudharib pernah menggunakan jasa beberapa bank konvensional tertentu dalam jangka waktu yang relatif lama sebelum menjadi nasabah BMI. Dengan demikian, mudharib diduga masih terbiasa untuk membandingkan imbalan dari BMI dengan imbalan dari beberapa beberapa bank konvensional tersebut.

Tabel 17. Bobot Atribut TBBK Berdasarkan Gabungan Pendapat

Seluruh Mudharib

Kriteria Atribut Bobot

Suku Bunga Rata-Rata Perbankan Konvensional (SRPK)

0.24

Suku Bunga Rata-Rata Beberapa Bank Konvensional

(SRBK) 0.46 Tingkat Suku Bunga

Perbankan Konvensional (TBBK)

Suku Bunga Bank

Konvensional Tertentu (SBKT) 0.30

Mudharib pun memiliki pertimbangan yang cukup kuat terhadap suku bunga pada bank konvensional tertentu (SBKT) yang dianggap memiliki program atau produk tertentu yang mendukung usaha koperasi dengan suku bunga yang cukup kompetitif. Hal itu disebabkan karena mudharib merupakan pengurus koperasi yang harus memperhatikan perkembangan usaha koperasi yang dikelolanya.

Adapun alasan atribut SRPK yang menjadi prioritas terakhir dalam mempertimbangkan kriteria TBBK adalah karena sebagian besar responden tidak terbiasa dalam memperhatikan fluktuasi suku bunga perbankan yang berlaku secara nasional. Mudharib diperkirakan lebih terbiasa dengan mencari informasi tentang besarnya suku bunga pada beberapa bank tertentu yang pernah menjadi krediturnya.

3). Perkiraan Marjin Keuntungan Usaha Mudharib (PMKU) Perbedaan pertimbangan pun terjadi dalam menetapkan kriteria PMKU. Mudharib pada organisasi pemerintah menetapkannya sebagai prioritas ketiga dengan bobot sebesar 0,182. Sedangkan mudharib pada organisasi swasta menetapkannya pada prioritas pertama dengan bobot sebesar 0,35. Perbedaan ini diduga berhubungan dengan perbedaan karakteristik yang dimiliki kedua jenis organisasi tersebut dalam hal pencapaian tujuan organisasi.

Telah diketahui sebelumnya bahwa tujuan utama organisasi pemerintah adalah meningkatkan hajat hidup orang banyak, sehingga keuntungan bukanlah prioritas utama mudharib dalam melakukan transaksi pembiayaan. Sementara itu, organisasi swasta memiliki tujuan organisasi yang cenderung kepada pencapaian keuntungan bagi organisasi itu sendiri. Konsekuensinya, pertimbangan mudharib pada kedua organisasi tersebut terhadap kriteria PMKU akan sesuai dengan karakter dari setiap organisasi tersebut.

Mudharib mempertimbangkan elemen-elemen pembentuk marjin keuntungan (profit margin) suatu usaha dalam mempertimbangkan kriteria PMKU. Elemen-elemen yang menjadi atribut dari kriteria PMKU tersebut terdiri dari Taksiran Volume Penjualan (TVP), Taksiran Fluktuasi Harga Barang (TFH), Taksiran Laba Bersih (TLB), dan Taksiran Harga Pokok Penjualan (THPP) (Tabel 18).

Tabel 18. Bobot Atribut PMKU Berdasarkan Gabungan Pendapat Seluruh Mudharib

Kriteria Atribut Bobot

Taksiran Volume Penjualan

Usaha Mudharib (TVP) 0,40 Taksiran Fluktuasi Harga

Barang (TFH) 0,20 Taksiran Laba Bersih Usaha

Mudharib (TLB ) 0,17 Perkiraan Marjn

Keuntungan Usaha Nasbah (PMKU)

Taksiran Harga Pokok

Penjualan (THPP) 0,23

Berdasarkan sudut pandang pengurus koperasi konsumsi, volume penjualan berkaitan dengan sejumlah produk tertentu yang berhasil dijual kepada anggota atau ke pasar. Berdasarkan sudut pandang koperasi simpan pinjam, volume penjualan merupakan sejumlah dana yang dipinjamkan kepada anggota, baik untuk kegiatan produktif ataupun konsumtif. Volume penjualan juga berkaitan erat dengan besarnya pendapatan yang

akan diperoleh suatu usaha. Semakin tinggi volume penjualan, dengan pricing yang cukup bersaing, akan semakin banyak pula nominal pendapatan yang masuk ke dalam kas usaha tersebut. Oleh karena itu, atribut ini menjadi prioritas utama dalam mempertimbangkan kriteria PMKU.

Kontrak mudharabah yang dilakukan mudharib dengan BMI menggunakan sistem revenue sharing, yaitu pembagian keuntungan berdasarkan perhitungan pendapatan yang dihasilkan mudharib. Oleh karena itu, laba bersih yang dihasilkan koperasi atau yang disebut dengan Sisa Hasil Usaha (SHU) tidak menjadi pertimbangan utama mudharib dalam menetapkan nisbah bagi hasil. Atribut ini hanya dipertimbangkan untuk mengukur kemampuan internal koperasi dalam menjalankan usahanya. Semakin besar SHU yang diterima koperasi, maka semakin besar kemampuan koperasi untuk dapat mengembangkan usahanya. 4). Jangka Waktu Pembiayaan (JWP)

Mudharib di kedua organisasi memiliki pertimbangan yang berbeda dalam menetapkan kriteria JWP. Bagi mudharib di organisasi pemerintah, kriteria ini merupakan kriteria kedua dengan bobot sebesar 0,183. Sementara bagi mudharib di organisasi swasta, kriteria ini ditetapkan sebagai prioritas keempat dengan bobot sebesar 0,13. Perbedaan tersebut diduga sebagai akibat dari perbedaan jenis koperasi yang dikelola mudharib.

Sebagian besar mudharib pada organisasi pemerintah menjalankan kegiatan Koperasi Konsumsi dengan volume usaha yang lebih besar daripada kegiatan Koperasi Simpan Pinjam. Sementara itu, mudharib di organisasi swasta memiliki volume usaha pada kegiatan Koperasi Simpan Pinjam yang lebih besar daripada kegiatan Koperasi Konsumsi. Koperasi Konsumsi pada organisasi pemerintah memiliki banyak unit usaha dengan risiko bisnis yang besar. Sehingga, semakin besar risiko usaha maka

semakin lama periode cash to cash usaha tersebut. Akibatnya, mudharib akan lebih memperhatikan jangka waktu pembiayaan yang disepakati dalam menetapkan besarnya nisbah bagi hasil.

Sementara itu, Koperasi Simpan Pinjam pada organisasi swasta yang kegiatannya memberikan pinjaman dana kepada para anggota memiliki risiko usaha yang rendah. Alasannya, mudharib tidak perlu khawatir atas dana koperasi yang tidak kembali. Jika anggota lalai dalam mengembalikan pinjaman, maka pengurus akan memperolehnya dengan cara mendebet gaji anggota setiap bulan sebesar kewajiban anggota tersebut terhadap koperasi. Dengan demikian, siklus cash to cash usaha koperasi dapat dikontrol. Oleh karena itu, mudharib tidak terlalu mempertimbangkan jangka waktu pembiayaan yang disepakati bersama.

Terdapat tiga atribut yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan kriteria JWP, yaitu: Taksiran Lama Proses Barang (TLPB), Taksiran Lama Persediaan Barang (TLSB), Taksiran Lama Piutang Dagang (TLP), dan Taksiran Delayed Factor (TDF) (Tabel 19).

Tabel 19. Bobot Atribut JWP Berdasarkan Gabungan Pendapat

Seluruh Mudharib

Kriteria Atribut Bobot

Taksiran Lama Proses Barang

(TLPB) 0,16 Taksiran Lama Persediaan

Barang (TLSB) 0,28 Taksiran Lama Piutang

Dagang (TLP) 0,49 Jangka Waktu Pembiayaan

(JWP)

Taksiran Delayed Factor

(TDF) 0,06

Taksiran Lama Piutang (TLP) merupakan pertimbangan utama mudharib untuk mempertimbangkan kriteria JWP. Piutang dagang menentukan besarnya pendapatan yang seharusnya diterima mudharib pada waktu tertentu. Semakin lama piutang dagang yang dimiliki mudharib, maka semakin besar risiko

piutang tersebut untuk tidak kembali. Jika hal itu terjadi, maka mudharib memiliki kesulitan dalam mengembalikan dana kepada bank. Oleh karena itu, atribut ini membutuhkan pertimbangan yang cukup tinggi bagi mudharib.

Delayed Factor adalah toleransi waktu yang diberikan bank untuk menghindari keterlambatan pengembalian setoran setiap bulan atau dana keseluruhan pada akhir periode pembiayaan. Atribut ini menjadi prioritas terakhir dalam mempertimbangkan JWP karena sebagian besar mudharib memiliki kemampuan untuk mengendalikan pengembalian dana kepada bank pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Sehingga, sebagian besar mudharib tidak terlalu khawatir terhadap keterlambatan setoran dan pengembalian dana tersebut.

5). Bagi Hasil yang Diharapkan Investor/Deposan (BHI)

Mudharib pada kedua jenis organisasi memiliki pertimbangan yang sangat lemah terhadap kriteria BHI. Mudharib pada organisasi pemerintah menetapkan kriteria tersebut pada prioritas keempat dengan bobot sebesar 0,12 sementara mudharib pada organisasi swasta menempatkan kriteria ini pada prioritas kelima dengan bobot sebesar 0,08. Keadaan ini mencerminkan kesamaan sikap yang dimiliki mudharib dalam memandang hubungan antara mudharib, bank, dan investor.

Mudharib memisahkan antara hubungannya sebagai pihak yang membutuhkan dana kepada bank dengan hubungan investor sebagai pihak pemberi dana kepada bank. Dengan begitu, mudharib hanya akan memperhatikan besarnya imbalan yang akan diperolehnya tanpa harus memperhatikan besarnya imbalan yang akan diperoleh investor.

Terdapat tiga variabel yang dapat dijadikan atribut dalam mempertimbangkan kriteria BHI, yaitu: Porsi atau Nisbah Bagi Hasil untuk Invetor (PBHI), Biaya Langsung Untuk Memperoleh

DPK (BLD), dan Biaya Tidak Langsung Untuk Memperoleh DPK (BTLD) (Tabel 20).

Tabel 20. Bobot Atribut BHI Berdasarkan Gabungan Pendapat Seluruh Mudharib

Kriteria Atribut Bobot

Persentase/Porsi/Nisbah Bagi Hasil untuk Investor/Penabung

(PBHI) 0,56 Biaya Langsung Untuk

Memperoleh DPK (BLD) 0,31 Bagi Hasil yang

Diharapkan

Investor/Penabung (BHI)

Biaya Tidak Langsung Untuk

Memperoleh DPK (BTLD) 0,13

Mudharib memprioritaskan porsi atau nisbah bagi hasil yang akan diterima investor karena nisbah bagi hasil tersebut mencerminkan porsi atau bagian keuntungan yang akan diperoleh investor secara riil dari hasil menanamkan modalnya di bank. Dengan mengetahui besarnya nisbah bagi hasil untuk investor, maka mudharib dapat memperkirakan nisbah bagi hasil yang akan diperolehnya ketika malakukan transaksi pembiayaan.

Atribut terakhir dari seluruh pertimbangan mudharib dalam menetapkan nisbah bagi hasil adalah biaya tidak langsung untuk mendapatkan DPK. Atribut ini menjadi prioritas terakhir karena mudharib merasa tidak perlu mempertimbangkan biaya-biaya yang dikeluarkan bank untuk menarik minat investor terhadap produk-produk yang ditawarkan bank. Bank memiliki kebijakan tersendiri dalam mengatur seluruh biaya-biaya tersebut. Oleh karena itu, atribut ini merupakan atribut yang paling lemah untuk dijadikan pertimbangan dalam menetapkan nisbah bagi hasil. 5.5.2. Kru BMI Cabang Bogor

1). Tingkat Marjin Bagi Hasil Perbankan Syariah (TBBS)

Berdasarkan data urutan prioritas kriteria penetapan nisbah bagi hasil seluruh kru BMI, diketahui bahwa seluruh kru BMI memiliki preferensi yang sama dalam hal mempertimbangkan

kriteria TBBS. Seluruh kru menempatkan kriteria TBBS pada prioritas keempat dalam menetapkan nisbah bagi hasil.

Besarnya tingkat marjin bagi hasil BMI ditetapkan oleh Tim ALCO yang berada di kantor pusat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Kantor cabang hanya mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh kantor pusat. Akan tetapi, penetapan tingkat marjin bagi hasil BMI dapat dipertimbangkan kembali oleh kantor cabang sesuai dengan kondisi pasar dengan tujuan agar tidak tersaingi oleh besarnya tingkat marjin bagi hasil dari para pesaing langsung, yaitu Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) lainnya.

BMI mempertimbangkan atribut Tingkat Marjin Bagi Hasil Rata-Rata Perbankan Syariah (BRPS), Tingkat Marjin Bagi Hasil Bank Syariah Tertentu (BRST), dan Tingkat Marjin Bagi Hasil Rata-Rata Beberapa Bank Syariah (BRBS) dalam mempertimbangkan TBBS (Tabel 21).

Tabel 21. Bobot Atribut TBBS Berdasarkan Gabungan Pendapat Seluruh Kru BMI

Kriteria Atribut Bobot

Marjin Bagi Hasil Rata-Rata

Perbankan Syariah (BRPS) 0,47 Marjin Bagi Hasil Rata-Rata

Beberapa Bank Syariah (BRBS)

0,23

Tingkat Marjin Bagi Hasil Perbankan Syariah (TBBS)

Marjin Bagi Hasil Bank

Syariah Tertentu (BBST) 0,30

BMI dapat mengetahui trend yang menggambarkan kondisi pasar perbankan syariah saat itu dengan terlebih dahulu menganalisis tingkat marjin bagi hasil rata-rata perbankan syariah (BRPS). Dengan mengetahui trend tingkat marjin bagi hasil secara keseluruhan, bank dapat memetakan pangsa pasarnya di antara pesaing langsung terdekatnya dan pesaing-pesaing lainnya. Oleh karena itu, atribut BRPS lebih

diprioritaskan oleh bank dalam mempertimbangkan kriteria TBBS.

Keadaan BMI yang memprioritaskan marjin bagi hasil rata-rata perbankan syariah menyebabkan pertimbangan terhadap tingkat marjin bagi hasil beberapa bank syariah dan bank syariah tertentu berada pada prioritas terakhir dalam mempertimbangkan kriteria TBBS. Hal itu diduga karena sebagian besar lembaga keuangan syariah lainnya yang menjadi pesaing langsung BMI memiliki aset yang relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan aset BMI. Sehingga, sebagai bank umum syariah dengan aset terbesar kedua, BMI tidak terlalu khawatir atas marjin bagi hasil yang ditetapkan bank-bank tersebut.

2). Tingkat Suku Bunga Perbankan Konvensional (TBBK) Berdasarkan data urutan prioritas kriteria penetapan nisbah bagi hasil seluruh kru BMI, diketahui bahwa kriteria TBBK menempati prioritas terakhir dalam menetapkan besarnya nisbah bagi hasil. Dengan kata lain, seluruh kru BMI memiliki preferensi yang sama dalam hal mempertimbangkan kriteria TBBK.

Besarnya tingkat suku bunga dipertimbangkan hanya semata-mata sebagai pembanding terhadap besarnya marjin bagi hasil agar dapat menghasilkan nisbah bagi hasil yang kompetitif untuk mudharib. Karena pada prinsipnya, tingkat suku bunga kredit tidak ada kaitannya dengan penentuan besarnya nisbah bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah. Sehingga, selama nisbah bagi hasil sudah disepakati bersama, maka tidak ada kekhawatiran bagi kru terhadap tidak rasionalnya besarnya nisbah tersebut

Berdasarkan kondisi di atas, maka bank syariah harus mempertimbangkan pula Suku Bunga Rata-Rata Perbankan Konvensional (SRPK), Suku Bunga Rata-Rata Beberapa Bank Konvensional (SRBK), dan Suku Bunga Bank Konvensional Tertentu (SBKT) (Tabel 22).

Tabel 22. Bobot Atribut TBBK Berdasarkan Gabungan Pendapat

Seluruh Kru BMI

Kriteria Atribut Bobot

Suku Bunga Rata-Rata Perbankan Konvensional

(SRPK) 0,58 Suku Bunga Rata-Rata

Beberapa Bank Konvensional (SRBK)

0,24 Tingkat Suku Bunga

Perbankan Konvensional (TBBK)

Suku Bunga Bank Konvensional Tertentu (SBKT)

0,18

Sebagian besar kru lebih memprioritaskan pertimbangan terhadap tingkat suku bunga rata-rata perbankan konvensional (SRPK). Menurutnya, karena tingkat suku bunga ditetapkan secara sentralisasi oleh Bank Indonesia (BI), maka suku bunga yang berlaku pada saat itu berlaku pula pada bank-bank konvensional lainnya. Dengan demikian, pertimbangan terhadap atribut selain SRPK menjadi lemah. Oleh karena itu, atribut SRBK dan SBKT menjadi prioritas terakhir dalam mempertimbangkan kriteria TBBK.

3). Perkiraan Marjin Keuntungan Usaha Mudharib (PMKU) Seluruh responden kru BMI dalam penelitian ini menetapkan kriteria PMKU pada prioritas pertama. Keadaan ini mencerminkan perhatian pihak bank yang sangat tinggi terhadap proyeksi usaha mudharib terutama terhadap marjin keuntungan usaha mudharib. Hal ini disebabkan karena semakin besar marjin keuntungan usaha mudharib, maka akan semakin besar pula besarnya bagi hasil yang akan diterima oleh bank. Dengan demikian, target pendapatan bank akan dengan mudah tercapai.

Sebagaimana telah diketahui sebelumnya bahwa terdapat komponen-komponen penyusun marjin keuntungan yang menjadi atribut dalam mempertimbangkan kriteria PMKU, seperti: Taksiran Volume Penjualan (TVP), Taksiran Fluktuasi Harga

Barang (TFH), Taksiran Laba Bersih (TLB), dan Taksiran Harga Pokok Penjualan (THPP) (Tabel 23).

Tabel 23. Bobot Atribut PMKU Berdasarkan Gabungan Pendapat Seluruh Kru BMI

Kriteria Atribut Bobot

Taksiran Volume Penjualan

Usaha Mudharib (TVP) 0,31 Taksiran Fluktuasi Harga

Barang (TFH) 0,19 Taksiran Laba Bersih Usaha

Mudharib (TLB ) 0,34 Perkiraan Marjn

Keuntungan Usaha Nasbah (PMKU)

Taksiran Harga Pokok

Penjualan (THPP) 0,16

Taksiran Laba Bersih (TLB) sangat diprioritaskan dalam hal ini karena laba bersih mencerminkan profitabilitas dari suatu usaha. Semakin profitable suatu usaha, maka semakin besar bagi hasil yang akan diperoleh bank. Oleh karena itu, laba bersih merupakan pertimbangan utama bagi bank dalam melihat kondisi usaha mudharib. Akan tetapi, sistem yang berbasiskan pendapatan (revenue sharing) tetap digunakan BMI dalam memperhitungkan bagi hasil yang akan diperoleh bank dan mudharib. Dengan kata lain, atribut ini digunakan hanya semata-mata untuk mengidentifikasi prospek usaha mudharib yang akan dibiayai.

Kuantitas volume penjualan mencerminkan respon pasar atas produk atau jasa yang dihasilkan mudharib. Semakin banyak volume produk yang “dilempar“ ke pasar dengan harga bersaing, maka semakin tinggi respon pasar akan produk tersebut. Jika demikian, maka keberlangsungan produk akan terjaga dan marjin keuntungan usaha pun akan semakin bertambah. Artinya, volume penjualan juga merupakan atribut yang tidak kalah pentingya dari atribut TLB dalam mempertimbangkan kriteria PMKU.

Taksiran Harga Pokok Penjualan (HPP) merupakan pertimbangan yang paling lemah bagi pihak bank dalam

mempertimbangkan kriteria PMKU. Menetapkan HPP seefisien mungkin merupakan pekerjaan utama mudharib sebagai pengusaha dan wakil dari bank agar dapat menghasilkan laba yang optimal. Oleh karena itu, bank menyerahkan kebijakan penetapan HPP kepada mudharib. Namun demikian, proyeksi terhadap HPP tetap dilakukan oleh pihak bank guna mengidentifikasi risiko-risiko yang timbul akibat tidak efisiennya biaya.

4). Jangka Waktu Pembiayaan (JWP)

Sama seperti pada penetapan prioritas kriteria BHI, terdapat variasi preferensi kru BMI dalam menentukan prioritas kriteria JWP. Kru FSG dan Kru Treasury yang berada di kantor pusat menetapkan kriteria JWP pada prioritas kedua, sedangkan Kru Marketing dan Kru Legal & Support Pembiayaan yang ada di kantor cabang menetapkan kriteria tersebut pada prioritas ketiga.

Bagi kru yang menetapkan kriteria JWP pada prioritas kedua, kriteria ini dianggap sebagai representasi dari salah satu kepentingan internal bank dalam melakukan kegiatan intermediasi. Bank sebagai pihak yang memegang amanah dari pihak ketiga (investor/deposan) memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengelola dana yang diamanahkan kepadanya. Lancarnya kolektibilitas pengembalian dana dari masyarakat yang salah satunya dicirikan oleh tepatnya penentuan jangka waktu pembiayaan menyebabkan lancarnya kegiatan operasional bank yang berkaitan dengan investor (funding) dan mudharib (financing). Oleh karena itu, kriteria JWP menjadi prioritas utama kedua bagi kru tersebut dalam menetapkan nisbah bagi hasil.

Bagi kru yang menetapkan kriteria ini pada prioritas ketiga, ketersediaan dana dari investor (BHI) lebih penting daripada kecepatan atau ketepatan waktu pengembalian dana dari mudharib (JWP). Bagi mereka, lancarnya kegiatan intermediasi

bank tidak selalu mengandalkan lancarnya kolektibilitas pengembalian dana dari mudharib. Bank dapat dengan lancar melakukan kegiatan intermediasi selama rasio pembiayaan terhadap ketersediaan dana/Financing to Deposit Ratio (FDR) sesuai dengan kebijakan bank.

Jangka waktu pembiayaan mudharabah ditetapkan dengan mempertimbangakan siklus cash to cash usaha mudharib. Siklus cash to cash diketahui dengan cara memperhitungkan taksiran lama proses produksi barang (TLPB), taksiran lama persediaan bahan mentah untuk diproduksi ataupun persediaan barang jadi untuk dijual (TLSB), dan taksiran lama piutang dagang (TLP). Untuk kebutuhan berjaga-jaga, maka bank biasanya menetapkan tambahan waktu dalam siklus cash to cash guna menghindari keterlambatan pengembalian pembiayaan (Delayed Factor) (TDF) (Tabel 24).

Tabel 24. Bobot Atribut JWP Berdasarkan Gabungan Pendapat

Seluruh Kru BMI

Kriteria Atribut Bobot

Taksiran Lama Proses

Barang (TLPB) 0,40 Taksiran Lama Persediaan

Barang (TLSB) 0,28 Taksiran Lama Piutang

Dagang (TLP) 0,22 Jangka Waktu Pembiayaan

(JWP)

Taksiran Delayed Factor

(TDF) 0,10

Lama proses barang, bagi pengurus koperasi, dapat diartikan sebagai jangka waktu yang dibutuhkan untuk menyediakan barang dari supplier. Semakin cepat supplier menyediakan barang yang dibutuhkan koperasi, maka semakin tinggi stok barang yang tersedia. Dengan begitu, kebutuhan anggota koperasi akan semakin mudah terpenuhi. Akibatnya, cash flow usaha koperasi akan semakin membaik dan pengurus koperasi

Dokumen terkait