• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Pembuatan karbon nanoporous melalui teknik aktivasi dari biomasa berlignoselulosa dapat dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah karbonisasi untuk menghasilkan arang (karbon) sebagai prekursor, pada tahap kedua, yaitu aktivasi. Karbonisasi pirolisis (KP) merupakan proses konvensional untuk mendapatkan arang pada suhu antara 350-500oC (Chuenklang et al. 2002). Alternatif proses karbonisasi lain yang saat ini sedang menjadi fokus perhatian adalah karbonisasi hidrotermal (KH) dengan produk berupa arang-hidro. Proses KH berlangsung pada suhu rendah (Libra et al. 2011) sehingga akan mengurangi konsumsi energi dibandingkan dengan KP (Yoshimura dan Byrappa 2008). Karbonisasi hidrotermal merupakan konversi biomasa melalui proses termokimia menggunakan media air. Dekomposisi biomasa pada KH berlangsung pada energi aktivasi rendah dibandingkan KP dan melepaskan polutan gas dalam jumlah kecil. Karbonisasi berlangsung diatas suhu ruang dalam reaktor tertutup dengan tekanan (autogenous pressure) lebih dari 1 atmosfer (Byrappa dan Yoshimura 2001, Titirici et al. 2008a).

Karbonisasi pada suhu rendah (KP dan KH) menghasilkan karbon bersifat amorf dengan kandungan materi mudah menguap dan oksigen tinggi serta struktur lebih porous. Umumnya bahan baku yang digunakan pada proses KH berasal dari limbah biomasa, kayu dan polisakarida seperti gula, pati, hemiselulosa, selulosa serta beberapa produk turunan polisakarida seperti glukosa dan furfural. Terbentuknya morfologi permukaan yang kasar dan struktur berpori terjadi karena sebagian hemiselulosa terpisah dari selulosa dan lignin (Hu et al. 2008, Schneider et al. 2011). Pada saat proses aktivasi sifat-sifat tersebut berperan menciptakan material karbon dengan porositas tinggi (Demiral et al. 2008).

Pembentukan arang-hidro dari polisakarida (holoselulosa) terjadi melalui proses dehidrasi dan hidrolisis. Selulosa terhidrolisis menghasilkan selobiosa (n=1) hingga seloheksosa (n=3) dan glukosa. Produk hidrolisis ini kemudian terdehidrasi dan fragmentasi menjadi anhidroglukosa, furans (hidroksimetil furfural, furfural, metilfurfural), benzenitrol dan aldehida. Selanjutnya terjadi polimerisasi melalui mekanisme kondensasi dan dehidrasi membentuk intermolekuler menuju pada aromatisasi (Sevilla dan Fuertes 2009b, Falco et al. 2013). Pada karbonisasi pirolisis, mekanisme yang terjadi didominasi oleh dehidrasi, karbonilasi dan dekarboksilasi (Yang et al. 2006, Lv et al. 2010). Perbedaan mekanisme diantara kedua proses karbonisasi ini tentunya akan menghasilkan produk karbon dan karbon aktif dengan sifat tertentu pula.

Karbonisasi pada suhu rendah dilakukan untuk mendapatkan titik awal terjadinya dekomposisi biomasa lignoselulosa dan awal pembentukan kerangka dan struktur aromatik karbon sehingga dapat mengurangi penggunaan aktivator pada proses aktivasi. Prekursor dengan derajat kristalinitas atau tingkat keteraturan struktur karbon tinggi, membutuhkan aktivator dalam jumlah besar untuk menciptakan porositas pada karbon (Raymundo-Pinero et al. 2005). Semakin banyak aktivator (kalium hidroksida), akan berdampak terhadap biaya

dan membutuhkan pelarut asam seperti hidrogen klorida dalam jumlah banyak untuk memurnikan karbon dari pengotor berupa mineral dan produk turunan KOH yaitu K2CO3 dan K2O.

Untuk mendapatkan prekursor “lunak” maka pada penelitian ini dilakukan karbonisasi pirolisis dan hidrotermal pada suhu 200oC dan 300oC. Sifat-sifat arang dan arang-hidro dari masing-masing bahan baku dan suhu karbonisasi akan dipelajari sehingga diperoleh proses karbonisasi terbaik yang berpeluang dijadikan prekursor untuk pembuatan karbon nanoporous.

Bahan dan Metode Karbonisasi Pirolisis (KP)

Karbonisasi pirolisis dilakukan dalam reaktor terbuat dari bahan stainless steel dengan pemanas listrik. Reaktor bagian dalam memiliki panjang 60 cm dan diameter 7 cm yang diletakkan secara horizontal (Gambar 3.1). Bahan baku yang akan dikarbonisasi ditimbang beratnya dan dimasukkan ke dalam reaktor. Selanjutnya reaktor dipanaskan sampai suhu tuju (target suhu) 200oC dan 300oC. Pada suhu tuju, pemanasan dipertahankan selama 6 jam dan setelah itu pemanasan dihentikan. Arang dari produk KP dikeluarkan setelah reaktor mendekati suhu ruang. Arang yang diperoleh ditetapkan rendemen, kandungan materi mudah menguap, abu dan karbon terikat (analisis proksimat) dan dikarakterisasi untuk mengetahui nano struktur, morfologi permukaan, gugus fungsi dan konduktivitas menggunakan difraksi sinar-X (XRD), pemindai mikroskop elektron (SEM), infra merah (FTIR), dan LCR meter. Contoh tersebut disimpan dalam wadah plastik tertutup sebelum digunakan pada proses aktivasi porositas.

Karbonisasi Hidrotermal (KH)

Proses karbonisasi hidrotermal dilakukan dalam digester berukuran tinggi 60 cm dan diameter 21.5 cm yang dilengkapi dengan pemanas listrik (Gambar 3.2). Bahan baku sebanyak 15% dari volume air dimasukkan ke dalam wadah berisi air sebanyak 1/3 dari volume digester kemudian diaduk hingga merata. Pada kondisi suhu ruang, contoh uji dimasukkan ke dalam digester lalu ditutup rapat dan pemanas dihidupkan. Untuk meminimalkan kandungan udara dalam

Pemanas listrik Reaktor Termometer Kondensor Gas Penampung destilat Contoh Kran

digester, keran penutup pada digester dibuka dan saat uap air keluar, keran segera ditutup. Suhu KH yang dituju adalah 200oC dan 300oC. Pada saat suhu tuju tercapai pemanasan dipertahankan selama 6 jam dan setelah itu pemanas listrik dimatikan. Contoh dikeluarkan dari dalam digester setelah suhu digester turun mendekati suhu ruang.

Arang-hidro dari proses KH kemudian dicuci menggunakan air diatas saringan 100 mesh hingga mencapai pH netral kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2oC sampai beratnya konstan. Arang-hidro yang diperoleh ditetapkan rendemen, kandungan materi mudah menguap, abu dan karbon terikat (analisis proksimat) dan dikarakterisasi untuk mengetahui nano struktur. morfologi permukaan, gugus fungsi dan konduktivitas menggunakan XRD, SEM, FTIR dan LCR meter. Contoh tersebut disimpan dalam wadah plastik tertutup sebelum digunakan pada proses aktivasi porositas.

Karakterisasi

Produk karbonisasi pirolisis terdiri dari residu (arang), bahan terkondensasi (kondensat) dan gas. Rendemen berupa arang dihitung berdasarkan berat kering oven menggunakan persamaan:

Berat arang

Rendemen (%) = x 100% Berat biomasa

Perhitungan persentase kondensat ditetapkan dengan cara menimbang produk tersebut dibagi dengan biomasanya menggunakan persamaan:

Berat kondensat

Kondensat (%) = x 100% Berat biomasa

dan untuk menentuan fase gas digunakan persamaan: Fase gas (%) = 100% - Rendemen - kondensat

Gambar 3.2 Perangkat karbonisasi hidrotermal

Katup pengaman Pengukur tekanan Pemanas Contoh uji Kontrol panel Keran pembuang

Analisis proksimat berupa penetapan materi mudah menguap, kadar abu dan karbon terikat serta daya jerap iodin arang dan arang-hidro dilakukan menggunakan Standar Nasional Indonesia 01-3730 (BSN 1995).

Struktur arang dianalisis menggunakan perangkat x-ray difractometer (XRD) Shimadzu 7000 dengan sumber radiasi tembaga (Cu) menggunakan contoh uji berupa serbuk lolos saringan 100 mesh. Kondisi XRD yang digunakan diantaranya: energi 40 kV, arus 30 mA, kecepatan pemindai 2°/menit, pencatatan data setiap 0.02° dan sudut pemindaian antara 10-80o. Parameter yang tetapkan adalah derajat kristalinitas (X), jarak antar lapisan aromatik karbon (d002), tinggi lapisan aromatik (Lc), lebar lapisan aromatik (La), dan jumlah lapisan graphene (N) berdasarkan persamaan Bragg dan Scherrer‟s (Iguchi 1997, Kercher dan Nagle 2003) sebagai berikut:

X (%) = bagian kristalin/(bagian kristalin+bagian amorf) x 100% d002 = λ / 2 sin θ

Lc(002) (nm) = K λ / cos θ La(100) (nm) = K λ / cos θ N(bh) = Lc / d

di mana:

λ = 0.15406 nm (panjang gelombang radiasi Cu)

 = Lebar maksimum pada intensitas setengah tinggi (FWHM) K = Konstanta untuk Lc = 0.89 dan La = 1.9

θ = Sudut difraksi dalam radian (/180)

Indeks kematangan karbon dan tingkat aromatisasi ditetapkan dengan bantuan perangkat lunak XRD-6000/7000 versi 5.21. Tingkat aromatisasi ditentukan berdasarkan perbandingan ikatan karbon alifatik dan cincin aromatik karbon dari luas areal pada sudut 2, masing-masing pada sudut 20o(A) dan 26o(A002) (Sonibare et al. 2010, Manoj dan Kunjomana 2012) dengan persamaan:

Tingkat aromatisasi (fa) = Car/(Car+Cal) = A002/(A002+A)

Indeks kematangan karbon ditentukan berdasarkan intensitas puncak pada sudut 2 di 20o (I20) dan 26o (I26) dengan persamaan :

Indeks kematangan karbon = I26/I20

Instrumen scanning electron microscope (SEM) EVO 50 Carl Zeiss digunakan untuk melihat morfologi permukaan arang dan arang-hidro.

Analisis FTIR dilakukan dengan cara mencampur contoh uji sebanyak 4 mg dengan KBr seberat 200 mg, kemudian dibuat pelet berukuran diameter 1.3 cm dan tebal 0.5 dengan tekanan kempa 6 ton. Serapan ukur menggunakan spektrum infra merah FTIR Tensor Bruker. Data yang diambil dalam bentuk transmisi pada bilangan gelombang 400-4000cm-1 dengan resolusi sebesar 16cm-1 dan pemindai 5 scan.

Nilai konduktivitas dihitung melalui pendekatan dari penetapan nilai resistensi atau tahanan. Pengukuran nilai resistensi menggunakan perangkat induktasi, kapasitansi dan resistensi (LCR) meter portable Krisbow. Contoh uji serbuk sebanyak 0.3g dimasukan ke dalam wadah tabung plastik (PVC) dengan elektroda kuningan yang dihubungkan pada kabel LCR meter. Berdasarkan resistensi yang diukur maka dapat diperoleh nilai konduktivitas elektrik menggunakan persamaan dibawah ini (Khiar dan Arof 2010):

= l / R A

Keterangan:

 = Konduktivitas (Sm-1) l = Ketebalan contoh (cm) A = Luas permukaan tabung (cm2) R = Resistensi (ohm)

Hasil dan Pembahasan Karbonisasi Pirolisis (KP)

a. Produk karbonisasi pirolisis

Produk karbonisasi terdiri dari residu (padatan), kondensat dan gas (Gambar 3.3). Reaksi utama yang berlangsung pada proses KP biomasa pada suhu 200oC adalah dehidrasi (Poletto et al. 2012), sehingga terjadi dekomposisi sebagian hemiselulosa menjadi bahan terkondensasi dan produk gas (Lv et al. 2010) serta hilangnya esensial oil (Gomez-Serrano et al. 1996). Penurunan rendemen sangat tajam terjadi pada suhu karbonisasi 300oC dan fase terkondensasi meningkat karena proses dekomposisi biomasa berlangsung semakin intensif (Pettersen 1984, Pari 2011). Sebagian besar hemiselulosa telah terdekomposisi pada suhu 260oC (Lv et al. 2010). Struktur amorf hemiseluosa memudahkan senyawa ini terdekomposisi (John dan Thomas 2008). Penurunan rendemen juga berasal dari selulosa dan lignin yang mulai terdekomposisi. Kenaikan suhu karbonisasi menyebabkan lignin melunak dan bergerak kepermukaan. Fenomena ini terlihat jelas pada T. kemiri (Gambar 3.6). Fungsi lignin sebagai pelindung holoselulosa berkurang sehingga selulosa dan hemiselulosa lebih mudah terdekomposisi menghasilkan produk terkondensasi dalam jumlah besar dibandingkan hasil karbonisasi suhu rendah.

Rendemen arang kayu mangium lebih baik dari pinus. Rendemen ini memiliki korelasi yang positif dengan kadar karbon terikat dan unsur karbon dari biomasanya sebagaimana telah dikemukakan pada BAB 2 (Tabel 2.2 dan Tabel 2.3). Pada suhu 200oC rendemen yang dihasilkan lebih dari 76%. Penelitian lain pada suhu yang sama menghasilkan rendemen sebesar 74.2% (Gomez-Serrano et al. 1996) sedangkan untuk serat kelapa dan daun ekaliptus sebesar 69.2% dan 72.2% (Liu dan Balasubramanian 2014).

b. Analisis proksimat arang

Kandungan lignin yang besar pada T. kemiri menghasilkan kadar karbon terikat tertinggi (Tabel 3.1). Lignin merupakan komponen kimia dari lignoselulosa yang lebih sulit terdekomposisi oleh panas dibandingkan selulosa dan hemiselulosa (Aydincak et al. 2012, Kang et al. 2012) karena lignin disusun oleh unit senyawa phenolik (Kang et al. 2012). Unsur karbon dalam stuktur aromatik memiliki ikatan kuat. Dekomposisi lignin berlangsung pada rentang suhu lebar yaitu mulai dari 200oC hingga 900oC (Yang et al. 2006). Hal tersebut berdampak terhadap rendahnya kandungan materi mudah menguap. Sementara itu komponen kimia biomasa kayu didominasi oleh holoselulosa dengan kandungan gugus fungsi lebih besar dibandingkan senyawa lignin

Arang pinus dan mangium pada suhu karbonisasi 200oC dan 300oC memiliki kecenderungan berbeda. Pada suhu 200oC, karbon terikat arang pinus lebih rendah dari arang mangium dan sebaliknya untuk arang suhu 300oC. Hal ini terjadi karena perbedaan struktur kristalin dari kedua biomasa. Struktur kristal kayu pinus bersifat lebih rentan terhadap dekomposisi panas. Struktur kristal selulosa kayu pinus pada suhu karbonisasi pirolisis 200oC telah luruh sementara

itu pada arang mangium masih bertahan (Gambar 3.5). Ini mengindikasikan bahwa kayu pinus lebih mudah terdekomposisi dan melepaskan materi mudah menguap lebih banyak termasuk karbon dalam bentuk gas CO2. Pada suhu 300oC

Arang 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Pinus 200°C Pinus 300°C Mangium 200°C Mangium 300°C T. kemiri 200°C T. kemiri 300°C Gas Kondensat Arang Jenis arang

Gambar 3.3 Produk karbonisasi pirolisis biomasa

P roduk ka rboni sa si pi rol is is

Tabel 3.1 Kandungan karbon terikat, materi mudah menguap dan kadar abu pada produk karbonisasi pirolisis

Arang

Kadar (%) Karbon terikat Materi mudah

menguap Abu Pinus 200oC 23.42 75.92 0.66 Pinus 300oC 65.19 34.05 0.76 Mangium 200oC 24.07 75.43 0.50 Mangium 300oC 64.61 34.67 0.72 T. kemiri 200oC 37.84 58.58 3.59 T. kemiri 300oC 66.41 30.32 3.27

arang pinus mulai melakukan penataan unsur karbon. Penataan dapat diketahui melalui peningkatan indeks kematangan karbon dan tingkat aromatisasi (Tabel 3.3), sementara itu selulosa kayu mangium mulai luruh dengan melepaskan lebih banyak materi mudah menguap dimana penataan unsur karbon berjalan lebih lambat.

Bahan mineral dalam bentuk kadar abu pada arang T. kemiri cukup tinggi. Kandungan bahan in-organik ini akan menghambat pembentukan porositas pada saat proses aktivasi berlangsung. Mineral dapat menutup pori-pori arang dan karbon aktif.

c. Analisis FTIR arang

Potensi kandungan materi mudah menguap pada arang hasil karbonisasi suhu rendah masih cukup besar. Hal ini terlihat dari hasil analisis FTIR utamanya untuk arang suhu 200oC (Gambar 3.4). Intensitas gugus fungsi O-H terikat (hidroksil) dibilangan gelombang 3700-3000cm-1 dan –OH bebas serta C-OH (karboksil) disekitar 1000-1400cm-1 (Gomez-Serrano et al. 1996) terlihat cukup tinggi. Arang suhu 200oC juga masih mengandung struktur alifatik dicirikan dari regangan C-H dibilangan gelombang 3000–2815cm-1 (Gao et al. 2011, Aydincak et al. 2012). Pada arang suhu 300oC gugus C-H mulai berkurang dan membentuk kerangka aromatik karbon. Secara umum pola spektrum FTIR arang suhu 200oC ini relatif sama dengan bahan bakunya (Gambar 2.7).

Dehidrasi terjadi dengan naiknya suhu karbonisasi yang dicirikan oleh berkurangnya intensitas gugus fungsi O-H terikat dan –OH bebas serta C-OH (Gomez-Serrano et al. 1996). Penelaahan Gomez et al (1996), menyatakan bahwa pirolisis selulosa dikelompokkan dalam beberapa tahapan yaitu: a) pada suhu hingga 150oC terjadi pelepasan air bebas; b) antara suhu 150-230oC terjadi pemutusan air terikat melalui kondensasi gugus hidroksil; dan c) pemutusan rantai atau depolimerisasi dan pemutusan ikatan C-O dan C-C (C-O-C) di dalam cincin piranosa pada suhu 230-400oC.

Gambar 3.4 Spektrum FTIR arang dari proses karbonisasi pirolisis Pinus 200oC Pinus 300oC Mangium 300oC Mangium 200oC T. kemiri 200oC T. kemiri 300oC T ra ns m is i (a .u.) Bilangan gelombang (cm-1)

Intensitas gugus C-O-C yang menghubungkan antar unit piranosa disekitar bilangan gelombang 1161cm-1 - 1232cm-1 dan C-O-C dalam cincin aromatik unit piranosa di bilangan gelombang 1070-1025cm-1 mengalami penurunan dengan kenaikan suhu pirolisis dari 200oC ke 300oC. Pada tahap ini terjadi proses dekarbonilasi dan dekarboksilasi melepaskan gas CO dan CO2. Proses dehidrasi

dan pelepasan oksigen berdampak terhadap penurunan intensitas gugus OH dan C=O (Sevilla dan Fuertes 2009a).

Hasil ini tentunya menjelaskan bahwa setiap biomasa memiliki kemampuan yang berbeda terhadap panas karena pada kayu dan arang suhu 200oC mangium baik spektrum infra merah maupun difraksi sinar-X belum banyak merubah struktur selulosa mangium. Mangium lebih tahan terhadap pirolisis karena derajat kristalinitas kayu mengium tinggi dan didominasi oleh kristal selulosa I.

Kandungan lignin dicirikan oleh gugus fungsi pada bilangan gelombang 2900cm-1 (metoksil grup), 1513-1597cm-1 (aromatik lignin), dan disekitar 1700 cm-1 C=O (mengikat antar lignin). Spektrum tersebut masih tampak pada arang suhu 200oC dan 300oC, artinya struktur lignin belum banyak mengalami perubahan untuk pinus dan mangium. Perubahan besar struktur lignin terjadi pada suhu karbonisasi 300oC untuk T. kemiri.

d. Analisis XRD dan konduktivitas arang

Difraktogram arang T. kemiri memperlihatkan puncak pada sudut disekitar 23o, 29o, 37o dan 39o yang merupakan penciri kalsium karbonat (Tampieri et al. 2009). Kandungan CaCO3 ini merupakan ciri khas dari T. kemiri yang juga

terdapat pada biomasanya.

Berdasarkan analisis kurva difraktogram (Gambar 3.5), terdapat dua kecenderungan pola difraksi arang. Kelompok pertama adalah pola difraksi dimana struktur kristalin selulosa pada arang sudah tidak nampak lagi dan kelompok yang kedua masih memperlihatkan pola difraksi selulosa. Kelompok pertama terdiri dari arang kayu pinus suhu 200°C dan 300oC; arang kayu mangium suhu 300oC dan arang T. kemiri suhu 300oC. Kelompok kedua terdiri dari arang T. kemiri dan arang kayu mangium suhu 200oC.

2 (o)

Gambar 3.5 Difraktogram sinar-X arang 2 theta Sudut difraksi 2 (o) Pinus 200oC Pinus 300oC Mangium 300oC Mangium 200oC T. kemiri 200oC T. kemiri 300oC In te n si ta s (a .u ) 10 20 30 40 50 60 70 80 80

Analisis XRD tersebut menandakan bahwa kayu mangium dan T. kemiri lebih tahan terhadap panas. Penetapan parameter turunan hasil analisis XRD dari arang yang termasuk kedalam kelompok ke dua sulit ditetapkan karena terdapatnya puncak selulosa. Hal ini sejalan dengan hasil karakterisasi bahan baku pada Bab II sebelumnya, dimana kayu mangium memiliki kandungan selulosa terbesar dengan derajat kristalinitas lebih tinggi dibandingkan kayu pinus dan T. kemiri. Sifat tersebut menyebabkan kayu mangium (selulosa) memiliki kemampuan lebih baik dalam mempertahankan strukturnya terhadap proses karbonisasi (Dinjus et al. 2011). Faktor penyebab lainnya adalah dari komposisi struktur kristal selulosa (Wada et al. 2001, Dinjus et al. 2011). Kayu mangium didominasi oleh selulosa Idiikuti berturut-turut oleh T. kemiri dan pinus. Kristal monoklinik lebih satbil terhadap peruhaban oleh panas (Wada et al. 2001), sehingga pada karbonisasi suhu 200oC struktur selulosa belum sepenuhnya terdekomposisi.

Tempurung kemiri memiliki sifat berbeda dengan kayu pinus dan mangium karena kandungan lignin T. kemiri sangat tinggi dan memiliki struktur selulosa dengan dominasi selulosa I. Senyawa lignin didalam biomasa berlignoselulosa

berfungsi sebagai penguat jaringan dan keberadaannya mengelilingi selulosa. Sifat ini menyebabkan dekomposisi selulosa tempurung kemiri berjalan lambat. Saat karbonisasi berlangsung, lignin mampu melindungi selulosa dari pengaruh panas (Dinjus et al. 2011). Pada suhu lebih tinggi, lignin mulai melunak dan bergerak ke bagian permukaan partikel (Gambar 3.6) sehingga dekomposisi selulosa lebih mudah terjadi. Keberadaan puncak selulosa ini mulai hilang pada suhu karbonisasi 300oC sehingga parameter lain dari arang T. kemiri dapat dilakukan.

Karbonisasi pada suhu rendah (200oC dan 300oC) dan jenis bahan baku yang berbeda menyebabkan perbedaan terbentuknya titik sudut 2 dikisaran 10°– 30°. Puncak pada sudut tersebut mengindikasikan bahwa pembentukan lapisan aromatik pada bidang vertikal atau Lc (Yoon et al. 2004) mulai terjadi walaupun dengan jarak antar lapisan graphen (d-spacing) yang masih tinggi dan derajat kristalinitas rendah (Tabel 3.2 dan Tabel 3.3). Kurva difraktogram yang melebar menunjukkan bahwa arang bersifat amorf. Karbonisasi pada suhu rendah ini belum membentuk lapisan graphen pada bidang mendatar (La) yang diindikasikan tidak adanya puncak pada sudut disekitar 43-44o.

Tabel 3.2 Nano struktur arang dari proses karbonisasi pirolisis

Arang 2 (002) d-spacing (nm) 2 (001) Lc (nm) N (bh) La (nm) Pinus 200oC 20.51 0.4326 - 1.2603 2.91 - Pinus 300oC 21.51 0.4127 - 1.2586 3.05 - Mangium 200oC - - - - Mangium 300oC 21.22 0.4183 - 1.2806 3.06 - T. kemiri 200oC - - - - T. kemiri 300oC 23.33 0.3809 - 1.3177 3.46 - Penataan unsur karbon terjadi dengan meningkatnya suhu karbonisasi pirolisis pada kayu pinus, sejalan dengan lepasnya materi mudah menguap. Jarak

(d-spacing) dan tinggi antar lapisan karbon (Lc) semakin menyempit, derajat kristalinitas, jumlah lapisan aromatik, indeks kematangan karbon (I26/I20) dan tingkat aromatisasi (fa) meningkat. Indeks kematangan karbon rendah menunjukkan bahwa produk karbonisasi masih didominasi oleh alifatik karbon.

Arang pinus, magium dan T. kemiri suhu 300oC memiliki struktur kristalin berbeda. Pembentukan aromatisasi dan indeks kematangan karbon T. kemiri lebih lambat dibandingkan dengan pinus dan mangium karena didominasi oleh lignin. Namun demikian kandungan unit phenil propana pada lignin menyebabkan penataan pada jarak antar lapisan karbon lebih rapat. Ketika karbonisasi pada suhu 300oC berlangsung, unit phenil propana akan mempertahankan struktur aromatik karbon. Derajat kristalinitas yang tinggi pada arang T. kemiri juga dipengaruhi oleh kandungan mineral kalsium karbonat.

Tabel 3.3 Derajat kristalinitas, indeks kematangan karbon, tingkat aromatisasi dan konduktivitas arang Arang Derajat kristalinitas (%) Indeks kematangan karbon Aromatisasi (%) Konduktivitas (Sm-1)* Pinus 200oC 18.28 0.20 0.16 nd Pinus 300oC 19.42 0.78 0.42 nd Mangium 200oC 32.92 - - nd Mangium 300oC 21.69 0.60 0.35 nd T. kemiri 200oC 21.70 - - nd T. kemiri 300oC 24.21 0.60 0.26 nd

Keterangan: nd (no detected) = Nilai hambatan/resistensi (R) untuk menghitung konduktivitas tidak terbaca oleh alat karena nilai R > 100 Mega ohm.

S/m = Siemen per meter

Arang kayu pinus dan mangium pada suhu karbonisasi yang sama menghasilkan tingkat aromatisasi karbon lebih besar dari pada T. kemiri. Hal ini terjadi karena: pertama, selama proses karbonisasi pirolisis, hemiselulosa dan selulosa lebih mudah terdekomposisi dan dengan aktif menata unsur karbon. Selulosa dan hemiselulosa lebih rentan terhadap pemanasan dibandingkan lignin untuk membentuk radikal karbon dan dengan cepat menata dirinya menjadi aromatik karbon. Kedua, pada T. Kemiri terdapat mineral kalsium karbonat. Kandungan mineral ini akan menghambat proses penataan karbon.

Konduktivitas arang sangat kecil yang menunjukkan bahwa material karbon (arang) bersifat isolator dengan nilai resistensi sangat tinggi, lebih besar dari 100 Mega ohm (Tabel 3.3). Jenis gugus fungsi pada arang masih beragam dengan kandungan karbon terikat, tingkat aromatisasi dan indeks kematangan karbon rendah. Pada kondisi ini elektron bebas yang berperan sebagai penghantar listrik masih sangat terbatas.

e. Analisis SEM arang

Morfologi permukaan arang pinus tampak lebih porous dibandingkan dengan arang mangium dan T. kemiri (Gambar 3.6). Hal ini dipengaruhi oleh sifat dari struktur biomasanya. Berdasarkan morfologi tersebut maka arang pinus berpeluang lebih besar menghasilkan karbon aktif dengan porositas tinggi. Sifat

porous pada arang akan membantu penyebaran aktivator ke dalam struktur arang. Ketika proses aktivasi berlangsung, porositas atau rongga-rongga pada arang berfungsi sebagai saluran untuk melepaskan materi teruapkan.

Morfologi permukaan arang pinus dan mangium semakin porous dengan naiknya suhu karbonisasi (Gambar 3.6). Pembentukan karbon meningkat sejalan dengan pelepasan materi mudah menguap sehigga diperoleh kemurnian arang lebih baik. Perubahan besar tampak pada arang mangium. Karbonisasi kayu mangium pada suhu 200oC masih mempertahankan struktur biomasanya yaitu dilihat dari difraktogram sinar-X dan kandungan gugus fungsi. Karbonisasi pada suhu 300oC telah merubah struktur kayu, menciptakan rongga-rongga atau membuka celah terutama pada bagian kayu yang tipis. Pada arang pinus perubahan tersebut telah terjadi pada suhu karbonisasi 200oC sehingga pada arang suhu 300oC perubahannya relatif lebih sedikit.

Gambar 3.6 Morfologi permukaan arang kayu pinus, mangium dan T. kemiri pada suhu 200oC dan 300oC

Arang pinus 200oC Arang pinus 300o

C

Arang mangium 200oC Arang mangium 300oC

Kecenderungan lain dari morfologi permukaan terjadi pada arang T. kemiri. Pada karbonisasi suhu 300oC, permukaan arang tampak tertutup atau seperti dilapisi oleh suatu bahan. Pembentukan porositas sebenarnya sudah mulai terjadi pada suhu karbonisasi 200oC. Fenomena ini disebabkan oleh pengaruh kandungan lignin yang tinggi pada T. kemiri. Pemanasan pada suhu 300oC menyebabkan lignin melunak (meleleh) yang kemudian tersebar pada permukaan arang.

Berdasarkan hasil analisis morfologi permukaan maka arang pinus suhu 200oC merupakan prekursor yang baik untuk pembuatan karbon nanoporous.

Karbonisasi Hidrotermal (KH)

a. Produk karbonisasi hidrotemal

Produk dari proses karbonisasi hidrotermal (KH) terdiri menjadi tiga jenis yaitu residu kasar tertahan pada saringan 100 mesh, residu halus lolos saringan 100 mesh dan produk terlarut dalam media air. Residu halus diperoleh dengan cara mengendapkan padatan halus dalam media air. Produk terlarut dihitung dari selisih antara jumlah bahan baku dengan residu kasar dan halus. Analisis pada arang-hidro dilakukan terhadap residu kasar.

Rendemen (residu kasar) terendah pada suhu KH 200oC dihasilkan dari kayu mangium yaitu sebesar 61.84% (Gambar 3.7) dan tertinggi dari T. kemiri diikuti kayu pinus masing-masing sebesar 89.40% dan 71.78%. Peneliti lain mendapatkan rendemen sebesar 69.2% dan 72.2% (Liu dan Balasubramanian 2014). Kayu mangium menghasilkan rendemen terendah dipengaruhi oleh kandungan hemiselulosa yang tinggi dibandingkan dengan pinus (Tabel 2.1). Hemiselulosa merupakan komponen lignoselulosa paling mudah terdekomposisi (John dan Thomas 2008) diikuti selulosa. Pada T. kemiri walaupun memiliki hemiselulosa besar tetapi kandungan ligninnya juga paling tinggi sehingga sulit terdekomposisi. Hal ini yang menyebabkan rendemen arang-hidro T. kemiri paling besar. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Pinus 200°C Pinus 300°C Mangium 200°C Mangium 300°C T. Kemiri 200°C T. Kemiri 300°C Karbonisasi Hidrotermal Terlarut

Dokumen terkait