• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Karbon aktif memiliki sifat yang khas sehingga material ini banyak digunakan dalam beragam aplikasi seperti untuk pemurnian limbah air (Ruparelia et al. 2008), baterai (Xiang et al. 2013), pendukung katalis (Pérez-Cadenas et al. 2011), dan sensor (Kim dan Choi 2002). Karbon aktif dengan struktur mikropori, luas permukaan besar dan volume pori tinggi dapat dibuat dari batu bara dan bahan berlignoselulosa (Adebowale dan Adebowale 2008). Batu bara merupakan bahan baku yang bersumber dari fosil sedangkan lignoselulosa sebagian besar bersumber dari tumbuhan yang bersifat terbarukan, dapat diperbaharui dan ramah lingkungan (Hu et al. 2008). Biomasa kayu adalah sumber lignoselulosa potensial untuk pembuatan karbon aktif.

Teknik aktivasi fisik menggunakan uap air (steam) merupakan proses aktivasi paling sederhana namun luas permukaan karbon aktif yang dihasilkan sangat terbatas, umumnya kurang dari 1,300 m2/g (Tennant dan Mazyck 2003, Tsyntsarski et al. 2012, Xin et al. 2013). Melalui pemanasan, molekul air akan terdekomposisi menjadi hidrogen dan hidroksida. Oksigen pada gugus OH akan bereaksi dengan karbon pada prekursor. Reaksi uap air terhadap material karbon sangat terbatas yaitu berlangsung pada bagian tepi yang memiliki ikatan lemah atau pada bagian permukaan karbon yang masih terdapat valensi bebas (Long dan Sykes 1948). Ketika aktivasi berlangsung, reaksi antara oksigen dan karbon akan melepaskan gas CO2 (Manocha et al. 2010). Kinerja uap air mengakibatkan

porositas yang terbentuk sangat terbatas dan sangat sulit mendapatkan karbon aktif dengan struktur mikropori dan luas permukaan besar (Sun 2010). Untuk mendapatkan karbon aktif dengan luas permukaan tinggi diperlukan suhu aktivasi lebih dari 900oC dan waktu lama sekitar 4-5 jam (Tseng et al. 2003, Wu et al. 2005).

Karbon aktif dengan porositas tinggi dapat diperoleh dari proses aktivasi kimia. Aktivator yang banyak digunakan pada teknik ini adalah asam phosfat, seng klorida dan logam hidroksi alkali. Diantara aktivator yang ada, kalium hidroksida dapat menghasilkan karbon aktif dengan struktur nanopori, lebih baik dibandingkan logam hidroksi alkali lainnya (Fierro et al. 2007). Luas permukaan karbon aktif dapat mencapai lebih dari 1,900 m2/g (Basta et al. 2009). Besaran jumlah aktivator KOH yang digunakan sangat beragam dengan perbandingan KOH terhadap prekursor mulai dari 1:2 hingga 6:1 bahkan sampai 8:1 (Bleda- Martínez et al. 2005, Tseng et al. 2008). Penggunaan yang optimal berada pada perbandingan 3:1 (Tseng et al. 2008). Persyaratan lain yang diperlukan untuk mendapatkan struktur mikropori adalah lingkungan aktivasi harus berlangsung dalam keadaan hampa udara dan umumnya menggunakan gas argon atau nitrogen (Adebowale dan Adebowale 2008).

Porositas pada karbon aktif akan terbentuk bersamaan dengan lepasnya gas CO2 dan CO. Jumlah gas yang dikeluarkan akan meningkat dengan pemberian

KOH (Ehrburger et al. 1986). KOH akan bereaksi dengan CO2 membentuk

400oC dan terus meningkat hingga suhu 800oC. Pendistribusian kalium karbonat secara merata berlangsung pada suhu tinggi. Penyebaran kalium karbonat tidak hanya pada permukaaan material karbon tetapi masuk sampai ke pori-pori sehingga dihasilkan porositas yang tinggi (Diaz-Terán et al. 2003). Aktivasi pada suhu rendah sulit mendapatkan luas permukaan tinggi karena kalium karbonat hanya terbentuk pada bagian luar atau permukaan material karbon (Diaz-Terán et al. 2003, Yamashita 1982). Selain kalium karbonat, terbentuk juga K2O dan

hidrogen dari reaksi antara KOH dengan prekursor karbon (-CH2). Selanjutnya pada suhu diatas 920oK kalium karbonat dan K2O akan bereaksi dengan gas CO

menghasilkan karbon dan logam alkali (K). Pendapat Ottawa sebagaimana dikemukakan oleh (Diaz-Terán et al. 2003) menjelaskan bahwa pembentukan K dan K2O akan meningkatkan perbandingan K/O, sehingga porositas akan lebih

banyak terbentuk.

Suatu upaya mengurangi pemakaian KOH dan gas nitrogen atau helium dalam pembentukan karbon aktif adalah dengan menerapkan metode alternatif seperti pemberian uap air. Pada penelitian ini dilakukan kombinasi antara aktivasi kimia dan fisika menggunakan KOH dalam jumlah kecil dan pemberian uap air. Ketika suhu maksimum tercapai (800oC), uap air dialirkan ke dalam reaktor langsung mengenai prekursor. Tujuan penggunaan uap air adalah: pertama agar terjadi reaksi antara uap air dengan karbon sehingga pori pada prekursor akan terbuka, dan kedua memanfaatkan kalium, K2O dan kalium karbonat yang

terbentuk selama proses aktivasi sehingga terjadi proses hidrasi menjadi KOH. Dengan demikian siklus pembentukkan KOH berjalan lebih intensif menghasilkan karbon aktif dengan porositas tinggi.

Penelitian pada tahap ini menggunakan prekursor arang dan arang-hidro dari hasil penelitian pada tahapan sebelumnya yaitu hasil karbonisasi pirolisis (KP) dan karbonisasi hidrotermal (KH) pada suhu 200oC dan 300oC. Kandungan materi mudah menguap yang tinggi pada prekursor suhu rendah diharapkan dapat membantu menciptakan karbon aktif dengan porositas tinggi.

Bahan dan Metode Bahan baku

Bahan baku atau prekursor pembuatan karbon aktif (KA) adalah arang dan arang-hidro kayu mangium (Acacia mangium Willd.), kayu pinus (Pinus merkusii Jungh et. de Vries) dan tempurung kemiri (Aleurites mollucana) pada suhu 200oC dan 300oC. Bahan kimia yang digunakan diantaranya kalium hidroksida (KOH), hidrogen klorida (HCl) dan iodin.

Aktivasi

Aktivasi dilakukan dalam reaktor pirolisis berukuran panjang 60 cm dan diameter 7 cm dengan pemanas listrik yang diletakkan secara horizontal serta dilengkapi dengan perangkat penghasil uap air (Gambar 4.1). Aktivasi dilakukan terhadap arang dan arang-hidro dari masing-masing suhu karbonisasi. Pada proses aktivasi digunakan KOH dengan perbandingan KOH terhadap prekursor

sebesar 1:3 (b/b). Sebanyak 150g (BKO) arang dan arang-hidro direndam selama 24 jam dalam 650 ml akuades yang di dalammya telah dilarutkan KOH sebesar 50g. Setelah itu arang dan arang-hidro dioven pada suhu 60oC selama 24 jam. Selanjutnya contoh uji dimasukkan ke dalam reaktor dan diaktivasi hingga mencapai suhu 800oC. Pada saat suhu tuju tercapai, dialirkan uap air selama 30 menit.

Gambar 4.1 Perangkat aktivasi

Hasil aktivasi berupa karbon aktif (KA) dicuci dengan HCl 10% dan air panas untuk menghilangkan pengotor atau memurnikan karbon dan menetralkan pH. Karbon aktif dari arang dan arang-hidro hasil pencucian kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 102±3oC sampai beratnya konstan. Produk karbon aktif diberi simbol sebagaimana disajikan pada Tabel 4.1. Selanjutnya KA dikarakterisasi untuk mengetahui nano struktur, morfologi permukaan, gugus fungsi dan konduktivitas elektrik menggunakan XRD, SEM, FTIR dan LCR meter, serta ditetapkan daya jerap iodinnya.

Tabel 4.1 Simbol perlakuan pada penelitian karbon aktif Jenis karbon aktif Karbon aktif Proses karbonisasi Biomasa Pirolisis Hidrotermal Suhu

200oC Suhu 300oC KA-KP2P KA KP - 2 - Pinus KA-KP3P KA KP - - 3 Pinus KA-KH2P KA - KH 2 - Pinus KA-KH3P KA - KH - 3 Pinus KA-KP2M KA KP - 2 - Mangium KA-KP3M KA KP - - 3 Mangium KA-KH2M KA - KH 2 - Mangium KA-KH3M KA - KH - 3 Mangium KA-KP2K KA KP - 2 - T. kemiri KA-KP3K KA KP - - 3 T. kemiri KA-KH2K KA - KH 2 - T. kemiri KA-KH3K KA - KH - 3 T. kemiri

Pada tahap ini dilakukan seleksi KA terbaik berdasarkan kemampuan daya jerap iodin dan konduktivitas elektrik untuk masing-masing jenis proses

Pemanas listrik Reaktor Termometer Kondensor Gas Penampung destilat Contoh Kran

karbonsasi (KP dan KH). Produk KA terbaik analisis lebih lanjut menggunakan perangkat surface area analysis (SAA) untuk mengetahui ukuran, volume dan luas permukaan pori; dan transmission electron microscope (TEM) untuk mengetahui morfologi KA dalam skala nano meter (Petrov et al. 1999).

Karakterisasi

Analisis proksimat KA arang dan arang-hidro berupa penetapan materi mudah menguap, kadar abu dan karbon terikat serta daya jerap iodin dilakukan menggunakan metode Standar Nasional Indonesia 01-3730 (BSN 1995).

Struktur arang dianalisis menggunakan perangkat X-ray diffraction (XRD) Shimadzu 7000 dengan sumber radiasi tembaga (Cu) menggunakan contoh uji berupa serbuk lolos saringan 100 mesh. Kondisi XRD yang digunakan diantaranya: energi 40 kV, arus 30 mA, kecepatan pemindai 2o/menit, pencatatan data setiap 0.02o dan sudut pemindaian antara 10-80o. Parameter yang tetapkan adalah derajat kristalinitas (X), jarak antar lapisan aromatik karbon (d002), tinggi lapisan aromatik (Lc), lebar lapisan aromatik (La), dan jumlah lapisan graphene (N) menggunakan persamaan Bragg dan Scherrer‟s (Iguchi 1997, Kercher dan Nagle 2003) sebagai berikut:

X (%) = bagian kristalin / (bagian kristalin+bagian amorf) x 100% d002 (nm) = λ / 2 sin θ

Lc(002)(nm) = K λ / cos θ La(100)(nm) = K λ / cos θ N(bh) = Lc / d

di mana:

λ = 0.15406 nm (panjang gelombang radiasi Cu)

 = Lebar maksimum pada intensitas setengah tinggi (FWHM) K = Konstanta untuk Lc = 0.89 dan La = 1.9

θ = Sudut difraksi dalam radian (/180)

Indeks kematangan karbon dan tingkat aromatisasi ditetapkan mengacu pada metode yang dilakukan oleh Sonibare et al. (2010) dan Manoj dan Kunjomana (2012) dengan bantuan perangkat lunak XRD-6000/7000 versi 5.21. Tingkat aromatisasi ditentukan berdasarkan perbandingan ikatan karbon alifatik dan cincin aromatik karbon dari luas areal pada sudut 2, masing-masing pada sudut 20o(A) dan 26o(A002) dengan persamaan:

Tingkat aromatisasi (fa) = Car/(Car+Cal) = A002/(A002+A)

Indeks kematangan karbon dihitung berdasarkan intensitas puncak pada sudut 2 di 20o(I20) dan 26o(I26) dengan persamaan :

Indeks kematangan karbon = I26/I20

Instrumen scanning electron microscope (SEM) EVO 50 Carl Zeiss digunakan untuk melihat morfologi permukaan contoh.

Analisis FTIR dilakukan dengan cara mencampur contoh uji sebanyak 4 mg dengan KBr seberat 200 mg, kemudian dibuat pelet berukuran diameter 1.3 cm dan tebal 0.5 dengan tekanan kempa 6 ton. Serapan diukur menggunakan spektrum infra merah FTIR Tensor Bruker. Data yang diambil dalam bentuk transmisi pada bilangan gelombang 400-4000cm-1 dengan resolusi sebesar 16cm-1 dan pemindai 5 scan.

Nilai konduktivitas dihitung dari nilai resistensi atau tahanan. Pengukuran resistensi menggunakan perangkat induktasi, kapasitansi dan resistensi meter (LCR) portable Krisbow. Contoh uji serbuk sebanyak 0.3g dimasukkan ke dalam wadah tabung plastik (PVC) dengan elektroda kuningan yang dihubungkan pada kabel LCR meter. Berdasarkan resistensi yang diukur maka dapat diperoleh nilai konduktivitas elektrik menggunakan persamaan di bawah ini (Khiar dan Arof 2010):

= l / R A

Keterangan:

 = Konduktivitas (Sm-1) l = Ketebalan contoh (cm) A = Luas permukaan tabung (cm2) R = Resistensi (ohm)

Hasil dan Pembahasan Proksimat dan Gugus Fungsi (FTIR)

Penataan karbon terjadi secara intensif selama proses aktivasi dengan melepaskan sebagian besar materi mudah menguap (Tabel 4.2). Prekursor arang- hidro mengandung materi mudah menguap tinggi dan karbon terikat rendah. Karakteristik dari prekursor tersebut berpengaruh terhadap pembentukan karbon terikat pada KA.

Tabel 4.2 Analisis proksimat karbon aktif Karbon aktif

Kadar (%) Karbon terikat Materi mudah

menguap Kadar abu

KA-KP2P 88.41 10.76 0.84 KA-KP3P 91.00 8.47 0.53 KA-KH2P 88.07 11.00 0.93 KA-KH3P 90.29 9.15 0.56 KA-KP2M 75.61 19.67 4.72 KA-KP3M 84.77 12.59 2.64 KA-KH2M 78.29 17.40 4.31 KA-KH3M 82.37 15.39 2.42 KA-KP2K 84.00 13.98 2.02 KA-KP3K 87.93 8.48 3.59 KA-KH2K 83.86 13.49 2.65 KA-KH3K 84.34 14.09 1.57

Pada prekursor suhu karbonisasi 200oC dan 300oC mengandung karbon terikat dan materi mudah menguap yang sangat berbeda. Setelah diaktivasi masing-masing kandungan karbon terikat dan materi mudah menguap pada KA relatif sama. Hal tersebut sejalan dengan hasil FTIR pada Gambar 4.2 dimana gugus OH mengalami penurunan intensitas dan terjadi peningkatan ikatan C=C. Hal ini menunjukkan bahwa saat aktivasi berlangsung sebagian besar materi mudah menguap pada prekursor dilepaskan pada tingkat energi yang sama. Prekursor arang/arang-hidro suhu 300oC menghasilkan KA dengan kadar karbon terikat lebih tinggi dan materi mudah menguap rendah dibandingkan dari prekursor suhu 200oC (Tabel 4.2 dan Gambar 4.2).

Gambar 4.2 Spektrum FTIR karbon aktif dari prekursor arang (A) dan arang-hidro (B)

Diantara biomasa yang digunakan, karbon terikat pada KA pinus menghasilkan karbon terikat besar dan materi mudah menguap kecil. Berbeda

(C-C) KA-KH2P KA-KH2K KA-KH2M KA-KH3M KA-KH3K KA-KH3P T ra n sm is i (a .u ) Bilangan gelombang (cm-1) B (OH) (C-H) (C-O) (C=C) (C-C) KA-KP2P KA-KP2M KA-KP2K KA-KP3K KA-KP3M KA-KP3P T ra n sm is i (a .u ) Bilangan gelombang (cm-1) A (OH) (C-H) (C-O) (C=C)

dengan prekursornya, karbon aktif T. kemiri justru menghasilkan karbon terikat lebih rendah dari KA pinus. Hal ini dipengaruhi oleh struktur awal dari biomasa, dimana pinus memiliki permeabilitas paling baik yang berperan sebagai saluran dalam melepaskan materi mudah menguap sedangkan T. kemiri sangat padat, saat aktivasi mengalami kesulitan untuk melepaskan materi mudah menguap. Tempurung kemiri juga didominasi oleh lignin yang lebih sulit terdekomposisi.

Rendahnya karbon terikat pada KA mangium terjadi karena selain permeabilitasnya yang tidak sebaik pinus, juga mengandung kadar abu sangat tinggi. Keberadaan mineral akan menghambat keluarnya materi mudah menguap.

Nano Struktur (XRD)

Aktivasi menyebabkan perubahan pola difraksi sinar-X pada prekursor. Puncak utama pada sudut 2 (10-30o) sedikit bergeser menuju puncak grafit (26o) dan menunjukkan adanya pembentukan puncak baru disekitar sudut 43° (Gambar 4.3). Puncak pada sudut 26o dan 43o merupakan penciri grafit pada bidang vertikal (Lc) dan pembentukan aromatik karbon pada bidang datar (La). Karbon aktif tidak mencirikan puncak kristal seperti grafit, kurva disudut 10-30o membentuk pola amorf, sementara itu penciri puncak grafit pada sudut disekitar 43o sudah terlihat. Perpaduan dari kedua karakter ini mengindikasikan bahwa karbon aktif bersifat turbostatik (Sonibare et al. 2010).

Gambar 4.3 Difraktogram karbon aktif dari prekursor arang (A) dan arang-hidro (B) KA-KH2P KA-KH3P KA-KH3M KA-KH2M KA-KH2K KA-KH3K B Int ens it as (a .u.) Sudut difraki 2 (o) 10 20 30 40 50 60 70 80 KA-KP2P KA-KP3P KA-KP3M KA-KP2M KA-KP2K KA-KP3K A A Int ens it as (a .u.) Sudut difraki 2 (o) 10 20 30 40 50 60 70 80

Gambar 4.4 Difraktogram KA-KH2P dan KA-KH2P sebelum dicuci HCl Pemanasan hingga suhu 800oC tidak menghasilkan karbon dengan derajat kristalinitas tinggi (Tabel 4.3). Aktivator KOH dan uap air berperan membentuk karbon bersifat amorf. Selama proses aktivasi terjadi penataan unsur karbon membentuk struktur heksagonal dengan melepaskan senyawa mudah menguap dalam bentuk gas CO, CO2 dan CH4. Pada kondisi ini komponen kimia kayu

(lignoselulosa) telah terdekomposisi membentuk formasi heksagonal karbon sebagaimana juga teridentifikasi dari hasil FTIR pada bilangan gelombang di sekitar 1600cm-1. Kalium hidroksida bereaksi aktif dengan gugus fungsi pada prekursor bahkan terhadap struktur aromatik karbon. Makromolekul karbon terpecah menjadi bagian-bagian kecil dalam bentuk cincin aromatik karbon (Xin et al. 2013) sehingga bersifat porous.

Tabel 4.3 Struktur karbon aktif berdasarkan analisis XRD

Karbon aktif (002) 2 d-spacing (nm) (100) 2 (nm) Lc (bh) N nm) La KA-KP2P 21.98 0.4039 43.12 1.2035 2.98 9.1534 KA-KP3P 22.09 0.4020 43.16 1.3016 3.24 8.4174 KA-KH2P 21.81 0.4071 42.90 1.0045 2.47 8.4876 KA-KH3P 21.98 0.4040 43.13 1.1373 2.82 8.2166 KA-KP2M 24.21 0.3673 42.94 1.4512 3.95 8.1441 KA-KP3M 24.43 0.3639 43.45 1.4600 4.01 8.2960 KA-KH2M 24.22 0.3671 42.81 1.4593 3.98 9.3019 KA-KH3M 24.45 0.3637 42.87 1.5308 4.21 9.6834 KA-KP2K 24.11 0.3687 43.33 1.5999 4.34 7.7983 KA-KP3K 24.26 0.3665 43.70 1.5605 4.26 8.2871 KA-KH2K 24.11 0.3687 43.26 1.5111 4.10 8.4221 KA-KH3K 24.33 0.3654 43.48 1.4560 3.98 8.5044 Difraktogam KA pinus menghasilkan pola difraksi berbeda dengan KA mangium dan T. kemiri sedangkan KA mangium dan KA T. kemiri relatif sama.

In te n si ta s (a .u ) Sudut difraki 2 (o) 10 20 30 40 50 60 70 80 ∆ : K2CO3(H2O)1.5 □ : K2O

Karbon aktif pinus memiliki pola lebih amorf. Kandungan lignin yang tinggi pada T. kemiri lebih memudahkan penataan aromatik karbon. Unit penyusun lignin berupa phenil propana telah memiliki struktur aromatik karbon sehingga menghasilkan indeks kematangan dan tingkat aromatisasi lebih tinggi. Penyusunan aromatik karbon kearah vertikal berupa pembentukan tinggi (Lc) dan dan jumlah lapisan (N) aromatik karbon lebih besar, namun demikian sifat lignin yang lebih tahan terdekomposisi menghasilkan radikal karbon lebih sedikit. Kondisi ini berakibat pada penataan aromatik karbon kearah horizontal (La) menjadi lebih lambat.

Kandungan bahan mudah dan kemampuan permeabilitas yang baik pada prekursor pinus menyebabkan pelepasan materi mudah menguap lebih cepat. Pada saat tersebut terbentuk radikal bebas. Kecepatan radikal karbon dalam menata unsur karbon menyebabkan pembentukan karbon pada KA pinus cenderung bersifat amorf, menghasilkan jarak antar lapisan aromatik karbon (d- spacing) renggang dengan tinggi lapisan aromatik (Lc) pendek dan jumlah lapisan aromatik (N) sedikit. Ketidakteraturan dalam menata karbon juga disebabkan pengaruh aktivator pada saat aktivasi berlangsung.

Melalui pemanasan, KOH akan menghasilkan produk turunan berupa K2O,

K2CO3 dan K (Gambar 4.4). Unsur kalium tidak terdeteksi oleh sinar-X karena

terinterkalasi diantara lapisan cincin aromatik karbon (Tseng et al. 2008). Turunan kalsium karbonat berupa K2O sangat sedikit karena pada suhu 700oC

sebagian besar telah bereaksi. Kedua senyawa tersebut lebih mudah mamasuki struktur arang/arang-hidro pinus dan bereaksi dengan karbon menghasilkan struktur karbon yang amorf (Tseng et al. 2008, Sadakata et al. 1987) dengan indeks kematangan kabon dan tingkat aromatisasi rendah (Tabel 4.4). Reaksi selama aktivasi adalah sebagai berikut (Ehrburger et al. 1986, Diaz-Terán et al. 2003, Raymundo-Pinero et al. 2005):

Pemberian uap air (steam) pada saat aktivasi menghasilkan KOH, CO2 dan

H2 seperti disajikan pada persamaan (9) dan (10). Dengan terbentuknya KOH

maka terjadi siklus KOH yang dapat menambah intensitas pembentukan pori. Kalium hidroksida ini akan meningkatkan pelepasan materi mudah menguap dan menciptakan pembentukan pori baru (Tseng et al. 2008).

4 KOH + C  K΍COΎ + K΍O + 2 H΍ (1) 2 KOH  K΍O + H΍O (2) C + H΍O (steam)  H΍ + CO (3) CO + H΍O  H + CO΍ (4) K΍O + CO ΍  K΍COΎ (5) K΍O + H΍  2 K + H΍O (6) K΍O + C  2 K + CO (7) K΍COΎ + 2 C  2 K + 3 CO (8) K΍COΎ + H΍O (steam) KOH + CO2 (9) 2 K + 2 H΍O (steam)  2 KOH + H2 (10) ΍ Ύ  ΍ Ύ 

Prekursor arang dan arang-hidro pinus pada suhu karbonisasi 200°C memiliki derajat kristalinitas dan kematangan karbon lebih rendah dari karbonisasi suhu 300°C dan materi mudah menguap lebih besar. Radikal karbon pada produk karbonisasi suhu 200oC lebih banyak (materi mudah menguap tinggi) sehingga penataan aromatik karbon ke arah horizontal lebih besar. Reaktivitas untuk berikatan dibidang horizontal (La) ini lebih kuat karena pergerakan elektron bebas lebih mudah.

Fenomena ini berbeda dengan mangium pada arang dan arang-hidro suhu 200oC walaupun memiliki bahan menguap lebih besar dari suhu 300oC tetapi kerangka aromatiknya masih sangat terbatas. Pada kondisi ini radikal karbon seolah menata struktur aromatik dari awal sehingga lebar aromatik yang terbentuk lebih sedikit dari prekursor suhu 300oC. Pada prekursor mangium 300oC sudah

memiliki kerangka aromatik karbon.

Karbonisasi pirolisis kayu pinus pada suhu 300°C menghasilkan material karbon dengan derajat kristalinitas besar dan lebih matang dibandingkan karbonisasi suhu 200oC. Kondisi ini berdampak pada tingkat kestabilan jumlah lapisan aromatik (N), yaitu lebih tahan terhadap dekomposisi selama proses aktivasi berlangsung. Pada bidang mendatar (La) terjadi sedikit penambahan panjang. Reaktivitas atom karbon pada bidang mendatar (La) lebih besar dari bidang vertikal (Lc) sehingga penyusunan struktur karbon pada bidang La lebih intensif.

Pada karbon aktif mangium (Tabel 4.3) menunjukkan jarak antar lapisan graphene (d-spacing) menyempit dengan meningkatnya kematangan karbon dan tingkat aromatisasi, sementara itu jumlah lapisan graphene cenderung naik. Setelah aktivasi terjadi pergeseran puncak kearah kanan pada sudut sekitar 10-30o dengan meningkatnya kematangan karbon mendekati struktur grafit. Hal tersebut mengindikasikan penyusunan aromatik karbon pada bidang aksial dan berkurangnya alifatik jenuh sebagai gugus fungsi pada aromatik karbon dengan berkurangnya materi mudah menguap (Ludwig 1983).

Tabel 4.4 Analisis sinar-X, daya jerap iodin dan konduktivitas karbon aktif Karbon aktif Derajat kristalinitas (%) Indeks kematangan karbon Aroma- tisasi (%) Daya jerap iodin (mg/g) Konduk- tivitas (Sm-1) KA-KP2P 23.91 0.76 0.44 1.127 182.49 KA-KP3P 25.09 1.08 0.51 1.010 104.54 KA-KH2P 20.81 0.93 0.42 1.157 130.84 KA-KH3P 24.43 0.88 0.45 1.070 72.930 KA-KP2M 27.74 1.29 0.51 887 50.36 KA-KP3M 25.90 2.18 0.68 961 54.88 KA-KH2M 26.19 1.75 0.63 947 49.22 KA-KH3M 23.74 2.57 0.72 1.036 70.50 KA-KP2K 24.14 1.76 0.63 831 25.59 KA-KP3K 23.83 1.94 0.66 838 27.95 KA-KH2K 24.45 2.71 0.75 536 27.06 KA- KH3K 24.42 3.00 0.76 476 66.99

Indeks kematangan karbon dan tingkat aromatisasi memiliki korelasi negatif terhadap jarak antar lapisan aromatik. Semakin lebar jarak d-spacing maka kematangan dan tingkat aromatisasi karbon berkurang (Gambar 4.5).

Gambar 4.5 Hubungan antara jarak lapisan aromatik karbon terhadap aromatisasi (฀) dan indeks kematangan karbon () pada karbon aktif

Daya Jerap Iodin dan Konduktivitas Elektrik

Kandungan materi mudah menguap pada prekursor akan berpengaruh terhadap pembentukan porositas (Shafizadeh dan Sekiguchi 1983). Pendapat tersebut sesuai pada pembuatan KA pinus. Fenomena lain terjadi pada mangium, prekursor mangium suhu 200oC mengandung materi mudah menguap tinggi akan tetapi dihasilkan KA dengan daya jerap iodin rendah. Sehubungan dengan itu maka terdapat faktor lain yang turut berperan dalam pembentukan porositas. Hasil analisis XRD mengidentifikasi terdapat perbedaan struktur antara prekursor mangium 200oC dan 300oC. Prekursor mangium pada karbonisasi suhu 200oC belum “matang”, struktur amorphous karbon belum terlihat jelas karena pengaruh dari selulosa. Pada saat proses aktivasi dilakukan, radikal karbon yang tersedia tidak berikatan pada kerangka karbon sebagaimana halnya prekursor suhu 300oC.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 0.36 0.37 0.38 0.39 0.4 0.41 I n d ek s k em at an g an k ar b o n A ro m at is a si ( % )

Jarak antar lapisan aromatik karbon (nm)

Gambar 4.6 Hubungan antara derajat kristalinitas dengan daya jerap iodin pada karbon aktif

600 700 800 900 1,000 1,100 1,200 1,300 19 21 23 25 27 29 D a y a j e ra p i o d ( m g /g ) Derajat kristalinitas (%)

Secara umum prekursor berderajat kristalinitas rendah dapat menciptakan karbon aktif dengan porositas tinggi (Tabel 4.4 dan Gambar 4.6). Porositas terbesar yang didekati dari nilai daya jerap iodin tertinggi dihasilkan pada karbon aktif dari prekursor arang-hidro pinus suhu 200oC.

Karbon aktif dari prekursor arang-hidro tampak lebih berongga (pseudo- pori) dibandingkan KA dari prekursor arang (Gambar 4.7 dan Gambar 4.8). Rongga-rongga yang tampak dari hasil SEM merupakan rongga awal dari bahan baku dan prekursornya (Gambar 3.6 dan Gambar 3.10). Melalui aktivasi, rongga pada bahan semakin terbuka dan melebar sedangkan untuk pori-pori sebenarnya tidak tampak menggunakan SEM. Rongga-rongga yang terbentuk berperan sebagai saluran yang menghubungkan antara permukaan dengan pori sesungguhnya. Besaran porositas dapat diketahui dari penetapan daya jerap iodin dan analisis luas permukaan menggunakan instrumen surface area analyzer.

Gambar 4.7 Morfologi permukaan karbon aktif dari prekursor arang-hidro

KA-KH2P KA-KH3P

KA-KH2M KA-KH3M

Morfologi permukaan KA dan daya jerap iodin memiliki korelasi yang positif, kecuali untuk KA T. kemiri. T. kemiri memiliki struktur bahan baku yang sangat padat dan didomiasi oleh lignin, sehingga pada kondisi aktivasi yang sama kemampuan membentuk pori lebih terbatas.

Gambar 4.8 Morfologi permukaan karbon aktif dari prekursor arang

Konduktivitas KA aktif untuk setiap jenis biomasa menghasilkan selang nilai yang berbeda dan cenderung mengelompok (Tabel 4.4). Kelompok dengan konduktivitas tertinggi dihasilkan KA dari biomasa kayu pinus diikuti mangium dan tempurung kemiri. Berdasarkan karakterisasi yang telah dilakukan, sulit menentukan parameter yang memiliki korelasi positif terhadap nilai konduktivitas. Namun demikian terdapat kemungkinan yang menyebabkan fenomena ini terjadi yaitu memalui pendekatan terbentuknya karbon sphere pada permukaan KA (Gambar 4.9). Karbon aktif pinus selama proses karbonisasi dan aktivasi telah membentuk karbon sphere lebih banyak dengan bentuk lebih sempurna. Pada KA

KA-KP2P KA-KP3P

KA-KP2M KA-KP3M

mangium, bakal karbon sphere telah ada dengan bentuk yang belum sempurna karena masih bergerombol dan menyatu satu dengan lainnya. Sementara itu pada KA T. kemiri tidak terlihat adanya potensi pembentukan karbon sphere. Karbon sphere (berbentuk bola) memiliki kemampuan menghantarkan arus lebih baik dibandingkan bentuk karbon lain yang tedapat pada KA.

Berdasarkan hasil dari beberapa karakterisasi yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa KA kayu pinus memiliki porositas tertinggi. Untuk lebih mengungkap sifat KA pinus maka yang selanjutnya dilakukan karakterisasi lebih

Dokumen terkait