• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Karbon aktif dengan struktur nanopori memiliki keterbatasan ditinjau dari sifat konduktivitas elektrik. Pada beberapa aplikasi, dipersyaratkan porositas tinggi dan konduktivitas baik terutama yang berhubungan dengan proses elektrokimia (Tseng et al. 2008) seperti untuk elektroda pada baterai, sensor, superkapasitor dan penjerap (recovery) emas (Soleimani dan Kaghazchi 2008).

Sifat konduktivitas elektrik pada karbon porous sangat diperlukan (Soleimani dan Kaghazchi 2008). Nilai konduktivitas dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan kerapatan komposit karbon atau melalui pemanasan pada suhu tinggi (Kuvshinov et al. 2009).

Pemanasan karbon serat nano dari dekomposisi gas alam pada suhu 2,600oC menghasilkan konduktivitas elektrik sebesar 1.37 Sm-1 (Kuvshinov et al. 2009) dan serat mesophase pitch carbon yang dipanaskan pada suhu 2,800oC mencapai 11.1 Sm-1. Suhu tinggi menyebabkan restrukturisasi karbon aktif menyerupai grafit. Prekursor yang telah diberi perlakuan panas dapat diketahui dari peningkatan intensitas dan sudut 2 dari hasil XRD (Trchova et al. 2006, Kuvshinov et al. 2009), akan tetapi disisi lain proses ini akan berdampak terhadap penurunan porositas karbon (Lu dan Chung 2001). Transfer elektron yang tinggi akan meningkatkan kemampuan elektrokimia. Terdapatnya pori berukuran mikro dan meso juga menjadi penentu perpindahan ion(Doménech-Carbo 2010).

Proses pemadatan dan pemanasan (sintering) merupakan teknik konvensional menghasilkan material padat yang dapat meningkatkan konduktivitas. Proses sintering konvensional dapat mengakibatkan kerusakan struktur pori pada karbon. Teknik sintering aktif yang saat ini telah berkembang adalah proses spark plasma sintering (SPS). Keunggulan dari SPS adalah waktu sintering yang singkat. Berbeda dengan sintering konvensional, pemanasan pada teknik SPS memanfaatkan perbedaan potensial arus DC diantara permukaan bahan (Kuvshinov et al. 2009, Daffos et al. 2011).

Konduktivitas dapat juga ditingkatkan dengan cara lain yaitu menambahkan (doping) unsur atau senyawa logam. Sifat konduktif terjadi akibat interkalasi antara interkalat dengan lapisan karbon. Karbon terinterkalasi dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan arah perpindahan muatan jenis pendonor (positif) dan akseptor (negatif). Secara umum jenis interkalat pendonor yang memiliki ionisasi tinggi adalah kelompok logam alkali. Pada penelitian ini digunakan LiOH dan Li2O sebagai doping pada karbon nanoporous.

Penelitian mengenai pengaruh sintering dan dampaknya terhadap porositas belum banyak diteliti. Penelitian pada Bab ini berupaya meningkatkan konduktivitas karbon nanoporous melalui pemanasan lanjutan baik tanpa maupun dengan penambahan logam.

Bahan dan Metode Persiapan Bahan Baku

Bahan yang digunakan adalah karbon nanoporous terbaik (porositas tertinggi) yang telah dibuat pada penelitian sebelumnya yaitu karbon nanoporous dari prekursor arang-hidro pinus suhu 200oC (KA-KH2P). Karbon nanoporous tersebut dihasilkan dari teknik aktivasi menggunakan KOH pada perbandingan KOH dan arang-hidro sebesar 1:3 yang dikombinasikan dengan uap air. Karbon nanoporous yang diperoleh dibuat serbuk hingga lolos saringan100 mesh. Bahan kimia yang digunakan sebagai doping adalah LiOH (No. Cat. 1.05691.0100) dan Li2O (No. Cat. 374725) dari Sigma Aldrich.

Penambahan logam dilakukan melalui proses kering. Karbon nanoporous ditambahkan LiOH dan Li2O, masing-masing pada perbandingan 5:1 (b/b) dan

dicampur hingga merata, sebagai pembanding digunakan contoh uji kontrol (tanpa doping). Formulasi bahan tersebut dimasukkan ke dalam holder grafit berbentuk silinder dengan ukuran diameter bagian dalam sebesar 15.5 mm (Gambar 5.1). Pada permukaan dan sekeliling contoh uji dilapisi kertas karbon untuk memudahkan saat mengeluarkan contoh uji yang sintering.

Gambar 5.1 Contoh holder untuk sintering konvensional dan SPS

Sintering Konvensional Modifikasi (SKM)

Sintering konvensional modifikasi (SKM) merupakan sintering konvensional dimana pemberian tekanan (pengempaan contoh uji) dilakukan diluar reaktor atau tanur pemanas. Contoh uji dalam bentuk serbuk dimasukkan ke dalam holder grafit dan dikempa dengan tekanan 10 Mpa, kemudian dimasukkan ke dalam tabung terbuat dari stainless steel dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada kondisi suhu ruangan. Tanur dihidupkan dan pengatur suhu ditetapkan pada suhu 900oC. Setelah suhu maksimum tercapai pemanasan dipertahankan selama 1 (satu) jam. Contoh uji dikeluarkan pada saat kondisi tanur mencapai suhu ruang. Untuk keperluan pengujian, contoh uji tersintering dicuci dengan HCl 10% dan air panas sampai pH netral kemudian dihaluskan hingga lolos saringan 100 mesh.

Contoh Kertas karbon Grafit

Spark Plasma Sintering (SPS)

Contoh uji dan holder grafit yang telah disiapkan diletakkan dalam chamber yang merupakan bagian dari perangkat SPS-515S DR SINTER Inc. Jepang (Gambar 5.2). Pemanasan dilakukan menggunakan arus listrik DC dengan kekuatan 1300A hingga mencapai suhu 1300oC dan dipertahankan selama 5 menit (total proses sintering 18 menit). Setelah suhu dan waktu tercapai dilakukan pendinginan selama 1 jam dan contoh uji dikeluarkan. Contoh uji SPS berbentuk komposit padat (pelet) dibersihkan dari kertas karbon dan dimasukkan ke wadah plastik tertutup lalu disimpan dalam desikator sebelum karakterisasi dilakukan.

Gambar 5.2 Skema spark plasma sintering

Karakterisasi

Struktur kristalin arang dianalisis menggunakan perangkat X-ray diffraction (XRD) Shimadzu 7000 dengan sumber radiasi tembaga (Cu) menggunakan contoh uji berupa serbuk lolos saringan 100 mesh. Kondisi XRD yang digunakan diantaranya: energi 40 kV, arus 30 mA, kecepatan pemindai 2°/menit, pencatatan data setiap 0.02° dan sudut pemindai antara 10-80o. Parameter yang tetapkan adalah derajat kristalinitas (X), jarak antar lapisan aromatik karbon (d002), tinggi lapisan aromatik (Lc), lebar lapisan aromatik (La), dan jumlah lapisan graphene (N) berdasarkan persamaan Bragg dan Scherrer‟s (Iguchi 1997, Kercher dan Nagle 2003) sebagai berikut:

X (%) = bagian kristalin/(bagian kristalin+bagian amorf) x 100% d002 (nm) = λ / 2 sin θ

Lc(002) (nm) = K λ / cos θ La(100) (nm) = K λ / cos θ N = Lc / d

di mana:

λ = 0.15406 nm (panjang gelombang radiasi Cu)

 = Lebar maksimum pada intensitas setengah tinggi (FWHM) K = Konstanta untuk Lc = 0.89 dan La = 1.9

θ = Sudut difraksi dalam radian (/180)

sampel Tekanan Ruang vakum DC

Indeks kematangan karbon dan tingkat aromatisasi ditetapkan mengacu pada metode yang dilakukan Sonibare et al. (2010) dan Manoj dan Kunjomana (2012) dengan bantuan perangkat lunak XRD-6000/7000 versi 5.21. Tingkat aromatisasi ditentukan berdasarkan perbandingan antara ikatan karbon alifatik dan cincin aromatik karbon dari luas areal pada sudut 2, masing-masing pada sudut 20o(A) dan 26o(A002) dengan persamaan:

Tingkat aromatisasi (fa) = Car/(Car+Cal) = A002/(A002+A)

Indeks kematangan karbon dihitung berdasarkan intensitas puncak pada sudut 2 di 20o(I20) dan 26o(I26) dengan persamaan :

Indeks kematangan karbon = I26/I20

Instrumen scanning electron microscope (SEM) EVO 50 Carl Zeiss digunakan untuk melihat morfologi permukaan contoh uji.

Analisis FTIR dilakukan dengan cara mencampur contoh uji sebanyak 4 mg dengan KBr seberat 200 mg, kemudian dibuat pelet berukuran diameter 1.3 cm dan tebal 0.5 dengan tekanan kempa 6 ton. Serapan diukur menggunakan spektrum infra merah FTIR Tensor Bruker. Data yang diambil dalam bentuk transmisi pada bilangan gelombang 400-4000cm-1 dengan resolusi sebesar 16cm-1 dan pemindai 5 scan.

Nilai konduktivitas dihitung dari nilai resistensi atau tahanan. Pengukuran resistensi menggunakan perangkat induktasi, kapasitansi dan resistensi meter (LCR) portable Krisbow. Contoh uji serbuk sebanyak 0.3g dimasukkan ke dalam wadah tabung plastik (PVC) dengan elektroda kuningan yang dihubungkan pada kabel LCR meter. Berdasarkan resistensi yang diukur maka dapat diperoleh nilai konduktivitas elektrik menggunakan persamaan di bawah ini (Khiar dan Arof 2010):

= l / R A

Keterangan:

 = Konduktivitas (Sm-1) l = Ketebalan contoh (cm) A = Luas permukaan tabung (cm2) R = Tahanan / resistensi (ohm)

Hasil dan Pembahasan

Sintering Konvensional Modifikasi (SKM)

Struktur kristalin karbon nanoporous meningkat setelah sintering pada suhu 900oC. Pada kurva difraktrogram sinar-X muncul puncak disudut 2 26.5o yang merupakan penciri grafit (Takeuchi et al. 2010) dengan intensitas rendah (Gambar 5.3). Selama proses sintering terjadi penataan unsur karbon membentuk aromatik karbon. Pelepasan material mudah menguap terjadi sehingga struktur karbon lebih teratur, jarak lapisan aromatik karbon menyempit, kematangan karbon,

derajat kristalinitas dan jumlah unsur karbon mengalami peningkatan. Prekursor sintering mengandung unsur oksigen sebesar 15.29%. Saat sintering terjadi pelepasan material mudah menguap. Oksigen pada prekursor dilepaskan dengan mengikat unsur karbon menjadi gas CO dan CO2. Sifat-sifat tersebut berdampak

positif terhadap peningkatan konduktivitas karbon nanoporous tersintering dibandingkan dengan prekursornya (Tabel 5.2). Hilangnya sebagian karbon pada permukaan karbon nanoporous berdampak pada pelebaran diamater pori dan penurunan luas permukaan serta volume pori (Tabel 5.3).

Gambar 5.3 Difraktogram sinar-X karbon aktif sintering SKM dan SPS Pemanasan lanjutan dengan teknik SKM tetap mempertahankan struktur turbostatik (amorphous) karbon, dicirikan dari kurva difraksi yang melebar pada sudut 10-30o. Secara umum ketiga contoh uji tersintering memiliki pola difraksi hampir sama, perbedaan tampak pada intensitas puncak di sekitar sudut 26.5o. Intensitas SKM-kontrol-900 lebih rendah dibandingkan SKM-LiOH-900 dan SKM-Li2O-900.

Pemanasan dengan SKM-kontrol-900 menaikkan konduktivitas, derajat kristalinitas, indeks kematangan dan tingkat aromatisasi karbon (Tabel 5.1). Dampak lain sintering adalah penurunan tinggi (Lc), jumlah (N) dan lebar (La) lapisan aromatik. Pemanasan pada suhu 900oC tanpa penambahan doping logam lebih berperan meningkatkan kristalinitas dengan menata jarak antar lapisan aromatik karbon lebih rapat sejalan dengan lepasnya materi mudah menguap. Pembuatan material karbon porous dari sukrosa melalui teknik templat pada suhu 1000oC, menghasilkan d-spacing sebesar 0.371 nm, Lc 0.923 nm, total luas permukaan 420 m2/g, total volume 1.14 cm3/g, dan diameter pori 10.57 nm (Yang et al. 2011), sehingga secara umum karbon nanoporous SKM-kontrol-900oC lebih baik.

Karbon nanoporous tersintering dengan penambahan doping Li menghasilkan sifat yang berbeda. Lithium pada LiOH dan Li2O akan bereaksi

dengan karbon membentuk ikatan C-OLi. Karbon yang mengandung C-OLi menarik unsur hidrogen pada fraksi karbon membentuk LiOH dan terjadi penyatuan fraksi aromatik karbon sehingga lebar (La) lapisan aromatik karbon

Int ens it as (a .u) Sudut difraksi 2 (o) KA-KH2P Kontrol 900 Li2O 900 LiOH 900 SPS kontrol SPS Li2O SPS LiOH

bertambah (Tabel 5.1). Reaksi penambahan doping tidak hanya terjadi pada bagian ujung aromatik karbon bahkan terhadap struktur yang telah terbentuk. Hal ini dapat diketahui dari berkurangnya derajat kristalinitas, indeks kematangan karbon dan tingkat aromatisasi sementara itu penataan aromatik karbon pada bidang horizontal (La) dapat meningkatkan konduktivitas dan menurunkan kristalinitas menghasilkan porositas lebih baik dibandingkan dengan SKM- kontrol-900.

Tabel 5.1 Analisis sinar-X karbon nanoporous hasil pemanasan lanjutan Karbon aktif 2002 (O ) d-spacing (nm) 2001 (O ) Lc (nm) N (bh) La (nm) KA-KH2P 24.21 0.3673 42.94 1.4512 3.95 8.1441 SKM Kontrol900 26.32 0.3383 43.50 1.0060 2.97 7.8321 SKM Li2O900 26.25 0.3392 44.50 1.1319 3.34 11.4205 SKM LiOH900 26.22 0.3395 43.71 1.1521 3.39 12.4021 Karbon pembanding (komersial)

Mesoporous(KMP) 25.83 0.3446 44.01 5.4394 15.79 44.5750 Nanopowder(KNP) 24.42 0.3641 43.03 1.4287 3.92 8.2833 SPS Kontrol 26.36 0.3378 44.43 5.7183 16.93 9.8221 SPSLi2O 26.39 0.3374 44.54 20.5382 60.88 28.8997 SPSLiOH 26.56 0.3353 44.59 30.1293 89.86 37.7991

Tabel 5.2 Analisis sinar-X dan konduktivitas karbon nanoporous hasil pemanasan lanjutan Karbon aktif Derajat kristalinitas (%) Indeks kematangan karbon Tingkat aromatisasi (%) Konduktivitas (Sm-1) *) Prekursor 20.81 0.93 0.42 130.84 SKM Kontrol 900 35.46 1.07 0.48 747.41 Li2O 900 33.65 1.03 0.43 2,135.18 LiOH 900 33.25 1.01 0.37 2,125.53

Karbon pembanding (komersial)

Mesoporous(KMP) 68.59 5.93 0.96 nd Nanopowder(KNP) 43.99 1.25 0.59 nd SPS SPS Kontrol 1300 55.81 4.95 0.92 nd SPS Li2O 1300 60.74 14.79 0.97 nd SPS LiOH 1300 70.25 23.79 0.98 nd

Proses SKM dengan doping mengakibatkan sebagian lithium terinterkalasi diantara lapisan aromatik karbon sehingga jarak antar lapisan aromatik karbon (d002) lebih renggang dari SKM-kontrol-900.

Perlakuan pemanasan lanjutan menyebabkan morfologi permukaan karbon nanoporous tersintering SKM menjadi padat (Gambar 5.4). Rongga (pseudo-pori) yang terbentuk pada prekursor (Gambar 4.7) menjadi jauh berkurang. Pada karbon nanoporous SKM dengan penambahan LiOH memiliki rongga permukaan relatif sama dengan kontrol. Posoritas karbon jauh turun setelah SKM dilakukan (Tabel 5.3).

Gambar 5.4 Morfologi permukaan karbon nanoporous disintering SKM

Sprak Plasma Sintering (SPS)

Pemanasan lanjutan menggunakan spark plasma sintering (SPS) pada suhu 1300oC menunjukkan perubahan struktur sangat signifikan (Gambar 5.3). Kehadiran puncak grafit pada sudut dikisaran 26.5o meningkat sangat tinggi dengan penambahan Li2O dan LiOH. Hal ini menunjukkan bahwa karbon

nanoporous tersintering memiliki sifat baru, sangat berbeda dibanding prekursor bahkan karbon tersinter SKM. Parameter analisis XRD seluruhnya mengalami peningkatan dan d002 semakin rapat mendekati grafit (Tabel 5.2). Lithium

merupakan logam yang memiliki ukuran kecil dan energi aktivasi tinggi, pada saat proses sintering berlangsung lithium mampu terinterkalasi diantara lapisan graphene dan menarik lapisan graphene menjadi lebih rapat. Hambatan (resistensi) pada material ini sangat kecil, kurang dari 0.01 ohm. Namun demikian terjadi juga dampak negatif, penataan unsur karbon yang sangat cepat

LiOH 900

Li2O 900

selama proses sintering dengan SPS menyebabkan penurunan porositas sangat tinggi (Tabel 5.3).

Pada produk SPS LiOH dan SPS Li2O terdapat puncak lain yang

mencirikan senyawa Li2CO3 dan Li2O. Senyawa ini terbentuk selama proses

sintering. LiOH akan bereaksi dengan C menghasilkan Li2CO3, Li2O dan gas H2.

Sementara itu Li2O bereaksi dengan CO2 yang bersumber dari material karbon

menghasilkan Li2CO3. Produk lithium karbonat akan bereaksi dengan karbon

menghasilkan Li2O dan gas karbon monoksida. Sintering dengan penambahan

lithium hidroksida menghasilkan sifat-sifat lebih tinggi dibandingkan produk SPS Li2O. Laju raksi pada proses SPS Li2O lebih terbatas karena produk turunannya

didominasi oleh lithium karbonat.

Peranan senyawa lithium ini sangat besar dalam membentuk struktur karbon dibandingkan SPS kontrol. Sifat produk SPS kontrol lebih mendekati produk SKM. Hal ini menjelaskan bahwa sintering menggunakan SPS pada suhu tinggi tidak hanya dipengaruhi oleh proses sintering tetapi lebih dipengaruhi oleh penambahan senyawa lain.

Proses sintering membentuk produk karbon dalam bentuk padat (seperti pelet). Morfologi permukaan pada Gambar 5.5 terdapat penyatuan partikel dan penutupan pori akibat pemanasan dan pengempaan yang diberikan.

Gambar 5.5 Morfologi permukaan karbon nanoporous disintering SPS

Nanokarbon komersial

Informasi karakteristik karbon nano komersial akan dikemukakan dalam bagian ini dengan tujuan untuk melihat sejauh mana kualitas karbon nanoporous

SPS Kontrol SPS Li2O

yang dihasilkan dalam penelitian ini. Jenis karbon nano yang digunakan adalah karbon mesoporous (KMP) dan karbon nanopowder (KNP).

Karbon mesoporous memiliki intensitas puncak tinggi dengan bentuk kurva agak melebar sedangkan KNP lebih amorf (Gambar 5.6) Morfologi permukaan kedua karbon komersial tersebut disajikan pada Gambar 5.7. Karakteristik karbon nano komersial menggunakan SEM tidak memperlihatkan adanya rongga pada permukaan bahan. Karbon tersebut berbentuk partikel, dimana pada karbon nano powder ukurannya lebih kecil. Analisis penjerapan isotermal adsorption/desorpsi nitrogen karbon nano komersial memiliki porositas rendah (Tabel 5.3), bahkan pada karbon mesoporous tidak terdapat mikropori.

Gambar 5.6 Difraktogram sinar-X karbon mesopori (biru) dan karbon nanopowder (merah)

Ciri-ciri pori pada KMP terlihat dari hasil TEM dengan ukuran lebih besar dibandingkan KNP dan karbon nanoporous kayu pinus tersintering (

Gambar 5.9). Hasil TEM tersebut sejalan dengan analisis penjerapan isotermal adsorption/desorpsi nitrogen(Tabel 5.3). Luas permukaan (BET) KMP dan KNP berada dibawah 375 m2/g dengan ukuran pori masing-masing sebesar 4.83 dan 1.96 nm.

Gambar 5.7 Morfologi permukaan karbon nano komersial

Karbon mesoporous Karbon nanopowder

Intens it as ( cps ) Sudut difraksi 2 (o)

Tingkat kemurnian dan intensitas puncak yang tinggi merupakan keunggulan KMP. Kedua sifat tersebut mengindikasikan bahwa struktur KMP lebih teratur dengan derajat kristalinitas tinggi. Karbon nanopowder memiliki tingkat kemurnian lebih rendah dibandingkan karbon meoporous dan terdapat pengotor berupa kalsium. Kurva difraksi sinar-X KNP lebih bersifat amorf dengan derajat kristalinitas lebih rendah dari KMP.

Gambar 5.8 menunjukkan bahwa pada contoh uji SKM kontrol 900 dan SKM LiOH 900 masih terdapat pori berukuran mikropori walaupun dalam jumlah kecil sedangkan pada pemanasan dengan menggunakan SPS struktur mikropori telah hilang sama sekali karena pengaruh sintering dengan tekanan dan suhu yang tinggi.

Tabel 5.3. Karakteristik isotermal adsorpsi/desorpsi nitrogen karbon nanoporous setelah sintering dan karbon nano komersial

Contoh Uji Diameter Pori (nm) BET (m2/g) Mikro (m2/g) Vol. Tot. (cc/g) Vol. Mikro. (cc/g) Vol Mikro/ total (%) Prekursor 1.70 2,240 1.513 1.583 0.7462 47.14 SKM Kontrol 900 2.84 1,325 863 0.942 0.4480 4.76 SKM LiOH 900 3.00 1,274 746 0.957 0.3840 61.98 SPS LiOH 1300 1.68 90 6 0.142 0.0014 0.10 Karbon pembanding (komersial)

Mesoporous 4.83 285 0.00 0.689 0.0000 0.00

Nanopowder 1.94 375 267.00 0.364 0.1323 36.40 Gambar 5.8 Kurva isotermal adsorption/desorpsi nitrogen karbon nanoporous

Gambar 5.9 Analisis TEM pada permukaan karbon mesoporous (A), nanopowder (B) dan nanoporous-SKM Li2O (C)

Simpulan dan Saran

Proses sintering konvensional modifikasi pada karbon nanoporous pinus dapat meningkatkan konduktivitas. Pada tahap ini terjadi penataan struktur kristalin karbon berupa penyempitan jarak antar lapisan aromatik karbon. Sintering dengan teknik SPS menghasilkan karbon dengan sifat berbeda dari prekursor dan tersintering SKM. Penataan karbon kearah tinggi dan lebar lapisan aromatik berlangsung sangat intensif terutama pada contoh uji dengan penambahan LiOH dan Li2O. Perlakuan pemanasan lanjutan ini mampu

meningkatkan konduktivitas bahan tetapi menurunkan porositasnya.

Sifat-sifat dari karbon nanoporous pinus tersintering akan menentukan tujuan penggunaan dari masing-masing karbon tersebut. Keunggulan karbon nanoporous tersintering konvensional adalah porositasnya yang tinggi dengan struktur mikropori dan memiliki konduktivitas baik. Perpaduan porositas dan konduktivitas ini dapat digunakan untuk beragam aplikasi.

A B

Pengukuran konduktivitas perlu dilalukan dengan menggunakan instrumen yang lebih baik agar nilai konduktivitas sesungguhnya dapat terkuantifikasi. Perubahan struktur karbon tersintering SPS pada suhu 1300oC telah merusak porositas sehingga perlu dilakukan penelitian dengan merubah kondisi seperti penurunan suhu dan waktu sintering.

Dokumen terkait