• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan baku pembuatan karbon aktif yang digunakan dalam penelitian ini memiliki sifat berbeda. Masing-msing biomasa berasal dari kelompok jenis kayu daun jarum, kayu daun lebar dan non-kayu/tempurung yaitu kayu pinus, kayu mangium dan tempurung kemiri. Hasil karakterisasi bahan baku yang diperoleh pada Bab 2 menunjukkan bahwa kayu pinus berpeluang paling besar menghasilkan karbon aktif dengan porositas tinggi (nanoporous). Kayu pinus memiliki kandungan materi mudah menguap besar, bersifat amorf, struktur kristalin selulosa I kombinasi antara selulosa I dan I dan struktur atau morfologi biomasa dengan permeabilitas lebih baik dibandingkan dengan kayu mangium dan T. kemiri. Sifat-sifat tersebut sangat membantu proses penataan unsur karbon membentuk porositas tinggi selama proses karbonisasi dan aktivasi.

Kandungan selulosa mangium lebih besar dengan derajat kristalinitas lebih tinggi dibandingkan kayu pinus dan T. kemiri. Sifat tersebut menjadikan kayu mangium (selulosa) lebih tahan terhadap proses dekomposisi (Dinjus et al. 2011). Faktor lainnya adalah dari komposisi struktur kristal selulosa mangium yang didominasi oleh selulosa I diikuti T. kemiri. Struktur kristal monoklinik (I) lebih tahan terhadap panas (Wada et al. 2001, Dinjus et al. 2011) sehingga pada karbonisasi suhu 200oC struktur kristal selulosa belum sepenuhnya terdekomposisi.

Kecenderungan ini terbukti dari hasil difraktogram sinar-X pada produk karbonisasi. Arang mangium pada suhu karbonisasi pirolisis 200oC masih menampakkan struktur kristal selulosa. Pada proses karbonisasi hidrotermal penciri selulosa juga masih tampak walaupun dalam intensitas rendah. Penciri selulosa mulai hilang pada suhu karbonisasi 300oC yang menunjukkan bahwa dekomposisi komponen kimia kayu dalam hal ini selulosa mangium telah berlangsung. Sementara itu pada arang dan arang-hidro pinus suhu 200oC, difraktogram penciri selulosa telah hilang yang menunjukkan bahwa pembentukan kerangka aromatik karbon bersifat amorf mulai terjadi. Permeabilitas dan struktur yang amorf pada kayu pinus memudahkan akses dekomposisi dan keluarnya materi menguap sehingga pembentukan porositas pada arang dan arang-hidro pinus lebih cepat. Pada saat proses aktivasi berlangsung, KOH lebih mudah mencapai permukaan arang dan arang-hidro dan bereaksi menghasilkan gas. Pelepasan gas merupakan salah satu mekanisme pembentukan porositas pada karbon aktif.

Karbonisasi pirolisis dan hidrotermal menghasilkan sifat yang berbeda. Pada proses karbonisasi hidrotermal (KH), dekomposisi berlangsung lebih intensif. Selulosa, hemiselulosa dan lignin mulai terdekomposisi pada suhu 220, 180, dan 180oC (Bobleter 1994). Reaksi KH dipercepat oleh tekanan uap yang terbentuk (autogenous pressure) akibat pemanasan dalam reaktor tertutup (Funke dan Ziegler 2010, Libra et al. 2011, Kang et al. 2012). Pada KH, hemiselulosa dan sebagian selulosa terhidrolis menjadi sakarida (Kang et al. 2012 Dinjus, 2011). Dekomposisi selulosa, hemiselulosa dan lignin pada karbonisasi pirolisis (KP) mulai berlangsung pada suhu 315oC, 220oC, 180°C (Yang et al. 2006, Lv et al. 2010). Intensitas dekomposisi yang lebih besar pada proses KH juga dapat diketahui dari morfologi permukaan (SEM) arang-hidro dibandingkan dengan

arang. Selama dekomposisi, arang-hidro mengalami fragmentasi menghasilkan partikel-partikel kecil dan bersifat lebih porous. Terdapatnya rongga yang lebih banyak pada material arang-hidro berperan sebagai media untuk menyalurkan materi mudah menguap pada saat proses aktivasi berlangsung. Kondisi ini tentunya akan mendukung pembentukan karbon aktif yang lebih porous. Pada karbonisasi pirolisis, morfologi permukaan arang tampak lebih utuh dan bersih.

Pada suhu karbonisasi yang sama, proses KP menghasilkan kandungan karbon terikat lebih tinggi dari arang-hidro kecuali untuk arang mangium suhu 200oC. Selama hidrolisis pada proses KH, hemiselulosa dan lignin mulai terdekomposisi pada suhu sekitar 180oC dan selulosa disekitar 200oC (Bobleter 1994). Hidrolisis menghasilkan glukosa, selobiosa dan seloheksosa yang kemudian terdehidrasi dan terfragmentasi menjadi furan sebagai perantara (intermediate) pembentukan aromatik karbon melalui proses kondensasi dan dehidrasi (Titirici et al. 2008b, Sevilla dan Fuertes 2009b, Ryu et al. 2010), produk antara ini kaya akan gugus fungsi (Hu et al. 2008).

Berbeda dengan kayu mangium dan pinus, komonen kimia tempurung kemiri (T. kemiri) didominasi oleh lignin. Struktur lignin bersifat lebih amorf yang ditunjukkan dari rendahnya derajat kristalinitas. Namun demikian komponen lignin lebih sulit terdekomposisi dibandingkan hemiselulosa dan selulosa karena disusun dari unit phenil propana yang lebih stabil. Keberadaan lignin di dalam struktur kayu terletak pada lamela tengah yang berfungsi sebagai perekat dan penguat struktur biomasa. Pada saat karbonisasi berlangsung lignin mampu melindungi selulosa (Dinjus et al. 2011) sehingga difraktogram selulosa masih tampak pada arang-hidro T. kemiri suhu 200oC dan 300oC serta arang T. kemiri suhu 200oC.

Pembentukan porositas berstruktur mikropori dipengaruhi oleh kandungan materi mudah menguap pada biomasa dan produk karbonisasi. Diantara komponen kimia yang ada, sifat tersebut terdapat pada selulosa dan hemiselulosa sehingga kemudahan dekomposisi oleh perlakuan panas (karbonisasi) akan berpengaruh terhadap pembentukan karbon aktif dengan porositas tinggi menghasilkan karbon nanoporous. Spektrum inframerah mengindikasikan bahwa kayu pinus memiliki gugus fungsi oksigen lebih besar dibandingkan mangium dan T. kemiri. Gugus fungsi tersebut tampak pada bilangan gelombang disekitar 3370cm-1 yang merupakan regangan gugus OH terikat dan dikisaran 1400-1000 cm-1 berupa C-OH bebas. Melalui karbonisasi, gugus hidroksil teroksidasi membentuk karboksil dan aldehida berupa regangan vibrasi C=O di bilangan gelombang 1720-1700cm-1. Pembentukan gugus tersebut pada arang pinus lebih besar dibandingkan arang mangium dan meningkat dengan naiknya suhu karbonisasi. Saat proses aktivasi berlangsung terjadi dekarboksilasi membentuk aromatik karbon.

Perubahan struktur arang dan arang-hidro dari spektrum infra merah sangat berbeda pada suhu karbonisasi 300oC. Pada proses hidrotermal terjadi hidrolisis menghasilkan produk antara berupa selobiosa hingga seloheksosa dan monomer sakarida. Produk-produk tersebut kaya akan gugus fungsi oksigen yang dicirikan dari tingginya kandungan gugus OH (Sevilla dan Fuertes 2009a). Hasil ini sejalan dengan kandungan materi mudah menguap yang tinggi pada produk arang-hidro dibandingkan arang. Kondisi ini menyebabkan derajat kristalinitas, indeks kematangan karbon, karbon terikat dan tingkat aromatisasi arang-hidro lebih

rendah dari pada arang. Sebagai bahan baku atau prekursor pembuatan karbon nanoporous, kondisi atau sifat dari arang-hidro lebih mendukung. Selanjutnya, sifat arang-hidro suhu 200oC dari kayu pinus lebih berpeluang menghasilkan karbon nanoporous dibandingan arang-hidro suhu 300oC. Arang-hidro suhu 200oC telah menunjukkan adanya indeks kematangan dan tingkat aromatisasi karbon serta struktur selulosanya mulai terdekomposisi. Hal yang sama terjadi pada arang suhu 200oC, namun struktur kristalografinya lebih tinggi dari arang-hidro atau bersifat lebih kaku dan kandungan materi mudah menguap lebih rendah. Sifat ini akan menghasilkan karbon aktif dengan porositas lebih rendah.

Aktivasi menggunakan KOH dan uap air telah membentuk karbon aktif dengan porositas tinggi terutama dari biomasa kayu pinus. Struktur kristalografi yang belum kaku (derajat kristalinitas rendah) pada arang memudahkan penataan ulang unsur karbon menjadi karbon nanoporous sekalipun dengan pemakaian aktivator KOH rendah.

Karakteristik difraktogram sinar-X karbon aktif pinus sedikit berbeda dengan mangium dan tempurung kemiri. Struktur kristal selulosa kayu pinus tersusun dari perpaduan antara monoklin (I) dan triklin (Iα) sedangkan mangium didominasi oleh monoklin. Struktur kristal monoklin lebih teratur dari triklinik yang dicirikan dari rendahnya derajat kristalinitas kayu pinus. Sifat bahan baku tersebut mempengaruhi sifat amorphous pada arang dan arang-hidro sebagai prekursor serta karbon aktif yang dihasilkan. Sifat ini juga berpengaruhi terhadap rendahnya pembentukkn tinggi (Lc), jumlah lapisan aromatik (N) dan jarak antar lapisan aromatik (d-spacing).

Arang dan arang-hidro pinus pada suhu karbonisasi 200°C memiliki derajat kristalinitas dan kematangan karbon lebih rendah dari karbonisasi suhu 300°C dan materi mudah menguap lebih besar. Pada saat aktivasi, terbentuk radikal karbon yang kemudian menyusun aromatik karbon. Penataan karbon kearah lebar (La) lebih besar karena reaktivitas pada bidang tersebut lebih kuat dibandingkan kearah tinggi (Lc). Radikal karbon pada produk karbonisasi suhu 200oC lebih banyak (materi mudah menguap tinggi) sehingga aromatik karbon lebih melebar. Fenomena ini berbeda dengan arang dan arang-hidro suhu 200oC walaupun memiliki bahan menguap lebih besar dari suhu 300oC tetapi belum terbentuk kerangka aromatik karbon. Pada proses aktivasi, radikal karbon seolah menata struktur aromatik dari awal sehingga lebar aromatiknya lebih kecil dari prekursor suhu 300oC yang telah memiliki kerangka aromatik karbon.

Karbonisasi kayu pinus pada suhu 300°C menghasilkan material karbon dengan derajat kristalinitas tinggi dari suhu 200oC. Kondisi ini menyebabkan jumlah lapisan aromatik karbon (N) relatif lebih tahan terhadap dekomposisi selama proses aktivasi. Sementara itu pada bidang mendatar (La) terjadi sedikit penambahan lebar lapisan aromatik. Reaktivitas pada bidang mendatar lebih besar dari bidang vertical (Lc), sehingga penataan karbon pada bidang La lebih intensif terutama dari prekursor yang mengandung materi mudah menguap tinggi.

Dokumen terkait