• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Hubeis (2009) usaha kecil secara kriteria dapat dikelompokkan atas dua pemahaman sebagai berikut :

1. Ukuran dari usaha atau jenis kewirausahaanya/tahap pengembangan usaha.

Dalam hal ini usaha kecil diklasifikasikan atas (1) Self-employment perorangan; (2) Self-employment kelompok; dan (3) industri rumah tangga yang berdasarkan jumlah tenaga kerja dan modal usaha.

Tahap pengembangan usahanya dapat dilihat dari aspek pertumbuhan menurut pendekatan efisiensi dan produktivitas, yaitu (1) tingkat survival menurut ukurannya (Self-employment perorangan hingga industri rumah tangga); (2) tingkat konsolidasi menurut penggunaan teknologi tradisional yang diikuti dengan kemampuan mengadopsi teknologi modern; serta (3) tingkat akumulasi menurut penggunaan teknologi modern yang diikuti dengan keterkaitannya dengan struktur ekonomi maupun industri.

2. Tingkat penggunaan teknologi.

Dalam hal ini usaha kecil terdiri atas (1) usaha kecil yang menggunakan teknologi tradisional yang nantinya meningkat menjadi modern dan (2) usaha kecil yang menggunakan teknologi modern dengan kecenderungan semakin menguat keterkaitannya dengan struktur ekonomi secara umum dan struktur industri secara khusus.

Usaha kecil yang benar-benar kecil dan mikro dapat dikelompokkan atas pengertian :

a. Usaha kecil mandiri, yaitu tanpa menggunakan tenaga kerja lain; b. Usaha kecil yang menggunakan tenaga kerja anggota keluarga

sendiri;

c. Usaha kecil yang memiliki tenaga kerja upahan secara bertahap. Usaha dengan kategori yang dimaksud di atas adalah yang sering dipandang sebagai usaha yang banyak menghadapai kesulitan, terutama

yang terkait dengan lemahnya kemampuan manajerial, teknologi dan permodalan yang terbatas, SDM, pemasaran dan mutu produk serta faktor eksternal merupakan hambatan yang sulit diatasi, yaitu struktur pasar yang kurang sehat dan berkembangnya perusahaan – perusahaan asing yang menghasilkan produk sejenis untuk segmen pasar yang sama. Dalam perkembangannya menurut Hubeis (2009) UKM dapat dikelompokkan atas faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu :

1. Lokasi

a. UKM yang memperoleh bahan baku (pangan) secara meyebar seperti mentega, keju dan susu bubuk pada umumnya melakukan proses yang ditandai dengan pengurangan berat dan pembuatan dimensi menjadi kecil sehingga biaya pengiriman produk dapat ditekan lebih murah dibandingkan dengan biaya angkut bahan baku.

b. Produk hanya mempunyai pasar lokal terbatas dan biaya transport relatif tinggi. Sebagai contoh es krim, kasur dan batu bata. Proses yang dilakukan ditandai dengan produk besar, berat, sulit dipegang dan mudah rusak, kombinasi dari sumber yang terpisah, biaya pemindahan produk jadi lebih tinggi dari biaya pemindahan bahan baku, maka lokasi perlu dekat dengan pasar dan proses produksi memakai biaya cukup besar, tetapi terdiri atas operasi(teknik) pencampuran sederhana atau proses sederhana lainnya yang memberikan keuntungan relatif kecil untuk perusahaan besar atau lebih menguntungkan bila dibuat oleh UKM.

c. UKM jasa, seperti percetakan, pelapisan logam dan pengerjaan panas logam dengan proses yang ditandai oleh permintaan bervariasi akibat pesanan individual, mempunyai kontak langsung yang erat dengan konsumen dan memerlukan ketrampilan khusus sehingga biaya tenaga kerja menjadi lebih besar, lokasi perusahaan dekat dengan lokasi konsumen dan tidak cocok untuk indusri perusahaan besar karena jumlah konsumennya terbatas.

2. Proses

a. UKM dengan proses pabrikasi yang dapat dipisahkan. Dalam hal ini produk yang dihasilkan menuntut adanya operasi pengerjaan yang dapat dipisahkan seperti produk yang dikerjakan dengan mesin perkakas. Sebagai contoh mur baut dan piston. Proses biasanya ditandai oleh tuntutan adanya spesialisasi keahlihan tinggi (inovasi) dan pembagian tugas dalam melaksanakan proses; memerlukan alat-alat khusus dan alat-alat bantu dalam melaksanakan proses operasi; adanya integrasi maupun pemisahan berbagai proses; baik dalam satu pabrik atau beberapa pabrik dan lokasi perusahaan dekat dengan konsumen sehingga memudahkan komunikasi untuk pesanan-pesanan khusus. Hal lainnya potensi pasarnya terbatas.

b. UKM memerlukan presisi, seperti baju dan perhiasan (intan/batu-batuan). Proses produksinya biasanya ditandai dengan lebih banyak pekerjaan menggunakan tangan dan dengan tingkat ketrampilan tinggi; biaya transportas rendah dibandingkan dengan harga produk; dapat memilih lokasi di pusat-pusat distribusi, dengan harga harus mendekati sumber-sumber bahan baku atau konsumen, tetapi untuk jenis produk yang nilainya lebih rendah (misalnya usaha kap lampu, bunga plastik) dengan transportasi produk relatif tinggi; maka lebih baik memilih lokasi lebih dekat dengan konsumen agar mengurangi persaingan.

c. Perakitan sederhana, seperti proses pencampuran dan proses finishing. Sebagai contoh pabrik lem, penjilitan buku dan pabrik tinta cetak. Proses ditandai dengan adanya operasi fisik relatif sederhana sehingga pabrik berukuran kecil, proses tidak rumit dan jumlah tidak banyak serta memerlukan peralatan mesin-mesin sederhana yng tidak menuntut skala ekonomi tinggi.

3. Pasar.

a. Rendah, seperti peralatan jadi, tas dan dompet. Proses ditandai dengan pembuatan dalam jumlah besar (massal), tetapi tidak dalam waktu lama sehingga terdapat keragaman produk. Keberagaman

produk mendorong produk berorientasi pada proses perakitan yang tidak menuntut peralatan mahal, tetapi biaya bahan merupakan unsur relatif tinggi prosentasenya bila dibandingkan dengan biaya pembuatan sehingga membatasi aspek penggunaan dan dimensi konsumen produk tersebut.

b. UKM yang melayani pasar berukuran kecil. Sebagai contoh pembuatan tenda dan jok mobil. Proses ditandai dengan kecilnya permintaan untuk setiap jenis produk dan pemasukan pendapatan yang kecil sehingga tidak menguntungkan bagi usaha dengan investasi besar. Kecilnya produk yang dihasilkan akibat sifatnya yang bervariasi dan selalu berbeda demi memenuhi selera konsumen serta potensi pasar terbatas.

B. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)

Upaya-upaya penanggulangan kemiskinan salah satunya adalah memperkuat peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Selama ini UMKM diakui keberadaanya sebagi penopang perekonomian masyarakat. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 memberikan pelajaran bahwa UMKM sanggup memberi kontribusi terhadap perekonomian nasional, khususnya dalam menyediakan kesempatan kerja, Pramono Dian, dkk (2009)

Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan UMKM adalah :

1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perseorangan dan/atau

badan usaha perseorangan yang memenuhi usaha mikro dengan kriteria memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau

menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar dengan kriteria memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 ( dua milyar lima ratus juta rupiah).

3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,

yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan kriteria memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

Tabel 2 Kriteria UMKM Menurut UU 20 Tahun 2008

Jenis Usaha Aset

(dlm juta rupiah) Omset (dlm juta rupiah) - Mikro ≤ 50 ≤ 300 - Kecil 50 – 500 300 – 2.500 - Menengah 500 – 10.000 2.500 -50.000 Sumber: Iwantoro,2006

Sesuai data tahun 2003 Kantor Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang dikutip oleh Hubeis (2004) bahwa jumlah UK menduduki peringkat terbanyak yaitu 41,3 juta unit atau sekitar 99,13 % dari skala usaha yang ada di Indonesia. Sedangkan Usaha Menengah dan Besar (UMB) masing-masing 361.052 unit (0,87%) dan 2.158 unit (0,01%). Kontribusi UKM terhadap perekonomian Nasional masih dibawah Usaha Besar (UB) yaitu 43,42% sedangkan UB 44,9%. Akan tetapi UKM memiliki angka kesempatan kerja paling besar yaitu 88,92%, hal ini berarti skala usaha

ini dapat menyerap 88,92% dari seluruh angkatan kerja yang telah bekerja pada 9 sektor kegiatan ekonomi.

UKM di Indonesia merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi kerakyatan dan ikut berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, UKM sudah teruji bahwa mereka memiliki ketahanan hidup yang tinggi disaat krisis ekonomi, maka UKM perlu diberdayakan dengan pendekatan partisipatif dari UKM itu sendiri dalam mengembangkan usahanya.

Menurut Hubeis, (2004) bahwa UKM mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai berikut :

a. Kelebihan

Organisasi internal sederhana terutama pada usaha mikro dan kecil, sedangkan pada usaha menengah cukup terstruktur.

Mampu meningkatkan ekonomi kerakyatan atau padat karya dan berpeluang untuk mengisi pasar ekspor dan mensubtitusi impor. Relatif aman bagi perbankan dalam pemberian kredit.

Bergerak dibidang usaha yang cepat menghasilkan. Mampu memperpendek rantai distribusi.

Fleksibilitas dalam pengembangan usaha. b. Kekurangan

Lemah dalam kewirausahaan dan manajerial. Keterbatasan ketersediaan keuangan.

Ketidak mampuan pemenuhan aspek pasar. Keterbatasan pengetahuan produksi dan teknologi Ketidakmampuan informasi.

Tidak didukung kebijakan dan regulasi memadai. Tidak terorganisasi dalam jaringan dan kerjasama Sering tidak memenuhi standar.

Menurut Hubeis (2009) selain faktor kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh UKM, maka dapat ditemui empat (4) faktor umum yang dapat mempengaruhi kegagalan dan keberhasilan sektor usaha UKM. Empat (4) faktor yang mempengaruhi kegagalan usaha kecil yaitu (1) Manajerial yang

tidak kompeten, (2) Kurang memberi perhatian, (3) Sistem kontrol yang lemah dan (4) Kurangnya modal. Sedangkan faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha kecil adalah (1) Kerja keras, motivasi, dan dedikasi, (2) Permintaan pasar akan produk atau jasa yang disediakan, (3) Kompetensi manajerial dan (4) Keberuntungan.

Secara umum UKM mempunyai tantangan internal dan eksternal, tantangan internal usaha kecil melekat pada dirinya yaitu kelemahan manajerial dan skala ekonomi terbatas. Sedangkan tantangan eksternal sebagian berasal dari kemitraan yang dibangun dengan usaha besar. Program penyelenggaraan PKBL dilaksanakan melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN, dimana tiap BUMN diwajibkan menyisihkan 1-3% dari laba bersihnya untuk program kemitraan yaitu meningkatkan kemampuan usaha kecil menjadi tangguh, mandiri dan unggul sehingga peranannya dalam penyerapan tenaga kerja, ekspor dan pembentukan produk domestik bruto semakin meningkat (Kementrian BUMN, 2003).

C. Pembinaan dan Pengembangan UKM

Upaya pembinaan dan pengembangan UMKM adalah yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha (swasta) dan masyarakat melalui bimbingan dan bantuan perkuatan guna peningkatan kemampuan UMKM agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Lingkup pembinaan yang dilakukan adalah bidang produksi, pemasaran, keuangan, tenaga kerja dan teknologi.

Menurut Ahmad Sulaeman (2010) pembinaan di lapangan yang dilakukan pemerintah belum semua berjalan efektif, karena :

(1) Pembangunan UMKM masih bersifat Top down walaupun sudah otonomi. Pemerintah Pusat belum rela untuk berbagi tugas dengan Pemerintah Daerah.

(2) Kurang koordinasi masing-masing pembina sehingga di lapangan ada beberapa kegiatan yang tumpang tindih.

(3) Program Pemerintah masih berjalan secara parsial, kurang memberikan arti bagi pembangunan.

(4)Antara program instansi terkait, satu program dengan program lain ada yang tumpang tindih, tidak konsisten dan berkesinambungan

(5)Lembaga pendukung pelayanan jasa seperti Business Development Service (BDS) masih belum profesional untuk membangun UMKM.

Dalam rangka pembinaan dan pengembangan UKM pemerintah sebenarnya telah banyak memberikan kemudahan kepada pengusaha kecil dalam rangka memperoleh bantuan berbagai fasilitas untuk mendorong peningkatan UKM, bahkan jauh-jauh sebelumnya, para pendiri Republik Indonesia telah memberikan dukungan berdasarkan perundang undangan yang jelas dan tegas kepada koperasi, sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya. MPR RI juga secara tegas selalu mencantumkan perlunya pemberdayaan UKM pada setiap GBHN yang ditetapkan dan selanjutnya diperkuat dengan adanya UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Kebijakan pada tataran makro akan menentukan kondusif atau tidaknya sistem dan kondisi perekonomian dengan pembangunan UKM. Kebijakan pada tataran makro akan menentukkan struktur dan tingkat persaingan pasar yang dihadapi oleh pelaku usaha termasuk UKM. Tugas Pemerintah (baik pusat maupun daerah) untuk menumbuh kembangkan iklim yang kondusif bagi UKM, dalam arti UKM memiliki kesempatan berusaha yang sama dan menanggung beban yang sama dibandingkan pelaku usaha lainnya secara proporsional.

UU No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil pasal 14 merumuskan bahwa pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan usaha kecil dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, SDM, ketenagakerjaan/kewirausahaan, teknologi dan pelayanan. Pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi (UMKM) tergantung pada beberapa faktor, yaitu :

a. Kemampuan UKMK dijadikan kekuatan utama pengembangan ekonomi berbasis lokal yang mengandalkan sumber daya lokal.

b. Kemampuan UKMK dalam peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing.

c. Menghasilkan produk yang bermutu dan berorientasi pasar (domestik maupun ekspor)

d. Berbasis bahan baku lokal. e. Subtitusi impor.

Dalam pengembangan UKM ke depan, perlu diperhatikan kelebihannya yaitu organisasi internal sederhana; mampu meningkatkan ekonomi kerakyatan yang bersifat padat karya, disamping berorientasi ekspor dan substitusi impor, aman bagi perbankan dalam memberikan kredit (0,01% pada tahun 2004 dari total kredit Rp. 119,5 trilyun dari total pinjaman bank yang diberikan ke seluruh pihak sebesar Rp. 510,6 trilyun) bergerak dibidang usaha yang cepat menghasilkan; mampu memperpendek rantai distribusi; fleksibilitas dalam pengembangan usahanya (Hubeis,2004). Walaupun demikian, juga perlu dipertimbangkan kekurangan dari UKM, yaitu lemah dalam kewirausahaan dan manajerial (terutama pemasaran), keterbatasan keuangan, ketidakmampuan informasi pasar, tidak didukung kebijakan dan regulasi memadai, tidak terorganisasi dalam menjaring dan kerjasama, serta sering tidak memenuhi standar (Hubeis, 2005).

Menghadapi perkembangan ekonomi nasional yang tidak lepas dari pengaruh ekonomi regional dan global dengan segala bentuk peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan diperlukan penciptaan iklim usaha yang kondusif dan paket program khusus yang dirancang secara terpadu dengan pendekatan baik untuk perorangan maupun kolektif, yang sesuai dengan tahapan perkembangan permasalahan yang dihadapi UKMK. Pengembangan usaha erat kaitannya dengan proses, seperti pendefinisian masalah (kekuatan-kelemahan dan peluangan-ancaman), pemecahan masalah (kreativitas) seleksi gagasan (kriteria dan uji yang sesuai aspek) dan pengayaan gagasan yang terkait dengan fungsi perusahaan (pemasaran, keuangan, produksi, administrasi dan personalia, penelitian dan pengembangan) dan fungsi manajemen (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengontrolan). Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: PER-05/MBU/2007 program PKBL terdiri dari Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. Program Kemitraan merupakan suatu program yang ditujukan

untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari 1% - 3% dari laba bersih BUMN. Usaha kecil yang dapat ikut serta dalam program kemitraan adalah sebagai berikut (1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha (2) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) (3) Milik Warga Negara Indonesia (4) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar (5) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi (6) Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan (7) Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun (8) Belum memenuhi persyaratan perbankan (non bankable). Adapun dana program kemitraan diberikan dalam bentuk : (1) Pinjaman untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan, (2) Pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha Mitra Binaan yang bersifat pinjaman tambahan dan berjangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha Mitra Binaan, (3) Beban Pembinaan :

a) Untuk membiayai pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi, dan hal hal lain yang menyangkut peningkatan produktivitas Mitra Binaan serta untuk pengkajian/penelitian yang berkaitan dengan Program Kemitraan;

b) Beban pembinaan bersifat hibah dan besarnya maksimal 20% (dua puluh persen) dari dana Program Kemitraan yang disalurkan pada tahun berjalan;

c) Beban Pembinaan hanya dapat diberikan kepada atau untuk kepentingan Mitra Binaan.

Menurut Undang – Undang RI Nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil yang dimaksud kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan

pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.

Prinsip kemitraan sesuai pasal 26 UU RI Nomor 9 tentang usaha kecil adalah :

1) Usaha Menengah dan Usaha Besar melaksanakan hubungan kemitraan dengan Usaha Kecil, baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki keterkaitan usaha.

2) Pelaksanaan hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diupayakan ke arah terwujudnya keterkaitan usaha.

3) Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.

4) Dalam melakukan hubungan kemitraan kedua belah pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara.

Tujuan kemitraan menurut Lubis, (2007) adalah untuk meningkatkan kesempatan berusaha dan kemampuan manajemen dalam satu atau lebih aspek:

a) Bidang produksi dan pengolahan b) Bidang pemasaran

c) Bidang sumber daya manusia (SDM) d) Bidang teknologi

e) Penyediaan bahan baku

f) Pengolahan Usaha dan pendanaan.

Kemitraan dilaksanakan dengan berbagai pola, Hubeis (2009) adalah : a) Pola Inti Plasma : merupakan pola hubungan kemitraan antara

kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis dan manajemen serta menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi disamping memproduksi kebutuhan perusahaan. Kelompok mitra usaha memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati.

b) Pola Subkontrak : pemberian seluruh/sebagian proses produksi atau pembuatan lahan perusahaan besar kepada perusahaan kecil. Ciri khas dari bentuk subkontrak adalah membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan waktu. Pola ini mempunyai keuntungan yang dapat mendorong terciptanya alih teknologi, modal dan keterampilan serta menjamin produk kelompok mitra usahanya. c) Pola Dagang Umum (vendor) : pembelian produk industri kecil untuk

memenuhi operasional industri besar/menengah atau untuk di ekspor (dipasarkan oleh perusahaan besar) atau hubungan kemitraan dalam memasarkan hasil usaha kelompok usaha yang dibutuhkan perusahaan. Beberapa kegiatan agribisnis holtikultura menerapkan pola ini dan kelompok tani bermitra dengan toko swalayan atau mitra usaha dagang lainnya. Pola yang sama adalah contract farming pada komoditas holtikultura yang dikembangkan oleh para pengusaha. Kiat tersebut secara nyata dipraktikkan dalam membina petani produsen mitra. d) Pola Waralaba : salah bentuk hubungan kemitraan antara kelompok

mitra dengan perusahaan pemberi hak lisensi, merek dagang, saluran distribusi perusahaanya kepada kelompok mitra usaha sebagai penerima waralaba yang disertai dengan bantuan manajemen. Pemilik waralaba bertanggung jawab terhadap sistem operasi, pelatihan, program pemasaran, merek dagang, dan hal lainnya kepada mitra pemegang usaha. Pemegang waralaba hanya mengikuti pola yang ditetapkan pemilik serta memberikan sebagian pendapatan berupa royalti dan biaya yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut.

e) Pola Keagenan : salah satu hubungan kemitraan dimana usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya yang bertanggung jawab terhadap produk yang dihasilkan, sedangkan usaha kecil kewajiban untuk memasarkan barang atau jasa tersebut, bahkan disertai dengan target yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.

f) Sistem Kerjasama “Bapak Angkat“ yang meliputi orientasi pasar, hal

yang jelas dan berulang, didukung bahan bakuyang tersedia serta telah teruji dan mudah dialihkan.

g) Pembinaan oleh BUMN berupa program kemitraan : meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN; dan program bina lingkungan; pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN di wilayah usaha BUMN tersebut melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.

h) Kontrak bisnis : adanya interaksi yang pasif.

i) Kontrak bisnis : adanya bentuk ini membuat hubungan lebih bersifat aktif.

j) Kerja Sama Bisnis : pada bentuk ini hubungan bisnis di samping bersifat aktif juga bervariasi sampai kepada penanganan manajemen misalnya dalam bentuk joint operation (bidang pemasaran), joint venture (bidang keuangan , produksi, dan lain-lain).

k) Keterkaitan bisnis (linkages) : bebas dalam usaha tetapi sepakat melakukan engineering subcontract (bukan subkontrak yang bersifat komersial) dalam proses produksi. Dalam hal ini tidak mengedepankan perjanjian bisnis murni, tetapi azas saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Program Bina Lingkungan yaitu program pemberdayaan kondisi masyarakat dan lingkungan yang berada di sekitar lokasi perusahaan, melalui pemanfaatan dana sebesar maksimal 2 % dari laba bersih BUMN. Program Bina Lingkungan diberikan dalam bentuk hibah khusus bagi masyarakat kurang mampu dalam bentuk bantuan pendidikan, bantuan kesehatan, bantuan bencana alam, bantuan sarana dan prasarana umum, serta bantuan sarana ibadah. Berbagai program ini dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kesempatan kerja dan mengurangi tingkat kemiskinan dengan prioritas sektor sektor yang memiliki daya tampung tenaga kerja yang tinggi seperti pada sektor pertanian, industri padat karya, perdagangan dll.

Dokumen terkait