Dimasa pemerintahan Belanda, „financieele verhouding” baru muntjul pada tahun 1938, sebagai keharusan jang langsung diakibatkan oleh usaha memperluas tugas „gebiedsdeelen met eigen middelen” jaitu Regentschappen, dan stadsgemeenten, jang dalam tahun 1936 menerima penjerahan urusan sekolah Rakjat dan Provincies jang diserahi urusan pertanian rakjat, ke hewanan dab. Penjerahan tugastugas itu mendjadi dasar per imbangan keuangan, sebab pads pokoknja usahausaha dalam rangka hak otonomi, jaitu „de zelfstandige behaftiging van specie fink plaatselijke belangen” harus dibiajai dengan padjak dan retribusi sedaerah.
Pada masa itu pengawasan alas pengeluaran dan penerima an daerah dilakukan dengan sangat teliti oleh pihak atasan, se hingga apabila dalam anggaran keuangan tahunan djumlah pengeluaran sesuatu daerah otonoom kita sebut X dan djumlah penerimaan Y, maka tekort atau kekurangan dalam anggaran keuangan jang kita sebut Z dapat dikatakan tidak dapat ditawar tawar lagi. Z sebagai hash X — Y merupakan tekort jang ra sionil, jang dalam ,financieele verhouding 1938" didjadikan djumlah pangkal untuk menjerahkan persentase tertentu dari hasil beberapa padjak Negara, sampai djumlah jang besarnja Z pula.
Kalau dimasa pendjadjahan itu pemberian otonomi hanja bersifat fakultatif, sehingga ada ± 120 daerah otonom, jaitu 3 Provincies _. 80 Regenschappen, 30 Stadsgemeenten dan 10 Daerahdaerah lain maka kini wilajah Negara, dibagi habis men djadi 22 Daerah tingkat 1 dan 256 Daerah Tingkat II.
Djumlah tidak mendjadi soal, tetapi jang panting ialah tarap kedewasaan. Ada jang lahir dalam tahun 1905 seperti Kotapradja Djakarta Raya ; banjak jang sudah dewasa; tetapi banjak pula jang seolaholah barn berotomi diatas kertas.
Isi rumah tangga dengan sendirinja berbedabeda, namun masih bersimpangsiur. Suatu keadaan jang dalam Undangun dang No. 1 1957 mau kits tampung dengan istilah huishoudings begrip jang riil, sebagai djalan tengah antara huishoudingsber grip jang formil dan. materiel jang lazim.
Sebaliknja isi rumahtangga Daerahdaerah jang dulu ber naung dibawah „Zelfbestuurregelen 1938” atau kontrak pandjang seperti Daerah Istimewa Jogjakarta, telah mendjalankan otonomi jang berisi, namun melampaui batas Undangundang No. 6 . 1959 tentang „penjerahan pemerintahan umum”.
Sebabmusabab dari itu semua umumnja kita ketahui. Kem ball pada soal isi rumahtangga Daerah, kami mengkonstatir bahwa „mengurus dan mengatur rumahtangga sendiri” berarti memelihara kepentingan chusus dirt sendiri dengan keuangan sendiri. Djadi bukan sadja berotonomi tapi djuga ber„otonomi (money)" seperti kami fahami.
Dasar berkeuangan sendiri jni jang menimbulkan banjak ke. sukaran umumnja anggaran keuangan jang disusun oleh Daerah daerah merupakan „daftar keinginan” tanpa. memperhitungkan kemampuan sendiri ataupun kemampuan Negara. Pada pihak lain Negara jang harus memberi „bloedtransfusi” via sluitpost", merasakan kelemahankelemahan sistim „sluit post” jtu,ibaik untuk Pusat maupun untuk Daerah. Djuga ternjata bahwa bertambahnja djumlah pengeluaran, tidak sedjalan dengan bertambahnja hasil padjak jang harus diusahakan oleh Daerah. Namun tampak keseganan untuk mengadakan atau menagih pa djak, karena pengaruh rasa merdeka sebagai warga Negara dan pengaruh sudah berotonomi sebagai warga Daerah. Ini disebab kan pula oleh kechawatiran bahwa tundjangan dari Kas Negara jang diberikan via „sluitpost sijsteem” akan berkurang, apabila penghasilan Daerah bertambah. Dalam suasana jang suram ini tim bul keharusan mengenai: 4. Pelaksanaan ketentuanketentuan jang kini berlaku. Berdasarkan pasal 3 Undangundang No. 32 tahun 1956 dan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1947 diserahkan : kepada Daerah tingkat I : (a) padjak verponding (ord. verp. 1928) (b) „ rumah tangga (ord. 1908). (c) ,, kendaraan bermotor (ord. 1934). kepada daerah tingkat II : (d) padjak verponding Indonesia (ord. verp. Ind.) (e) „ djalan (ord. 1942) (f) „ potong (ord. 1936) (g) „ kopra (U.U. N.I.T. No. 16/1949) (h) ,, pembangunan (U.U. No. 14/1947). Delapan djenis padjak tersebut didjadikan padjakdaerah.. Seterusnja terdapat pasal 4 dari Undangundang itu jang pada pokoknja menetapkan bahwa sebagian dari penerimaan : (a) padjak peraiihan, (b) „ upah, (c) „ meterai, (d) „ kekajaan, (e) „ perseroan diserahkan kepada Daerahdaerah. Demikian djuga hainja dengan penerimaan. (f) beamasuk, (g) beakeluar dan (h) tjukai, menurut ketentuan pada pasal 5.
Perlis diperhatikan bahwa mengenai 5 djenis padjak pada pa sal 4, dan 3 djenis retribusi pada pasal 5 dinjatakan, bahwa seba gian dari penerimaan jang diserahkan untuk dimasukkan dalam suatu pot atau dana seperti termaksud dalam pasal 6 Undangun dang.
Isi daripada pot atau dana itu mendjadi milik bersama semua Daerah dan dibagibagikan dengan mengingat faktorfaktor jang mempengaruhi keadaan keuangan daerah, antara lain : (a) luas daerah, (b) djumlah pendudu'k, (c) potensi perekonomian, (d) tingkat ketjerdasan rakjat, (e) tingkat kemahalan, (f) pandjangnja djalandjalan jang diurus oleh daerah, (g) pandjangnja saluran pengairan jang diurus oleh daerah, (h) hal apakah daerah itu seluruhnja atau sebagian terdiri dari pulaupulau.
Pasal 6 memuat dasar untuk menjusun rumus, tjara bagai mana masingmasing daerah mendapat bagiannja dari pot jang diisi via pasal 4 dan 5 Undangundang.
Dengan adanja pasal 6 ini kits memasuki lapangan jang kom pleks, jang sukarsulit dan berbelitbelit, karena kita mau berlaku add, dan mau bekerdja sistimatis dengan mendjungdjung tinggi Negara Kesatuan.
Menurut konsepsi bermula, pertamatama isi iitu dibagi habis kepada Daerah tingkat I, kemudian Daerah tingkat I melakukan pembagian antara Daerah tingkat I itu dan Daerahdaerah tingkat II dalam lingkungannja.
Tetapi dengan ketentuan itu belum terpetjahkan lagi persoalan, bagaunana rumus sistim itu.
Sementara persoalan sistim masih tergantung, bersuaralah wakil wakil dalam Musjawarah Nasional, jang menuntut supaja dasar penggunaan sistim pot diganti. Setidaktidaknja sistim pot itu di. krokot (uitgehold) sehingga Daerahdaerah menerima hasil bagi nja dari pasal 4 dan 5 setjara langsung.
Tegasnja, hendaknja kepada Daerahdaerah diberi kesempatan me nerima langsung bagiannja dari : (a) padjak peralihan, (b) „ upah, (c) „ meterai, (d) ,, kekajaan, (e) „ perseroan, (f) beamasuk, (g) beakeluar, (h) tjukai. 2500
Dengan tidak perlu mengemukakan soalsoal apa jang mesti dipetjahkan lebih dahulu untuk meinenuhi keinginan Munas itu, maka dengan menjimpang dari Undangundang jang bersang kutan, lahirlah Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1958 tentang penetapan presentase dari penerimaan beberapa padjak Negara untuk Daerahdaerah, jaitu dalam tahun permulaan tahun 1958. Dengan adanja Peraturan Pemerintah itu, maka Daerahda erah tingkat I diberi hak : (a) mengambil alih pemungutan : (1) padjak merponding (2) „ rumahtangga (3) padjak kendaraan bermotor dan (b) memperoleh dari Kas Negara, bagian dari penerimaan : (1) padjak peralihan sebanjak 60% (2) „ djalan ,, 90% (3) „ kekajaan „ 75% (4) „ perseroan „ 75% (5) beamasuk „ 50% (6) beakeluar ,, 50% sedjalan dengan itu daerah tingkat II. (a) akan mengambil alih pemungutan : (1) padjak verponding Indonesia (2) „ djalan (3) „ potong (4) „ kopra (5) „ pembangunan. (b) dan akan memperoleh dari Kas Negara, bagian dari : (1) padjak peralihan (penetapan besar) sebanjak 30% (2) „ „ ( „ ketjil) „ 90% (3) „ upah (meterai) sebanjak 90% Berapa djumlah jang sebenarnja untuk masingmasing Dae rah dapat diketahui setempat dengan bekerdja sama dengan dinas dinas padjak jang bersangkutan. 5. Keadaan dalam pengaruh P.P. No. 12 tahun 1958. Setjara umum dapat dikemukakan, bahwa berdasarkan ke adaan dalam tahun 1958, mengenai seluruh Indonesia, penjerahan pungptan dan penjerahan penerimaan seperti digambarkan diatas menutup ± 60% dari kebutuhan Daerah tingkat I dan ± 70% dari kebutuhan Daerah tingkat II, sehingga djumlah tundjangan akan mendjadi ratarata 40% bagi Daerah tingkat I dan 30% bagi Daerah tingkat II.
Kalau diperhatikan, sampai tahun itu tundjangan jang ber sifat „sluitpost” berdjumlah ± 70% bagi Daerah tingkat II. Ma ka dapat dimengerti bahwa ketentuan jang telah diambil telah menundjukkan arah kemadjuan.
Kemadjuan ini, biarpun hanja relatip atau karena perban dingan sadja, mempunjai arti jang penting, sebab turunnja per sentase tundjangan via sluitpost:
(a). bagi Daerah tingkat I dari 95% djadi 40%, dan (b) bagi Daerah tingkat 3I dari 70% djadi 30%,
maka tak dapat disangkal bahwa Daerahdaerah akan dapat me rasa lebih leluasa dalam mendjalankan. kebidjaksanaan keuang an dalam masingmasing Daerahnja. Tentu lain perasaan itu, apabila Daerah tiaptiap tahun membuat anggaran, jang misalnja menundjukkan 10% penerimaan sendiri dan 90% tundjangan dari Kas Negara.
Dengan perhitungan diatas, njata bahwa tundjangan beru pa sluitpost tetap masih ada, jaitu ratarata 40% bagi Daerah tingkat I dan 30% bagi Daerah tingkat II.
Dalam keseluruhannja tundjangan. berupa sluitpost itu berdjum lah ± 1 Miljard dan djumlah via penjerahan padjak ± 3 Miljard ditambah pada djunilah penerimaan Daerahdaerah sebesar ± ½ Miljard, maka pada tahun 1958 penerimaan semua Daerahdaerah berdjumlah 4½ Miljard.
Untuk mengetahui padjakpadjak mana atau hasil dari pa djakpadjak mana daripada Negara jang dapat diserahkan ke pada Daerah, dapat dikatakan bahwa hampir semua djenis pa djak jang bersifat pungutan tetap (vaste heffingen) sudah ditin djau dan diserahkan, sepandjang ada kemungkinan untuk mem bagi hasil padjak itu menurut lingkungan Daerah.
Daerah padjakpadjak itu tidak seberapa lagi jang hasilnja akan tinggal dalam Kas Negara. Maklumlah bahwa tiaptiap penam bahan kepada Daerah berarti pengurangan dalam Kas Negara.
Kalau hendak ditanja, sumber apa jang tinggal untuk pem biajaan keperluan Negara, maka dapat dikemukakan bahwa se djak perang dunia keII, seperti djuga terdjadi di Negara negara lain, keuangan Negara umumnja ditutup dengan pungutan chusus, seperti Tjukai, T.P.I. Penerimaan Bukti Ekspor dan se bagainja, sedang padjakpadjak tetap jang lama jang mendjadi sumber penghasilan penting, kini tidak terlalu berarti lagi. „In komstenbelasting” misalnja jang dahulu menutup ± 40% dari pengeluaran Negara, dalam tahun 1958 berdjumlah Rp. 1.000.000. 000,
Bagaimanapun djuga, Pemerintah tidak diam dan mengetahui bahwa ketentuan jang sudah ada bare inerupakan langkah pertama.
Langkah itu direalisir di Daerahdaerah dan dengan penje rahan jang sudah ada akan terlihat berapa hasil ditiaptiap Dae rah. Hasil itu akan mendjadi petundjuk pula, berapa besarnja ke mampuan keuangan masingmasing Daerah berdasarkan. perhi
tungan jang njata. Hal ini penting, sebab luasnja otonomi tidak dapat diukur sadja dengan kemauan, tetapi djuga dengan kemam puan keuangan Daerah itu.
Demikian wudjud pelaksanaan perimbangan keuangan menu rut keadaan dalam tahun 1958 berdasarkan P.P. NO. 12/1958, jang ditetapkan dengan menjimpang dari Undangundang, sebagai langkah kebidjaksanaan mengingat keputusan Musjawarah Na sional pada tahun 1957.