BAD 99. KEADAAN SEKARANG
§ 1151. Organisasi Negara Kesatuan a. Keadaan dan pembagian daerah R.I.
Perkembangan daerah-daerah Otonomi tahun 1950 — 1960:
TAHUN Daerahdaerah swatantra tingkat I Kabupaten II Kotapradja
1950 7 80 19
1953 8 96 21
1956 9 141 40
1957 17 145 41
1958 20 171 41
1959 20 209 47
Pada saat mulai berdirinja Negara Kesatuan Republik Indonesia hanja di Djawa jang telah ada daerahdaerah otonomi jang statusnja ditentukan oleh Undangundang Dasar Sementara 1950 jo. Undang undang No. 22 tahun 1948. Dapat dikatakan bahwa pada waktu itu seluruh wilajah Djawa — Madura ketjuali wilajah kota otonom Dja karta Raya — telah terbagi habis dalam wilajah daerahdaerah otonom termaksud, jaitu daerah otonom propinsi (termasuk Daerah Istimewa .Jogjakarta), daerahdaerah otonom propinsi itu terbagi.,bagi pula dalam daerah otonomotonom Kabupaten, Kota Besar dan Kota Ketjil.
Di Sumatera hanja terdapat 3 daerah otonom propinsi. Pemben tukan daerahdaerah otonom dibawah tingkatan Propinsi menurut Un dangundang belum dapat dilaksanakan. Walaupun demikian, guna memenuhi tjitatjita rakjat diberbagai daerah di Sumatera dengan tja ra jang tidak melalui saluransaluran hukum sebagaimana wadjarnja oleh penguasapenguasa jang berwenang di Daerahdaerah itu telah diusahakan dengan sebaikbaiknja ( berpedoman Undangundang No. 22 th. 1948) membentuk daerahdaerah jang dapat pula mengatur dan mengurus rumah tangganja sendiri.
Daerahdaerah itu dinamakan Kabupatenkabupaten Otonom dan Kotakota Otonom jang diberi nama Kota A dan Kota. B.
Begitu pula di Kalimantan jang waktu itu masih erupakan suatu propinsi administratip chusus, telah dapat dibentuk oleh Gubernur Kalimantan, Kabupatenkabupaten dan kota otonom didaerah Kaliman tan TimurSelatan.
Berhubung dasardasar hukumnja daerah kabupatenkabupaten dan kotakota otonom jang telah dibentuk oleh penguasapenguasa jang berwenang didaerah itu diraguragukan, maka daerahdaerah oto nom dalam prakteknja tidak dapat berkembang dengan pesat. Berhu bung dengan itu Pemerintah merasa perlu untuk memberikan dasar dasar hukum jang juridis dapat dipertanggung djawabkan.
Selain daerahdaerah otonom jang tersebut diatas, banjak pula terdapat daerah jang berhak mengatur dan mengurus rumahtang ganja sendiri berdasarkan peraturanperaturan jang beranekawarna tjorak dan ragamnja jang masih diakui hak hidupnja oleh Undang
8. Daerah Federasi Swapradja ; 2 di Sulawesi dengan NeoSwapradja
9. Daerah NeoSwapradja :
1 di NusaTenggara (Lombok) dan 1 di Sulawesi (Minahasa)
1 di Maluku (Maluku Selatan)
10. Daerah Federasi NeoSwapradja2 (Daerah Maluku Selatan) No. 7 sampai dengan 10 adalah Daerah jang dimaksud oleh Undangun dang 44/1950 N.I.T.
11. Swapradja :
17 di Kalimantan 56 di Sulawesi
63 di Nusa Tenggara 3 di Maluku
12. NeoSwapradja :
3 di Kalimantan Barat 10 di Sulawesi
14 di Maluku, NeoSwapradja2 jang lebih ketjil lagi jang menga dakan. federasi dalam bentuk Daerah (NeoSwapradja) Maluku Selatan (Lihat ad. 7).
13. Neostadsgemeente : 1 di Sulawesi (Makasar)
14. Landschapsstadsgemeenten : 1 di Kalimantan (Pontianak) 1 di Maluku (Ternate)
15. Desadesa dimaksud IGO dan IGOB.
16. Wilajah, sedjenis daerah tingkat III (hanja terdapat Sumatera).
17. Daerah Bahagian jang dimaksud oleo Undangundang No. 44/ 1950 Undangundang N.I.T.
18. Daerah Anak Bahagian jang dimaksud oleh Undangundang No. 44/1950, Undangundang N.I.T.
19. Daerah ex. Undangundang 44/1950 N.I.T. jang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah oleh Pemerintah R.I.
20. Daerah ex. Undangundang 44/1950 N.I.T. jang dibentuk dengan Undangundang oleh Pemerintah R.I.
19 dan 20 hanja terdapat di Sulawesi dalam tahun 1952 dan tahun 1957 untuk memetjah Daerahdaerah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara mendjadi beberapa Daerahdaerah jang lebih ketjil lagi, jaitu tiga daerah itu mendjadi 19 Daerah, dimaksudkan Undangundang No. 44/1950 N.I.T.
N.B. Sulawesi masih merupakan dua daerah propinsi administratip jang masingmasing dikepalaioleh seorang Gubernur/Pegawai Negeri/wakil pemerintah pusat. Setjara administratip pula Sulawesi telah dibagi da lam 4 wilajah residenkoordinator. Keempat wilajah itu diperintah oleh Gubernur Sulawesi, dan dapat pula berhubungan langsung dengan Menteri Dalam Negeri atau sebaliknja dihubungi langsung oleh peme rintah pusat.
Keadaan dan pembagian daerah R.I. sekarang
Pulau/Kepulauan Daerah Tingkat I Meliputi daerahdaerahTingkat II Djumlah
Total Kabupaten pradjaKota
D J A W A 1
SULAWESI Masih propinsi
administrasip 37 33 4
NUSA
TENGGARA 1617
18
IRIANBARAT 20 Irian Barat
1
SELURUH
INDONESIA 202 Propinsi administrasip
256 209 47
Dasar pembagian daerah di Indonesia.
b. Keadaan dan pelaksanaan Desentralisasi (Otonomi dan desentra lisasi) :
Pembentukan daerahdaerah Swatantra :
1. Pada saat berlakunja kembali Undangundang Dasar 1945 berdasarkan dekrit Presiden tanggal 5 Djuli 1959 (Surat Ke putusan Presiden R.I. No. 150 tahun 1959) ter'njata diseluruh wilajah Negara telah terbentuk daerahdaerah swatantra, baik Tingkat I maupun Tingkat II (termasuk Kotapradja )jang di maksudkan oleh Undangundang No. 1/1957 tentang pokok: pokok pemerintahan daerah.
Ketjuali di Sulawesi, walaupun sudah terbagi dalam daerah daerah swatantra Tingkat 1I, pada waktu ini berhubung de ngan perkembangan keadaan daerah ini, masih sadja belum dapat dibentuk/dibagi dalam daerahdaerah Swatantra Ting kat I. Perlu ditegaskan disini, bahwa kink oleh Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah sedang giat diusahakan agar Daerahdaerah Tingkat I di Sulawesi ini dapat dibentuk dalam djangka waktu jang tidak lama lagi (Rantjangan Un dangundang pembentukannja telah lama disiapkan dan kini sedang dalam penindjauan kembali).
2. Mengenai persoalan ini perlu didjelaskan sebagai berikut:
Pada masa Kabinet Karya bersamasama dengan penje rahan rantjangan Undangundang Pembentukan Daerahdae rah Tingkat II di Sulawesi, telah diadjukan suatu rantjangan Undangundang untuk membagi Sulawesi mendjadi 4 daerah Swatantra Tingkat I. Akan tetapi berkenaan dengan situasi politik dewasa itu Kabinet Karya telah memutuskan untuk menunda sementara waktu pembitjaraan mengenai Undang undang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi itu.
Menurut rantjangan Undangundang tersebut diatas, Su lawesi dibagi dalam 4 Daerah Tingkat I, jaitu :
1. Sulawesi Utara, 2. Sulawesi Tengah, 3. Sulawesi Selatan dan 4. Sulawesi Tenggara.
3. Pembagian wilajah negara dalam daerahdaerah swatantra Tingkat II itu dapat dikatakan belum tetap, karena sampai dewasa ini mungkin masih sadja ada tuntutantuntutan wa djar dari masjarakat didaerah cq, pemerintah Daerah dan Wakilwakilnja di D.Y.R., jang masih belum dapat dipenuhi a.l. :
(a) penindjauan kembali pembagian dalam Daerahdaerah Tingkat II di Daerah Tingkat I Sumatera Utara jang telah dilaksana kan berdasarkan atas Undangundang Darurat No. 7, 8 dan 9 tahun 1956.
Pada waktu Undangundang Darurat tersebut dibitjarakan dalam D.P.R. untuk ditetapkan sebagai Undangundang, maka timbul usulusul dari beberapa anggota D.P.R. untuk membentuk Daerahdaerah Tingkat II baru i.e. Kotapradja selain dari Daerahdaerah Tingkat II dimaksud dalam Undangun dang Darurat tersebut, misalnja usul membagi Daerah Ting kat II Tapanuli mendjadi 5 Daerah Tingkat II, Nias mendjadi 2 Daerah Tingkat II, Deli Serdang mendjadi 2 Daerah Ting kat II, Padang Sidempuan dan Belawan didjadikan Kotapra dja ;
(b) demikian djuga diterima usul dan tuntutantuntutan untuk memetjah :
(1). Daerah Tingkat II Batanghari, Daerah Tingkat II Mera ngin di wilajah Daerah Tingkat I Djambi,
(2). Daerah Tingkat II Inderagiri diwilajah Daerah Tingkat I Riau ;
(3). membentuk daerah Tingkat II Batang, lepas dari Daerah Tingkat II Pekalongan dan
(4). membentuk Kotapradja Purwokerto.
(c) Pembentukan Daerah Tingkat III berulangulang diusulkan oleh Daerahdaerah, demikian pula oleh anggotaanggota D.P.R. bilamana membitjarakan sesuatu rantjangan Undang undang pembentukan daerahdaerah swatantra di D.P.R. Penjerahan urusanurusan kepada Daerahdaerah Swatantra: Seperti dimaklumi sedjak berdirinja Negara R.I. mendjelang ber lakunja Undangundang Nasional tentang pokokpokok pemerintahan daerah jang pertama (Undangundang No. 22/1948) dapat dikatakan bahwa hampir seluruh urusan pemerintahan ada dalam tangan Peme rintah Pusat. Daerahdaerah jang sudah berotonomi, peninggalan pe merintah pendjadjahan bermatjammatjam tjorak ragamnja dan seba gian besar hak kewenangan dan tugas kewadjibannja tidak djelas.
Perkembangan keadaan diberbagaibagai daerah tidak sama, berbeda beda dan berbelitbelit, lebihlebih diluar Djawa ; terutama sekali di
wilajah bekas N.I.T. dimana terdapat banjak sekali swapradjaswapra dja daerahdaerah gabungan swapradja neoswapradja.
Neoswapradja, jang juridis formil telah mempunjai hakhak oto nomi lebih luas daripada daerahdaerah otonom jang ada di Djawa/ Madura, melebihi hakhak otonomi jang dimiliki oleh daerahdaerah otonom jang berstatus propinsipropinsi otonom.
Pemerintah Pusat dalam usahanja untuk mengkonsolidir kekua saannja diseluruh wilajah negara, urusanurusannja dipusatkan dalam tangan Pemerintah Pusat. Daerahdaerah jang djauh letaknja dari Pusat (Djakarta) dipertjajakan kepada wakilwakilnja jang ada didae rah (para Gubernur, Kepala Djawatan Pusat). Hal itu tidak lebih mendjernihkan keadaan jang sudah ruwet itu.
Dengan berlakunja Undangundang No. 22/1948, sekaligus untuk seluruh Djawa (terketjuali Kotapradja Djakarta Raya) telah dibentuk daerahdaerah otonom dimaksud Undangundang tersebut dan kemu dian selangkah demi selangkah dibentuk daerahdaerah otonom terse.
Sesudah Undangundang No. 1/1957 menggantikan Undangun dang No. 22 tahun 1948, dibentuk pula tiga daerah tingkat i dan dua puluh enam daerah tingkat II di Nusa Tenggara dan tigapuluh tudjuh daerah tingkat II di Sulawesi.
Pengisian hakhak otonomi daerahdaerah tersebut tidak dapat di laksanakan dengan peraturanperaturan jang seragam tetapi pengisi an hakhak otonomi itu, dilaksanakan dengan sedapatdapatnja meng ingatperkembangan daerah otonom didaerahdaerah jang bersang kutan itu sendiri. pernah ada pemerintahan daerah otonom lebih tinggi daripada „Dae rah” jang tingkatannja disamakan dengan Tingkat II Undangundang oleh Daerahdaerah swatantra. Hal mana sudah barang tentu tidak dapat dilaksanakan dalam waktu jang singkat.
Tak heran kiranja bahwa didalam peraturan perundangan menge nai desentralisasi/pengisian otonomi/medebewind daerah terdapat be berapa matjam prinsip : undang No. 6/1959 dengan sebaikbaiknja, karena mengingat riwajat nja keadaan urusan pamongpradja itu adalah berlainan sokali diber bagaibagai daerah : Djawa/Madura, Sumatera, Kalimantan dan wila jah negara bagian Timur.
Perlu pula diminta perhatian disini, bahwa isi otonomi daerah jang meliputi bidang rumahtangga daerah tidak dapat diatur setjara seragam dalam satu peraturan sadja, tetapi diatur dalam beberapa djenis peraturan perundangan. ini disebabkan usahausaha jang bersangkutan dengan pembentukan daerahdaerah itu tidak dapat dilakukan sekaligus dalam suatu waktu jang bersamaan, tetapi dalam waktu jang berbedabeda, dan sangat dipengaruhi oleh taraf perkem bangan ketatanegaraan serta materi jang akan diaturnja itu (misalnja penjerahan tugas urusan pemerintahanumum tidak diatur dalana sua tu Peraturan Pemerintah tetapi dalam Undangundang). Dalam garis garis besarnja, urusan rumah tangga daerah ditetapkan :
a). Sebanjak mungkin dalam Undangundang pembentukannja (lihat Kalimantan dan Sumatera), jang dapat dipandang sebagai kewe nangan pangkal bagi daerah.
b). Dalam peraturanperaturan Pemerintah jang bersangkutan (lihat Djawa, Madura dan Sumatera).
1). Sebagai tambahan urusanurusan jang belum disebut dalam Undangundang pembentukannja.
2). Sebagai pelaksanaannja kelandjutan daripada ketentuan Un dangundang pembentukannja jang hanja menjebut garisga ris besarnja daripada urusanurusan itu (Djawa).
d). Setjara sumier disebut dalam Undangundang pembentukannja, jaitu dengan menjebut dengan singkat bahwa urusanurusan jang dahulu dimiliki daerah adalah tetap mendjadi urusan daerah (dae rahdaerah bekas wilajah N.I.T.).
Mengenai urusanurusan rumahtangga Daerah Tingkat II didje laskan lebih landjut bahwa selain daripada urusanurusan jang telah dimilikinja berdasarkan Undangundang pembentukannja, maka urus anurusan lainnja dapat diserahkan oleh Daerah Tingkat I jang meli puti wilajah Daerah jang bersangkutan itu dengan Peraturan Daerah Tingkat I jang bersangkutan berdasarkan pasal 31 ajat (4) Undang undang No. 1/1957.
Persoalan penjerahan urusanurusan kepada Daerah Tingkat II ini agak sulit melaksanakannja, oleh karena pada waktu ini banjak Pemerintah Daerah Tingkat I belum bersedia menjerahkan sebagian urusannja kepada Daerah Tingkat II dalam wilajahnja dan sebaliknja daerahdaerah Tingkat II tetap menuntut penjerahanpenjerahan itu dari Daerah Tingkat I jang bersangkutan.
Mengenai penjerahan urusanurusan kepada Daerahdaerah Ting kat II tersebut Pemerintah sedang menindjausetjara mendalam ten tang.tjara pelaksanaannja antara lain dengan mengadakan inventarisasi isi otonom masingmasing daerah, baik daerah Tingkat I maupun Dae rahdaerah Tingkat II/Kotapradja.
Penjerahan urusanurusan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah Tingkat I dan/atau kepada Daerah Tingkat II begitu pula penjerahan urusanurusan oleh Daerah Tingkat I kepada Daerahdaerah Tingkat II dalam wilajahnja, senantiasa merupakan persoalan jang sukar dan memenlukan penelitian serta waktu jang lama, oleh karena untuk mengadakan peraturan penjerahan sesuatu urusan kepada Daerah Swa tantra, pemerintah terlebih dahulu harus menjelidiki kepentingan ma na daripada urusanurusan itu jang dapat diserahkan.
Dan hal ini perlu penindjauan setjara seksama dengan Departe menDepartemen jang bersangkutan, tidak sadja mengenai hal materi nja, tetapi djuga mengenai hal alatalat perlengkapannja, keuangan dan pegawaipegawainja.
Walaupun demikian Pemerintah (dengan mengingat kesediaan dan kemampuan Daerah) sungguh telah berusaha memberikan isi oto nomi seluas mungkin kepada Daerahdaerah berdasarkan pasal 31 ajat (4) Undangundang No. 1/1957. Untuk maksud itu Pemerintah (Kabi net Karya) telah membentuk suatu Panitia Interdepartemental jang di beri tugas merentjanakan peraturanperaturan pemerintah mengenai penjerahan sebagian urusanurusan Pusat kepada Daerah Otonom (su rat keputusan Perdana Menteri tanggal 20111957 No. 343/PM/1957) jang masih belum sadja dapat dipisahkan dart urusan pusat untuk di djadikan urusan daerah.
sebabnja penjerahan urusanurusan jang telah diatur dalam peraturan peraturan perundangan jang ada itu tidak lantjar dan mentjari usaha usaha serta djalan untuk dapat mengatasi kesulitankesulitan itu de ngan memberikan pertimbangan atau usulusul kepada Pemerintah.
Pemerintah menganggap perlu membentuk Panitia tersebut ter achir itu dengan maksud untuk memudahkan penjerahanpenjerahan njata daripada urusanurusan jang setjara formil telah didjadikan urua an rumahtangga daerah, oleh karena pengalaman membuktikan bahwa diadakan peraturanperaturan tentang penjerahanpenjerahan dari se suatu urusan sadja belum berarti daerah jang bersangkutan sudah da pat memelihara kepentingan jang diserahkan kepadanja bilamana pe njerahanpenjerahan itu tidak diikuti petundjukpetundjuk. Instruksi instruksi dari Pemerintah Pusat e.g.. Departemen jang bersangkutan jang mengatur halhal jang bersangkutan dengan urusan itu misalnja soal kepegawaian, keuangan, inpentaris dan lainlain dan djuga dengan mengingat kesediaan dan kemampuan Daerah jang bersangkutan.
(c). Koordinasi dan efisiensi jang didjalankan oleh Negara:
(1). Usaha kearah kordinasi dimaksudkan untuk mentjapai efi siensi jang lebih tinggi.
Akibat daripada tidak adanja atau kurangnja kordinasi ini, tiap2 departemen/djawatan/instansi/badan mendjalankan tugasnja sendiri sendiri, tanpa melihat apakah tugas itu telah didjalankan atau lebih baik didjalankan oleh instansi lain. Dan djuga tanpa mempersoalkan apakah tidak lebih baik tugas itu didjalankan bersamasama, gekoor dineerd dengan instansiinstansi lain.
Achirnja terdjadilah doublures, keseretan atau kematjetan dida lam pelaksanaan serta pemborosanpemborosan jang tidak perlu ter djadi. Dengan adanja dekrit Presiden tanggal 5/71959 untuk kembali pada Undangundang Dasar 1945 dan manifesto politik jang telah di terima sebagai haluan negara, lebih terasa lagi perlunja kordinasi ini
diatur. Usahausaha kearah ini kini telah dimulai, misalnja dengan te lah adanja komando operasi gerakan makmur jang bermaksud menga dakan kordinasi jang baik dalam melaksanakan program bidangz ter tentu. Kesulitan jang dirasakan mengenai kordinasi ini ialah sering sering tugas kordinasi itu diberikan atau diwadjibkan, sedangkan we wenangnja tidak diatur atau ditetapkan dengan tegas. Akibatnja ialah kordinasi sematjam ini sangat bergantung pada orangorang jang men djalankan, karena dasarnja hanja kebidjaksanaan, sedangkan wewe nangnja masih terpisahpisah atau terbagibagi. Kurang adanja kordi nasi ini terasa baik didaerah maupun dipusat.
Suatu problim jang pernah dikemukakan oleh pendjabat Depar temen Dalam Negeri kepada kita ialah, apakah Departemen tsb. dapat merupakan kordinator didalam negeri dan wewenang apa berdasarkan undangundang jang akan diberikan padanja. Apakah kedudukan De partemen Dalam Negeri itu tidak perlu ditindjau djika hendak didja dikan kordinator, misalnja diberi kedudukan setingkat dibawah Men teri Pertama, agar mempunjai gezag jang lebih besar. Apakah depar temen jang lain jang akan diberikan tugas kordinasi ini ?
Keadaan didaerah tidak banjakberbeda dengan di Pusat, walau pun Kepala Daerah menurut penpres no. 6 dibebani tugas otonom dan pemerintahan umum, tetapi masih banjak sekali urusan vertikal dari pusat didaerah jang belum termasuk wewenang kepala daerah untuk mengkordinirnja.
Efisiensi didalam negara kita masih djauh daripada memuaskan. Sebab sebabnja ialah :
a). belum adanja planning overall.
b). belum tjukup tersedianja tenaga tehnis.
c). berbelitbelitnja administrasi dan terlampau beranekawarnanja peraturanperaturan (tidak seragam) mengenai administrasi.
d). belum digunakannja setjara efektif dan produktif potensipotensi jang ada.
e). kurang adanja peralatan.
f). tidak tersedianja beaja minimum jang diperlukan untuk pelaksa naan tugas.
g). tidak/kurang adanja kordinasi dan pengawasan jang efektif.
§ 1152. Pemerintah Pusat
Berhasil atau tidaknja pembangunan semesta jang .kita rentjana kan untuk sebagian besar tergantung daripada suatu faktor jang pen ting, jakni Pemerintah Pusat jang stabil.
Berhubung dengan itu, dalam rangka pembangunan semesta kita perlu menindjau keadaan sekarang tentang Pemerintah Pusat, tentang kedudukan, tugas dan wewenang Presiden, Menterimenteri dan Badan badan Pemerintahan Agung serta Dewandewan Pemerintah Pusat.
a. Kedudukan, tugas dan wewenang Presiden dan MenteriMenteri.
1. Presiden.
(a) Kedudukan Presiden ialah sebagai berikut : (1) Presiden adalah Kepala Negara.
(2) Presiden adalah Kepala Kekuasaan eksekutif dalam Negara (Lihat Pendjelasan pada pasal 4 dan pasal 5 ajat 2 Undangundang Dasar).
(3) Dibawah Madjelis Permusjawaratan Rakjat, Presi den ialah penjelenggara Pemerintah Negara jang tertinggi.
(4) Dalam mendjalankan pemerintahan Negara, kekua saan dan tanggungdjawab ada Mangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President). (Gesetsgebung) dan dalam menetapkan anggaran pendapatan dan belandja Negara (,,Staatsbegroo ting") undang dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat (pasal 5 ajat 1 Undangundang Dasar). (3) Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
mendjalankan Undangundang sebagaimana mestinja (pasal 5 ajat 2 Undangundang Dasar).
(6) Apabila Negara ada dalam keadaan darurat, Presi den dapat bertindak dengan mengenjampingkan se mua peraturanperaturan, baik jang termuat dalam Undangundang Dasar, maupun jang termuat dalam Undangundang biasa.
(7) Presiden memegang kekuasaan jang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Uda ra (pasal 10 Undangundang Dasar).
(8) Presiden menjatakan keadaan bahaja. Sjaratsjarat dan akibatnja ditetapkan dengan Undangundang (pasal 12 Undangundang Dasar).
(a) Presiden mendjabat Perdana Menteri dan menentukan garis besar Pemerintahan.
(b) Menteri Pertama memegang pimpinan seharihari.
(c) Presiden dibantu oleh MenteriMenteri (pasal 17 ajat 1 Undang undang Dasar).
(d) MenteriMenteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden (pasal 17 ajat 2 Undangundang Dasar). bergantung pada Dewan Perwakilan Rakjat, akan tetapi bergantung pada Presiden. Mereka adalah pem bantu Presiden.
Meskipun kedudukan Menteri Negara bergantung pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi bia sa, oleh karena MenteriMenterilah .jang terutama men djalankan kekuasaan Pemerintah (pouvoir executief) da lam praktek.
Menterimenteri berwenang untuk mengeluarkan per aturanperaturan (legislatief) dan keputusankeputusan eksekutif,sekadar peraturanperaturan atau keputusan keputusan jang atasan menjerahkan pelaksanaan per aturanperaturan dan keputusankeputusan itu kepada nja.
Sebagai pemimpin Departemen, Menteri mengetahui se lukbeluk halhal jang mengenai lingkungan pekerdjaan nja.
Berhubung dengan itu Menteri mempunjai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik Ne gara jang mengenai Departemennja. Untuk menetapkan politik Pemerintah dan kordinasi dalam pemerintahan Negara para Menteri bekerdja sama, seerateratnja di bawah pimpinan Presiden.
b. Kedudukan, tugas dan wewenang Badanbadan Pemerintahan Agung dan Dewandewan Pemerintah Pusat.
1. Madjelis Permusjawaratan Rakjat.
(a) Kedudukan Madjelis Permusjawaratan Rakjat.
(1) Kekuasaan Negara jang tertinggi ada ditangan Ma djelis Permusjawaratan Rakjat.
(2) Madjelis Permusjawaratan Rakjat memegang ke kuasaan jang tertinggi, sedang Presiden mendjalan
Presiden tidak „neben”, akan tetapi „untergeor dent” kepada Madjelis.
(b) Tugas dan wewenang Madjelis Permusjawaratan Rakjat.
(1) Madjelis Permusjawaratan Rakjat melakukan ke daulatan rakjat sepenuhnja atas nama rakjat, dida
(c) Keadaan sekarang.
(1)Dengan Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 di bentuk Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara.
(2)Susunan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Semen tara
akan ditetapkan oleh Presiden setelah beliau kembali dari perlawatan keluar negeri.
(3) Pemilihan anggota Madjelis Permusjawaratan Rak jat, djika keadaan keamanan mengizinkan menurut P.J.M. Presiden akan diselenggarakan selambatlambatnja achir tahun 1962.
(4) Garisgaris besar haluan Negara :
Pasal 3 Undangundang Dasar menentukan bahwa Madjelis Permusjawaratan membentuk Un dangundang Dasar dan menetapkan garisgaris be sar haluan Negara.
Madjelis Permusjawaratan Rakjat sekarang belum ada; sebelum Madjelis Permusjawaratan Rakjat menetapkan garisgaris besar haluan Negara, untuk melantjarkan kelandjutan Revolusi :kita da lam keinsjafan demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin, arah tudjuan dan pedoman jang tertentu dan djelas sangat diperlukan.
Arab tudjuan dan pedoman jang djelas dan menjeluruh itu terdapat pada Amanat Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 jang berkepala „Penemuan Kem bali Revolusi Kita”. Isinja mengupas dan mendje laskan persoalanpersoalan beserta usahausaha po kok daripada Revolusi kita jang menjeluruh.
Amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang termaksud jang terkenal sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959 itu, sungguhsungguh merupakan pedoman jang kuat bagi Rakjat Indonesia untuk melandjutkan per djoangannja menjelesaikan Revolusi kita, jang ber matjam ragam dan djalinmendjalin ini.
Maka tepatlah bahwa Dewan Perantjang Nasio nal, Dewan Pertimbangan Agung dan Kabinet Ker dja menjatakan bahwa Manifesto Politik jang di utjapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Ang katan Perang sebelum Madjelis Permusjawaratan Rakjat dibentuk dan menunaikan tugasnja, adalah garisgaris besar haluan Negara.
Seluruh Rakjat Indonesia ternjata menerima dengan baik Manifesto Politik itu sebagai garis garis besar haluan Negara.
Pernjataan Dewan Perantjang Nasional, Dewan Pertimbangan Agung dan Kabinet Kerdja serta pe nerimaan Rakjat itu sejogjanja diberi bentuk resmi, jang berarti djuga disahkan dan dikuatkan.
Garisgaris besar haluan Negara termasuk we wenang Madjelis Permusjawaratan Rakjat menen tukannja.
Sebelum Madjelis Permusjawaratan Rakjat di bentuk, menurut pasal IV Aturan Peralihan Un dang undang Dasar, wewenang itu mendjadi we wenang Presiden.
Bentuk peraturan tentang garisgaris besar ha luan Negara ialah Penetapan Presiden No. 1/1960
Dewan Pertimbangan Agung adalah suatu Badan Pena sehat (adviserend lichaam).
(b) Tugas dan wewenang Dewan Pertimbangan Agung.
Dewan Pertimbangan Agung berkewadjiban memberi djawab atas pertanjaan Presiden dan berhak mengadjukan usul kepada Pemerintah (pasal 16 ajat 2 Undangundang Dasar).
(c) Keadaan sekarang.
Susunan Dewan Pertimbangan Agung menurut pasal 16 ajat 1 harus diatur dengan Undangundang. Akan tetapi, ber hubung perlu segera dibentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara, maka pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara diatur dengan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959.
3. Dewan Perwakilan Rakjat.
(a) Kedudukan Dewan Perwakilan Rakjat.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakjat adalah kuat. De wan Perwakilan Rakjat tidak dapat dibubarkan, tetapi De wan ini tidak dapat pula mendjatuhkan Pemerintah.
(b) Tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakjat.
Dewan Perwakilan Rakjat adalah Dewan jang bantu membantu dengan Pemerintah. Kemudian Dewan Perwakilan Rakjat bersamasama dengan Presiden membentuk Undang undang (pasal 5 ajat 1 juncto pasal 20 Undangundang Dasar).
Menurut Undang.undang Dasar jang harus diatur dengan Undangundang oleh Pemerintah bersamasama dengan De wan Perwakilan Rakjat adalah : anggaran pendapatan dan belandja, padjak, matjam dan harga mata uang, hal keuangan Negara, kekuasaan Kehakirnan, sjaratsjarat untuk mengadili dan untuk diperhentikan sebagai hakim, kewarganegaraan, kemerdekaan berserikat dan berkumpul etc. etc. (organieke wetten).
(c) Keadaan sekarang.
Dengan penetapan Presiden No. 1 tahun 1959, telah ditetapkan bahwa sementara Dewan Perwakilan Rakjat belum tersusun menurut Undangundang sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ajat (1) Undangundang Dasar, maka Dewan Perwakilan Rakjat jang dibentuk berdasarkan Undangun dang No. 7 tahun 1953, mendjalankan tugas Dewan Perwa kilan Rakjat menurut Undangundang Dasar 1945.
Dengan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1960 tentang „Pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakjat”, telah dihentikan pelaksanaan tugas dan pekerdjaan Anggotaang gota Dewan Perwakilan Rakjat Sementara.
Berdasarkan atas penetapan kedua dari Penetapan Pre siden No. 3 tahun 1960 tersebut, jakni „ Pembaharuan su sunan [Minn Perwakilan Rakjat berdasarkan Undangundang Dasar 1945 dalam waktu jang singkat”, maka P.J.M. Presiden telah menetapkan Anggotaanggota Dewan Perwakilan Rakjat GotongRojong, jang namanamanja disebutkan dalam Peng umuman Presiden tentang Dewan Perwakilan Rakjat Go tongrojong, tertanggal 30 Maret 1960 No. A 1/103.
P.J.M. Presiden menamakan Dewan Perwakilan Rakjat itu
Dewan Perwakilan Rakjat GotongRojong, dalam arti didalamnja tergabung wakil Partaipartai dan wakil Golongangolongan Karya jang akan bekerdjasama dengan Pemerintah dalam alam demo krasi terpimpin, berdasarkan unsurunsur „demokrasi” dan „peng akuan adanja pimpinan”.
Anggotaanggota Pimpinan Dewan Perwakilan Rakjat Gotong Rojong masih akan ditetapkan kemudian.
Adapun pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakjat akan dise lenggarakan selambatlambatnja achir tahun 1962, sekiranja ke adaan keamanan mengizinkan.
4. Badan Pemeriksa Keuangan Negara.
(a) Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan Negara.
(b) Tugas dan wewenang Badan Pemeriksa Keuangan Negara.
Mahkamah Agung dan lainlain badan kehakiman adalah Badan jang tersendiri lepas dari pengaruh kekuasaan Pe merintah.
Berhubung dengan itu harus diadakan djaminan dalam Undangundang tentang kedudukan para hakim.
(b) Tugas dan wewenang.
Susunan, tugas dan wewenang Mahkamah Agung telah diatur dalam Undangundang Mahkamah Agung (Undang undang No. 1 tahun 1950, Lembaran Negara No. 30/1950).
Undangundang ini peninggalan R.I.S. Djadi tidak se suai lagi dengan kebutuhan Masjarakat.
Tugas, atjara, kekuasaan dan wewenang peradilan di atur dalam: dan Pengadilan Negeri, Rantjangan tersebut sudah sampai pada taraf penjelesaian.
Halhal jang diuraikan diatas ialah mengenai Badanbadan jang disebut atau diatur dalam Undangundang Dasar.
Jang tidak diatur didalamnja ialah :
a). Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (BAPEKAN). b). Dewan Perantjang Nasional.
6. Badan Pengawas Aparatur Negara (BAPEKAN).
BAPEKAN dibentuk oleh Pemerintah untuk mendjalankan tindakan preventip dan represip untuk mengawasi, meneliti dan mengadjukan pertimbangan kepada Presiden terhadap kegiatan aparatur Negara.
Tugas dan wewenang BAPEKAN adalah :
1. mengadjukan pertimbangan mengenai hambatan dajagu na kepada Presiden R.I./Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
(b) mengadjukan pertimbangan dari hasiipenelitian kepada Presiden R.I./Panglima Tertinggi Angkatan Perang dan (c) menerima pengaduan rakjat atau petugas Negara jang
meliputi hambatan atau fikiran rakjat/petugas Negara mengenai usaha supaja tertjapai dan terlaksana daja guna dan kewibawaan jang lebih tinggi.
7. Kedudukan, tugas dan wewenang Dewan Perantjang Nasional: Dewan Perantjang Nasional membantu Dewan Menteri. Tugas dan wewenang Dewan Perantjang Nasional adalah : (a) mempersiapkan rantjangan Undangundang pembangunan
Nasional jang berentjana dan
(b) menilai penjelenggaraan Pembangunan.
Adapun rantjangan pembangunan Nasional ini bersifat semesta dan disusun oleh Dewan Perantjang Nasional dengan memperhitungkan segala kekajaan alam dan pengerahan te naga rakjat serta meliputi segala segi kehidupan Bangsa Indonesia.
Rantjangan pembangunan semesta, jang telah disetudjui oleh Dewan Menteri diadjukan kepada Madjelis Permusjawaratan Rakjat untuk disetudjui (vide Manifesto Politik katja 69. Undangundang No. 80/1958 Juncto). Kehakiman harus pula dimasukkan kedalam bidang ke amanan.
Ini berarti, bahwa semua urusan Imigrasi dan Peng awasan Orang Asing serta urusan Kedjaksaan harus setjara
d. Hubungan badanbadan/DewanDewan/petugaspetugas.
Dalam pembitjaraan tentang kedudukan badan badan/ Dewandewan dan petugaspetugas tersebut diatas, telah di uraikan hubungannja antara jang satu dengan jang lainnja.
Jang amat terasa ialah kurangnja kordinasi sehingga timbul doublures dan ketidaklantjaran djalannja adminis trasi (tjontoh dari doublures : Departemen P.P. & K. dan Departemen Perburuhan keduaduanja berkepentingan da lam menjelenggarakan pendidikan guru untuk lapangan lapangan lkedjuruan atau technik. Sebetulnja lembaga jang satu dapat dipakai untuk kedua tudjuan.
Tjontoh jang lain adalah urusan pensiun di Bandung dan Jogjakarta).
Dapat disinjalhr pula berpuluhpuluh Panitya Negara dan Panitya Interdepartemental (menurut tjatatan Lembaga Ad ministrasi Negara ada sekurangkurangnja 66 huah) memer lukan penindjauan dan penertiban.
Mengenai petugaspetugas, terutama pegawaipegawai amat kekurangan tenaga ahli.
Dewasa ini belum ada Undangundang pokok Kepega waian jang mengatur azasazas dan garisgaris kebidjaksa naan politik kepegawaian. Djuga perlu ditjantumkan dida lamnja ketentuanketentuan pokok tentang kesedjahteraan pegawai serta kepastian hukum bagi para pegawai dan tin dakantindakan untuk mendjamin bahwa segenap aparatur Pemerintahan sematamata terdiri dari tenagatenaga jang bermutu.
Dalam rangka efisiensi kerdja dan penghematan telah diadakan peremadjaan alatalat Negara berdasarkan Peratur an Pemerintah No. 68/1958, dalam Peraturan itu ditetapkan, bahwa pegawai tetap atau sementara jang telah berusia 55 tahun diperhentikan dari djabatan negeri/djabatannja de ngan hak atas pensiun, dalam waktu satu tahun setelah me reka mentjapai 55 tahun.
Usaha peremadjaan jang konsekwen didjalankan ini, terbukti untuk beberapa Departemen,
misalnja Kesehatan dan Kehakiman, bukannja menguntungkan dan mengakibat kan dajaguna jang sebesarbesarnja, melainkan menimbul kan kerugian dan stagnasi.
Djumlah tenaga ahli jang memangnja sudah sedikit se kali dan djauh daripada memadai, banjak dikurangi lagi, se dangkan kaderkader Baru belum tersedia tjukup. Dengan demikian terdjadi vacuum.
e. Halhal lain :
Dengan Peraturan Presiden No. 13/1959 diatur pemben tukan suatu organisasi masa jang dinamakan Front Nasional,
1 Front Nasional bertudjuan:
(a) menghimpun dan mempersatukan kekuatankekuatan jang Revolusioner dalam masjarakat serta menumpin gerak ma sjara'kat untuk menjelesaikan Revolusi Nasional dalam bi dangbidang pembangunan semesta, kesedjahteraan sosial, keamanan dan pertahanan,
(b) menjelenggarakan kerdjasama jang seerateratnja dengan Pemerintah dan Lembagalembaga Negara lainnja.
Front Nasional merupakan suatu badan persatuan jang bersi fat vertikal dan tersusun sesuai dengan tugas dan lapangan kegi.. atannja.
Pemerintah dapat memberi tugas kepada Front Nasional un tuk mengerdjakan suatu usaha dengan menjerahkan keuangan jang disediakan untuk it(' dalam Anggaran Belandja Negara.
Dengan Keputusan Presiden No. 34/1960 telah dibentuk Pa nitia Persiapan jang bertugas untuk merentjanakan dan memper siapkan Program, organisasi serta segala halhal bin mengenai Front Nasional.
2. Perundangundangan Perburuhan.
Dalam bidang Perburuhan kini berlaku :
Peraturanperaturan dari masa HindiaBelancla. (a)aanvullende Plantersregeling btg. 1 Djuli 1938;
(b) „Ongevallenbesluit”, mulai iberlaku pada tanggal 1 Djanuari 1940, jang telah diganti dengan Undangundang Ketjelakaan
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, teristimewa setelah saat Pe mulihan Kedaulatan (27 Desember 1949) :
(a) Undangundang Kerdja No. 1/1951, (b) Undangundang Ketjelakaan No. 2/1951,
(c) Peraturan Menteri Perburuhan No. 48 tahun 1952,
(d) Peraturanperaturan jang mengatur hal pengangguran seperti: (1) Peraturan Menteri Perburuhan No. 33/1952 mengenai so
kongan kepada penganggur, mulai berlaku tanggal 1 Djuli 1952,
(2) Peraturan Menteri Perburuhan No. 34/1952 tentang pem berian kerdja darurat kepada kaum penganggur mulai berlaku tanggal 1 Djuni 1952,
(3) Peraturan Menteri Perburuhan No. 35/1952 tentang tun djangan latihan kepada kaum. penganggur.
Seperti diterangkan diatas keadaan, isi dan kemampuan daerahdaerah otonom adalah tidak sama. Ada jang sudah sangat madju dan adapula jang barn sadja lahir sehingga serba keku rangan, baik dalam pengalaman, isi maupun dalam :kemampuan nja. Jang mendjadi sebab daripada ketidak seragaman ini ialah antara lain perkembangan daerah jang berbeda keadaan masja rakat jang tidak sama, potensi daerah jang djuga berlainlainan dan perundangundangan Pusat jang menjebabkan daerahdaerah jang belum memenuhi sjaratsjarat untuk berotonomi menuntut pelaksanaan otonomi bagi daerahnja, sedangkan persiapan pe iaksanaannja belum tjukup. Adapun sebabsebab lain jang kurang memuaskan djalannja otonomi di Daerah ialah :
1. kekurangan tenagatenaga tehnis dan tenaga pimpinan, 2. kekurangan biaja untuk anggaran belandja, baik jang routine
maupun jang bersifat :pembangunan,
3. banjaknja djawatandjawatan/dinasdinas vertikal, lebih lebih djika mengakibatkan timbulnja djawatandjawatan/dinas dinas kembar,
4. penjerahan tugas dan wewenang oleh Pusat tanpa disertai alatalat, keuangan serta tenagatenaga itehnis jang diperlukan, 5. kurang djelasnja batas2 antara kekuasaan legislatif dan ekse
kutif,
6.Ada kalanja D.P.R.D .mentjainpuri urusan jang semestinja ter masuk bidang D.P.R.
7.keadaan bahaja perang jang kadangkadang menjebabkan kurang lantjarnja pelaksanaan otonomi,
8. kadangkadang adanja konflik antara fungsionarisfungsiona ris otonom dan pamong pradja.
b. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom termasuk hu bungan perimbangan keuangan. Hubungan antara Pusat dan dae rah otonom tgrutama diatur dalam tjara pengawasannja.
Pengawasan mengenai perundangundangan daerah :
1. Tugas pengawasan mengenai perundangundangan daerah teruta
ma meliputi :
(a) pengawasan terhadap putusanputusan dan peraturanperatur an Pemerintah (djuga jang tidak memerlukan pengesahan, dari badan pengawas jang lebih tinggi tingkatnja) dari daerahdae rah otonom tingkat keI dan tingkat keII tentang halhal dilapangan pemerintahan daerah jang sebagian besar bersifat so sial ekonomi dan umum (termasuk padjakpadjak dan retri busi daerah) jang tidak menjmggung soal keuangan daerah, kepegawaian daerah, organisasi daerah dan keswapradjaan, (b) pengawasan atas pelaksanaan tepat (richtige uitvoering) dari
peraturanperundangan umum (dari Pemerintah Pusat) di daerahdaerah otonom ;
(c) peradilan administratif ;
(d) memimpin Pemerintah Daerah dalam mendjalankan roda pe merintahannja dengan memberi petundjukpetundjuk, pedo manpedoman atau instruksiinstruksi.,
Pengawasan terhadap putusanputusan/peraturanperaturan dae rah itu terdiri atas :
(a) menindjau materinja dari beberapa segi (umpamanja : penin djauan dari sudut hukum agraria, hukumperdata, hokum pi dana, hukumpadjak dan lainlain dari sudut juridis formil) ; (b) menindjau bentuk peraturandaerahnja, penjusunan dan pe
rumusan ketentuanketentuannja; dan disamping itu menjelidiki:
(a) putusanputusan/peraturanperaturan daerah tersebut berten Mangan atau tidak dengan peraturanperaturan perundangan jang lebih tinggi tingkatnja ;
(b) putusanputusan/peraturanperaturan daerah itu bertentangan atau tidak dengan kepentingan umum ;
(c) putusanputusan/peraturanperaturan daerah itu bestuurspo titis dapat dipertanggungdjawabkan atau tidak ;
(d) tentang kompetensi dan jurisdiksi ;
(e) Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan suatu putusan (se perti pemberian izinizin atau penolakan permohonanpermo honan izin) menjalahgunakan wewenangnja (detournement de pouvoir/misuse of power atau „bestuursexcessen”) atau tidak.
Teranglah bahwa dalam melaksanakan tugas tersebut kita selalu mengalami kesulitankesulitan jang sifatnja adalah juridis
dan/atau berstuurspolitis dilapangan sosialekonomi.
Kesulitamkesulitan ini sangat terasa karena — baik didaerah, maupun di Pusat (Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Dae rah) — didapati kekurangan „qualified personnel”, jaitu tenaga tenaga jang mempunjai pendidikan hukum (terutama : hukum administratif/hukum pemerintahan) dan jang berpengalaman atau faham dalam bidang „perundangundangan daerah” dan „perun dangundangan pusat”.
2. Persoalanpersoalan jang menimbulkan kesulitankesulitan termak sud dapat digambarkan sebagai berikut :
Sebagaimana telah diketahui „Undangundang Pembentukan” beberapa daerahswatantra — di Djawa dan diluar Djawa (baik jang tingkat keI, maupun jang tingkat keII) tidak seragam, pula s i f a t dan l u a snja urusanurusan rumahtangga daerah dan kewadjibandaerah dibeberapa daerahotonom b a r b e d a, se hingga kadangkadang menimbulkan persoalanpersoalan sekitar „kompetensi” dan „jurisdiksi”.
Ada „daerahdaerah swatantra bekas swapradja” jang mem punjai suatu otonomi jang 1 e b i h) u a s daripada daerahdaerah swatantra lainnja, karena „urusanrumahtangganja” sebagian be sar masih disandarkan kepada djiwa „Zelfbestuursregelen 1938” (luar Djawa) atau „Lang (Politick) contract” (umpamanja : Dae rah Istimewa Jogjakarta).
N.B, Daerah Istimewa Jogjakarta : „………urusanurusan rumahtangga dan kewadjibankewadjiban lain jang diker djakan oleh Daerah Isttmewa Jogjakarta sebelum dibentuk menurut undangundang pembentukannja, d i l a n d j u t. k a n, sehingga ada ketetapan lain dengan Undangundang”, dan pranatanpranatan dulu jang belum diganti dengan peraturan Daerah Istimewa Jogjakarta, berlaku tents sebagai peraturan Daerah Istimewa Jogjakarta.
Sekarang timbui pertanjaan :
Untuk melenjapkan anggapan diskriminasi antara daerah daerah swatantra dalam pemberian otonomi, maka alangkah baiknja apabila demi kepentingan kesatuan negara kita — „Undangundang Pembentukan” daerahdaerah swatantra
diseragamkan, sehingga otonomi daerahdaerah swatantra tersebut, paling sedikit sama luasnja atau sederadjat dengan otonomi suatu „zelfbestuurendlandschap — dengan — jang (politiek) contract” umpamanja : Kesultanan Ngajogjakarta/. Daerah Istimewa Jogjakarta atau suatu landschap jang sta tusnja adalah „Zelfbestuursregelen 1938” dan disamping itu kepada daerahdaerah luar Djawa jang tidak meliputi suatu "locale gemeenschap" dulu, diberi wewenang untuk menga tur dan mengurus semua hal dalam wilajahnja jang dulu diatur/diurus dengan dienstverordeningen/residentskeuren. (b) apakah peraturanperaturanperundangan umum (algemene
verordeningen seperti „ordonnanties”) jangberasal dari za man Pemerintah Hindia Belanda dan jang dulu hanja ber laku untuk „rechtstreeks bestuurd gebied”, setelah swapra djaswapradja dibentuk mendjadi „daerah swatantra biasa” atau „daerah istimewa” (dus mendjadi „rechstreeks bestuurd gebied” karena sifat keswapradjaan tidak Ada), dapat atau
harus ditakukan djuga dalam wilajah bekas swapradja (se perti dulu dalam zaman „kolonial"), dengan lain perkataan apakah „jurisdictiegebied peraturanperaturan perundangan umum dari zaman Pemerintah Hindia Belanda (umpamanja : Hinderordonnantie) dengan sendirinja meliputi „daerahdae rah swapradja"/,,daerahdaerah istimewa (bekas swapra dja)” ?
Atau: apakah berlakunja suatu ''peraturanperundangan umum seperti „ordonnantie” didalam wilajah „dae rahdaerah swatantra bekasswapradja”, hams dinja takan terlebih dahulu dengan suatu „undangundang spesial” ?
Pemerintah lebih tjondong pada pendirian bahwa dengan lenjapnja sifat keswapradjaan itu, wilajah bekaslandschap otomatis mendjadi daerah jang se deradjat dengan „rechtstreeks bestuurd gebied”, sehingga peraturanperundangan umum (antara lain „ordonnantie”) dengan sendirinja berlaku dalam „daerah bekas swapradja” tersebut, ketjuali bilamana PembuatUndangundang dengan tegas. menjatakan lain, vide suatu undangundang.
Problim ini adalah berguna untuk dipertimbangkan/ dipeladjari.
3. Materi peraturan daerah :
janan) oleh Pemerintah Daerah, terutama dilapangan sosialeko nomi & umum, ditiaptiap daerah pada pokoknja sama, akan tetapi penjusunan/perumusan peraturan•peraturan daerahnja jang me ngenai suatu materi jang sama dart ,;public service" itu berlain an, dan atjap kali penjusunan/perumusan, peraturan.peraturan daerah tadi kurang sempurna atau tidak memuaskan, meskipun dalam garis besar tudjuan, maksud dan djiwa peraturanperaturan daerah tersebut adalah soma.
Hal ini dapat diatasi, bilamana daerahdaerah swatantra seluruh Indonesia membuat peraturandaerah jang seragam mengenai ma teri jang sama dilapangan pemerintah kedaerahan (jang bersifat sosial ekonomi & umum).
Keseragaman ini tidak perlu 100% ; sudah tjukup bilamana ke tentuanketentuan jang fundamentil dan esensil dalam peraturan daerah itu (dus: jang perlu dan penting) disamakan penjusun. annja/perumusannja, sedangkan detailnja disesuaikan dengan ke adaankeadaan setempat (umpamanja : tarif, tanggal waktu ber. lakunja peraturandaerah, dan lainlain).
Dengan demikian tertjapailah :
(a) kesatuan dalam kebidjaksanaan (policy) pemerintahan (bes tuur beleid) dan dalam menjelesaikan soal.soal pemerintahan dilapangan sosialekonomi & umum ;
(b) keseragaman dalam penjusunan/perumusan peraturanpera turan daerah dan dalam penggunaan istilahistilah resmi, Ba hasa perundangan (wetstaal) dalam peraturandaerah. Hal ini memudahkan pekerdjaan pengawasannja.
Lebih bermanfaat dan praktis bilamana semua Pemerintah Daerah mengkodifisir setjara sistimatis peraturanperaturan dae rahnja (jang telah diseragamkan/diretool) dalam suatu code
(administrative code), seperti „penal code”, burgerlijk wetboek etc., sehingga mendapat overzicht jang djelas tentang semua dje nis public service (dari masingmasing daerah) jang diatur dalam peraturandaerah jang „bijgewerkt” ; „Administratieve code” lebih mudah dipergunakan daripada „Tambahan Lembaran Dae rah”.
Hingga kini peraturanperaturan daerah dari Daerah tingkat keI dan keII itu hnnja dikumpulkan setjara urutan chronologis dan didjilid setjara tahunan dalam sebuah „Tambahan Lembaran Dae rah” dari Daerah Tingkat keI sadja. Djadi, misalnja diperlukan suatu peraturan selengkapnja, peraturan induknja terdapat dida lam Tambahan Lembaran Daerah tingkat IceI tahun 1953, se dangkan peratruanperaturan tambahan/perubahannja dapat di ketemukan dalam Tambahan Lembaran Daerah keI tahun 1956, 1959 etc. djadi „berpentjarpentjar”. Hal ini adalah sangat tidak praktis dan tidak „overzichtelijk”, kadangkadang membingung kan.
Seandainja tiaptiap daerah swatantra telah mempunjai suatu „administratieve code” (jang peraturanperaturannja sebagian besar menundjukkan keseragaman jang fundamenteel dan asen tieel) maka akan tertjapailah :
(4) kesatuan dan keseragaman dalam penjusunan/perumusan pe raturanperaturan daerah;
(5) dan ………… mendjamin efisiensi dan stabilitet dalam mendjaliankan roda pemerintahan didaerahdaerah dengan ti dak banjak personil.
Seandainja ada daerah swatantra jang memerlukan perubah an/tambahan darisuatu peraturan jang terdapat didalam „admi nistrative code”, maka perubahan/tambahan tersebut dapat di sarankan kepada daerah2 iainnja untuk diadoptir c.p. diadaptir. Hal ini merupakan suatu kerdjasama (cooperatie) antara daerah1 demi kepentingan kesatuan perundangundangan daerah dll.nja. Keseragaman/kesatuan dalam perundangundangan daerah dapat merupakan suatu pengganti jang wadjar untuk sentralisasi. Me mang harus diakui, bahwa pekerdjaan pengawasan seperti diu raikan diatas, tidak selalu berdjalan dengan lantjar, jaitu tidak sadja karena kita mengalami kesulitan2 jang bersifat juridis dan/ atau bestuurspoiitis, akan tetapi djuga karena peraturanperaturan daerah kadangkadang memerlukan penindjauan technis oleh be berapa instansi pemerintah pusat lainnja, umpamanja penindjau an dari sudut perekonomian, perdagangan, pertanian, fiskal dan lainlain, jang memakan banjak waktu.
4.Pelaksanaan ketentuanketentuan jang kini berlaku.
(a) No. 3 tahun 1957 tentang Penjerahan Padjak Negara kepada Daerah (L.N. No. 10/1957) ;
(b) No. 4 tahun 1957 tentang Pemberian Gandjaran, Subsidi dan Sumbangan Kepada Daerah (L.N. No. 11/1967) ;
(c) No. 5 tahun 1957 tentang Panitia Negara Perimbangan Ke uangan (L.N. No. 12/1957) ;
(d) No. 12 tahun 1958 tentang Penetapan persentase penerimaan beberapa padjak Negara untuk Daerah (L.N. No. 23/1958), jang berlaku untuk tahun 1958 ;
(e) No. 14 tahun 1959 tentang Penetapan persentase darn bebe rapa penerimaan Negara untuk Daerah (L.N. No. /1959) jang berlaku untuk tahun 1959. Ketentuan itu djuga ditetapkan berlaku untuk tahun 1960.
Dasardasar peraturanperundangan tersebut diletakkan oleh suatu Panitia jang dibentuk dalam tahun 1952, djadi peker djaan persiapan telah memerlukan waktu 5 tahun.
Ketentuanketentuan itu djuga mempunjai hubungan de ngan keputusan Perdana Menteri No. 359/P.M./1958 tentang penjerahan 10 % hasil Pembajaran Bukti Ekspor (P.B.E.) kepada Daerahdaerah jang menghasilkan.
Dengan perubahan sistim P.B.E. mendjadi sistim Pungutan Ekspor (Pueks) telah diadakan penetapan baru untuk menjesuai kan pemberian 10% kepada Daerahdaerah jang menghasilkan dengan sistim Punks itu.
Kini sedang disiapkan suatu rentjana Peraturan Pemerintah untuk memperbaiki beberapa hal dalam P.P. tersebut sub e, pule
untuk lebih menjesuaikan persentase pemberian padjakpadjak Negara kepada Daerah, mengingat pengaruh pasangsurut ke adaan keuangan pada umumnja dalam bulanbulan jang baru silam. Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1959 itu dapat dikata kan mentjakup pelaksanaan perimbangan keuangan. Djadi me merlukan penelaahan setjara chusus dalam meneliti ketentuan ketentuan tersebut diatas.
2. Dasar Ummn Perimbangan Keuangan.
Negara dan bagianbagiannja (onderdelen) tidak boleh dipandang sebagai unsurunsur jang terlepas jang berdiri sendirisendiri, melainkan unsurunsur itu merupakan satu kesatuan, djuga dalam bidang keuangan.
Daerahdaerah itu sebagai bagian daripada Negara, wadjib berusaha sendiri untuk mentjukupi kebutuhan keuangannja. Hal ini memang mungkin selama Daerahdaerah mempunjai kebe basan jang luas dalam pemungutan padjak daerah. Sebelum itu tugastugas Daerah lebih terbatas dari tugasnja jang sekarang.
Keadaan sudah berubah, terutama disebabkan oleh perkem bangan organisasi pemerintahan dalam abad ke 20 ini, jang ma kin hari makin menampakkan pementjaran atau desentralisasi kekuasaan ari Pusat kepada Daerahdaerah. Tak dapat disangkal bahwa tendensi jang sangat berpengaruh dalam organisasi pe merintahan jang modern ialah desentralisasi sedjauh mungkin. Kini tentu dengan memenuhi pula sjaratsjarat demokrasi ter pimpin.
Desentralisasi ini menjebabkan Daerahdaerah makin hari makin banjak merasa berkewadjiban bukan sadja untuk mendja lankan tetapi djuga untuk membiajai pelbagai usaha, jang sesung guhnja tidak hanja mengenai bidang kepentingan Daerah.
Selain dari pada itu tampak bahwa penjerahan objek pem biajaan tidak didjalankan sedjadjar dengan penjerahan sumber pembiajaan. Pemungutan padjak jang panting tetap disentralisir. Memang sebagian dapat disentralisir, tetapi banjak kesulitan kesulitan jang dihadapi. Soal kemampuan daerah dalam meme lihara sumbersumber pungutan itupun djadi persoalan.
Akibat daripada pementjaran kekuasaan itu sebagian dari pada biaja jang diperlukan oleh Daerah barns diperolehnja dari keuangan Negara. Hal ini dilakukan dengan pelbagai tjara.
Tjara jang dipergunakan diberbagai Negara antara lain ialah :
(a) penerimaan padjak Negara sebagian atau seluruhnja dise rahkan kepada Daerah.
(b) Daerah diberi gandjaran untuk menutup sebagian biaja jang dikeluarkannja untuk tugastugas. jang bersifat „pembuatan” (medebewind), Daerah, dipetjahkan dengan tjara lain selain daripada memberi tundjangan
3. Keadaan Negara dan Daerah sebagai pihak jang berkepentingan.
Dimasa pemerintahan Belanda, „financieele verhouding” baru muntjul pada tahun 1938, sebagai keharusan jang langsung diakibatkan oleh usaha memperluas tugas „gebiedsdeelen met eigen middelen” jaitu Regentschappen, dan stadsgemeenten, jang dalam tahun 1936 menerima penjerahan urusan sekolah Rakjat dan Provincies jang diserahi urusan pertanian rakjat, ke hewanan dab. Penjerahan tugastugas itu mendjadi dasar per imbangan keuangan, sebab pads pokoknja usahausaha dalam rangka hak otonomi, jaitu „de zelfstandige behaftiging van specie fink plaatselijke belangen” harus dibiajai dengan padjak dan retribusi sedaerah.
Pada masa itu pengawasan alas pengeluaran dan penerima an daerah dilakukan dengan sangat teliti oleh pihak atasan, se hingga apabila dalam anggaran keuangan tahunan djumlah pengeluaran sesuatu daerah otonoom kita sebut X dan djumlah penerimaan Y, maka tekort atau kekurangan dalam anggaran keuangan jang kita sebut Z dapat dikatakan tidak dapat ditawar tawar lagi. Z sebagai hash X — Y merupakan tekort jang ra sionil, jang dalam ,financieele verhouding 1938" didjadikan djumlah pangkal untuk menjerahkan persentase tertentu dari hasil beberapa padjak Negara, sampai djumlah jang besarnja Z pula.
Kalau dimasa pendjadjahan itu pemberian otonomi hanja bersifat fakultatif, sehingga ada ± 120 daerah otonom, jaitu 3 Provincies _. 80 Regenschappen, 30 Stadsgemeenten dan 10 Daerahdaerah lain maka kini wilajah Negara, dibagi habis men djadi 22 Daerah tingkat 1 dan 256 Daerah Tingkat II.
Djumlah tidak mendjadi soal, tetapi jang panting ialah tarap kedewasaan. Ada jang lahir dalam tahun 1905 seperti Kotapradja Djakarta Raya ; banjak jang sudah dewasa; tetapi banjak pula jang seolaholah barn berotomi diatas kertas.
Isi rumah tangga dengan sendirinja berbedabeda, namun masih bersimpangsiur. Suatu keadaan jang dalam Undangun dang No. 1 1957 mau kits tampung dengan istilah huishoudings begrip jang riil, sebagai djalan tengah antara huishoudingsber grip jang formil dan. materiel jang lazim.
Sebaliknja isi rumahtangga Daerahdaerah jang dulu ber naung dibawah „Zelfbestuurregelen 1938” atau kontrak pandjang seperti Daerah Istimewa Jogjakarta, telah mendjalankan otonomi jang berisi, namun melampaui batas Undangundang No. 6 . 1959 tentang „penjerahan pemerintahan umum”.
Dasar berkeuangan sendiri jni jang menimbulkan banjak ke. sukaran umumnja anggaran keuangan jang disusun oleh Daerah daerah merupakan „daftar keinginan” tanpa. memperhitungkan kemampuan sendiri ataupun kemampuan Negara. jang diberikan via „sluitpost sijsteem” akan berkurang, apabila penghasilan Daerah bertambah. Dalam suasana jang suram ini tim (b) „ rumah tangga (ord. 1908).
(c) ,, kendaraan bermotor (ord. 1934). kepada daerah tingkat II :
(d) padjak verponding Indonesia (ord. verp. Ind.) (e) „ djalan (ord. 1942)
(f) „ potong (ord. 1936)
(g) „ kopra (U.U. N.I.T. No. 16/1949) (h) ,, pembangunan (U.U. No. 14/1947).
Delapan djenis padjak tersebut didjadikan padjakdaerah.. (d) „ kekajaan, (e) „ perseroan
Perlis diperhatikan bahwa mengenai 5 djenis padjak pada pa sal 4, dan 3 djenis retribusi pada pasal 5 dinjatakan, bahwa seba gian dari penerimaan jang diserahkan untuk dimasukkan dalam suatu pot atau dana seperti termaksud dalam pasal 6 Undangun dang.
Isi daripada pot atau dana itu mendjadi milik bersama semua Daerah dan dibagibagikan dengan mengingat faktorfaktor jang mempengaruhi keadaan keuangan daerah, antara lain : add, dan mau bekerdja sistimatis dengan mendjungdjung tinggi Negara Kesatuan.
Menurut konsepsi bermula, pertamatama isi iitu dibagi habis kepada Daerah tingkat I, kemudian Daerah tingkat I melakukan pembagian antara Daerah tingkat I itu dan Daerahdaerah tingkat II dalam lingkungannja.
Tetapi dengan ketentuan itu belum terpetjahkan lagi persoalan, bagaunana rumus sistim itu.
Sementara persoalan sistim masih tergantung, bersuaralah wakil wakil dalam Musjawarah Nasional, jang menuntut supaja dasar penggunaan sistim pot diganti. Setidaktidaknja sistim pot itu di. krokot (uitgehold) sehingga Daerahdaerah menerima hasil bagi nja dari pasal 4 dan 5 setjara langsung.
Tegasnja, hendaknja kepada Daerahdaerah diberi kesempatan me nerima langsung bagiannja dari :
(a) padjak peralihan, (b) „ upah,
(c) „ meterai, (d) ,, kekajaan, (e) „ perseroan, (f) beamasuk, (g) beakeluar, (h) tjukai.
Dengan tidak perlu mengemukakan soalsoal apa jang mesti dipetjahkan lebih dahulu untuk meinenuhi keinginan Munas itu, maka dengan menjimpang dari Undangundang jang bersang kutan, lahirlah Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1958 tentang penetapan presentase dari penerimaan beberapa padjak Negara untuk Daerahdaerah, jaitu dalam tahun permulaan tahun 1958.
Dengan adanja Peraturan Pemerintah itu, maka Daerahda erah tingkat I diberi hak :
(a) mengambil alih pemungutan : (1) padjak merponding (2) „ rumahtangga
(3) padjak kendaraan bermotor dan
(b) memperoleh dari Kas Negara, bagian dari penerimaan : (1) padjak peralihan sebanjak 60%
(2) „ djalan ,, 90%
(3) „ kekajaan „ 75%
(4) „ perseroan „ 75%
(5) beamasuk „ 50%
(6) beakeluar ,, 50%
sedjalan dengan itu daerah tingkat II.
(5) „ pembangunan.
(b) dan akan memperoleh dari Kas Negara, bagian dari : (1) padjak peralihan (penetapan besar) sebanjak 30%
(2) „ „ ( „ ketjil) „ 90%
(3) „ upah (meterai) sebanjak 90%