a) Eligibilitas
46. Eligibilitas bergantung pada sumber daya keluarga dan komposisi demografis. Suatu rumah tangga atau keluarga harus berada dalam kategori “miskin” atau ada dalam 25 persen rumah tangga termiskin berdasarkan peringkat Basis Data Terpadu (Unified Data Base, UDB). Ini merupakan hasil dari penyesuaian cakupan eligibilitas sebelumnya yang hanya mencakup persentil “sangat miskin” atau 10 persen terbawah, untuk memberikan inklusi keluarga yang lebih luas demi ekspansi enam juta cakupan. Untuk komponen kesehatan dan pendidikan, keluarga harus memenuhi setidaknya satu dari kriteria berikut agar dapat ikut serta:
i. Satu anggota keluarga sedang hamil atau menyusui; ii. Satu atau lebih dari anak-anak berusia di bawah 6 tahun;
iii. Anak-anak dari 6 sampai 15 tahun berada di sekolah dasar atau menengah;
iv. Anak-anak usia 16 tahun ke atas yang belum menyelesaikan pendidikan dasar dan sekunder15; v. Anggota keluarga dengan difabel berat16;
vi. Anggota keluarga lansia berusia 70 tahun atau lebih17;
47. Semenjak 2016, komponen-komponen baru telah ditambahkan, termasuk memperluas Transfer Tunai Bersyarat PKH pada kelompok lansia (70 tahun atau lebih) di dalam keluarga PKH yang sebelumnya tidak dicakup oleh program bantuan sosial lain18 serta kelompok difabel berat.19 Proposal saat ini menyarankan untuk memasukkan persyaratan untuk kelompok tersebut. Akan tetapi, dalam Petunjuk Operasional versi ke tujuh, persyaratan untuk difabel dan lansia tidak ditetapkan dengan jelas, termasuk jenis, frekuensi dan kriteria kepatuhan. Karena kelompok target tersebut kemungkinan akan menghadapi tantangan besar dalam mengakses layanan kesehatan, khususnya yang tinggal di area yang kurang terlayani, mengklarifikasi pemenuhan persyaratan dan sanksi akan menjadi sangat kritis. Juga saat ini tidak jelas dari petunjuk tersebut, apakah ketidakpatuhan akan menyebabkan sanksi atau apakah persyaratan bagi kelompok penerima manfaat tersebut akan diawasi. Desain persyaratan dan aturan pelaksanaan untuk komponen baru masih dalam pengembangan dan ditargetkan untuk diluncurkan pada 2017.
15 Berdasarkan Petunjuk Operasional sekarang, cakupan mencakup siswa sekolah menengah atas dan anak -anak difabel yang mengikuti Sekolah Luar Biasa, suatu sekolah untuk anak difabel, juga dapat menerima PKH
16 Petunjuk Operasional saat ini menetapkan difabel berat sebagai cacat fisik, mental, intelektual atau sensori yang menghambat seseorang menjadi mapan atau bergerak, sehingga membutuhkan bantuan dari anggota keluarga lain.
17 Anggota lansia dapat ikut serta jika memenuhi kriteria berikut: (1) mencapai umur 70 tahun per ta nggal 1 Januari; (2) lansia di atas 70 tahun menjadi pengasuh keluarga PKH
18 Program tersebut mencakup ASLUT atau program bantuan usia lanjut.
19 Data PPLS 2011 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 130,572 anak-anak difabel dari keluarga miskin, akan tetapi angka ini mungkin masih kurang karena proyeksi keseluruhan sejak data BPS di 2007 mengindikasikan bahwa terdapat sekitar 8,3 juta anak difabel (a tau sekitar 10% dari total populasi anak-anak).
24 Tabel 4. Eligibilitas dan Persyaratan PKH
Kriteria Eligibilitas Persyaratan atau kondisi Pembayaran PKH
Hamil atau menyusui - Melakukan empat kali pemeriksaan pra-kelahiran (antenatal) dan
mengkonsumsi tablet suplemen zat besi selama kehamilan; - Didampingi oleh profesional terlatih selama kelahiran;
- Ibu menyusui harus melakukan dua pemeriksaan pasca-kelahiran (postnatal); Anak-anak berusia 0-6 tahun - Memastikan anak-anak mendapatkan imunisasi anak lengkap dan
mengkonsumsi kapsul vitamin A dua kali setahun;
- Anak-anak ikut pemeriksaan pemantauan pertumbuhan (bulanan untuk bayi 0-11 tahun, dan tiap tiga bulan untuk anak-anak 1-6 tahun).
Anak-anak berusia 6 - 15 tahun - Anak-anak masuk ke sekolah dasar dan memastikan kehadiran setidaknya 85% dari hari sekolah;
- Anak-anak masuk ke sekolah menengah pertama dan memastikan kehadiran setidaknya 85% dari hari sekolah;
Anak-anak 16-18 tahun dengan pendidikan tidak lengkap
- Masuk ke dalam suatu program pendidikan untuk menyelesaikan 9 tahun pendidikan dasar.
Sumber: adaptasi dari World Bank (2012) dan Kemensos (2015)
48. Penerima manfaat PKH akan
mendapatkan transfer PKH selama enam tahun jika mereka memenuhi persyaratan. Tambahan tiga tahun dapat diberikan dan dilengkapi dengan program bantuan lain, termasuk KUBE-PKH dan Sesi Pembangunan Keluarga (FDS), jika pada saat sertifikasi ulang, penerima manfaat masih masuk dalam kategori miskin setelah enam tahun menerima program. Akan tetapi, setelah melakukan pemeriksaan ulang dengan penerima manfaat PKH di salah satu kabupaten yang telah menerima PKH sejak 2008, skema ‘kelulusan’ dalam PKH tidak sepenuhnya dimengerti oleh penerima manfaat dan seringkali diasumsikan bahwa tidak ada batas waktu bagi PKH selama anak mereka masih berada di sekolah sehingga mereka tidak siap untuk kelulusan tersebut.
49. Walaupun kriteria eligibilitas telah ditetapkan dengan jelas dalam Petunjuk Operasional (halaman 22-28) dan fasilitator dapat menjelaskan persyaratan dengan cukup baik, masyarakat penerima manfaat dan bahkan pejabat pemerintah lokal yang ditemui selama kajian mengindikasikan tingkat pemahaman yang bervariasi atas kriteria dan persyaratan tersebut. Persepsi yang umum tentang kriteria tersebut adalah memiliki anak yang bersekolah, hami, atau memiliki seorang bayi, sedangkan komponen yang baru
diperkenalkan mengenai difabel dan lansia masih banyak belum diketahui. Fasilitator melaporkan bahwa penerima manfaat PKH seringkali bingung atas jumlah transfer tunai yang berbeda yang diterima dan seringkali tidak jelas mengenai mengapa pengurangan dilakukan karena tidak memenuhi kriteria program,
Catatan Kajian 1:
Meninggalnya seorang guru sekolah dasar secara mendadak di salah satu pulau terpencil di pantai
timur Sumatera Utara sayangnya membawa dampak jangka panjang bagi seluruh masyarakat
di sana. Kepercayaan mulai berkembang bahwa pulau tersebut dikutuk dan orang-orang akan mati jika mereka pindah ke sana. Guru-guru lain
yang sebelumnya mengajar di satu-satunya sekolah dasar di pulau itu mulai pergi dan sekolah tersebut akhirnya ditelantarkan. Seorang
pendeta Kristen mengambil alih dan mulai mengelola sekolah tersebut sendiri selama dua
tahun hingga dia ditugaskan ke wilayah lain pada tahun 2010. Di pulau tersebut, terdapat 24
keluarga PKH dengan anak-anak usia sekolah yang akhirnya tidak dapat menerima manfaat
setelah serangkaian upaya gagal untuk memberikan alternatif sekolah bagi masyarakat.
Upaya untuk menemukan masyarakat lokal dengan keterampilan mengajar yang memadai akhirnya pupus setelah pemerintah kabupaten memutuskan untuk merelokasi penduduk lokal
ke pulau utama.
(Sumber: cerita dari Koordinator regional, yang pernah ditugaskan menjadi seorang fasilitator
25 bagaimana pengurangan dilakukan dan dihitung dan juga mengapa yang lain yang dianggap tidak layak atau lebih kaya masih mendapatkan pembayaran.
50. Karena penerimaan PKH dikaitkan dengan persyaratan untuk memenuhi indikator kesehatan dan pendidikan tertentu, ketersediaan layanan tersebut menjadi sangat penting bagi keluarga PKH agar mereka dapat diverifikasi terhadap indikator yang dibutuhkan sehingga tetap terus memenuhi persyaratan. Akan tetapi, di beberapa lokasi terpencil seperti pulau-pulau kecil, hutan atau area pegunungan, verifikasi kepatuhan terhadap persyaratan dapat menjadi sangat sulit karena kurangnya layanan dasar dan hasil kajian kesiapan pada sisi persediaan, hambatan yang seringkali berasal dari penyebaran personel yang tidak merata, seperti guru dan bidan; bukan karena tidak adanya fasilitas atau infrastruktur (lihat Catatan Kajian 1).
51. Suatu penelitian nasional yang ditugaskan oleh Kementerian Pendidikan dan Budaya mengindikasikan bahwa masih terdapat tantangan untuk mengurangi absensi guru; satu dari sepuluh guru yang ditemukan absen dari sekolah ketika seharusnya terdapat jadwal mengajar20. Dalam studi awal di Papua dan Papua Barat (UNICEF 2012), tingkat absensi yang dilaporkan jauh lebih tinggi dengan satu dari tiga guru tidak hadir selama jam mengajar, dan tingkat
absensi tersebut lebih parah lagi di tingkat kabupaten pegunungan dengan hanya satu dari dua guru yang hadir. Alasan umum yang diidentifikasi mencakup harus menghadiri tugas terkait mengajar resmi, terlambat, rotasi untuk cuti, yang cenderung menjadi permanen di kabupaten terpencil. Faktor lain adalah tingkat pendidikan, lemahnya Manajemen Berbasis Sekolah, kondisi hidup yang buruk dan kurangnya insentif. Di seluruh Indonesia, seolah yang berada di area yang lebih terpencil dan di pedesaan atau sekolah yang lebih kecil memiliki tingkat absensi guru yang lebih tinggi. Dalam kasus Papua dan Papua Barat, tingkat absensi guru memiliki korelasi linear dengan proporsi anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah, sedangkan hampir setengah dari anak-anak usia sekolah dasar tidak terdaftar di sekolah di kabupaten yang terletak di pegunungan di kedua provinsi.
52. Persyaratan kesehatan bagi anak-anak umur dua hingga tujuh tahun memberikan beban yang tidak perlu bagi penerima manfaat PKH dan penyedia layanan. Desain PKH saat ini mensyaratkan penerima manfaat untuk menimbang berat anak-anak umur 2 hingga 7 tahun setiap tahun. Bukti internasional menunjukkan bahwa ‘window of opportunity’ untuk nutrisi adalah dari lahir hingga umur dua tahun. Pemantauan pertumbuhan bulanan setelah umur tersebut cenderung kurang dapat memberikan hasil pertumbuhan yang signifikan. Terlebih lagi, persyaratan tersebut cenderung memberikan beban tambahan pada sisi persediaan (fasilitas kesehatan), fasilitator yang perlu memantau kepatuhan dan penerima manfaat yang terganggu waktu dan sumber dayanya. Menyederhanakan persyaratan kesehatan akan diterima dengan baik di area-area dengan hambatan pada sisi persediaan, seperti Indonesia Timur. 53. Menerapkan persyaratan yang lebih ketat dapat menjadi sulit di beberapa area yang memiliki permasalahan serius pada sisi persediaan, sehingga upaya untuk menyesuaikan persyaratan dan protokol verifikasi agar menjadi lebih kontekstual menjadi sangat penting demi mendorong inklusi sosial bagi masyarakat yang berada di area-area yang kurang terlayani. Setelah PKH diperluas ke seluruh wilayah nasional, memperkenalkan fleksibilitas dalam persyaratan dan protokol verifikasi dengan mempertimbangkan konteks lokal menjadi sangat penting dalam memastikan bahwa
20 Indonesia telah berhasil meraih suatu pencapaian signifikan pada dekade terakhir untuk mengurangi absensi guru dari sekolah dari 19 persen berdasarkan survei yang dilakukan di 2003 pada sekolah-sekolah sampel di tingkat nasional menjadi 9,8 persen di sekolah yang sama pada 2014.
“Orang tua kami selalu marah jika
kami pulang lebih cepat. Tetapi kami
bilang bahwa kami pulang cepat
karena tidak ada guru di sekolah.”
26 masyarakat miskin dan kelompok marginal memiliki akses yang memadai dan berkelanjutan terhadap manfaat PKH. Akan tetapi, hal ini menunjukkan bahwa tujuan keseluruhan PKH dalam hal pencapaian kesehatan dan pendidikan mungkin berpotensi terkompromikan. Sebagai tambahan, menyesuaikan persyaratan dan protokol verifikasi berdasarkan kesiapan sisi persiapan mungkin akan menambah tekanan pada manajemen dan sumber daya PKH yang sudah sangat terbebani.
b) Penentuan Target
54. Tantangan utama untuk menargetkan program bantuan sosial pada masyarakat miskin adalah mengidentifikasi dengan benar rumah tangga yang layak tanpa data pendapatan yang dapat diandalkan karena banyak masyarakat miskin yang bekerja di sektor informasi dan sering kali tidak memiliki berbagai catatan pendapatan. Dalam keadaan tersebut, menggunakan informasi yang tidak dapat diandalkan untuk mengidentifikasi target rumah tangga dalam menyebabkan kesalahan eksklusi dan inklusi dengan dana tersalurkan ke keluarga yang lebih kaya, sehingga mengurangi sumber daya bagi penerima manfaat yang dituju.
55. PKH mengadopsi Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (selanjutnya disebut UDB) tahun 2012, yang sebelumnya dioperasikan secara terpusat oleh Unit Penetapan Sasaran Untuk Penanggulangan Kemiskinan – UPSPK) di TNP2K dan pengelolaan Basis Data Terpadu saat ini sedang dipindahkan ke Kemensos bersamaan dengan ekspansi PKH. Basis Data Terpadu 2012 merupakan suatu perbaikan atas sistem penentuan target sebelumnya yang menggunakan berbagai basis data yang berbeda untuk mengidentifikasi peserta potensial di seluruh program bantuan sosial sehingga kesalahan eksklusi yang dilaporkan cukup tinggi. Basis Data Terpadu merupakan sistem data elektronik yang mencakup informasi sosial, ekonomi, demografis sekitar 24,7 juta keluarga atau 96,4 juga individu yang ada dalam 40 persentil termiskin di seluruh Indonesia21. Status kesejahteraan keluarga diukur menggunakan berbagai variabel kesejahteraan keluarga yang didapatkan dari Survei PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2011 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan menggunakan model proxy means testing (PMT) untuk menentukan kemiskinan relatif keluarga untuk tiap kabupaten/kota. Model PMT memprediksi pendapatan keluarga dengan mengumpulkan informasi sederhana mengenai aset yang mereka miliki dan dikaitkan dengan tiap kabupaten dan kota untuk mengakomodasi perbedaan variabel (TNP2K 2015). Indeks konsumsi yang dihasilkan oleh model PMT digunakan sebagai dasar untuk memberi peringkat berdasarkan status kesejahteraan mereka22. Hingga saat ini, Basis Data Terpadu dianggap sebagai basis data penentuan target yang paling komprehensif di negara ini.
21 Basis data dibangun dari data yang dikumpulkan dari Pendataan Pogram Perlindungan Sosial yang dilaksanakan BPS pada 2011. Upa ya tersebut dikoordinasikan oleh Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K) di bawah Kantor Wakil Presiden. Proses tersebut menggunakan momentum sensus 2010 yang secara komprehensif memperbarui data populasi nasional Indonesia sebagai dasarnya (baseline). Sejumlah perbaikan telah dilakukan dalam metodologinya termasuk konsultasi dengan anggota rumah tangga miskin lain, perbincangan mendadak dan observasi umum selama proses pengumpulan data. Basis Data Terpadu mulai berlaku pada Maret 2012.
22Basis Data Terpadu mengelompokkan keluarga ke dalam desil yang membagi keluarga ke dalam 10 kelompok. Desil 1 mengacu pada 10 persen keluarga termiskin, Desil 2 mengacu pada rumah tangga alam 10-20 persen termiskin dan seterusnya.
27 56. Pada prinsipnya, data Basis Data Terpadu,
baik data agregat dan data terpilah,23 dapat diakses sesuai permintaan (upon request) oleh berbagai lembaga untuk perencanaan pengentasan kemiskinan dan tujuan penentuan target. Basis Data Terpadu telah digunakan terutama untuk mengidentifikasi penerima manfaat untuk program perlindungan sosial nasional terbesar seperti asuransi kesehatan (BPJS), beasiswa (BSM, sekarang PIP), transfer tunai bersyarat (PKH), dan beras subsidi (Raskin, sekarang Rastra). Pemerintah lokal juga telah menunjukkan minat yang besar untuk menggunakan Basis Data Terpadu untuk mendukung implementasi program kemiskinan lokal, dengan lebih dari 500 pemerintah kabupaten dan provinsi dilaporkan telah menggunakan data tersebut (Bah et al, 2015, p.26). Basis Data Terpadu ditujukan untuk mendukung lembaga
pemerintah dalam merampingkan upaya pengentasan kemiskinan dan meningkatkan keterkaitan progam-program bantuan sosial, yang secara historis selalu tumpang tindih dan juga untuk menghemat sumber daya yang dapat diarahkan identifikasi, penentuan target dan seleksi penerima manfaat.
57. Basis Data Terpadu 2011 diperbarui pada tahun 2015 dengan survei ulang keluarga yang telah masuk serta memungkinkan keluarga baru untuk disertakan dalam survei dan penentuan peringkat kesejahteraan selanjutnya.24. Kelompok miskin atau rentan ditambahkan melalui Forum Konsultasi Publik yang dihadiri oleh pemimpin dan perwakilan masyarakat. Melalui forum-forum tersebut, daftar Basis Data Terpadu diperdebatkan oleh peserta untuk menentukan rumah tangga yang tidak layak untuk program perlindungan sosial. Rumah tangga tersebut akan tetap disurvei ulang oleh BPS dan diukur menggunakan metodologi PMT baru. Basis Data Terpadu 2015 dianggap lebih akurat dari pada BDT 2011 karena metodologi PMT (Proxy Means Testing) menggunakan jumlah sampel yang lebih besar untuk memprediksi konsumsi dan serangkaian variabel yang lebih luas untuk memprediksi konsumsi.
58. Di tingkat agregat nasional, kebocoran PKH pada populasi yang tidak menjadi target dilaporkan berada pada tingkat minimal, walaupun terdapat beberapa kejadian ketika transfer diberikan pada keluarga desil tidak miskin. Kajian Pembelanjaan Publik atau Public Expenditure
Review dari World Bank yang akan datang mengindikasikan bahwa proporsi penerima manfaat PKH dari
tiga desil terendah telah meningkat sebesar 8 persen antara 2010 dan 2014, sehingga menunjukkan pertumbuhan dalam jangkauan program dan peningkatan akurasi penentuan target rumah tangga termiskin (WB 2016, akan datang). Survei SUSENAS terakhir mengindikasikan bahwa lebih dari 70 persen total penerima manfaat program berada dalam 40 persen populasi termiskin25.
59. Seleksi keluarga yang layak dilakukan secara terpusat. Bersamaan dengan ekspansi PKH, seleksi 2,5 juta tambahan keluarga telah ditangani oleh tim JSK dan kantor pusat UPPKH di Kementerian
23 Data agregat (tanpa nama dan alamat) dapat digunakan sebagai referensi untuk berbagai analisis program pengentasan kemiskinan serta kebutuhan proyeksi anggaran. Data terpilah (dengan nama dan alamat perorangan dan rumah tangga) dapat digunakan untuk platform penentua n target untuk mengidentifikasi perorangan dan/atau rumah tangga yang layak menerima program bantuan sosial. Data yang terakhir diberikan pada kantor pemerintahan (nasional dan sub-nasional) yang mengelola perlindungan sosial berdasarkan permintaan, tanpa biaya.
24 Dari Juni hingga Juli 2015, BPS mensurvei lebih dari 28 juta rumah tangga di 514 kabupaten di Indonesia, bertujuan untuk mencakup 40 persen dari populasi termiskin untuk memperbarui catatan Basis Data Terpadu 2011 dengan memasukkan informasi baru dari lapangan serta tambahan 1,3 juta keluarga.
25 World Bank, Indonesia Social Assistance Expenditure Review Update (2017, akan datang).
Catatan Kajian 2:
Evaluasi Basis Data Terpadu menunjukkan bahwa pejabat pemerintah
daerah ragu untuk menggunakan Basis Data Terpadu karena mereka tidak mendapatkan informasi yang cukup
mengenai bagaimana basis data diciptakan dan bagaimana desil kemiskinan ditentukan. Metode proxy
means testing (PMT) tidak dipahami
dan/atau disosialisasikan secara memadai sehingga tidak dapat menjelaskan kepada masyarakat lokal tentang sumber data dan bagaimana peringkat dibuat (Bah et al,
28 Sosial. Kuota kabupaten ditentukan berdasarkan data SUSENAS pada jumlah keluarga miskin dikurangi jumlah penerima manfaat yang telah ada di tiap kabupaten.
60. Akan tetapi, pemahaman pentingnya akurasi penentuan target yang lebih baik seringkali tidak di sosialisasikan pada pemangku kepentingan lokal, termasuk pejabat pemerintah lokal dan desa serta penerima manfaat itu sendiri. Terdapat sejumlah kesalahpahaman di seputar proses penentuan target, yang tetap tidak diklarifikasi. Penentuan target seringkali dianggap bermasalah.
61. Proses penentuan target aktual, termasuk PMT, seringkali kurang dipahami oleh pejabat pemerintah lokal, fasilitator serta penerima manfaat. Karena basis data ini dikelola secara terpusat dan data baseline dikumpulkan oleh kantor BPS kabupaten dan provinsi26, yang berada di luar struktur pemerintah daerah dan melapor langsung ke Presiden, terdapat persepsi kurangnya keterlibatan pemerintah daerah dalam penentuan target actual. Proses penentuan target aktual juga tidak sepenuhnya dimengerti oleh pemangku kepentingan lokal. Lebih jauh lagi, cara-cara komunikasi yang ada sangat tidak efektif dalam sosialisasi mekanisme dan proses penentuan target, termasuk penanganan keluhan. Tanggapan umum yang diberikan seperti “seleksinya dilakukan oleh Kementerian (Kemensos), jadi diluar kendali kami” sering digunakan untuk menanggapi keluhan dari anggota masyarakat yang merasa dikecualikan dari program. Akan tetapi, jawaban
tersebut sering ditanggapi dengan skeptis oleh masyarakat lokal karena pemerintahan daerah, termasuk pemerintahan desa, dianggap terlibat dalam pemilihan penerima manfaat. Persepsi kesalahan eksklusi dalam data Basis Data Terpadu seringkali diperparah oleh keluhan umum masyarakat khususnya dalam seleksi penerima manfaat dan kelemahan-kelemahan tersebut sering diatributkan kepada TNP2K dan BPS. 62. Di salah satu kecamatan yang dikunjungi, tidak terdapat tambahan kuota bagi ekspansi PKH, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi yang diberikan, sehingga menyebabkan orang-orang berspekulasi bahwa ada yang salah dengan sistemnya. Alokasi kuota tambahan didasarkan pada tingkat kemiskinan kabupaten dan oleh karena itu, kombinasi dari turunnya tingkat kemiskinan dan jumlah penerima manfaat yang sudah ada cenderung mengurangi alokasi tersebut dan terdapat beberapa kasus dalam beberapa kabupaten yang tidak menerima tambahan kuota. Alasan di balik tidak mendapat tambahan kuota tidak mudah diterima karena FKP juga dilaksanakan di kabupaten tersebut ketika rumah tangga yang diusulkan merasa bahwa mereka seharusnya menerima bantuan sosial, termasuk PKH. Dalam situasi tersebut, fasilitator seringkali tidak tahu mengenai alasan dibaliknya sehingga tidak dapat memberikan jawaban yang meyakinkan ketika mereka ditanya.
26 Penjelasan rasional dari kontrol kelembagaan pusat untuk program PKH adalah agar preferensi lokal dan kapasitas administratif daerah tidak memengaruhi hasil program.
“Data datang dari pusat
(-pemerintah), jadi kami tidak
bisa apa-apa kecuali bersabar”
(Penerima manfaat PKH perempuan, mengasuh satu cucu perempuan, D2, NS)
“Masyarakat setiap hari datang
ke kantor kami untuk
mengeluhkan mengapa mereka
tidak mendapat PKH”
(
Kepala Badan Sosial, Kabupaten 1 NS)
29 63. Bersamaan dengan ekspansi PKH, juga
terdapat persepsi lokal bahwa terdapat kesalahan dalam manajemen penentuan target. Di salah satu kabupaten yang dikunjungi di Sumatera Utara, dari 6.194 penerima manfaat baru, dilaporkan bahwa sekitar 800 sudah ada dalam daftar sebelumnya dan 800 lain tidak dapat diidentifikasi pada saat validasi data. Jumlah tersebut mencapai lebih dari 25 persen kuota baru, yang pada praktiknya tidak dapat dialokasikan lagi ke penerima manfaat potensial lain karena penentuan target dilakukan
secara terpusat. Pejabat Dinas Sosial di salah satu kabupaten yang dikunjungi merasa kesal karena anggaran PKH yang tidak digunakan akhirnya harus dikembalikan ke Bendahara Negara sebagai Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SilPA), sedangkan mereka terus menerima keluhan dari masyarakat yang tidak dapat mereka selesaikan. Mekanisme seleksi terbaru dianggap tidak efisien karena realokasi hanya dapat dilakukan di tingkat pusat yang akan membutuhkan waktu satu tahun untuk diproses. Kuota yang tidak dipakai dianggap sebagai sumber daya yang terbuang percuma.
64. Selain permasalahan persepsi eksklusi yang muncul dari kesalahpahaman dan kurangnya kesadaran, terdapat beberapa hambatan teknis terkait dengan Basis Data Terpadu, yang pada akhirnya memengaruhi kepuasan pemangku kepentingan lokal terhadap sistem penentuan target program, termasuk:
- Pertama, FKP mewakili kegiatan utama bagi BPS, beberapa pejabat dari Dinas Sosial Kabupaten
melaporkan kasus-kasus ketika rumah tangga yang diusulkan tidak semuanya disurvei dan bahwa kepala desa mengeluhkan tidak ada FKP yang diadakan dalam wilayah mereka. Sebagai tambahan, terdapat risiko potensial bahwa proses FKP didominasi oleh kaum elit lokal yang perlu dibuktikan