• Tidak ada hasil yang ditemukan

Social Assistance Reform Indonesia Program. Kajian Sistem Sosial dan Lingkungan. Environmental and Social Systems Assessment

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Social Assistance Reform Indonesia Program. Kajian Sistem Sosial dan Lingkungan. Environmental and Social Systems Assessment"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

i

Social Assistance Reform Indonesia

Program

Kajian Sistem Sosial dan

Lingkungan

Environmental and Social Systems

Assessment

(2)

ii DAFTAR ISI

DAFTAR SINGKATAN ... 3

I. PENDAHULUAN ... 10

A. LATAR BELAKANG PROGRAM ... 10

B. CAKUPAN ESSA ... 11

C. PENDEKATAN ESSA ... 12

D. KONSULTASI UNTUK ESSA ... 13

II. DESKRIPSI PROGRAM ... 13

A. KERANGKA HUKUM UNTUK TRANSFER TUNAI BERSYARAT PKH ... 13

B. CAKUPAN PROGRAM ... 18

C. INDIKATOR TERKAIT PENCAIRAN (DLI) DAN PROTOKOL VERIFIKASI ... 19

D. PENGATURAN KELEMBAGAAN ... 22

III. KAJIAN SISTEM PROGRAM ... 23

A. KEADILAN TERHADAP AKSES (EQUITY) ... 23

a) Eligibilitas ... 23

b) Penentuan Target ... 26

c) Eksklusi dan Inklusi Program ... 30

B. GENDER ... 34

C. MEMENUHI KEBUTUHAN MEREKA YANG RENTAN... 35

D. KONSULTASI DAN AKSES TERHADAP INFORMASI ... 38

IV. KAPASITAS DAN KINERJA PROGRAM ... 40

A. ORGANISASI KELEMBAGAAN DAN DIVISI TENAGA KERJA ... 40

B. MANAJEMEN RISIKO DAN DAMPAK ... 40

C. KOORDINASI DENGAN PEMERINTAH SUB-NASIONAL ... 43

V. KAJIAN DAMPAK, PENILAIAN RISIKO DAN RENCANA KERJA ... 45

A. DAMPAK SOSIAL YANG TERKAIT DENGAN PKH ... 45

B. PENILAIAN RISIKO SOSIAL... 47

C. RENCANA KERJA PROGRAM ... 51

REFERENSI ... 55 DAFTAR LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined. Lampiran 1: Daftar Orang-Orang yang Ditemui (untuk diselesaikan) ... Error! Bookmark not defined.

(3)

3

DAFTAR SINGKATAN

ASLUT Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar BAPPENAS Badan Perencanaan Nasional

BAPPEDA Badan Perencanaan Daerah

BPS Badan Pusat Statistik

BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BLSM Bantuan Langsung Sementara Masyarakat

BOS Bantuan Operasional Sekolah

BRI Bank Rakyat Indonesia

CCT Bantuan Langsung Tunai / Conditional Cash Transfer

EFC Kesalahan, Kecurangan dan Korupsi / Error, Fraud and Corruption ESSA Kajian Sistem Sosial dan Lingkungan / Environmental and Social Systems

Assessment

FDS Sesi Pembangunan Keluarga / Family Development Session FKP

GIZ

Forum Konsultasi Publik

Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit

GoI Pemerintah Indonesia

GRS Sistem Penanganan Keluhan / Grievance Redressall System HHs Keluarga, rumah tangga / Households

JAMKESMAS Jaminan Kesehatan Masyarakat JSK Direktorat Jaminan Sosial Keluarga

KKS Kartu Kesejahteraan Sosial

KK Kartu Keluarga

KTP KPS KUBE

Kartu Tanda Penduduk Kartu Perlindungan Sosial Kelompok Usaha Bersama

M&E Pemantauan dan Evaluasi / Monitoring and Evaluation

MIS Sistem Informasi Manajemen / Management Information System

MoSA Kementerian Sosial

NIK NGO OM

Nomor Induk Kependudukan

Lembaga Non Pemerintah / Non-Governmental Organizations Petunjuk Operasional / Operational Manual

PBI PforR

Penerima Bantuan Iuran

Program untuk Hasil / Program for Results

PIP Program Indonesia Pintar

PKH Program Keluarga Harapan

PMT Metode Proxy Means Testing

PPLS Pendataan Program Perlindungan Sosial RASTRA Beras untuk Rakyat Sejahtera

RCA Reality Check Approach

RCT Randomized Control Trial

RPJMN SA SBM SD/MI SiLPA SJSN SMP/MT SMA/MA

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Bantuan Sosial / Social Assitance

Manajemen Berbasis Sekolah / School Based Management Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Sistem Jaminan Sosial Nasional

Sekolah Menengah Pertama / Madrasah Tsanawiyah Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah

(4)

4 SOP

SUSENAS TKPKD TNP2K

Prosedur Standar Operasi / Standard Operating Procedure Survey Sosial Ekonomi Nasional

Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan ToR

ToT

Kerangka Acuan / Terms of Reference Pelatihan Pelatih / Training of Trainers UDB Basis Data Terpadu / Unified Database UNICEF The United Nations Children’s Fund UPPKH Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan

(5)

5 RANGKUMAN EKSEKUTIF

1. Program Keluarga Harapan (PKH - suatu program transfer bantuan tunai bersyarat untuk keluarga miskin) diciptakan untuk menjadi pilar utama bagi sistem perlindungan sosial komprehensif di Indonesia. PKH diluncurkan di tujuh provinsi di Indonesia pada 2007, awalnya mencakup sekitar setengah juta keluarga. Pada 2015, program tersebut ditargetkan untuk berkembang hingga enam kali lebih besar dibandingkan dengan cakupan awalnya, menjadi lebih dari 3,5 juta keluarga (sekitar lima persen dari jumlah penduduk) hingga mencapai target baru sebesar enam juta keluarga pada tingkat nasional (sekitar sepuluh persen dari jumlah penduduk) pada akhir 2016. Dengan ekspansi tersebut, 42 kabupaten baru ditambahkan untuk mencakup semua provinsi yang ada di Indonesia termasuk Papua dan Papua Barat, yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi tetapi sebelumnya belum masuk ke dalam program. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Sosial yang bekerja sama dengan kementerian lini lain baik di tingkat nasional dan daerah.

2. PKH secara keseluruhan ditujukan untuk memungkinkan keluarga penerima bantuan untuk mengatasi guncangan ekonomi jangka pendek dengan memperlancar konsumsi dan meningkatkan pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan. Pembayaran dikaitkan dengan pemenuhan kriteria spesifik di bidang kesehatan dan pendidikan sehingga memberikan insentif pada perilaku rumah tangga dalam menggunakan layanan-layanan tersebut, yang diharapkan akan berdampak pada peningkatan kesehatan dan pendidikan dalam jangka panjang.

3. Tidak ada kegiatan infrastruktur atau kegiatan fisik lain yang didukung dan/atau dibiayai melalui Transfer Tunai Bersyarat PKH. Oleh karena itu, program tidak akan menghasilkan dampak lingkungan potensial yang mungkin menyebabkan kerugian, kerusakan atau konversi habitat alam, polusi, dan/atau perubahan pada penggunaan lahan atau sumber daya. Program ini tidak diharapkan untuk menyebabkan ekspansi jasa kesehatan dan pendidikan yang akan terlibat pembangunan fasilitas baru. 4. Program ini mendukung permintaan terhadap layanan1, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan dan tidak pada sisi persediaan, yang bukan merupakan cakupan Kementerian Sosial. Akan tetapi, program ini dapat memiliki risiko sosial terkait dengan pengecualian atau eksklusi dari program dan rendahnya pemahaman atas tujuan, cakupan, proses dan prosedur program yang disebabkan oleh serta lemahnya sosialisasi, yang dapat menumbuhkan persepsi kurang adil serta kecurigaan terutama dari keluarga yang tidak menerima PKH.

5. Isu-isu seputar pelaksanaan PKH yang disoroti dalam Kajian Sistem Sosial dan Lingkungan (ESSA) ini dilakukan dengan memberikan perhatian pada bagaimana masyarakat miskin dan marginal mengakses manfaat PKH dan bagaimana berbagai risiko dan dampak ditangani di dalam program tersebut. Secara khusus, ESSA mempertimbangkan isu-isu seperti penentuan target, permasalahan gender, waktu dan cara transfer uang tunai, dinamika kekuasaan (power dynamics) di tingkat masyarakat, peran fasilitator, kader dan penyedia layanan lain terkait dengan akses ke program dan yang terakhir, mekanisme penanganan keluhan yang ada. Kajian ini dilakukan baik di tingkat nasional dan sub-nasional, mencakup beberapa kabupaten (Medan, Serang, Lebak dan Serdang Bedagai) yang telah ikut serta dalam PKH serta kabupaten baru yang belakangan diikutsertakan dalam perluasan program.

1 Di bidang kesehatan, indikator PKH fokus pada meningkatkan kehadiran ibu di Posyandu yang menyediakan pemeriksaan kesehatan m endasar dan konseling dari bidan serta kadang mendistribusikan tablet zat besi (Fe) dan asupan makanan tambahan. Di bidang pendidikan, PKH bertujuan untuk mendorong kehadiran anak-anak di sekolah dan intervensi sejenisnya.

(6)

6 6. Risiko sosial bagi Transfer Tunai Bersyarat PKH adalah menengah (medium). Program ini mendorong inklusi dengan memperluas cakupan pada kelompok populasi yang paling rentan (seperti kelompok difabel, masyarakat adat). Risiko sosialnya umumnya terkait dengan kapasitas program dalam menentukan target dengan tepat pada penerima manfaat keluarga miskin, pelibatan masyarakat dan penggunaan jalur komunikasi yang sesuai, penerapan Sistem Penanganan Keluhan (Grievance Redress

System, GRS) yang lebih responsif serta penetapan lingkungan yang kondusif untuk membantu keluarga

PKH dalam memanfaatkan bantuan tunai dalam meningkatkan kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan mereka.

Temuan Utama

7. Eligibilitas: penerapan persyaratan yang lebih ketat bagi keluarga-keluarga agar tetap menerima bantuan dapat menjadi sulit di beberapa area yang memiliki permasalahan serius pada sisi persediaan, sehingga upaya untuk menyesuaikan persyaratan dan protokol verifikasi agar menjadi lebih kontekstual menjadi sangat penting demi mendorong inklusi sosial bagi masyarakat yang berada di area-area yang kurang terlayani. Eligibilitas PKH bergantung pada sumber daya keluarga dan komposisi demografis. Suatu rumah tangga atau keluarga harus berada dalam kategori “miskin” atau ada dalam 25 persen rumah tangga termiskin berdasarkan peringkat Basis Data Terpadu (Unified Data Base, UDB) Semenjak 2016, komponen-komponen baru akan ditambahkan, termasuk memperluas Transfer Tunai Bersyarat PKH pada kelompok lansia (70 tahun atau lebih) di dalam keluarga PKH yang sebelumnya tidak dicakup oleh program bantuan sosial lain2 serta kelompok difabel berat. Sejumlah tantangan utama terkait dengan eligibilitas program yang diamati: Pertama, walaupun kriteria eligibilitas telah ditetapkan dengan jelas dalam Petunjuk Operasional (halaman 22-28) dan fasilitator dapat menjelaskan persyaratan dengan cukup baik, masyarakat penerima manfaat dan bahkan pejabat pemerintah lokal yang ditemui selama kajian, mengindikasikan tingkat pemahaman yang bervariasi atas kriteria dan persyaratan tersebut, termasuk jangka waktu dan skema kelulusan bagi PKH. Kedua, di beberapa lokasi terpencil seperti pulau-pulau kecil, hutan atau area pegunungan, verifikasi kepatuhan terhadap persyaratan dapat menjadi sangat sulit karena kurangnya layanan dasar dan hasil kajian kesiapan pada sisi persediaan, hambatan yang seringkali berasal dari penyebaran personel yang tidak merata, seperti guru dan bidan; bukan karena tidak adanya fasilitas atau infrastruktur. Permasalahan terkait dengan kesiapan sisi persediaan cenderung akan menjadi lebih besar karena PKH mulai mencakup area-area terpencil yang kurang terlayani dan mulai berusaha mencakup lansia dan kelompok difabel berat.

8. Penentuan Target: pemahaman atas akurasi penentuan target yang lebih baik seringkali tidak dibagikan ke pemangku kepentingan lokal, dan permasalahan tersebut seringkali disebabkan kurangnya informasi dan komunikasi. Sistem penentuan target PKH telah terus diperbaiki. PKH mengadopsi Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (selanjutnya disebut BDT atau Unified

Data Base, UDB), yang mencakup informasi sosial, ekonomi, demografis sekitar 24,7 juta keluarga atau

96,4 juga individu yang ada dalam 40 persentil termiskin di seluruh Indonesia. Basis data tersebut diperbarui pada tahun 2015 dengan survei ulang keluarga yang telah masuk serta memungkinkan keluarga baru untuk disertakan dalam survei dan penentuan peringkat kesejahteraan selanjutnya. Basis Data Terpadu 2015 dianggap lebih akurat dari pada BDT 2011 karena metodologi PMT (Proxy Means Testing) menggunakan jumlah sampel yang lebih besar untuk memprediksi konsumsi dan serangkaian variabel yang lebih luas untuk memprediksi konsumsi. Hingga saat ini, Basis Data Terpadu dianggap sebagai basis data penentuan target yang paling komprehensif di negara ini. Akan tetapi, kurangnya sosialisasi, proses penentuan target aktual, termasuk metode PMT, seringkali kurang dipahami oleh pejabat pemerintahan lokal, fasilitator dan penerima manfaat. Terlebih lagi, keluhan-keluhan dari anggota masyarakat yang tidak

(7)

7 puas seringkali tidak dapat diselesaikan di tingkat lokal karena manajemen penentuan target PKH yang terpusat dan tidak ada sistem penanganan keluhan yang dijalankan dengan efektif dan responsif.

9. Eksklusi program: kurangnya dokumentasi legal telah diakui sebagai salah satu permasalahan yang muncul karena PKH sedang bergerak ke arah sistem e-payment dan upaya untuk saling melengkapi program bantuan sosial lain yang menggunakan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai persyaratan teknis. Permasalahan tersebut dapat memengaruhi masyarakat yang tidak terdaftar resmi dan populasi sementara yang mencakup masyarakat nomaden, komunitas pelaut, petani, pekerja tidak tetap serta pekerja migran. Individu yang tidak terdaftar mungkin tidak diakui secara formal oleh desa atau lingkungan mereka sebagai penduduk sehingga seringkali tidak diusulkan untuk mendapat program bantuan sosial. Kedua, individu tersebut mungkin terdaftar di tempat tinggal asal mereka sehingga mungkin tidak terlibat dalam sensus dan survei. Lebih jauh lagi, terdapat batasan-batasan kapasitas Badan Pusat Statistik untuk mencakup masyarakat atau kelompok yang tinggal di tempat-tempat yang sangat terpencil. Hambatan tersebut berpotensi menjadi lebih parah dalam area-area PKH baru khususnya di wilayah Indonesia Timur yang memiliki akses terbatas dan biaya logistik untuk survei yang sangat tinggi.

10. Masyarakat yang tidak memiliki akses terdapat layanan kesehatan dan pendidikan yang disyaratkan akan dikecualikan dari program dan isu ini memerlukan perhatian serius karena program akan melakukan ekspansi di tingkat nasional. Keluarga yang layak menerima bantuan, termasuk lansia dan kelompok difabel, dan tinggal di daerah terpencil yang memiliki hambatan sisi persediaan kemungkinan akan dirugikan dalam skema bantuan tunai bersyarat karena kepatuhan persyaratan menjadi suatu tantangan bagi mereka, terkait dengan akses serta biaya-biaya terkait lainnya. 11. Memenuhi kebutuhan mereka yang rentang: Pembayaran PKH seringkali tidak dilakukan pada waktu yang tepat, terutama ketika kebutuhan uang tunai sangat tinggi seperti pada saat tahun akademis baru dan ini meningkatkan risiko transfer PKH untuk digunakan pada biaya rumah tangga lain dari pada untuk pendidikan dan kesehatan. Kajian mengindikasikan bahwa menerima PKH tidak memiliki korelasi dengan keputusan orang tua untuk memastikan pembayaran biaya sekolah yang tepat waktu dan pengurangan jumlah buruh anak, diperkirakan karena terlambatnya transfer dan sedikitnya jumlah transfer yang diterima. Kebutuhan finansial menjadi lebih besar bagi keluarga PKH ketika anak-anak mulai masuk ke sekolah menengah atas atau pendidikan tersier karena semua biaya terkait dengan sekolah seperti uang jajan, transportasi dan fotokopi dapat meningkat hingga tiga kali lipat. Terdapat suatu harapan terhadap adanya bantuan untuk pendidikan tersier karena biaya universitas cenderung memiliki porsi yang besar dalam keseluruhan biaya rumah tangga.

12. Konsultasi dan Akses terhadap Informasi: Forum Konsultasi Publik (FKP) yang dilaksanakan sebagai bagian dari proses pembaruan Basis Data Terpadu, merupakan inovasi yang diperkenalkan untuk memperkuat peran dan partisipasi pemerintahan lokal dan perwakilan masyarakat dalam mengidentifikasi penerima manfaat potensial bagi program bantuan sosial, termasuk PKH. Dilaporkan bahwa FKP telah dilaksanakan tanpa koordinasi dengan pemerintahan kabupaten dan kecamatan dan tidak melibatkan pemangku kepentingan yang luas seperti yang seharusnya. Kedua, terdapat kebingungan dalam penggunaan FKP karena penentuan target PKH pada tahun 2016 dianggap tidak mencerminkan dengan tepat apa yang sebelumnya diusulkan dan tidak ada penjelasan resmi terhadap banyaknya tumpang tindih dan nama-nama yang tidak bisa diidentifikasi untuk ekspansi PKH. Akses terhadap informasi dianggap kurang di semua tingkatan, dan ini seringkali dikaitkan dengan kurangnya kesadatan dan pemahaman khususnya ada isu-isu penentuan target, pemilihan penerima bantuan, dan persyaratan keikutsertaan PKH. Di semua kabupaten yang dikunjungi, sumber daya yang tersedia baik dari pemerintah nasional dan daerah, sangat tidak cukup untuk menghasilkan materi sosialisasi dan menyebarluaskan informasi mengenai program.

(8)

8 13. Sistem Penanganan Keluhan (Grievance Redress System, GRS): GRS yang ada saat ini berfungsi dengan lemah dan diperlukan adanya penguatan untuk meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan menurunkan ketidakpuasan dan rasa eklusi ketidakadilan. Hingga saat ini tidak ada mekanisme penanganan keluhan yang berfungsi, yang dapat digunakan oleh pemerintahan kabupaten dan provinsi untuk mengelola keluhan atau memberitahukan penyampai keluhan mengenai status keluhan mereka. Pada teorinya, keluarga PKH dan anggota masyarakat dapat menyampaikan keluhan mereka ke fasilitator yang bertanggung jawab untuk mencatat keluhan yang diterima dengan mengisi formulir standar dan menyampai keluhan ke departemen terkait di Kementerian Sosial untuk diselesaikan lebih lanjut. . Sebagai tambahan, sistem yang ada tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan mereka secara anonim.

14. Dampak sosial positif: Dua penelitian Randomized Control Trials (RCT) mengindikasikan bahwa program ini memiliki dampak positif terhadap penggunaan layanan kesehatan dan pendidikan primer. Dampak pada perilaku pendidikan jauh lebih besar bagi mereka yang telah mengikuti sekolah dari pada mereka yang tidak. Bukti anekdotal menunjukkan bahwa kemungkinan siswa PKH untuk lanjut ke pendidikan sekunder lebih tinggi dari pada siswa non-PKH. Akan tetapi, korelasi tersebut cenderung menghilang setelah siswa PKH lulus sekolah menengah atas, diperkirakan karena biaya terkait pendidikan tersier yang tinggi, tidak adanya komponen pembayaran untuk mahasiswa perguruan tinggi dan faktor lain seperti keinginan untuk bekerja atau persepsi bahwa telah memiliki pendidikan yang cukup. Menerima PKH sepertinya tidak memiliki korelasi dengan keputusan orang tua untuk memastikan pembayaran biaya sekolah yang tepat waktu dan pengurangan jumlah buruh anak, diperkirakan karena terlambatnya transfer dan sedikitnya jumlah transfer yang diterima. Karena pembayaran PKH kemungkinan besar diserap ke biaya rumah tangga lain yang belum tentu terkait dengan kesehatan dan pendidikan, fakta bahwa pembayaran PKH seringkali tidak dilakukan bersamaan dengan tahun akademis sekolah dapat memberikan risiko tertentu terkait dengan penggunaan transfer tunai tersebut. Sama halnya, sedikit korelasi yang diamati terkait dengan partisipasi dalam program dan kemungkinan dan jumlah jam yang dihabiskan siswa untuk bekerja setelah jam sekolah..

15. Dampak sosial negatif: Beberapa ketegangan berasal dari seleksi penerima manfaat dan verifikasi telah dilaporkan. Ketegangan tersebut sering kali melibatkan: (a) mereka yang menerima PKH dengan mereka yang tidak, (b) mereka yang dianggap cukup mapan tetapi masih menerima PKH dengan anggota masyarakat lain, (c) anggota masyarakat dengan staf pemerintah atau fasilitator, (d) pimpinan desa dengan anggota masyarakat yang tidak puas, (e) pimpinan desa dengan pemerintah staf atau fasilitator. Ketegangan tersebut dapat dikaitkan terhadap kurangnya pemahaman dalam proses pemilihan, tanggapan yang diterima tidak konsiten dan tidak ada resoluasi komplain. Beberapa keluhan terkait dengan pengurangan pembayaran karena kurangnya kepatuhan juga telah dilaporkan, dan ini kembali sering kali berakar dari kurangnya pemahaman atas hak, persyaratan dan sanksi.

Rencana Kerja Utama

16. Terdapat beberapa upaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat manajemen risiko program dan untuk mempromosikan inklusi sosial seperti yang dirangkum di bawah ini:

a. Mengembangkan dan menguji sistem penanganan keluhan (GRS) terstandarkan yang mencakup: - Menempatkan staf khusus dan menetapkan peran dan tanggung jawab di semua tingkatan

(pusat versus pelaksanaan sub-nasional) terkait dengan penanganan keluhan;

- Melakukan sosialisai dan memberikan pelatihan mengenai sistem GRS baru termasuk mengalokasikan sumber daya khusus untuk komunikasi dan penjangkauan;

(9)

9 b. Mengembangkan suatu strategi komunikasi untuk pemerintah tingkat pusat dan daerah untuk

memastikan bahwa aspek-aspek berikut dilaksanakan (i) staf khusus/spesialis komunikasi (ii) alokasi sumber daya, (iii) kegiatan pelatihan, penjangkauan serta pengembangan kapasitas. Sebagai bagian dari strategi ini, sangatlah penting untuk memasukkan materi mengenai komunikasi lintas budaya serta kesadaran dan manajemen risiko (termasuk GRS, strategi komunikasi) ke dalam modul pelatihan fasilitator PKH;

c. Mengkaji dan mengadaptasi prosedur PKH, persyaratan, dan protokol verifikasi pada area-area dengan tantangan-tantangan implementasi (misalnya akses yang sulit, hambatan pada sisi persediaan, dst.) untuk meningkatkan proporsi penerima manfaat PKH di area-area yang kurang terlayani;

d. Menetapkan ulang dan merampingkan peran fasilitator dan sistem manajemen kinerja dengan penekanan pada kerja sosial dan tanggung jawab fasilitasi. Sub-rencana kerja di dalamnya juga mencakup:

- Mengembangkan upaya untuk melindungi keselamatan pribadi termasuk meningkatkan pengawasan, SOP untuk fasilitator;

- Menugaskan satu tim spesialis sosial di dalam struktur yang ada untuk mengawasi dan memonitor risiko dan dampak sosial. Hal ini akan dikaji dalam implementasi tahun 1 untuk melihat kecukupannya.

17. Tindakan ESSA yang diusulkan terkait dengan manajemen sosial telah dimasukkan ke dalam desain keseluruhan program dan pelaksanaan sepenuhnya tertanam dalam struktur organisasi Direktorat Perlindungan Sosial Keluarga (JSK). Tindakan yang diusulkan berencana adalah ESSA # 1 dan 2 pada pengembangan GRS program dan strategi komunikasi penjangkauan ada di bawah Area Hasil 1 pada penguatan sistem pengiriman program untuk meningkatkan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Rencana aksi GRS adalah DLI # 3. Kemudian diusulkan rencana aksi ESSA # 3 pada review dari modalitas pelaksanaan di daerah dengan kendala sisi penawaran telah dimasukkan dalam Rencana Aksi Program # 4 dan peninjauan dilangsungkan di bawah kepemimpinan Sub-Direktorat Penerima Manfaat dari Kementrian Sosial. RMosa. encana aksi yang diusulkan ESSA # 4 dimasukkan dalam Rencana Aksi Program # 5 dan 10 pada tinjauan HR dan penugasan spesialis sosial untuk mengelola risiko dan dampak potensial masing-masing.

(10)

10

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PROGRAM

18. Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan bantuan sosial komprehensif sejak tahun 2005 sebagai hasil dari penghematan fiskal yang terjadi setelah pengurangan bertahap terhadap subsidi bahan bakar. Antara 2010 dan 2015, terdapat beberapa reformasi bantuan sosial yang diperkenalkan. Salah satu area reformasi utama mencakup penetapan prosedur standar untuk penentuan target dan identifikasi penerima manfaat potensial, berdasarkan daftar nasional baru yang mencakup hampir 26 juta rumah tangga miskin dan rentan (Basis Data Terpadu). Beberapa program bantuan sosial utama diperkenalkan dan beberapa program diperluas, mencakup: (i) suatu bantuan tunai sementara, darurat dan tanpa syarat yang ditargetkan pada rumah tangga miskin dan rentan (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat, BLSM); (ii) suatu kartu perlindungan sosial (KKS), pengganti kartu KPS yang dikirimkan ke 15,5 juta rumah tangga pada 2014, penerima manfaatnya dapat mengakses beberapa program, (iii) peningkatan manfaat dan cakupan bagi program beasiswa Indonesia untuk masyarakat miskin (Program Indonesia Pintar, PIP), menargetkan 18 juta siswa, program transfer tunai bersyarat (Program Keluarga Harapan, PKH), menargetkan 6 juta keluarga pada akhir 2016, skema asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin nasional (Penerima Bantuan Iuran/Jaminan Kesehatan Nasional, PBI/JKN), menargetkan 92 juta masyarakat miskin dan rentan, dan skema subsidi beras bagi masyarakat miskin (Rastra), menargetkan 15,5 juta keluarga. 3 PIP dan PBI/JKN merupakan program yang berada di luar kontrol Kementerian Sosial tetapi terdapat kesepakatan untuk menggunakan data penentuan target yang sama seperti Kemensos dan untuk berkoordinasi dalam penentuan target, dengan PKH menjadi salah satu prioritas karena menargetkan kelompok target yang paling miskin yang ada di dalam semua program.

19. Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Pemerintah Indonesia mengakui kebutuhan untuk meningkatkan sistem perlindungan sosial secara komprehensif dan mendukung program-program khusus bagi masyarakat miskin dengan meningkatkan akurasi penentuan target. Terlepas dari peningkatan alokasi tersebut, program-program bantuan sosial ini hanya menjangkau sebagian dari penerima manfaat yang ditetapkan dan sangat terfragmentasi baik secara internal maupun dengan sistem perlindungan sosial lainnya. Arah kebijakan RPJMN membahas kebutuhan untuk: (i) mengintegrasikan beberapa skema bantuan sosial berbasis keluarga bagi keluarga miskin dan rentan yang memiliki anak-anak, difabel dan lansia di dalam bantuan tunai bersyarat (CCT) dan/atau melalui bantuan dalam bentuk barang untuk mendukung asupan nutrisi; (ii) mengintegrasikan subsidi beras bagi masyarakat miskin secara bertahap sehingga menjadi program yang lebih berfokus pada nutrisi; dan (iii) menstruktur bantuan sosial sementara di tingkat pusat dan daerah dengan meningkatkan koordinasi dan pembagian otoritas antara kementerian/lembaga yang menerapkan bantuan sosial sementara.

20. Program Keluarga Harapan (PKH), pertama kali diluncurkan pada 2007 sebagai bentuk Bantuan Tunai Bersyarat (CCT) untuk keluarga miskin diciptakan untuk menjadi pilar utama bagi sistem perlindungan sosial komprehensif di Indonesia. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Sosial bekerja sama dengan kementerian lini lain baik di tingkat nasional dan daerah. PKH secara keseluruhan ditujukan untuk memungkinkan keluarga penerima bantuan untuk mengatasi guncangan ekonomi jangka pendek dengan memperlancar konsumsi dan meningkatkan pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan. Pembayaran dikaitkan dengan pemenuhan kriteria spesifik di bidang kesehatan dan pendidikan sehingga memberikan insentif pada perilaku rumah tangga dalam menggunakan

3 Untuk informasi lebih lanjut mengenai program-program ini, lihat Kajian Pengeluaran Bantuan Sosial World Bank (World Bank Social Assistance Expenditure Review - SAPER 2017) (akan datang) atau World Bank SAPER 2012

(11)

11 layanan tersebut, yang diharapkan akan berdampak pada peningkatan kesehatan dan pendidikan dalam jangka panjang.

21. PKH diluncurkan di tujuh provinsi di Indonesia, awalnya mencakup sekitar setengah juga keluarga pada tahun 2007. Pada 2015, program tersebut telah tumbuh hingga enam kali lebih besar dibandingkan dengan cakupan awalnya, menjadi lebih dari 3,5 juta keluarga (sekitar lima persen dari jumlah penduduk) hingga target baru sebesar enam juta keluarga pada tingkat nasional (sekitar sepuluh persen dari jumlah penduduk) pada akhir 20164. Dengan ekspansi tersebut, 42 kabupaten baru ditambahkan untuk mencakup semua provinsi yang ada di Indonesia termasuk Papua dan Papua Barat, yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi tetapi sebelumnya belum masuk ke dalam program.

22. Bergantung pada ketersediaan anggaran, tujuan jangka panjang adalah untuk memperluas program untuk mengurangi kesalahan eksklusi5 terutama pada keluarga miskin dengan anak-anak atau masyarakat yang sangat rentan dan di area terpencil seperti masyarakat adat. Cakupan program diharapkan mencapai antara 20 dan 30 persen dari jumlah penduduk, sama dengan tingkat yang ada di Meksiko, Brasil dan Filipina.

23. Operasi Program for Results (PforR) yang diusulkan adalah untuk terus memperkuat PKH sebagai platform nasional untuk bantuan sosial melalui serangkaian program bantuan sosial yang dapat disinergikan dan ditargetkan secara strategis ke penerima yang paling layak. Operasi PforR berfokus pada tiga area prioritas yang mencakup dukungan pada perluasan jangkauan, memperkuat sistem pelaksanaan (delivery system), dan meningkatkan koordinasi dengan program sosial komplementer lain. Tujuan jangka panjang PKH adalah untuk mendorong akses yang lebih baik pada layanan kesehatan dan pendidikan dan untuk mengentaskan kemiskinan jangka pendek dan panjang. Tingkat kemiskinan saat ini berada pada 10,7%6 dari jumlah penduduk atau 17,7 juta masyarakat dengan target pengurangan menjadi 7-8% pada 2019. PKH juga menetapkan dampak jangka panjang dalam pengurangan kesenjangan; Indonesia telah mengalami kenaikan pada koefisien Gini dari 0,32 pada 1999 menjadi 0,41 pada 2012, salah satu yang tercepat di wilayah Asia Timur.

B. CAKUPAN ESSA

24. Tidak ada kegiatan infrastruktur atau kegiatan fisik lain yang didukung dan/atau dibiayai melalui Transfer Tunai Bersyarat PKH sehingga program diharapkan untuk tidak menghasilkan dampak lingkungan potensial yang mungkin menyebabkan kerugian, kerusakan atau konversi habitat alam, polusi, dan/atau perubahan pada penggunaan lahan atau sumber daya. Program ini hanya mendukung permintaan terhadap layanan7, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan dan tidak pada sisi persediaan, yang bukan merupakan cakupan Kementerian Sosial.

4 Pengeluaran bantuan sosial terus mengikuti tren yang meningkat hingga mencapai 0,7% dari PDB pada 2015 bersamaan dengan pengu rangan bertahap atas subsidi bahan bakar. Akan tetapi, PKH tetap menjadi transfer bantuan sosial permanen yang paling kecil di tingkat nasional, sebagai contoh dibandingkan dengan program Beras untuk Rakyat Sejahtera (Rastra) yang memiliki proporsi pengeluaran sekitar 2,5 kali lebih besar dari PKH pada 2016 tetapi diperkirakan jauh lebih efektif dalam mengurangi kesenjangan dan kemiskinan. Pengeluaran agregat keseluruhan untuk bantuan sosial masih terlalu rendah untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dibandingkan dengan rata-rata dunia yaitu 1,6% dari PDB. Pada 2012, kurang dari seperempat pengeluaran total di empat program bantuan sosial permanen yang berhasil menjangkau rumah tangga miskin, sementara manfaat bantuan sosial hanya mengurangi 16 persen dari kesenjangan kemiskinan.

5 Pada 2012, kurang dari seperempat pengeluaran total di empat program bantuan sosial permanen yang berhasil menjangkau rumah tangga miskin, sementara manfaat bantuan sosial hanya mengurangi 16 persen dari kesenjangan kemiskina n. Pada 2014, cakupan PKH jauh lebih tinggi pada rumah tanggal di desil termiskin, tetapi terdapat jumlah rumah tanga PKH yang berada dalam desil kedua, ketiga dan keempat. Juga terdapat beberapa rumah tangga yang berada dalam 60 persen terkaya yang menerima transfer PKH (World Bank 2016, sumber “Social Assistance Public Expenditure Review”.

6 Berdasarkan data BPS pada September 2015, kemiskinan pedesaan (rural poverty) mewakili sekitar 62 persen dari total kemiskinan di Indonesia atau sekitar 17,89 juta penduduk.

7 Bidang kesehatan, indikator PKH fokus pada meningkatkan kehadiran ibu di Posyandu yang menyediakan pemeriksaan kesehatan mendasar dan konseling dari bidan serta kadang mendistribusikan tablet zat besi (Fe) dan asupan makanan tambahan. Di bidang pendidikan, PKH bertujuan untuk mendorong kehadiran anak-anak di sekolah dan intervensi sejenisnya.

(12)

12 Program ini tidak akan meningkat atau memberikan insentif untuk memperluas program yang didukung pemerintah Indonesia untuk memperluas fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan.Akan tetapi, program ini dapat memiliki risiko sosial terkait dengan pengecualian atau eksklusi dari program dan rendahnya pemahaman atas tujuan, cakupan, proses dan prosedur program yang disebabkan oleh serta lemahnya sosialisasi, yang dapat menumbuhkan persepsi kurang adil serta kecurigaan terutama dari keluarga yang tidak menerima PKH. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, kajian ini memberikan penekanan pada:

a. Apakah terdapat akses yang berkeadilan terhadap PKH;

b. Apakah program memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dan kelompok marginal, termasuk difabel, perempuan dan anak-anak, lansia, atau kelompok etnis minoritas dan apakah upaya khusus telah ditetapkan untuk mendorong keikutsertaan mereka dalam mengakses manfaat-manfaat PKH; c. Apakah program menyediakan ruang yang memadai untuk konsultasi masyarakat serta umpan

balik, termasuk keluhan dan;

d. Apakah program memiliki kapasitas untuk mengelola konflik/risiko ketegangan sosial, khususnya yang berakar dari keadilan yang merata dan kesadaran akan budaya.

Tiga poin pertama (a, b dan c) akan dibahas dalam Bab III mengenai Kajian Sistem Program dan poin terakhir (d) akan dibahas dalam Bab IV mengenai Kapasitas dan Kinerja Program.

25. Secara khusus, kajian mempertimbangkan kapasitas dan otoritas Kemensos saat ini dalam mengelola risiko potensial yang terkait dengan PKH serta isu-isu seputar penentuan target, permasalahan gender, waktu dan cara transfer tunai, peran fasilitator dan penyedia layanan dalam hal mengakses program dan terakhir, mekanisme penanganan keluhan yang ada. Kajian ini dilakukan baik di tingkat nasional dan sub-nasional, mencakup beberapa kabupaten yang telah ikut serta dalam PKH serta kabupaten baru yang belakangan diikutsertakan dalam perluasan program. Kabupaten yang dikunjungi adalah Medan dan Serdang Bedagai di Sumatera Utara dan Serang dan Lebak di Jawa Barat. Kajian ini juga mengambil dari hasil temuan utama studi awal (scoping study) GIZ8 di Papua dan Papua Barat yang telah dipilih berdasarkan akses dan keberadaan program sejenis.

26. Hasil temuan ESSA juga diperhitungkan dalam kajian risiko terintegrasi serta rencana kerja program yang akan dibahas lagi pada tingkat appraisal stage untuk memberikan informasi pada proses pengambilan keputusan Manajemen Bank. Suatu daftar rencana kerja yang diusulkan disajikan pada Bab V Seksi C dan akan didiskusikan ke berbagai pemangku kepentingan untuk masukan lebih lanjut.

C. PENDEKATAN ESSA

27. Kajian ini dibangun berdasarkan tugas sebelumnya dalam melakukan kajian operasi dan kinerja PKH, termasuk kajian dampak sebelumnya, berbagai penelitian, dan catatan konsultasi. Serangkaian kunjungan lapangan telah diselesaikan oleh tim kajian untuk bertemu dan belajar dari serangkaian pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pemerintah lokal, penerima manfaat PKH, fasilitator dan penyedia layanan. Tim kajian mengunjungi empat kabupaten yang dipilih sebelumnya berdasarkan beberapa kriteria, termasuk: (a) jumlah penerima manfaat, (b) karakteristik geografis termasuk urban, peri-urban dan area terpencil, dan (c) area PKH yang sudah ada dan baru. Lokasi kunjungan lapangan dipilih bersama dengan Kemensos dan tim World Bank. Di tiap kabupaten dan kota yang dikunjungi, tim menggunakan berbagai kombinasi pendekatan, termasuk melaksanakan focus group discussions (FGD), wawancara informal yang mendalam, dan perbincangan santai terutama dengan anggota masyarakat.

(13)

13

D. KONSULTASI UNTUK ESSA

28. Konsultasi publik untuk draft ESSA saat ini sedang direncanakan untuk dilaksanakan di tingkat nasional dan sub-nasional. Pemilihan lokasi ditentukan bersama dengan tim Kemensos, termasuk logistik, jumlah peserta dan jadwalnya. Konsultasi publik akan memastikan bahwa para pemangku kepentingan yang dianggap paling rentang dari defisiensi program akan diikutsertakan. ESSA final, mencakup masukan dari berbagai konsultasi publik, diharapkan akan diungkapkan setelah appraisal.

I.

DESKRIPSI PROGRAM

A. KERANGKA HUKUM UNTUK TRANSFER TUNAI BERSYARAT PKH

29. Undang-undang Dasar 1945 menetapkan hak bagi warga negara Indonesia untuk mendapatkan akses pendidikan serta layanan kesehatan yang berkualitas. Amandemen konstitusional pada tahun 2000, setelah berakhirnya Rezim Suharto dan Krisis Keuangan Asia, menegaskan kembali hak bagi semua warga negara dalam mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Peraturan tahun 2013 mewajibkan negara untuk memberikan pendidikan bagi semua anak-anak berusia 7 hingga 15 tahun. Transfer tunai bagi masyarakat miskin dicitakan sebagai suatu instrumen untuk jaminan sosial dan pengentasan kemiskinan (Pasal 34, ayat 1 dan 4). Akan tetapi, masih terdapat sejumlah kesenjangan untuk merealisasikan visi tersebut.

30. Saat ini, dasar hukum PKH masih belum jelas dalam memastikan bahwa masyarakat miskin mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan dan diperlukan koordinasi lintas kabupaten untuk mendukung program agar dapat dijalankan secara berkelanjutan. Operasionalisasi program pengentasan kemiskinan termasuk PKH diatur sebagian besar oleh keputusan presiden, yang perlu ditingkatkan menjadi undang-undang seperti yang dimandatkan oleh Undang-Undang Dasar. Payung hukumnya, yaitu UU No.11/20099 tentang Kesejahteraan Sosial dan UU 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin hanya memberikan prinsip-prinsip umum untuk bantuan sosial. Keputusan Presiden terkait dengan operasionalisasi program bantuan sosial, di masa lalu sering kali diterbitkan karena situasi yang mendesak, seperti pengurangan bertahap terhadap subsidi bahan bakar dan janji-janji politik sehingga kebijakan terkait dengan bantuan sosial masih tersebar. Juga terdapat kemungkinan tumpang tindih dengan peraturan lain, seperti Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40/200410. Sebagai hasilnya, pelaksanaan program bantuan sosial termasuk PKH cenderung bersifat sementara dan alokasi anggaran dapat berubah-ubah tergantung pada prioritas fiskal pemerintah Indonesia. Hal ini menjadi risiko bagi PKH yang berekspansi karena tidak ada anggaran multi-tahun bagi program bantuan sosial.

31. Peraturan untuk melindungi masyarakat miskin masih bersifat parsial dan terpisah-pisah. UU No. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin ditujukan untuk mengintegrasikan berbagai undang-undang terkait dengan pengentasan kemiskinan, termasuk bantuan sosial. Akan tetapi, salah satu ketentuan dalam peraturan ini menetapkan bahwa semua peraturan mengenai pengentasan kemiskinan masih berlaku selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Oleh karena itu, undang-undang ini gagal menjadi kerangka kerja yang mendorong integrasi dan harmonisasi peraturan dan prosedur. Peraturan Presiden No. 13/2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan11 diterbitkan karena adanya dorongan kebutuhan

9 UU ini menggantikan UU No.6/1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

10 UU SJSN mengatur program jaminan sosial nasional yang terdiri dari perlindungan kesehatan, kecelakaan kerja, tabungan hari tua, manfaat pensiun dan asuransi jiwa, yang bersifat wajib bagi semua warga negara Indonesia, termasuk pekerja asing yang telah bekerja minimal 6 bulan di Indonesia.

(14)

14 untuk meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi antara kementerian dan lembaga lini terkait dengan implementasi program pengentasan kemiskinan baik di tingkat nasional dan sub-nasional. Bersama dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 15/2000 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dibentuklah Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K) yang berada di bawah Kantor Wakil Presiden untuk mendukung fungsi koordinasi lintas program bantuan sosial.

32. Pengentasan kemiskinan seperti yang dicita-citakan oleh PKH sangat bergantung pada ketersediaan layanan kesehatan dan pendidikan dasar serta hubungan komplementer dengan program bantuan sosial lain yang berada dalam cakupan pemerintahan sub-nasional. Kerangka hukum untuk koordinasi didasarkan pada Peraturan No. 42 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang menetapkan peran Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dalam mengkoordinasikan strategi dan program untuk mengurangi kemiskinan. Dalam satu surat yang ditandatangani Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos No. 260/LIS/12/2013, pemerintah daerah diminta untuk berkontribusi pada anggaran operasional PKH pada tingkat lima persen dari total nilai transfer yang diterima penerima manfaat PKH. Akan tetapi, komitmen pemerintah daerah untuk memastikan kesiapan sisi persediaan baik di bidang kesehatan dan pendidikan dan untuk mendukung pengelolaan PKH bervariasi di berbagai daerah. Hal ini diperkirakan karena PKH dirancang sebagai suatu program nasional yang dikoordinasikan secara vertikal dan tidak ditujukan untuk diintegrasikan dalam sistem administratif lokal, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.

33. Manajemen sistem penentuan target, Basis Data Terpadu, bagi program bantuan sosial sedang dipindahkan secara bertahap ke Kementerian Sosial. Basis Data Terpadu yang didasarkan pada daftar nasional baru yang mencakup hampir 26 juta keluarga miskin dan rentan, telah diadopsi oleh program bantuan sosial utama sejak 2012. Untuk memenuhi mandat legalnya, Kemensos sedang melaksanakan peningkatan teknologi dan sumber daya manusia untuk dapat mengelola Basis Data Terpadu, yang saat ini dikelola di TNP2K. Basis data akan sepenuhnya dipindahkan ke Kemensos setelah kapasitasnya diperkuat dan pada akhirnya akan ditransformasikan menjadi suatu sistem informasi daftar sosial dinamis bagi program-program bantuan sosial.

34. Walaupun Kemensos memiliki mandat legal untuk mengelola keseluruhan implementasi PKH, kurangnya kerangka kerja kebijakan di tingkat nasional untuk menetapkan koordinasi dan tanggung jawab implementasi dengan pemerintah sub-nasional dapat membatasi dampak PKH dalam mengentaskan kemiskinan dan mengelola risiko-risiko terkait secara tepat waktu. Kurangnya kejelasan tersebut memengaruhi buy-in serta kepemilikan program PKH. Sebagai tambahan, isu manajemen dan keluhan terkait dengan PKH, khususnya terkait dengan pemilihan penerima manfaat, tidak dapat diselesaikan secara tepat waktu di tingkat lokal karena manajemen program yang terpusat.

35. Sebagai kesimpulan, kurangnya kerangka hukum yang menyeluruh bagi bantuan sosial, khususnya alokasi anggaran tahunan, penyediaan layanan dasar, dan inklusi penerima manfaat dalam Basis Data Terpadu berada di luar kendali Kemensos dan program yang diusulkan. Karena kebanyakan isu yang ada adalah seputar inklusi sosial dan risiko sosial (dijelaskan dalam Bab 3), penguatan proses bisnis uang ada dan kualitas pelaksanaan PKH dalam memastikan penentuan target yang tepat, layanan fasilitasi inklusif, akses terhadap informasi dan penanganan keluhan sangatlah penting untuk mendukung PKH dalam memenuhi tujuan pembangunannya.

Tabel 1: Analisis Kerangka Hukum PKH Elemen Utama Analisis

Perlindungan sosial bagi masyarakat miskin

Reformasi desentralisasi Indonesia menempatkan tanggung jawab perencanaan, penyediaan dan pembiayaan layanan pendidikan dan kesehatan pada tingkat pemerintah kabupaten, sehingga menyebabkan kurangnya pengaruh pemerintah pusat atas besaran dan arah pembelanjaan tingkat

(15)

15 kabupaten untuk penyediaan layanan sosial. Karena peran pemerintah pusat atas penyediaan pembelanjaan sosial umum berkurang, jaminan sosial dan bantuan sosial telah diidentifikasi menjadi jalan untuk mencapai pembelanjaan pemerintah pusat yang pro pada masyarakat miskin.

UU No. 11/2009 mengenai Kesejahteraan Sosial, yang kemudian diperkuat oleh Instruksi Presiden No. 3/2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan dan UU No. 13/2010 tentang Penanganan Fakir Miskin menetapkan bahwa pemerintah baik di tingkat nasional dan sub-nasional bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat miskin dan menjamin akses mereka terhadap kebutuhan dasar melalui penyediaan jaminan sosial, rehabilitasi sosial dan pemberdayaan masyarakat12.

Dalam konteks penyediaan layanan sosial yang terdesentralisasi, dasar hukum bagi PKH sebagai Program Transfer Tunai Bersyarat menjadi tidak jelas dalam memastikan bahwa penerima manfaat PKH menerima layanan yang dibutuhkan agar tetap dapat menerima manfaat (eligible). Akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan berada dalam cakupan pemerintah sub-nasional dan Kemensos tidak memiliki kendali. Saat ini, koordinasi dengan pemerintah sub-nasional hanya diatur oleh satu surat dari Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos No. 260/LIS/12/2013, yang meminta kontribusi pembagian biaya dari pemerintah sub-nasional yang dipatok pada tingkat lima persen dari total transfer PKH untuk tiap kabupaten. Akan tetapi, terdapat laporan bahwa tingkat kontribusi bervariasi di pada tiap kabupaten.

Kesuksesan program Transfer Tunai Bersyarat PKH bergantung pada kepastian penyedia layanan publik yang dapat menanggapi peningkatan penggunaan layanan. Dengan perluasan baru-baru ini, program PKH dapat menghadapi hambatan selama proses implementasi, hingga semua badan telah meningkatkan koordinasinya dan dapat dengan siap memberikan jumlah bantuan dan layanan ketika dibutuhkan. Sebagai tambahan, sistem informasi manajemen juga mensyaratkan koordinasi antar badan dan pemahaman yang sama atas peran sistem dalam kelanjutan program.

Inklusi Sosial bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan serta Masyarakat Adat

Salah satu tujuan utama dalam rencana pembangunan nasional (RPJMN), diterbitkan dalam Peraturan Presiden No.2 /2015 adalah untuk mengintegrasikan skema bantuan sosial berbasis keluarga melalui PKH. Salah satu prioritas utama adalah untuk menyempurnakan Transfer Tunai Bersyarat PKH dengan memperbaiki akurasi penentuan target dan hubungan komplementer dengan program bantuan sosial lain untuk memastikan bahwa yang paling miskin dari masyarakat miskin dapat mengakses program bantuan sosial dan menerima dukungan yang diperlukan.

12

Mandat Pemerintah Indonesia di area perlindungan sosial disebutkan dalam UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, dan UU No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. UU tersebut kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dan Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan Fakir Miskin melalui Pendekatan Wilayah, dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pe mbagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

(16)

16 Ekspansi PKH ditetapkan untuk meningkatkan cakupan dan oleh karena itu, mencakup lebih banyak orang miskin dibandingkan dengan alokasi sebelumnya. Ekspansi yang ada juga menargetkan orang dengan difabel berat dan lansia. Kajian tidak mengidentifikasi perlakuan hukum diskriminatif terhadap kelompok atau komunitas tertentu jika keluarga memenuhi kriteria persyaratan (lihat tabel 2). Dalam keadaan ini, tantangan untuk inklusi sosial seringkali berakar dari hambatan teknis dan kapasitas untuk menentukan target masyarakat miskin dan menyediakan akses pada layanan yang dibutuhkan dari pada tidak adanya kerangka hukum.

Seperti yang dijelaskan dalam Bab 3 mengenai Kajian Sistem Program, penentuan target didasarkan pada Basis Data Terpadu yang pengumpulan data (misalnya survei rumah tangga) dan pembaruan data dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), suatu badan independen dari Kementerian Sosial. Dalam kasus ini, reformasi yang diperkenalkan ke dalam PKH, termasuk pilot suatu pendekatan on-demand yang memberikan kesempatan pada keluarga yang layak dapat mendaftarkan diri untuk masuk dalam Basis Data Terpadu, dapat terhambat oleh jumlah sumber daya dan waktu yang dibutuhkan untuk memperbarui Basis Data Terpadu (yang saat ini dilakukan dalam pengaturan yang bersifat ad-hoc setiap tiga tahun, tergantung ketersediaan anggaran). Sebagai tambahan, kurangnya dokumentasi legal dapat menghambat rumah tangga dan/atau perorangan untuk mengakses program bantuan sosial. Walaupun PKH tidak mensyaratkan Nomor Induk Kependudukan, isu dokumentasi legal atau tidak adanya dokumen tersebut dapat memengaruhi rumah tangga dan/atau perorangan yang tidak terdaftar secara resmi atau diakui (mis. Masyarakat berpindah, Masyarakat Adat, imigran, dst.) karena program berupaya melengkapi program bantuan sosial berbasis keluarga lainnya.

Komunikasi dan akses terhadap informasi

Berdasarkan UU No. 14 tahun 2008 mengenai Transparansi Informasi Publik, setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh semua Pengguna Informasi Publik. Satu pengecualian terhadap Informasi Publik adalah informasi yang bersifat restriktif dan terbatas. Semua Pemohon Informasi Publik seharusnya dapat memperoleh Informasi Publik dengan cepat dan segera dengan biaya yang rendah dan cara yang sederhana. Kementerian lini dapat menggunakan media elektronik dan non-elektronik sebagai fasilitas untuk menyebarkan informasi. Akan tetapi, tidaklah jelas apakah Kementerian lini harus memberikan informasi secara aktif, atau pasif (hanya berdasarkan permintaan). Tidak ada pemantauan dan evaluasi dari Kementerian Informasi mengenai apakah Kementerian lini mengikuti undang-undang dan peraturan tentang transparansi informasi publik.

Kegiatan sosialisasi dan iklan didelegasikan ke Kementerian Komunikasi dan Informasi. Terdapat sejumlah laporan bahwa sosialisasi program untuk PKH masih kurang dalam konten, frekuensi dan intensitas. Beberapa pemerintah daerah telah membuat komplain atas ketersediaan informasi PKH, karena pemerintah daerah perlu menyediakan kontribusi anggaran terhadap program serta beberapa pertanyaan yang diajukan oleh keluarga miskin yang tidak mendapat PKH. Juga perlu dicatat bahwa poster PKH hanya terbatas ada di kantor pemerintah daerah. Kurangnya sosialisasi dan akses ke informasi

(17)

17 dilaporkan telah menyebabkan salah persepsi dan kurangnya kesadaran mengenai keseluruhan program di semua tingkatan.

Program untuk Hasil (Program for Results) yang diusulkan adalah untuk mendukung strategi komunikasi dan sosialisasi serta mekanisme penanganan keluhan (Grievance Redress Mechanism) yang merupakan elemen penting dalam pengelolaan risiko di dalam program.

Perlindungan atas kerahasiaan penerima manfaat

(confidentiality)

Keputusan Komisi Informasi Pusat no. 187/v/KIP.PS.MA/201213 menyatakan bahwa informasi Basis Data Terpadu terpilah (disagregated) diklasifikasikan sebagai bukan data publik (UU No. 14 tahun 2008 tentang Informasi Publik), karena basis data mengandung:

 Alamat tinggal dan status sosial ekonomi anggota keluarga;  Status kesehatan, fisik dan psikologi perorangan;

 Informasi keuangan perorangan, termasuk aset dan pendapatan;  Informasi personal lain terkait dengan pendidikan formal dan non

formal perorangan.

Berdasarkan pasal 15, par. 1 Peraturan Pemerintah no.82/2012, pengelolaan Basis Data Terpadu harus memastikan bahwa penggunaan data tersebut dilakukan dengan persetujuan pemilik data dan data yang mencantumkan nama dan alamat hanya ditujukan pada badan pemerintah (nasional dan sub-nasional) yang mengelola program bantuan sosial. Badan pemerintah yang menggunakan Basis Data Terpadu harus memastikan dan bertanggung jawab untuk menjaga integritas dan kerahasiaan basis data.

Konsultasi Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan

Penyediaan konsultasi atas dasar informasi di awal tanpa paksaan tidak ditetapkan dalam proses bisnis PKH karena sifat seleksi penerima manfaat. PKH menggunakan metode Proxy Means Testing (PMT) pada Basis Data Terpadu untuk memilih penerima manfaat yang layak, yang dilakukan oleh unit pengelolaan penentuan target dalam Kementerian Sosial. Penyediaan konsultasi umumnya dilakukan melalui Forum Konsultasi Publik (FKP) sebagai bagian dari proses pembaruan Basis Data Terpadu. FKP

memperkenalkan mekanisme untuk memperkuat peran dan partisipasi perwakilan masyarakat dalam identifikasi penerima manfaat potensial untuk dimasukkan dalam Basis Data Terpadu. Rincian lebih lanjut dijelaskan dalam Bab 3 tentang Kajian Sistem Program

(18)

18

B. CAKUPAN PROGRAM

36. Tujuan Pembangunan Program (Program Development Objective, PDO) adalah untuk memperkuat hasil program Transfer Tunai Bersyarat PKH dengan mendukung ekspansi cakupan progam, memperkuan sistem pelaksanaan (delivery system), dan meningkatkan koordinasi dengan program sosial komplementer lain. Kemajuan pencapaian PDO akan diukur melalui lima indikator hasil utama: (I) total jumlah keluarga penerima PKH, (ii) proporsi keluarga penerima PKH yang menerima pembayaran melalui metode cashless; (iii) proporsi keluhan yang ditangani dalam tiga bulan; (iv) proporsi keluarga penerima PKH yang menerima program komplementer utama (Rastra, PBI, dan PIP); (v) proporsi keluarga penerima PKH yang pemenuhan persyaratannya diverifikasi dan dicatat dalam Sistem Informasi Manajemen PKH;

37. Batasan Program untuk Hasil (Program for Results, PforR) adalah Program Transfer Tunai Bersyarat PKH Kemensos dan PforR yang diusulkan mendukung tiga area yang melengkapi prioritas program Pemerintah:

a) Area Hasil 1: Memperkuat sistem pelaksanaan program (delivery system) untuk meningkatkan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Area hasil ini bertujuan untuk menangani sejumlah kesenjangan dan kelemahan dalam blok bangunan sistem pelaksanaan (delivery system) PKH untuk memastikan ekspansi yang lancar dan memperkuat hasil program. Kegiatan program mencakup penyederhanaan proses bisnis, pemutakhiran sistem pengelolaan informasi, peluncuran modalitas pembayaran elektronik, implementasi GRS, penguatan sistem pemantauan dan evaluasi (M&E), pengembangan strategi komunikasi, manajemen sumber daya manusia dserta pengembangan mekanisme deteksi dan kontrol kesalahan, kecurangan dan korupsi (EFC). Walau sebagian besar dari kegiatan tersebut bukanlah kegiatan yang benar-benar baru, banyak upaya sebelumnya dilakukan dalam lingkungan kebijakan dan operasi yang berbeda dari yang ada saat ini. Oleh karena itu, mekanisme dan alat yang ada tidak cukup dalam mendukung kebutuhan administrasi. Sebagai contoh, Sistem Informasi Manajemen yang ada tidak dirancang untuk menangani beberapa juta keluarga penerima manfaat dan kinerja, kemampuan dan kehandalannya telah menjadi sangat tidak mencukupi sehingga banyak tugas-tugas administrasi yang tidak bisa dilakukan secara efektif. Suatu analisis kesenjangan komprehensif sangatlah dibutuhkan untuk mengembangkan suatu rencana kerja terkait dengan protokol dan standar minimum yang dibutuhkan demi integritas, keamanan data serta kekokohan operasional. Juga untuk mengembangkan kapasitas in-house dalam mengelola sistem dan mengembangkan sistem, suatu audit sistem Teknologi Informasi berstandar industri telah direncanakan, demi memastikan Sistem Informasi Manajemen yang diperbarui tetap dapat dikaji dan ditingkatkan sesuai kebutuhan. PforR akan didasarkan pada akumulasi pengalaman sejak penciptaan PKH dan belajar dari praktik-praktik baik dari program sosial lain baik di dalam maupun di luar Indonesia.

b) Area Hasil 2: Memperbaiki akses ke layanan sosial mendasar dan program bantuan sosial komplementer oleh penerima manfaat bantuan tunai bersyarat. Keluarga penerima PKH perlu memiliki akses yang lebih baik ke layanan sosial lain yang melengkapi manfaat uang tunai yang diberikan terkait dengan pencapaian potensi pengembangan manusianya. Area hasil ini akan memfasilitasi keikutsertaan keluarga PKH ke dalam program Rastra, PBI dan KIP serta akses ke layanan lainnya. Lebih lanjut lagi, ini akan memperkuat baik modalitas konten dan pelaksanaan Sesi Pembangunan Keluarga agar menjadi lebih efektif dalam mengurangi malnutrisi, khususnya melalui pengetahuan dan perubahan perilaku terkait dengan pemberian makanan dan praktik kebersihan yang baik.

(19)

19 c) Area Hasil 3: Memperluas cakupan dan meningkatkan inklusivitas program bantuan tunai bersyarat. Perluasan program PKH telah mengambil manfaat dari pembaruan Basis Data Terpadu dan suatu proses pemeriksaan yang melibatkan verifikasi dan validasi dengan pemerintah daerah. Program telah diperluas pada Desember 2015 untuk mencapai 6,000,000 keluarga penerima manfaat, termasuk 42 kabupaten baru, yang akan membuat program mencapai cakupan ke seluruh kabupaten untuk pertama kalinya. Lebih penting lagi, sebagian besar kabupaten baru adalah di provinsi Papua dan Papua Barat, yang mengalami tingkat kemiskinan yang lebih tinggi tetapi kurang terlayani oleh program PKH dan layanan publik lainnya. Area hasil ini bertujuan untuk mendukung ekspansi cakupan, khususnya ke area yang kurang terlayani di wilayah Papua dan kecamatan yang kurang terkoneksi di wilayah lainnya. Karena PKH merupakan program bantuan sosial yang paling efektif terkait dengan pengentasan kemiskinan dan ketidaksetaraan dalam jangka pendek, serta juga berkontribusi pada kapabilitas dan produktivitas keluarga penerima manfaat di jangka panjang, program ini akan diperluas lagi, khususnya setelah sistem pelaksanaannya (delivery system) diperkuat. 38. Area hasil pertama dan kedua mencerminkan efisiensi dan transparansi operasional yang lebih baik pada sistem pelaksanaan (delivery system) Transfer Tunai Bersyarat PKH terkait dengan pembayaran yang diberikan pada penerima manfaat program melalui modalitas pembayaran elektronik modern, dan keluhan yang ditangani secara tepat waktu (Area Hasil 1). Indikator ketiga hingga kelima mencerminkan koordinasi yang lebih baik antara PKH dan program sosial komplementer lain, memastikan penerima manfaat PKH juga diprioritaskan untuk menerima manfaat bantuan sosial lain, khususnya PIP, subsidi beras (Rastra) dan PBI, serta penggunaan layanan kesehatan dan pendidikan yang efektif melalui kepatuhan atas persyaratan Program (Area Hasil 2). Terakhir, indikator keenam mencerminkan ekspansi progresif pada program Transfer Tunai Bersyarat PKH pada populasi miskin dan rentan, termasuk area yang sebelumnya belum dijangkau (Area Hasil 3).

39. Diperkirakan bahwa pembiayaan PforR akan mencapai 3,5 persen dari total anggaran PKH selama periode Anggaran Fiskal 2017 dan 2020. Perhitungan ini dibuat dengan asumsi bahwa tingkat manfaat akan tetap sama pada tahun 2017, dan memperhitungkan rasio konstan 11 persen untuk biaya administratif.

Tabel 2: Pembiayaan Program, Tahun Fiskal 2017-2020 (juta $)

Sumber Jumlah % Total

Pemerintah 5574,33 96,5

IBRD/IDA 200,00 3,5

Total Pembiayaan Program 5774,33 100,0

C. INDIKATOR TERKAIT PENCAIRAN (DLI) DAN PROTOKOL VERIFIKASI

40. Bank akan mengeluarkan dana sebesar $200 juta selama empat tahun melalui sembilan indikator yang dikaitkan dengan pencairan (DLI) untuk Program. Indikator tersebut diidentifikasi dalam Lampiran 3, bersama dengan kerangka pemantauan hasil Program yang disajikan dalam Lampiran 2. Tiga kriteria utama dalam memilih DLI ini adalah: (a) hasil yang diinginkan berada dalam kendali badan pelaksana Kemensos; (b) DLI dapat dicapai dalam periode program; dan (c) DLI dapat diverifikasi. DLI dirancang dengan menggabungkan fitur scalability (proporsi pembiayaan terhadap kemajuan pencapaian) dan floating (pencarian dilakukan ketika indikator dicapai).

(20)

20 41. Program akan melakukan triangulasi bukti DLI dari beberapa sumber. Suatu Badan Verifikasi Independen akan memverifikasi semua bukti DLI yang disampaikan oleh Kemensos14. Data verifikasi akan diambil, antara lain, modul Sistem Informasi Manajemen Proyek (PMIS), dan survei sampel random. Sebagai tambahan, sumber eksternal verifikasi mencakup, tetapi tidak terbatas pada: kajian operasional (spot checks dan evaluasi proses) dan laporan validasi pembauran penyedia layanan. Tahun kalendar verifikasi adalah dari 1 Januari hingga 31 Desember tiap tahunnya. Protokol verifikasi akan diberikan dalam Lampiran 3.

Tabel 3: Rantai Hasil PforR (Results Chain)

Area Hasil 1: Memperkuat sistem pelaksanaan program (delivery system) untuk meningkatkan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas

Mengkaji, merancang dan mengembangkan arsitektur PMIS PKH Rencana Penguatan PMIS PKH diimplementasi Peluncuran PMIS yang diperbarui/terintegrasi untuk mendukung operasi

Efisiensi yang lebih baik pada implementasi program Peningkatan proporsi keluarga PKH yang persyaratannya diverifikasi dan dicatat dalam PMIS PKH*

Mengkaji dan

merancang ulang proses bisnis PKH Petunjuk Operasi PKH dirombak Mengembangkan strategi roll-out ke transisi pembayaran cashless Keputusan modalitas

cashless dibuat dan

dilaksanakan Peningkatan penerima PKH yang dibayar dengan metode cashless* (Indikator PDO i) Mengkaji, merancang dan mengembangkan suatu sistem M&E

Sistem M&E

operasional yang lebih baik diimplementasikan

Keputusan

pengelolaan berbasis bukti yang lebih baik

Transparansi

implementasi program yang lebih baik Mengkaji, merancang

dan melakukan pilot suatu sistem GRS

Implementasi suatu GRS yang lebih baik setelah evaluasi pilot

Keluhan dicatat dan ditangani dalam tiga bulan (Indikator PDO ii)

Mengembangkan suatu strategi komunikasi untuk tingkat pemerintah pusat dan daerah

Strategi komunikasi yang lebih baik diimplementasi

Peningkatan kesadaran para pemangku

kepentingan

14 Beberapa pilihan Badan Verifikasi Independen (IVA) telah dieksplor, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Kegiatan

Output

Hasil Menengah

(21)

21 Mengkaji dan merombak

rencana pengembangan dan manajemen SDM, termasuk penetapan ulang peran dan tanggung jawab unit internal

Sistem pemantauan kompetensi dan kinerja SDM dikembangkan, dan peran unit internal ditetapkan

Kompetensi SDM diperkuat, dan koordinasi antar unit

ditingkatkan Akuntabilitas

implementasi program yang lebih baik Mengembangkan sistem

deteksi dan kontrol EFC

Sistem EFC diimplementasikan

EFC dikelola dengan

baik

Area Hasil 2: Memperbaiki akses ke layanan sosial mendasar dan program bantuan sosial komplementer oleh penerima manfaat bantuan tunai bersyarat

Identifikasi penerima manfaat yang layak tetapi tidak masuk untuk layanan sosial dasar lain (Rastra, PBI, KUBE, dan PIP) Peningkatan penerima PKH yang nomor KTP telah diverifikasi* Peningkatan keluarga penerima PKH yang menerima program bantuan sosial lain (Rastra, PBI, dan PIP)* (Indikator PDO iii)

Akses keluarga PKH terhadap program perlindungan sosial yang lebih baik

Pengembangan strategi implementasi Sesi Pembangunan Keluarga dan pelatihan fasilitator PKH untuk

melaksanakan Sesi Pembangunan Keluarga

Jumlah kelompok ibu PKH yang telah menerima Sesi Pembangunan Keluarga dari fasilitator bersertifikasi* Peningkatan penggunaan layanan pendidikan bagi keluarga PKH (Indikator PDO iv)

Hasil pendidikan yang lebih baik pada anak-anak penerima PKH

Mengkaji dan merevisi modul Kesehatan dan Nutrisi dan modalitas pelaksanaan (delivery)

Peningkatan

penggunaan layanan kesehatan dan nutrisi bagi keluarga PKH (Indikator PDO v)

Status nutrisi yang lebih baik pada penerima manfaat PKH, terutama anak-anak

Area Hasil 3: Memperluas cakupan dan meningkatkan inklusivitas program bantuan tunai bersyarat

Menyusun daftar penerima manfaat potensial baru menggunakan data penentuan target terbaru

Penerima manfaat baru diinformasikan, divalidasi dan didaftarkan Jumlah keluarga penerima manfaat PKH* (Indikator PDO vi) Ekspansi cakupan progresif hingga 2020 berdasarkan target kebijakan, termasuk area geografis yang tidak dimasukkan sebelumnya Mengkaji dan

mengadaptasi parameter PKH dan prosedur untuk area-area yang memiliki tantangan implementasi

Proporsi penerima PKH pada provinsi yang sebelumnya tidak dllayani

Jumlah keluarga penerima manfaat PKH di area-area

prioritas* Konsumsi yang meningkat pada

penerima manfaat PKH Identifikasi penerima

manfaat PKH yang layak menerima manfaat Difabel/Lansia Menyesuaikan penerima manfaat PKH yang untuk menambahkan manfaat Difabel/Lansia Penerima manfaat PKH yang layak menerika manfaat Difabel/Lansia

(22)

22 Catatan: DLI yang diusulkan adalah dalam cetak tebal dan miring. * mengindikasikan DLI yang dapat diukur.

D. PENGATURAN KELEMBAGAAN

42. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Sosial bekerja sama dengan kementerian lini lain baik di tingkat nasional dan daerah. Badan pengambilan kebijakan adalah Tim Koordinasi Nasional yang terdiri dari tingkat Eselon 1 (Direktorat Jenderal) dari kementerian lini/badan berikut, termasuk Kemensos, Kementerian Kesehatan, Pendidikan dan Budaya, Keuangan, Bappenas, Urusan Agama, Teknologi Komunikasi dan Informasi, Dalam Negeri, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Daerah Tertinggal, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Badan Pusat Statistik. Kebijakan dilaksanakan oleh suatu Tim Koordinasi Teknis yang terdiri dari pegawai di Direktur dari kementerian/badan tersebut Terdapat Tim Koordinasi Teknis PKH yang ada di provinsi, kabupaten/kota, dan tingkat kecamatan dan tim lokal tersebut bertanggung jawab untuk koordinasi implementasi.

43. Pengaturan kelembagaan bagi program PKH melibatkan tiga lapisan, yang semuanya penting untuk mencapai hasil yang diinginkan program PKH. Pertama, Kemensos, dengan dukungan teknis dari UPPKH pusat (unit manajemen) bertanggung jawab untuk perencanaan studi, menetapkan aturan operasional, dan mengelola implementasi secara keseluruhan. Kedua, terdapat sejumlah tim pelaksana sub-nasional yang terlibat dalam melaksanakan berbagai tugas. Akhirnya, koordinasi lintas sektor baik di tingkat pusat maupun daerah, departemen perencanaan kabupaten dan provinsi (BAPPEDA). Di setiap tingkat sub-nasional, UPPKH lokal dikontrak untuk melaksanakan hampir seluruh fungsi implementasi program, yang secara formal diawasi oleh Dinas Sosial tiap pemerintahan sub-nasional. 44. Sejak program diciptakan, ribuan fasilitator PKH telah dimobilisasi untuk melakukan banyak sekali fungsi utama dan pendukung. Fungsi tersebut mulai dari melakukan sosialisasi, advokasi, menjalankan pertemuan awal dan validasi penerima manfaat yang layak, membantu penerima bantuan untuk menarik uang tunai, pembaruan, verifikasi dan memasukkan data, mengelola dan memimpin FDS, penanganan keluhan dan manajemen kasus, merekam dan melaporkan kepatuhan penerima manfaat terhadap persyaratan, melaporkan rekonsiliasi pembayaran, distribusi kartu PKH pada para peserta, mempersiapkan laporan kegiatan mingguan. Fasilitator PKH direkrut di tingkat nasional melalui seleksi kompetitif. Rasio perbandingan fasilitator terhadap keluarga PKH biasanya 1:200-250, tetapi rasio ini lebih rendah lagi untuk kepulauan atau area yang sulit dicapai. Fasilitator tersebut melaksanakan tugas harian mereka untuk memastikan bahwa program diimplementasikan di lapangan.

Gambar

Tabel 1: Analisis Kerangka Hukum PKH  Elemen Utama  Analisis
Tabel 2: Pembiayaan Program, Tahun Fiskal 2017-2020 (juta $)
Tabel 3: Rantai Hasil PforR (Results Chain)
Tabel 5: Tipologi Eksklusi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Latar tempat dapat berupa lokasi terjadinya cerita. Dalam novel“Cinta Suci Zahrana” terdapat beberapa latar tempat seperti pada bagian awal novel ini berlatar di bandara

• Setiap layanan di luar cakupan jaringan selular PSTN / ISDN dan 2G yang sudah ada • Dengan kecepatan data yang melebihi kecepatan suara terkait normal (56 kbit / s untuk

Faktor ini terdiri dari beberapa variabel psikologis yang dapat mempengaruhi keputusan pengambilan kredit diantaranya yaitu motivasi, persepsi, pembelajaran dan

RKA - SKPD 2.2.1 Rincian Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah.. RKA - SKPD 3.1 Rincian Penerimaan Pembiayaan Daerah

Sistem ini dibuat untuk memasukkan dan melihat data rekam medis, sedangkan perbedaan dengan rancang bangun aplikasi rekam medis berbasis android di PKU

Penulis bersyukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul „‟Dampak Kekosongan

Tanggung jawab pihak maskapai penerbangan menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas ketentuan Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun

Exposure to her TV interview (vs. Twitter page) heightened social presence, inducing stronger parasocial interaction (PSI) and more favorable candidate evaluations among those lower