• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.4. Keariban Tradisi Antar Petani

Kearifan di desa Sitabotabo ini adalah kearifan yang mempunyai nilai-nilai adat dan sudah disepakati bersama. Salah satu kearifan yang ada yaitu marsiadapari “gotongroyong”,

berhubungan erat dengan kekerabatan, dimana kekerabatan suatu pola yang dibentuk oleh sebuah kekerabatan. Kekerabatan menyediakan hubungan sosial yang dapat diandalkan masyarakat untuk menjaga suatu hubungan sosial yang baik.masyarakat yang selalu berhubungan sosial dengan arib biasanya memiliki rasa kedekatan yang biasanya memiliki interaksi yang tinggi sehingga dapat membentuk relasi keyakinan, keyakinan diartikan disini adalah para petani saling menjaga keyakinan mereka terhadap orang-orangnya yang saling berhubungan. Dimana orang Batak mempunyai hubungan kekeluargaan yang tinggi.pemilihan pemanfaatan lahan sawah di dalam hal ini karena hubungan petani yang saling sama-sama memanfaatkan lahan sawah dengan tengkulak, buruh tani, kelompok tani yang sama-sama menjaga hubungan kekerabatan dan kekeluargaan. Rasa saling percaya dalam pemanfaatan lahan sawah disini adalah orang tua, artinya seseorang akan percaya kepada orang tuanya yang melakukan pekerjaan untuk menghidupi anak-anaknya.

Keariban menciptakan kerjasama antar petani, tengkulak dan kelompok tani sehingga tercipta hubungan kekeluargaan yang baik. Kerjasam pada suku Batak dinamakan marsiadapari atau bergotong-royong. Siman suatu pekerjaan itu dilakukan bersama-sama. Tetapi sistem royong mulai terpinggirkan karena pengaruh modernitas, tapi di Desa ini sistem gotong-royong masih dan dipertahankan , diterapkan pada kegiatan tertentu, seperti pada saat menanam padi, memanen padi, dan melakukan diversifikasi di lahan sawah masih tetap melakukan

marsiadapari, tetapi ada juga kegiatan yang tidak melakukan marsiadapari seperti pada saat

mengolah lahan sawah, itu diakibatkan karena masuknya teknologi seperti Jetor.. Berdasarkan wawancara dengan Ibu Rosida sebagai berikut:

“kalau gorong-royong di desa ini masih tetap dilakukan seperti pada saat menanam padi, memanen padi dan pada saat menanam kacang di lahan sawah,

kalau hari ini saya dibantu menanam kacang, besok saya juga akan membantu teman saya itu”.(hasil wawancara tanggal 16 Agustus 2012).

Hal ini sama halnya dengan wawanca dengan bapak Jeba, sebagai berikut:

“molo karejo di ladang tikki sae panen eme, biasana marsiadapari, molo sadarion tu ladang hu, marsogot tu ladang ni dongan. Alai molo marpanen eme, dohot

manuan torus do marsiadapari sahat tu saonarion nappe moru”. (hasil wawancara

tanggal 7 Agustus 2012). Terjemahan:

“setelah siap panen padi, biasanya saya gotong-royong, jika hari ini ke ladang saya, maka besok ke ladang kawan, sampai sekarang gotong-royong ini masih

dilakukan meskipun sedikit berkurang”.

Meskipun sistem, marsiadapari masih berlaku tetapi sistem upah juga berlaku di desa Sitabotabo ini, Petani dan buruh tani tetap saling menjaga kekerabatan, supaya saling percaya dalam hal bertani dapat terjaga dengan baik. Buruh tani yang dimaksud adalah petani yang mempunyai lahan sedikit, dan yang tidak melakukan diversifikasi di lahan sawah. Para petani yang melakukan diversifikasi di lahan sawah juga membutuhkan para buruh tani, biasanya yang paling sering dipekerjakan adalah laki-laki untuk mengolah lahan tetapi untuk membantu menanam, memupuk dan memanen hasil tanaman biasanya perempuan, sistem upah juga di Desa Sitabotabo ini berbeda dengan upah laki-laki dan perempuan. Biasanya upah laki-laki lebih besar dibandingkan dengan upah perempuan. Berdasarkan wawancara dengan bapak T Nababan sebagai berikut:

nang pe marsiadapari adong, ala nagaji-gajian pe adong dopena sahat tu

sadarion, molo dang sanggup hami mangulahon, manggaji jolma do hami, biasana hu borong do hauma ku tu parkarejo Rp.300.000,00 sappe sae di ulahon”.(hasil wawancara tanggal 6 Agustus 2012).

“meskipun sistem gotong-royong masih berlaku, tetapi bapak juga biasanya menggaji buruh untuk mengolah lahan dan tidak menggunakan traktor. Biasanya lahan saya borongkan kepada pekerja sebesar Rp.300.000,00 sampai lahan siap untuk ditanami tanaman.

Hai ini sama dengan wawancara Pak Sudung selaku pengurus kelompok tani dna penatua di desa Sitabotabo ini sebagai berikut:

“saya sudah tua, dan tidak sanggup untuk mengolah lahan, tetapi saya masih ingin menanam sayur di lahan sawah karena sudah menjadi kebiasaan. Untuk mengolahnya saya mengupah anak laki-laki dewasa perhari dan gajinya Rp.40.000”.( hasil wawancara tanggal 30 Agustus 2012).

Petani dan buruh tani biasanya melaukuan marsiadapari bersama-sama jika itu untuk kepentingan bersama. Tidak hanya dalam hal bekerja petani melakukan marsiadapari. Masyarakat di desa ini juga masih menjaga dan mempertahankan nilai-nilai adat yang mereka sepakati, seperti dalam bidang adat-istiadat dan dalam bidang pertanian. Dalam adat-istiadat para warga akan ikut serta di dalam proses mempersiapkan acara adat, seperti mengumpulkan beras, dan memberikan alat-alat yang dibutuhkan untuk keperluan adat tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Sudung sebagai berikut:

kami masih menjaga adat yang ada di desa ini, untuk menjaganya kami

masih melakukan gotong-royong pada saat bertani dan pada saat melangsungkan adat nikah. Pada saat melakukan adat nikah kami biasanya mengumpulkan beras 2 liter per kepala rumah tangga, tidak hanya itu kami juga membawa alat-alat yang diperlukan untuk adat

tersebut”. (hasil wawancara tanggal 30 Agustus 2012)

Hal ini sama dengan hasil wawancara terhadap bapak Togap Hutasoit “molo marpesta biasa na hami marpungu do, rap makkarejohon. Dang holan tikki adong ulaon, tikki padengganton dalam dohot padalanton aek

tu hauma hami pe hami marsiadapari do na”.( hasil wawancara tanggal 20 Agustus 2012)

Terjemahan:

“pada saat melakukan adat kami akan berkumpul dan bekerja sama, tidak

hanya pada saat ada pesta, tetapi juga pada saat memperbaiki jalan, dan memperbaiki parit air supaya bisa mengairi sawah kami juga

bergotong-royong”.

Pada masyarakat desa Sitabotabo sistem kearifan ini bisa meningkatkan kesejahteraan petani, itu terlihat dari kegiatan petani yang kompak di dalam bekerja. Kearifan lokal sudah menjadi sebuah tradisi turun menurun. Perubahan kearifan lokal juga sangat mempengaruhi kegiatan bertani masyarakat. perubahan yang terjadi pada sistem kerja petani itu adalah hadirnya modernisasi, seperti pada tahun 2008 desa ini mulai menggunakan alat mesin di dalam mengolah lahan sawahnya, itu dapat mempengaruhi kegiatan petani. Berdasarkan wawancara dengan Pak Masro sebagai berikut:

sebelum kami mengenal Jetor kami selalu bergotong-royong di dalam

mengolah sawah,dan itu sudah menjadi tradisi, tetapi sekarang setelah ada jetor, kami tidak lagi bergotong-royong, karena dengan menggunakan Jetor menjadikan pekerjaan lebih cepat selesai. Meskipun jetor sudah ada

sebagian pekerjaan lainnya masih kami kerjakan bersama”.(hasil

wawancara tanggal 15 Agustus 2012)

Tradisi diartikan sebagai sebuah rutinitas atau perilaku yang dilakukan berulang-ulang oleh masyarakat tertentu. Tradisi merupakan sarana untuk mengaitkan masa lalu dan masa depan yang akan dating. Tradisi dalam hal ini bukanlah sekedar perilaku kosong yang berorientasi kepada kebiasaan saja melainkan memiliki makna intrinsic. Makna aktivitas rutin berada dalam penghormatan atau pemujaan dalam tradisi dan

kepercayaan yang tumbuh dab semakin berkembang. Artinya masyarakat percaya kepada sistem diversifikasi yang dilakukan ari awal pertama me;lalkukan diversifikasi, karena mereka melihat dari pengalaman orang tua dan yang dulu-dulu mereka yang berhasil melakukan diversifikasi di lahan sawah. Keyakinan terhadap pemanfaatan lahan sawah ini dalam hal dapat diartikan sebagai warisan, seperti yang dikemukakan oleh Pak Masro sebagai berikut:

kita melakukan tanaman di sawah ini karena pewarisan turun-temurun

dari orang tua, tetangga dan kampong.jadi sekarang saya dapat melakukannya”.(hasil wawancara tanggal 15 Agustur 2012).

Hal ini serupa dengan wawancara Pak Sudung sebagai berikut:

Kami bertani selama 50 tahunan karena diturunkan dari nenek moyang kita. Dan sekarang juga kami melakukan apa yang di wariskan orang tua

kepada saya”. (hasil wawancara 30 Agustus 2012)

Meskipun ada yang berubah pada pekerjaan dan kebiasaan, petani tetap bergaul, bertegur sapa, seperti pada umumnya hubungan bermasyarakat, tidak ada perbedaan apa pun. Mereka tetap berhubungan baik, masih saling mengobrol atau bercerita, bersama mengikuti adat, gotong royong, dan lainnya. Perbedaan status sosial diantara mereka tidak dan mempengaruhi kearifan lokal dan tidak merenggangkan hubungan antara mereka. Mereka tetap hidup rukun sebagai anggota masyarakat. hubungan yang bersifat assosiatif seperti ini terjadi dalam masyarakat desa ini misalnya kerjasama dalam mengadakan upacara keagamaan, bergotong royong membangun jalan, dan lainnya. Kerjasama dalam pekerjaan pertanian juga terjalin misalnya saat menanam dan memanen padi antar petani bekerja di lahan sawah.

Dokumen terkait