DAN PENDIDIKAN FIKIH MULTI MADHHAB
A. Pendidikan Pesantren 1. Pengertian Pendidikan
7. Kearifan Ulama Madhhab dalam Perbedaan
162
perilaku toleransi sosial dan bermuara kepada kehidupan yang damai dan
harmoni.218
7. Kearifan Ulama Madhhab dalam Perbedaan
Islam merupakan suatu ajaran yang terkait langsung dengan
kehidupan kolektif dan sosial. Dapat dikatakan tidak ada pelaksanaan
ajaran agama tanpa adanya keterlibatan personal dalam masyarakat.
Ketenangan jiwa di hadapan Tuhan tidak akan terwujud tanpa
memperbaiki hubungan dengan sesama yang setiap saat selalu berubah.
Dimensi sosial memang sangat penting, karana berbagai rujukan agama
dan budaya terdapat padanya. Mengatur kehidupan sosial berarti memberi
orang lain sarana hidup yang memadai dan jaminan jati dirinya.219
Ragam ekpresi keberagamaan menjadi bagian penting sejarah
perjalanan Islam. Sebagian keragaman memperkaya khazanah keislaman
dan memungkinkan Islam berkembang ke berbagai wilayah dengan
konteks budaya yang berbeda. Lebih khusus fikih, ragam pemahaman
yang dinisbahkan kepada para ulama terdahulu justru menjadi pilihan
dalam mengamalkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Memang sulit dipungkiri adanya fakta ketidakharmonisan dalam
pengalaman kaum muslimin, bahwa ekpresi keagamaan (baca: kelompok
keagamaan) juga pernah menjadi catatan kelam lantaran berujung pada
218 James S. Coleman, Dasar-Dasar Teori Sosial, Terj. Imam Muttaqien dkk. (Bandung: Nusa Media, 2008), 9.
219 T}ari>q Ramadan, Menjadi Modern Bersama Islam: Islam, Barat, dan Tantangan Modernitas. Terj. Zubair dan Ilham B. Saenong (Bandung: Mizan Media Utama (MMU), 2003), 37.
163
aksi kekerasan, perpecahan, pertengkaran, bahkan sampai pada tingkat
saling bunuh. Hal ini harus dibuang jauh dari kesadaran orang Islam dan
seharusnya tidak diberi ruang dalam pentas keberagamaan saat ini. Karena
hakekat kehidupan perpecahan dalam ragam keberagamaan sesungguhnya
adalah kematian.220
Umat Islam dalam satu wadah agama “Islam” sangat mungkin
terjadi perbedaan pandangan dan pendapat karena ada misi dan tujuan
yang berbeda dalam kehidupannya. Hanya saja dalam perbedaan itu harus
ada kesepakatan untuk toleransi, saling menghormati, dan saling
menghargai, bahkan dalam kehidupan manusia lintas agama sekalipun.
Dalam hal ini, perlu diteladani apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW
ketika menyaksikan sumpah fud}u>l yang pernah dilakukan pada masa
ja>hiliyyah, Beliau bersabda:221
ُدذٙش ذمٌ
الله ذجػ ساد ٝف
ْذَج ٓث
َُِؼٌَّٕا َشُُّح ٗث ٌٟ ْا ُّتحابِ بفٍََح ْبػ
ُذْجَجَ َلا َلاعلاا ٟف ٗ١ٌا ُذ١ِػُدٌٛٚ
.
Aku pernah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jad‟an sebuah sumpah yang aku sukai, dan seandainya hal itu aku diajak dalam Islam, aku akan memenuhi.
Sumpah bersama yang dilakukan di rumah Abdullah bin Jad‟an
bertujuan untuk menegakkan keadilan dan membela orang-orang
teraniaya. Beliau menyatakan bahwa seandainya kelompok itu mangajak
220 Muh}ammad Mus}t}afa> al-Kha>li>li>, Fiqh al-Ikhtila>f, Maba>diuhu wa Dhawa>bituhu (Bairu>t: al-Maktabah al-‘Ashriah, 2011), 231.
164
beliau untuk bergabung, bilau akan ikut bergabung meskipun beliau utusan
Allah swt., sedangkan meraka tidak sedang dalam satu keyakinan dengan
Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks kehidupan manusia, kebersamaan
berkembang luas hingga antara pemeluk agama, sehingga dalam fikih
terdapat akad s}ulu>h (damai), perjanjian genjatan senjata, istilah dhimmy>,
dan lain sebagainya.
Contoh kongkret adalah sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah
dengan mengadakan perjanjian damai dengan kaum Quraisy di saat-saat
genting. Saat itu beliau ditolak untuk memasuki kota Makkah, padahal
beliau sudah menggunakan pakaian ihram untuk beribadah umrah. Dalam
keadaan seperti ini beliau menerima kesepakatan yang secara lahiriyah
merugikan umat Islam. Hati sebagian para sahabat sempat tergerak dan
mushkil dengan keputusan Nabi ini, hal ini wajar dan manusiawi.
Sempat terjadi dialog antara sahabat dengan beliau terkait dengan
masalah ini. Sayyidina Umar bin Khat}t}a>b berpendapat bahwa jika
kesepakatan ini diterima, akan membuka peluang bagi orang-orang kafir
untuk meremehkan orang-orang Islam. Maka, datanglah Sayyidina Umar
bin Khat}t}a>b kepada Rasulullah saw., seraya berkata: “Hai Rasulullah, bukankah kita benar dan mereka adalah ba>t}il?”
“Tentu!” Jawab Rasulullah.
“Bukankah yang mati dari kita berada dalam surga dan yang mati
165
“Benar!” Jawab Rasulullah.
“Bukankah engkau adalah benar-benar utusan Allah?
“Tentu!” Jawab Rasulullah.
“Lalu, kenapa kita memberi kehinaan kepada agama kita? Kenapa
kita rela pada syarat dan ketentuan yang sulit, susah dan tidak berimbang
ini? Mereka menyuruh kita pulang saat ini, kita tidak dibolehkan
memasuki kota Makkah kecuali setelah satu tahun. Sedangkan pedang
masih dalam sarungnya. Kita hanya boleh tinggal tiga hari, sepuluh tahun
tidak boleh ada perang, tidak boleh ada yang menolong dari
masing-masing pihak. Jika dari meraka ada yang datang kepada kita, maka kita
wajib mengembalikannya. Dan jika dari kita, tidak demikian?” Tanya
Sayyidina Umar bin Khat}t}ab.
Rasulullah dengan mantap menjawab, “Aku utusan Allah, aku
tidak melanggar-Nya dan Dia yang menjadi penolongku” (HR.
al-Bukhari).222
Begitu luhur dialog antara prajurit dengan panglima tertingginya
untuk mengungkap dan menyelesaikan persoalan kehidupan. Pertanyaan
seperti ini tidak membuat Nabi mengerut atau sedih, dan sama sekali tidak
berarti bahwa Sayyidina Umar bin Khat}t}ab meragukan kerasulan
Muhammad saw. Respon dan reaksi Sayyidina Umar bin Khat}t}ab adalah
222 Ibnu Hibban, juz 2, (t.t. t.th.), 409.
166
manusiawi dalam kondisi seperti itu, sehingga ia tidak bisa disebut keluar
dari persatuan “Islam”.223
Pemahaman semacam ini telah hilang dari benak kaum muslimin
saat ini. Hanya kerana satu perbedaan, hati mereka terbelenggu dengan
kebencian kepada saudaranya seagama, apalagi lain agama. Boleh jadi
karena ketidakpahaman terhadap adanya sunnatullah di muka bumi. Sudah
menjadi ketetapan Allah akan adanya perbedaan dan keanikaragaman.224
Kalau ada orang yang menggambarkan bahwa arti persatuan Islam adalah
mencairkan atau menghilangkan sama sekali perbedaan-perbedaan parsial,
maka gambaran itu sama halnya dengan mengatakan, bahwa untuk bersatu
umat Islam harus memiliki satu kata, satu langkah, satu raut muka, dan
memiliki tinggi pendek yang sama.225 Pandangan semacam ini
sesungguhnya menafikan hikmah-hikmah kehidupan manusia.226
Adanya madhhab-madhhab dalam Islam secara khusus, serta
keanekaan pemikiran dan aliran secara umum tidak lain sebagai salah satu
bentuk dari sunnatullah dalam kehidupan manusia. Yang menjadi problem
bukan keanekaan madhhab, pemikiran, atau kelompok, namun bagaimana
cara membangun sikap dan komunikasi antara yang satu dengan lainnya.
Apabila suatu sikap melampaui batas dalam memandang pendapat atau
223 Al-H}amid Jakfar al-Qadri, Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat, Telaah atas Pemikiran al-Habib Umar bin Hafidz dalam Membina Ukhwah dan Membangun Dialog (Bandung: Mizan, 2012), 77.
224 Al-Qur’an, 16: 93. Lihat juga al-Qur’an, 30: 22.
225
al-Qadri, Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat, 78.
226]63 /27 خِب١مٌا[ لاّ٘ ٞأ ٜذُع َن َشْزُ٠ َْْأ ُْبغِْٔ ْلإا ُتَغْحَ٠َأ, (apakah manusia menduga akan ditinggalkan sia-sia).
167
pemahaman (madhhab), ia dipahami sebagai suatu nas}s} yang harus diikuti,
sedangkan pendapat atau pemahaman yang lain dianggab ba>t}il dan tidak
mempunyai nilai kebenaran sama sekali, maka sesungguhnya dari sinilah
titik awal suatu kesalahan, apapun madhhab-nya.227
Kaum muslimin, para pengikut madhhab perlu memahami dan
meneladani budi luhur dan etika yang luar biasa antara murid dengan guru
pada masa awal-awal peradaban Islam. Empat madhhab yang diikuti oleh
mayoritas kaum muslimin sesungguhnya lahir dari hubungan luhur murid
dengan guru. Imam Malik (93/9-179 H bertepatan 717-801 M) memiliki
hubungan yang baik dengan Abu Hanifah (61/80-150 H bertepatan
702-767 M). Imam Syafi‟i (150-179 H bertepatan 702-767-820 M) belajar dengan
sempurna kepada Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal (165-241 H
bertepatan 778-885 M) adalah murid dari Imam Syafi‟i. Budi luhur dan etika yang luar biasa bisa lihat dari perkataan Imam Syafi‟i:
اٌٛبل
ُذّحا نسٚض٠
ُسٚضرٚ
ُذٍل = ٖ
ًُئبعفٌا
ُر لا
ِسبف
ُق
َِ ْٕ
ِض
ٌَ
ٗ
ٌٗ ِٓ١ٌَبحٌا ٟف ًُعفٌبف ٍٗعفجف = ٟٔساص ٚا ٍٗعفٍف ُٗرسص ِْْا
Orang-orang bertanya: Engkau dikunjungi oleh Ahmad bin Hambal dan engkau mengunjunginya.
Aku katakan: keutamaan tidak pernah meninggalkan tempat tinggalnya.
Jika aku mengunjunginya itu karena keutamaan yang dimilikinya, dan jika ia mengunjungiku itu juga karena keutamaannya. Jadi keutamaan dalam dua hal ini (mengunjungi dan dikunjungi) adalah miliknya.
168
Imam Ahmad bin Hambal ketika mendengar ucapan Imam Syaf‟i,
beliau mnggubah syair:
ُص ِْْا
ًٍعفث بَٕرس
َّر هِٕ
ُحٕ
ُص ٓحٔ ٚا = بٕ
ْس
ِف ٜزٌا ًعفٍٍف بٔ
َه١
َػ لاف
ِذ
ِْ
ِو بٕ
ٌَبحٌا لا
ْ١
ِٓ
َيبٔ = لاٚ هِٕ
َّّٕر ذل ٜزٌا
َه١ف ٝ
ِٔبش
ْ١
بى
228Jika engkau mengunjungi kami itu tidak lain karena keutamaan yang engkau hadiahkan kepada kami.
Dan jika kami yang mengunjungi, maka itu disebabkan keutamaan yang engkau miliki.
Kami tidak bisa lepas dalam dua kondisi ini dari keutamaanmu. Dan orang yang ingin mendapatkan (mengetahui) „aib-mu, tidak akan berhasil.
Menyikapi multi madhhab mestinya dengan kearifan sebagaimana
indahnya hubungan antara para imam madhhab.
Semua kelompok keagamaan dalam melakukan gerakan boleh jadi
memiliki basis yang tidak jauh berbeda, yaitu berpijak pada keharusan
kaum muslimin dalam menebar kebenaran dan kebaikan. Hanya saja ada
hal-hal yang berbeda dalam cara mencapai tujuan, sebagian ada yang
sangat peka terhadap dampak yang akan timbul dari tindakan, sebagian
lain kurang memperhatikan, asal kebenaran terlaksanakan. Adalah sangat
penting membangun keberagamaan melalui jalan terbaik dengan berpijak
pada titik kebenaran dan kearifan.229 Karena sesungguhnya Islam adalah
penebar kasih sayang pada alam semesta.230
228
al-Qadri, Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat, 91-93.
229 QS. Al-Nakhl, 16: 125.
169
Dalam membentuk kearifan keberagamaan diperlukan pemahaman
tentang akhlak dan kearifan. Akhlak adalah karakteristik yang tertanam
dalam diri seseorang yang dapat melahirkan aktivitas dan kreatifitas
produktif tanpa melalui suatu pemikiran dan pendapat orang lain,231
sedangkan kearifan adalah kemampuan seseorang dalam memilih dan memilah yang terbaik dan ber-mas}lahah. Kedua hal ini akan mengantarkan kearifan keberagamaan seseorang yang paripurna. Berkaitan dengan ini,
adagium Arab mempunyai posisi penting bagaimana membangun kesimbangan antara ke-faqi>h-an dan kearifan yaitu:
ِٓٚ .كغفر ذمف فٛصز٠ ٌُٚ ٗمفر ِٓٚ .قذٔضر ذمف ٗمفز٠ ٌُٚ فٛصر ِٓ
كمحر ذمف بّٕٙ١ث غّج
232
Orang yang bertashawwuf, dan dia tidak memahami fikih maka ia adalah zindik. Dan seseorang yang mengamalkan fikih, dan ia tidak memahami fikih, maka dia adalah fasik, dan yang menggabungkan keduanya mencapai derajat hakikat.