BAB I....................................................................................................................... 1
E. Keaslian
Penelitian mengenai pemaafan dan penerimaan diri pernah diteliti di Indonesia. Akan tetapi, penelitian yang membahas hubungan pemaafan dan penerimaan terbilang masih jarang. Walaupun begitu, penelitian ini mengacu dari beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmadani dan Subandi (2010) yang berjudul Pengaruh Terapi Pemaafan dalam Meningkatkan Penerimaan Diri Penderita Kanker Payudara. Kemudian ada pula penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah, Bashori dan Hayati (2019) dengan judul Pengaruh Terapi Pemaafan Dengan Dzikir untuk Meningkatkan Penerimaan Diri pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh Zhafira (2019) dengan judul Pengaruh Pemaafan dan Dukungan Sosial terhadap Penerimaan Diri Wanita Tuna Susila di Balai Rehabilitasi Sosial Watunas Mulya Jaya. Adapun penjelasan lebih detail mengenai keaslian penelitian ini, yaitu:
1. Keaslian Topik
Penelitian ini memiliki persamaan dalam variabel pemaafan dan penerimaan diri dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani dan Subandi (2010). Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani dan Subandi (2010) melihat pengaruh terapi pemaafan dalam menigkatkan penerimaan diri pada penderita kanker payudara. Selain itu, penelitian dilakukan oleh Zhafira (2019) juga menggunakan variabel yang sama yakni penerimaan diri dan pemaafan. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Zhafira (2019) melihat Pengaruh Pemaafan dan Dukungan Sosial dalam meningkatkan penerimaan diri pada wanita tuna susila di balai rehabilitasi sosial Watunas Mulya Jaya. Terakhir penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah, Bashori dan Hayati (2019) yang menjadikan penerimaan diri sebagai variabel tergantung.
2. Keaslian Teori
Penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani dan Subandi (2010) menggunakan teori dari Johnson (1993) dan Enright (2002). Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah, Bashori dan Hayati (2019) menggunakan teori dari Enright (2002). Terakhir penelitian yang dilakukan oleh Zhafira (2019) yang menggunakan teori dari McCullough (2000).
Sedangkan, penelitian ini menggunakan teori dari Sheerer (Cronbach, 1963) dan Thompson, dkk (2005).
3. Keaslian Responden
Responden yang digunakan dalam penelitian Rahmadani dan Subandi (2010) adalah wanita penderita kanker payudara, menjalani rawat jalan untuk tritmen penyakit kanker yang diderita, mampu berativitas sehari-hari, tingkat pendidikan minimal SMA atau sederajat, serta memiliki skor pemaafan dan penerimaan diri yang rendah dan/atau sedang pada pengukuran sebelum intervensi. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah, Bashori dan Hayati (2019) Partisipan pada penelitian ini adalah Orang dengan HIV/AIDS yang tinggal Yogyakarta dengan kriteria terdiagnosa atau status HIV/AIDS Positif stadium 1-2, memiliki penerimaan diri dalam kategori rendah atau sedang, beragama Islam. Terakhir penelitian yang dilakukan oleh Zhafira (2019) menggunakan responden wanita tuna susila yang mengikuti program rehabilitasi di Balai Rehabilitasi Sosial Watunas Mulya Jaya. Sedangkan penelitian ini menggunakan responden ODHA yang tergabung di salah satu KDS di kota Manokwari.
4. Keaslian Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian Rahmadani dan Subandi (2010) adalah skala yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek dari Johnson (1993). Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah, Bashori dan Hayati (2019) menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari SelfAcceptance Scaleyang disusun oleh E.L. Philipsdan Expressed Acceptance of Self Scale yang disusun oleh E. M. Bergeryang telah dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesia oleh Praptomojati (2015). Sedangkan alat ukur yang digunakan
dalam penelitian ini adalah skala penerimaan diri dari Djalaluddin (2018) yang mengacu pada aspek dari Sheerer (Cronbach, 1963) dan skala pemaafan dari (Rahmandani, 2010) yang dimodifikasi dari The Heartland Forgiveness Scale/HFS.
10
A. Penerimaan Diri 1. Pengertian Penerimaan Diri
Shereer (Cronbach, 1963) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah bagaimana individu dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan individu terhadap kelebihan sekaligus menerima kelemahan tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan untuk terus-menerus mengembangkan diri. Ryff (1989) mendefisikan penerimaan sebagai sebuah keadaan dimana individu berpikiran positif terhadap diri sendiri, mengakui dan mengakui berbagai aspek dalam diri termasuk kualitas baik dan buruk yang ada didalam diri dan memandang positif terhadap kehidupan yang telah dijalani.
Schultz (1991) menyatakan orang yang menerima dirinya adalah orang yang dapat menerima kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan tanpa keluhan maupun kesusahan. Menurut Supratikna (1995) menerima diri adalah penghargaan yang tinggi bagi diri sendiri. Hal ini berarti individu dapat menerima kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Penghargaan yang tinggi bukan berarti memiliki sikap tinggi hati, melainkan dapat menghargai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki serta tidak mencela kekurangan yang dimiliki.
Coleridge (1997) menyatakan penerimaan diri bukan berarti bersikap pasrah, tetapi menerima identitas diri secara positif, tidak menurunkan pandangan tentang
diri dan harga diri dan bahkan dapat meningkatkannya. Menurut Sartain (Handayani, 2000) penerimaan diri adalah kesadaran individu untuk menerima dan memahami dirinya apa adanya. Penerimaan diri menurut Pannes (Sari, 2002) adalah kesadaran diri individu tentang karakteristik yang dimiliki baik yang dimiliki secara pribadi maupun kesediaan dalam menjalani kehidupan seseuai dengan karakteristik yang dimiliki.
Chaplin (2005) menjelaskan penerimaan diri sebagai sikap merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat, serta pengetahuan-pengetahuan tentang keterbatasan diri. Menurut Hurlock (2006) menjelaskan bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi kekurangan individu tersebut dapat berpikiran logis tentang baik dan buruknya sebuah masalah yang terjadi tanpa menimbulkan perasaan, permusuhan, perasaan rendah diri, malu dan rasa tidak aman. Menurut Florentina (2008) penerimaan diri adalah kemauan untuk menerima diri yang mencakup keadan fisik, psikologis sosial, dan pencapaian diri dalam kelebihan maupun kekurangan.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah kemampuan untuk menerima kekurangan maupun kelebihan yang ada didalam diri setiap individu. Selain itu, berdasarkan beberapa yang telah disampaikan, peneliti memilih teori dari Shereer (Cronbach, 1963) sebagai acuan dalam penelitian ini.
2. Aspek-aspek Penerimaan Diri
Aspek-aspek penerimaan diri menurut Sheerer (Cronbach, 1963) terdapat beberapa aspek penerimaan diri, yaitu :
a) Individu mempunyai keyakinan akan kemampuan diri dalam menjalani kehidupan. Contohnya adalah individu merasa percaya diri dalam menyelesaikan masalah dan dalam menjalani kehidupannya.
b) Adanya anggapan berharga pada diri individu sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain. Contohnya adalah individu tidak merasa rendah diri karena ia sederajat dengan orang lain yang juga memiliki kekurangan dan kelebihan.
c) Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. Contohnya adalah individu memiliki keberanian untuk menghadapi dan menyelesaikan segala masalah yang timbul akibat perilakunya.
d) Individu dapat menerima pujian atau kritikan secara objektif. Contohnya adalah ini individu mau menerima pujian, saran dan kritikan dari orang lain untuk pengembangan kepribadiannya.
e) Individu tidak menyalahkan dirinya sendiri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya. Contohnya adalah individu mengerti apa saja kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya serta tidak menyalahkan diri sendiri terhadap kekurangan yang dimilikinya.
f) Individu tidak menganggap dirinya aneh dan tidak merasa ditolak orang lain.
Contohnya adalah individu tidak merasa sebagai seseorang yang menyimpang, sehingga individu tidak akan merasa ditolak oleh orang lain.
g) Tidak merasa malu akan keadaan dirinya. Contohnya adalah individu percaya diri dengan kelebihannya dan tidak malu terhadap kekurangan yang dimilikinya
Jersild (dalam Melinda, 2013) juga menjeleskan tentang aspek penerimaan, sebagai berikut:
a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan
Individu yang memiliki penerimaan diri berfikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain.
Individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan dapat berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.
b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain
Individu memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak mempunyai penerimaan diri.
c. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri
Seorang individu yang biasanya merasakan infioritas adalah individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang relistik atas dirinya.
d. Respon atas penolakan dan kritikan
Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun demikian individu mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan atau bahkan mengambil hikmah dari kritikan tersebut.
e. Keseimbangan antara real self dengan ideal self
Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik dalam batas-batas memungkinkan individu ini mungkin memiliki ambisi yang besar, namun tidak mungkin mencapainya walau dalam waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Oleh karna itu dalam mencapai tujuannya individu mempersipkan konteks yang mungkin dicapai untuk memastikan dirinya tidak akan kecewa saat nanti.
f. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain
Hal ini berarti apabila seseorang individu menyayangi dirinya maka akan lebih memungkinkan untuk menyayangi orang lain.
g. Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri
Menerima diri dan menuruti diri merupakan hal yang berbeda. Apabila seseorang individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu memanjakan dirinya. Individu yang menerima dirinya akan menerima dan bahkan menuntut pembagian yang layak akan sesuatu yang baik dalam hidup dan tidak mengambil kesempatan yang tidak pantas untuk memiliki posisi yang baik atau menikmati sesuatu yang bagus. Semakin individu menerima dirinya dan diterima orang lain, semakin individu berbaik hati.
h. Penerimaan diri, spontanitas dan menikmati hidup
Individu dengan penerimaan diri mempunyai lebih banyak leluasa untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa
menikmati sesuatu yang dilakukannya. Akan tetapi, juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.
i. Aspek moral penerimaan diri
Individu dengan penerimaan diri bukanlah individu yang berbudi baik dan bukan pula individu yang tidak mengenal moral, tetapi memiliki fleksibilitas dalam pengaturan hidupnya. Individu memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa nantinya, dan tidak menyukai kepura- puraan.
j. Sikap terhadap penerimaan diri
Menerima diri merupakan hal yang penting dalam kehidupan seseorang. Individu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, mungkin dalam keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain.
Berdasarkan beberapa aspek yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini mengacu pada aspek-aspek yang dikemukan oleh Sheerer (Cronbach, 1963) yaitu Individu mempunyai keyakinan akan kemampuan diri dalam menjalani kehidupan, Adanya anggapan berharga pada diri individu sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain, Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya, Individu dapat menerima pujian atau kritikan secara objektif, Individu tidak menyalahkan dirinya sendiri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya, Individu tidak menganggap dirinya aneh dan tidak merasa ditolak orang lain, Tidak merasa malu akan keadaan dirinya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan diri
Menurut Hurlock (1974) penerimaan diri dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya adalah :
a) Self-understanding (Pemahaman tentang diri sendiri).
Pemahaman diri adalah kemampuan untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuan didalam diri. Ditandai dengan keaslian, bukan kepura-puraan tapi kenyataan, bukan ilusi tapi kebenaran, bukan dusta tapi keterusterangan, dan bukan tipu daya. Individu yang mampu memahami dirinya sendiri tidak hanya bergantung pada kapasitas intelektualnya saja melainkan juga bergantung pada kesempatan untuk self- discovery. Jadi, semakin individu memahami dirinya, maka semakin ia dapat menerima dirinya.
b) Realistic Expectations (Harapan yang Realistis).
Harapan yang realistis timbul ketika individu mampu menentukan harapan yang sesuai dengan pemahaman dan kemampuannya, tanpa diarahkan oleh orang lain untuk mempengaruhinya. Hal ini terkait dengan selfsatisfication (kepuasan diri) yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri.
c) Absence of Enviromental Obstacles (Ketiadaan Rintangan dari Lingkungan).
Ketidakmampuan individu dalam mencapai tujuannya yang realistis bisa datang dari lingkungan dimana seseorang tidak memiliki kontrol, seperti diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, atau agama. Ketika ini terjadi, individu akan sulit untuk menerima dirinya. Namun, apabila hambatan ini dihilangkang dengan adanya dorongan dari orang tua, guru, teman, atau pimpinan kerja, maka individu tersebut dapat mencapai kesuksesannya meraih harapan realistisnya.
d) Favorable Social Attitudes (Sikap Sosial yang Baik)
Individu yang memiliki pengalaman sikap sosial yang menyenangkan diharapkan dapat menerima dirinya. Terdapat tiga kondisi utama yang mengarahkan pada evaluasi sosial yang menyenangkan, yaitu: pertama, ketiadaan prasangka terhadap seseorang atau anggota keluarganya; kedua, memiliki keterampilan sosial seperti yang dimiliki anggota kelompok lain; ketiga, kesediaan untuk menerima adat istiadat kelompok dalam berpakaian, berpenampilan, berbicara, dan berperilaku.
e) Absence of Severe Emotional Stress (Ketiadaan Stres Emosional yang Berat) Stres emosional dapat menyebabkan gangguan pada keseimbangan fisik dan psikologis. Hal ini dapat menyebabkan individu berkerja kurang efisien dan memengaruhi dalam bereaksi pada orang lain. Dengan tidak adanya stres emosional yang berat, akan membantu individu dalam bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia.
f) Preponderance of Successes (Kesuksesan Besar)
Keberhasilan atau kesuksesan yang dialami oleh individu akan mengarahkannya pada self-acceptance. Sebaliknya, individu yang mengalami kegagalan akan mengarahkannya pada self-rejection.
g) Identification with Well-Adjusted People (Identifikasi Individu dengan Penyesuaian Diri yang Baik)
Individu yang mengidentifikasikan dirinya bersama orang-orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, cenderung dapat mengembangkan sikap-sikap
positif terhadap dirinya dan perilakunya akan mengarah pada penilaian diri dan penerimaan diri yang baik.
h) Self-Perspective (Perspektif Diri)
Individu akan dapat melihat dirinya sebagaimana orang lain melihatnya. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman dan belajar. Sehingga, usia dan tingkat pendidikan berperan penting dalam mengembangkan perspektif dirinya. Perspektif diri yang luas akan membantu individu memiliki pemahaman diri yang lebih baik.
i) Good Childhood Training (Pelatihan Masa Kecil yang Baik)
Penerimaan diri individu ditentukan dari penyesuaian hidup yang dilakukan di masa kecil. Meskipun penyesuaian diri seseorang dapat berubah secara radikal seiring berlangsungnya kehidupan.
j) Stable Self-Concept (Konsep diri yang stabil)
Individu dengan konsep diri yang stabil ditandai dengan ketika ia melihat dirinya dengan cara yang sama hampir di setiap waktu. Bila individu tidak memiliki konsep diri yang stabil, ia akan sulit menunjukkan pada orang lain siapa ia yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan ia melihat dirinya baik di waktu tertentu dan tidak baik di waktu lainnya, gagal dalam menggambarkan dirinya secara jelas, ragu akan dirinya, dan cenderung kepada penolakan diri
B. Forgiveness (Pemaafan) 1. Pengertian Forgiveness (Pemaafan)
McCullough dkk. (2003) menjelaskan bahwa pemaafan adalah motivasi untuk mengubah seseorang agar tidak membalas dendam dan mengurangi dorongan
untuk memelihara kebencian kepada pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Menurut Enright et al (2001) Forgiveness adalah kesediaan untuk melepaskan hak yang dimiliki individu untuk membenci, memberikan penilaian secara negatif, dan perilaku yang tidak berbeda terhadap orang lain yang menyakiti kita secara tidak adil, serta membantu perkembangan kualitas-kualitas rasa belas kasihan, kedermawanan, dan bahkan cinta bagi orang tersebut. Thompson, dkk (2005) mendefinisikan pemaafan sebagai perbaikan secara interpersonal dan intrapersonal (dalam diri) agar seseorang dapat memaafkan secara total. Selain itu pemaafan pada seseorang merupakan proses respon pada kesalahan yang dilakukan, agar respon tersebut dapat berubah dari negatif ke netral kemudian positif.
Strelan dan Covic (2006) mendefinisikan pemaafan sebagai sebuah proses menetralkan sumber stres yang dihasilkan dari suatu hubungan interpersonal yang menyakitkan. Menurut Wardhati dan Faturochman (2006) pemaafan adalah upaya membuang keinginan membalas dendam dan sakit hati yang bersifat pribadi terhadap pihak yang bersalah atau orang yang menyakiti dan mempunyai keinginan untuk membina hubungan kembali. Snyder dan Lopez (2007) pemaafan sebagai upaya untuk menempatkan peristiwa pelanggaran yang dirasakan sedemikian rupa hingga respon seseorang terhadap pelaku, peristiwa, dan akibat dari peristiwa yang dialami diubah dari negatif menjadi netral atau positif. Menurut Nashori dkk, (2011) pemaafan adalah kesediaan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak menyenangkan yang bersumber dari hubungan interpersonal dengan orang lain dan
menumbuhkan pikiran, perasaan, dan hubungan interpersonal yang positif dengan orang lain yang melakukan pelanggaran.
2. Aspek-aspek Forgiveness (Pemaafan)
Menurut Thompson, dkk (2005), aspek-aspek pemaafan dibagi menjadi tiga yaitu:
a) Pemaafan pada Diri Sendiri
Pemaafan pada diri sendiri adalah keadaan dimana individu dapat melepaskan dirinya (menerima) karena kesalahan yang telah dilakukan. Individu dikatakan memafkan diri sendiri ketika mudah mengakui kesalahan yang dilakukan, maupun menghentikan segera pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, ucapan-ucapan, atau tindakan-tindakan menyalahkan diri, mampu memahami dan menerima kesalahan yang pernah dilakukan, belajar menjadi lebih baik setelah mengalami pengalaman buruk, serta dapat merasa nyaman kembali seiring berjalannya waktu.
b) Pemaafan pada Orang Lain
Pemaafan yang tidak hanya sekedar ucapan maaf antara kedua pihak. Namun lebih pada pengambilan keputusan terkait apa yang dilakukan selanjutnya.
Pemaafan terhadap orang lain dipandang sebagai suatu proses dimana ada keterlibatan berkelanjutan melalui reaksi interpersonal, serta mengembangkan dan memelihara hubungan sosial dalam konteks kesalahan interpersonal. Selain itu dikatakan bahwa orang lebih cenderung untuk memaafkan orang lain, jika hubungannya sudah dekat, berkomitmen, dan memiliki kepuasan tersendiri.
c) Pemaafan Pada Situasi
Pemaafan pada situasi dianggap unik karena situasi diasumsikan sebagai tanggapan negatif bagi orang yang mempunyai masalah yang serius pada situasi tertentu. Seperti situasi yang tidak dapat dikendalikan oleh dirinya sendiri seperti penyakit, nasib, bencana alam, perasaan marah, sedih dan pikiran mengenai situasi yang telah menghancurkan hidupnya sendiri dan menganggap hidupnya tidak layak lagi. Selain itu, individu mampu melepaskan pikiran-pikiran negatif atas peristiwa-peristiwa buruk dan mampu berdamai serta dapat melihat sisi positif dan mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi. Pemaafan pada situasi dapat dilakukan dengan mengubah respon atau sudut pandang dari negatif ke netral atau potitif.
C. ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) 1. Pengertian ODHA
Menurut Nurbani (2013) ODHA adalah singkatan dari Orang Dengan HIV/AIDS, sebagai pengganti istilah penderita yang mengarah pada pengertian bahwa orang tersebut sudah secara positif didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS. Di Indonesia, istilah ODHA telah disepakati sebagai istilah untuk mengartikan orang yang terinfeksi positif mengidap HIV/AIDS.
2. Pengertian HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan
tubuh manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum tentu membutuhkan pengobatan. Meskipun demikian, orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks berisiko dan berbagi penggunaan alat suntik dengan orang lain. Sedangkan Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena kekebalan tubuh yang menurun yang disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran penernaan, otak dan kanker (KPAD Kab. Jember, 2015).
3. Cara Penularan
Menurut (Nursalam and Kurniawati, 2007), Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu:
a) Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS b) Ibu pada bayinya.
c) Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS.
d) Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril.
e) Alat-alat untuk menoreh kulit seperti alat tajam dan runcing yang meliputipisau, silet, maupun jarum. Menggunakan jarum suntik secara bergantian, jarum suntik yang dipakai di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User (IDU)) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU
secara bersamasama juga menggunakan tempat pencampur, pengaduk, dan gelas pengoplosan obat, sehingga berpotensi tinggi menularkan HIV.
HIV tidak menular melalui peralatan makan, handuk, pakaian, toilet, sapu tangan yang dipakai secara bersama-sama, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, berpelukan dipipi, gigitan nyamuk, maupun berhubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS.
4. Masalah yang dialami ODHA
Menurut Nurbani (2013) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa permasalahan yang dialami oleh ODHA meliputi permasalahan psikologis, permasalahan sosial, maupun permasalahan biologis.
a. Permasalahan Psikologis
Permasalahan psikologis yang timbul seperti depresi, ansietas, gangguan kognitif, gangguan psikosis, hingga gangguan kepribadian, merasa dirinya tidak berguna, takut, sedih, tidak ada harapan, dan merasa putus asa.
b. Permasalahan Sosial
Permasalahan sosial yang sering timbul pada ODHA adalah seperti bentuk diskriminasi, stigmatisasi, perceraian, pemberhentian dari pekerjaan, beban finansial yang harus ditanggung oleh ODHA serta dijauhi oleh kerabat dekat.
c. Permasalahan Biologis
Permasalah Biologis yang dialami ODHA adalah berupa infeksi oprtunistik gejala simptomatik yang berhubungan dengan AIDS, efek samping dari obat ARV, serta sindrom pemulihan kekebalan tubuh.
D. Hubungan pemaafan dengan penerimaan diri pada ODHA
Menurut WHO (Nasrodin, 2007) ketika individu pertama kali mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV, sebagian besar akan mengalami perubahan dalam karakter psikososialnya seperti depresi, stres, merasa kurang mendapatkan dukungan sosial, dan perubahan perilaku. Menurut Sodroski dkk (Ogen, 2007) stres dapat menyebabkan peningkatan proses replikasi virus HIV. Joerban (Gusti, Farlina, & Alfitri, 2015) mengungkapkan, hampir 99% penderita HIV/AIDS mengalami stres berat atau depresi berat pada saat mengetahui dirinya mengidap penyakit AIDS. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, individu harus mampu memprediksi tingkat stresnya dengan melakukan penyesuaian diri, sehingga virus-virus tersebut tidak mereplikasi terus menerus.
Menurut WHO (Nasrodin, 2007) ketika individu pertama kali mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV, sebagian besar akan mengalami perubahan dalam karakter psikososialnya seperti depresi, stres, merasa kurang mendapatkan dukungan sosial, dan perubahan perilaku. Menurut Sodroski dkk (Ogen, 2007) stres dapat menyebabkan peningkatan proses replikasi virus HIV. Joerban (Gusti, Farlina, & Alfitri, 2015) mengungkapkan, hampir 99% penderita HIV/AIDS mengalami stres berat atau depresi berat pada saat mengetahui dirinya mengidap penyakit AIDS. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, individu harus mampu memprediksi tingkat stresnya dengan melakukan penyesuaian diri, sehingga virus-virus tersebut tidak mereplikasi terus menerus.