• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PEMAAFAN DAN PENERIMAAN DIRI PADA ODHA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PEMAAFAN DAN PENERIMAAN DIRI PADA ODHA SKRIPSI"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh:

MASYITA PURWADI 16320046

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA 2020

(2)

i

HUBUNGAN ANTARA PEMAAFAN DAN PENERIMAAN DIRI PADA ODHA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat Guna Memperoleh

Derajat Sarjana S1 Psikologi

Oleh:

MASYITA PURWADI 16320046

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA 2020

(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan Judul:

HUBUNGAN ANTARA PEMAAFAN DAN PENERIMAAN DIRI PADA ODHA

Telah Dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi Program Studi Psikologi, Jurusan psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam

Indonesia, Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Psikologi

Pada Tanggal

Mengesahkan, Program Studi Psikologi, Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Ketua Program Studi

Yulianti Dwi Astuti, S.Psi., M.Soc.Sc

Dewan Penguji Tanda Tangan

1. Muh. Novvaliant Filsuf T., S.Psi., M.Psi., Psi.

2. Dr. Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., Psi.

3. Rr. Indahria Sulistyarini, S.Psi., MA., Psi. ________________________

(4)

iii

(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Alhamdulillahi Rabbil’alamin

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat serta hidayah kepada penulis agar tetap sabar dan kuat serta tidak putus asa dalam mengerjakan skripsi

ini hingga selesai dengan sebaik-baiknya.

Karya ini kupersembahkan untuk:

Kedua orang tuaku,

Ibu Endang Sulastri

Terima kasih untuk mama yang sudah memberikan dukungan, perhatian, kasih sayang, dan semangat yang selalu mama berikan sejak aku masih kecil sampai sekarang. Terimakasih juga untuk segala waktu dan tenaga yang telah mama

berikan sehingga aku dapat menyelesaikan pendidikan tinggi. Semoga Allah selalu melindungi mama di sepanjang hayat.

Bapak Purwadi

Terima kasih untuk papa yang selalu mendukung, menjaga, perhatian, dan kasih sayang. Terimakasih juga untuk segala waktu dan tenaga yang telah papa berikan

sehingga aku dapat menyelesaikan pendidikan tinggi. Semoga Allah selalu melindungi papa di sepanjang hayat.

(6)

v

HALAMAN MOTTO

وَاللَّه ُ و ع َ و صَّ ابارِلنَّه

"Dan Allah bersama orang orang yang sabar."

(Q.S. Al-Anfal (8): 66)

“People grow by making mistakes, falling down and learning pain”

(Miyawaki Sakura)

“Why worry? If you’ve done the very best you can, then worrying won’t make it any better.”

(Walt Disney)

“You must not let anyone define your limits because of where you come from.

Your only limit is your soul.”

(Gusteau, Ratatouille)

“I live by the phrase that “you gain something when you lose something, and you lose something when you gain.”

When I give something up, the world gives me something else in return”

(IU)

(7)

vi PRAKATA

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Alhamdulillahirabil’alamin, pertama-tama penulis ingin mengucapkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata'ala yang selalu mencurahkan rahmat serta hidayahnya kepada seluruh hambanya. Tak lupa sholawat serta salam bagi Nabi Agung, Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah hingga zaman terang benderang seperti saat ini.

Karena tanpa rahmat dan hidayah-Nya, karya ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu, karya ini juga tidak akan selesai tanpa bantuan dari banyak orang disekitar penulis. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag. Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya

2. Ibu Yulianti Dwi Astuti, S.Psi., M.Soc.Sc. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya

3. Bapak Muhammad Novvaliant Filsuf Tasaufi, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih, Pak atas bimbingan, dukungan, informasi, dan semangat yang selalu bapak tularkan kepada penulis. Bapak selalu sabar dan ramah ketika memberikan bimbingan kepada penulis selama pengerjaan skripsi hingga akhirnya skripsi ini selesai dengan baik.

4. Ibu Ike Agustina, S.Psi., M.Psi., Psi. selaku Dosen Pembimbing Akademik.

Terima kasih atas cerita pengalaman Ibu yang sangat mengispirasi, menjadi sosok wanita yang kuat, visioner di mata penulis.

5. Seluruh dosen dan staf Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Terima kasih telah berbagi ilmu kepada penulis dan membantu segala urusan penulis selama di perkuliahan.

6. Bapak Andarius Saroy, SE selaku kepala Puskesmas Wosi Kabupaten Manokwari yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengambil data.

7. Ibu Everdina Y. Wanggai, SKM, M.Si selaku pengelola program HIV/AIDS Puskesmas Wosi dan Pembina KDS yang telah mendampingi penulis selama melakukan penelitian.

(8)

vii

8. Anggota KDS yang telah bersedia menjadi subjek penelitian ini.

9. Mama, papa, dan keluarga besar di Manokwari, Ambon, Merauke, Yogyakarta dan Flores Timur. Terima kasih atas doa dan dukungan mama dan papa selama ini, baik dukungan emosi, dukungan informasi dan dukungan materi sehingga penulis dapat menjalani perkuliahan dengan lancar. Terimakasih atas dukungan dan doa keluarga besar khususnya Tante Susan, Om Rahmat, Om Ade, dan sepupuku tersayang Deril, Rizky, Adit, Davu, si kembar Athira dan Salsabila atas dukungan dan semangat yang tiada henti kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Mas Iput dan Abang Doni. Terimakasih atas doa dan bantuan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menjalani perkuliahan dengan baik.

Terimakasih khususnya kepada Mas Iput yang telah menjadi sosok kakak laki- laki yang mengajarkan berbagai hal kepada penulis.

11. Sandia, Adin dan Rizka (Kowe). Terimakasih untuk kalian yang telah menemani penulis selama masa perkuliahan dan menjadi teman terdekat penulis ketika memasuki awal masa perkuliahan. Untuk sandia, terimakasih sudah menjadi partner penulis dan membantu penulis dari awal masa pekuliahan sampai sekarang. Untuk Adin dan Rizka terimakasih sudah membantu penulis selama masa perkuliahan sampai sekarang, terimakasih juga sudah mengenalkan kota Jogja kepada Penulis.

12. Diandra dan Arum. Terimakasih untuk kalian yang telah menjadi teman penulis dan memberikan dukungan pada penulis. Untuk Diandra, terimakasih sudah menemani selama masa perkuliahan maupun diluar masa perkuliahan, menjadi teman untuk bertukar pikiran dan pendapat tentang berbagai hal. Untuk Arum terimakasih sudah berbagi banyak ilmu dengan penulis selama masa perkuliahan.

13. Nadia dan Denan. Terimakasih atas dukungan kalian selama ini kepada penulis, sehingga penulis dapat bertahan sampai sekarang. Untuk Nadia, terimakasih sudah banyak membantu penulis ketika perkuliahan maupun di luar perkuliahan. Untuk Denan terimakasih untuk dukungan yang tiada henti da dalam keadaan apapun kepada penulis.

(9)

viii

14. Kelompok KKN 8 dan seluruh warga Padukuhan Dadapan. KKN 8 terimakasih karena telah mengajarkan kepada penulis arti kebersamaan, pengorbanan dan kerjasama. Terimakasih juga karena telah memberikan penulis pengalaman dan pembelajaran yang tidak akan pernah penulis lupakan. Untuk Warga Dadapan terimakasih telah menerima, menjaga dan merawat penulis seperti keluarga sendiri sehingga penulis dapat menyelesaikan KKN dengan baik dan memiliki kenangan yang berharga.

15. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 30 September 2020

Masyita Purwadi

(10)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN……... ii

PERNYATAAN ETIKA AKADEMIK…... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN…... iv

HALAMAN MOTTO... v

PRAKATA... vi

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xi

INTISARI... xii

ABSTRACT... xiii

BAB I... 1

PENGANTAR…... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C.Tujuan Penelitian... 6

D.Manfaat Penelitian... 6

E. Keaslian... 7

BAB II... 10

TINJAUAN PUSTAKA...10

A. Penerimaan Diri…………...10

B. Forgiveness (Pemaafan)……..…... 18

C. ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) ………... 21

D. Hubungan pemaafan dengan penerimaan diri pada ODHA………... 24

E. Hipotesis... 27

BAB III ... 29

METODE PENELITIAN... 29

A. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian... 29

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 29

C. Subjek Penelitian…... 30

(11)

x

D. Metode Pengumpulan Data... 30

E. Validitas dan Reliabilitas ... 33

F. Metode Analisis Data... 34

BAB IV ... 36

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 36

A. Orientasi Kancah dan Persiapan... 36

B. Laporan Pelaksanaan Penelitian... 42

C. Hasil Penelitian ... 42

D. Pembahasan... 51

BAB V... 56

PENUTUP... 56

A. Kesimpulan ... 56

B. Saran... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

LAMPIRAN... 60

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Skala Penerimaan Diri………... 27

Tabel 2 Blue Print Skala Pemaafan………... 28

Tabel 3 Kriteria Validitas………... 32

Tabel 4 Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri setelah uji coba……... 33

Tabel 5 Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri setelah gugur... 34

Tabel 6 Distribusi Aitem Skala Pemaafan setelah uji coba... 35

Tabel 7 Distribusi Aitem Skala Pemaafan setelah setelah gugur... 36

Tabel 8 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 37

Tabel 9 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur... 37

Tabel 10 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Diagnosa... 38

Tabel 11 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Penyebab Terinfeksi... 38

Tabel 12 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan status……... 39

Tabel 13 Rumus Penormaan untuk Kategorisasi………... 40

Tabel 14 Penormaan untuk Kategorisasi……….… 40

Tabel 15 Kategorisasi Data Penelitian………...……… 40

Tabel 16 Hasil Uji Normalitas………... 42

Tabel 17 Hasil Uji Linearitas………...………... 42

Tabel 18 Hasil Uji Hipotesis……….……... 43

Tabel 19 Korelasi Aspek-aspek pemaafan dan penerimaan diri ……….... 44

Tabel 20 Korelasi Jenis Kelamin Terhadap Pemaafan dan Penerimaan diri …... 44

(13)

xii

HUBUNGAN ANTARA PEMAAFAN DAN PENERIMAAN DIRI PADA ODHA

Masyita Purwadi

Muhammad Novvaliant Filsuf Tasaufi

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pemaafan dan penerimaan diri pada ODHA. Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif pemaafan dan penerimaan diri pada ODHA. Peneliti menggunakan skala penerimaan diri yang mengacu pada aspek penerimaan diri dari Sheerer (Cronbach, 1963) dan skala pemaafan Rahmandani tentang pengaruh terapi pemaafan dalam meningkatkan penerimaan diri penderita kanker payudara (2010) yang dimodifikasi dari The Heartland Forgiveness Scale/HFS (Thompson dkk, 2005). Responden dalam penelitian ini berjumlah 62 orang berjenis kelamin laki- laki dan perempuan berumur 19 tahun hingga 52 tahun. Hasil data dari penelitian ini menunjukkan koefisien korelasi r = 0,578 dengan signifikansi p = 0,000. Hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pemaafan dan penerimaan diri pada ODHA. Semakin tinggi nilai pemaafan, maka semakin tinggi pula nilai penerimaan diri dan begitu pula sebaliknya.

Kata Kunci: Pemaafan, Penerimaan Diri, ODHA

(14)

xiii

RELATIONSHIP BETWEEN FORGIVENESS AND SELF-ACCEPTANCE ON PLWHA

Masyita Purwadi

Muhammad Novvaliant Filsuf Tasaufi

ABSTRACT

This study aims to determine the relationship between forgiveness and self- acceptance of PLWHA. The hypothesis suggested in this study is positive relationship between forgiveness and self-acceptance in PLWHA. This study use self-acceptance scale that refers to the self-acceptance aspects from Sheerer (Cronbach, 1963) and the Rahmandani’s forgiveness scale about the effect of forgiveness therapy in increasing self-acceptance of breast cancer patients (2010) which is modified from The Heartland Forgiveness Scale / HFS (Thompson et al, 2005). Respondents in this study were 62 both men and women from the age of 19 to 52 years old. Data results showed correlation of r = 0.578 with a significance value of p = 0.000. It showed that there is positive relationship between forgiveness and self-acceptance of PLWHA. The higher the value of forgiveness, then the higher the self-acceptance of PLWHA and vice versa.

Keywords: Forgiveness, Self-acceptance, PLWHA

(15)

1

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan hak asasi semua manusia sehingga menjadi salah satu bagian yang sangat penting bagi setiap manusia. Salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian dunia termasuk Indonesia adalah HIV/AIDS. HIV/AIDS menjadi masalah kesehatan yang mendapat perhatian cukup banyak karena peningkatan individu yang terkena HIV/AIDS sangat drastis. Individu yang terkena HIV memiliki reaksi psikologis yang negatif seperti kecemasan, depresi, dan kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain (Burhan, Fourianalistyawati, & Zuhroni, 2014).

Laporan Epidemi HIV Global United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) tahun 2016 menyatakan hingga akhir tahun 2015 terdapat 36,7 juta penduduk di dunia mengidap penyakit HIV dan 5,7% atau sekitar 2,1 juta dari jumlah tersebut merupakan kasus baru selama tahun 2015. Di Asia dan Pasifik diketahui bahwa sebanyak 5.1 juta penduduk mengidap HIV hingga akhir tahun 2016. Wanita muda sangat berisiko, dengan 59% infeksi baru di kalangan anak muda berusia 15-24 tahun terjadi di antara kelompok ini. Data yang didapatkan dari UNAIDS atau program PBB yang berfokus pada HIV-AIDS menyatakan bahwa jumlah kematian akibat AIDS meningkat 60% sejak tahun 2010, dari 24.000 kematian menjadi 38.000 kematian. Namun jumlah terinfeksi HIV baru telah menurun, dari 63.000 menjadi 46.000 pada periode yang sama (unaids.org, 2018)

(16)

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan RI pada bulan Juni 2018 dilaporkan jumlah infeksi HIV di Indonesia sebanyak 301.959 jiwa dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta sebanyak 55.099 jiwa, diikuti Jawa Timur 43.399 jiwa, Jawa Barat 31.293 jiwa, Papua 30.699 jiwa, dan Jawa Tengah 24.757 jiwa (infopublik.id, 2018). Pada tahun 2019 terdapat 349.882 kasus HIV, dengan jumlah terbanyak berada pada rentang umur 25 sampai 49 tahun sebanyak 71,1% di ikuti rentang umur 20 sampai 24 tahun sebanyak 14,4%

dan kelompok umur lebih dari 50 tahun sebanyak 9% (infopublik.co, 2019).

Provinsi Papua dan Papua Barat data pengidap HIV/AIDS yang tercatat di Kementrian Kesehatan RI sampai tahun 2019 adalah 10.000 jiwa sedangkan yang belum tercatat sekitar 9.000 jiwa (jagatpapua.com, 2019). Data kasus HIV/AIDS di wilayah kota Manokwari yang merupakan ibu kota provinsi Papua Barat tercatat 1797 kasus HIV dan AIDS yang merupakan akumulasi dari tahun 2002 sampai tahun 2018 (arfaknews.com, 2018). Untuk tahun 2019 sendiri tercatat data pengidap HIV/AIDS di kota Manokwari sebanyak 228 orang, 146 orang diantaranya berjenis kelamin perempuan dan 82 lainnya berjenis kelamin laki-laki (Profil Kesehatan Kabupaten Manokwari, 2019).

HIV/AIDS menimbulkan beberapa dampak yang dapat mengganggu kehidupan ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Apabila dampak tersebut tidak dapat diatasi maka dapat menimbulkan masalah baru. Salah satunya adalah penerimaan diri. Idealnya ODHA dapat memiliki penerimaan diri yang baik sehingga dapat melihat dirinya secara positif dan dapat menerima kekurangan dan kelebihan yang

(17)

dimiliki. Namun, faktanya beberapa individu yang terkena HIV/AIDS belum memiliki penerimaan diri yang baik sehingga menutup diri dari dari keluarga dan masyarakat. Salah satu kasus yang penulis temukan tentang kurangnya penerimaan diri berasal dari pasangan suami istri yang tergabung di KDS. Pasangan ini telah terdiagnosis mengidap HIV/AIDS kurang lebih sekitar 5 tahun. Penyebab terifensinya karena perilaku berisiko yang dilakukan oleh sang suami. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang penulis lakukan dengan pendamping dari KDS ketika pasangan suami istri ini mengetahui bahwa mereka mengidap HIV/AIDS, pasangan suami istri tersebut mulai menutup diri dari lingkungan masyarakat.

Selain itu, mereka juga merasa tidak nyaman untuk bertemu dengan orang baru karena takut akan mendapatkan diskriminasi. Mereka juga mulai kehilangan pemasukan bulanan karena tidak memiliki pekerjaan tetap.

Kasus lain yang penulis temukan adalah seorang ibu rumah tangga berinisial D yang mengidap HIV/AIDS selama kurang lebih 2 tahun, yang diketahui tertular melalui suaminya. Ketika pertama kali mengetahui bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS, Ibu D mengurung diri di rumah dan tidak mau bertemu siapa-siapa. Ibu D tidak dapat menerima dirinya sendiri, karena merasa tidak pernah melakukan perilaku berisiko yang dapat menyebabkan dirinya terinfeksi HIV/AIDS. Ibu D kemudian mulai menyalahkan suami karena telah menyebabkan dirinya terinfeksi HIV. Selain itu, penulis juga mendapatkan informasi bahwa Ibu D diketahui tidak meminum obat ARV secara rutin sehingga menyebabkan penurunan kondisi kesehatan yang terus menerus. Hal ini terjadi karena ibu D merasa bahwa dirinya tidak terinfeksi virus HIV.

(18)

Menurut Putri dan Tobing (2016), individu yang baru mengetahui statusnya sebagai penderita HIV/AIDS cenderung tidak menerima dirinya sendiri yang diketahui mengidap HIV/AIDS. Hal ini terbukti dengan hasil wawancara yang dimiliki oleh Ibu D dan pasangan suami istri diatas, dimana ketika pertama kali mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV/AIDS ibu D menjadi menutup diri dari masyarakat dan tidak mau meminum obat ARV. Sedangkan untuk pasangan suami istri dapat dilihat dari perilaku mereka yang menutup diri dari lingkungan masyarakat dan merasa tidak nyaman untuk bertemu dengan orang baru.

Snyder dan Lopez (2007) menjelaskan bahwa penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri, dan merasa positif terhadap masa lalunya. Sedangkat menurut Shereer (Cronbach, 1963) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah bagaimana individu dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Penerimaan diri memegang peranan penting dalam menemukan dan mengarahkan seluruh perilaku, maka sedapat mungkin individu harus mempunyai penerimaan diri yang positif (Rakhmat, 2001). Selain itu, menurut Hurlock (1974) salah satu faktor penerimaan diri adalah ketiadaan stres emosional yang berat. Berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat bahwa respon narasumber yang marah serta menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan, dan diri sendiri. Maka dapat dilihat bahwa narasumber memiliki stress emosional yang berat. Salah satu upaya yang untuk mengatasi emosi negatif dan meningkatkan penerimaan diri, adalah dengan memamafkan sebab menyalahkan diri sendiri

(19)

ataupun orang lain atas penyakit tersebut justru akan menurunkan kualitas hidup dari ODHA. Pemaafan dapat membawa seseorang pada berbagai pengertian baru, penerimaan, kreativitas, dan pertumbuhan, sehingga rasa sakit akibat peristiwa yang dialami berkurang atau tidak lagi dirasakan (Enright, 2001). Thompson dkk, menemukan bahwa pemaafan dihubungkan secara signifikan dan positif dengan strategi koping penerimaan, penginterpretasian kembali secara positif, dan koping aktif, dan hal ini dihubungkan secara signifikan dan negative dengan strategi koping penyangkalan dan disengagement perilaku. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemaafan dapat menjadi metode koping yang memungkinkan orang mengalihkan perhatiannya dari pengalaman hidup yang merugikan dan kepada aspek dalam kehidupan mereka yang lebih memuaskan (Thompson et al., 2005). Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani dan Subandi (2010) bahwa setelah dilaksanakannya terapi pemaafan terdapat perubahan pada penerimaan diri penderita kanker payudara ke arah yang lebih positif. Selain itu Firmansyah, Bashori dan Hayati (2019) dengan judul Pengaruh Terapi Pemaafan Dengan Dzikir untuk Meningkatkan Penerimaan Diri pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan uraian singkat pustaka yang relevan di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut,

”Bagaimanakah pemaafan berhubungan dengan penerimaan diri pada ODHA? ”

(20)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas penelitian ini bertujuan ingin mengetahui bagaiamana pemaafan berhubungan dengan penerimaan diri pada ODHA.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan literatur dalam bidang ilmu psikologi terutama psikologi klinis terkait penerimaan diri dan forgiveness (pemaafan).

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai pemaafan dan penerimaan diri pernah diteliti di Indonesia. Akan tetapi, penelitian yang membahas hubungan pemaafan dan penerimaan terbilang masih jarang. Walaupun begitu, penelitian ini mengacu dari beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmadani dan Subandi (2010) yang berjudul Pengaruh Terapi Pemaafan dalam Meningkatkan Penerimaan Diri Penderita Kanker Payudara. Kemudian ada pula penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah, Bashori dan Hayati (2019) dengan judul Pengaruh Terapi Pemaafan Dengan Dzikir untuk Meningkatkan Penerimaan Diri pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh Zhafira (2019) dengan judul Pengaruh Pemaafan dan Dukungan Sosial terhadap Penerimaan Diri Wanita Tuna Susila di Balai Rehabilitasi Sosial Watunas Mulya Jaya. Adapun penjelasan lebih detail mengenai keaslian penelitian ini, yaitu:

(21)

1. Keaslian Topik

Penelitian ini memiliki persamaan dalam variabel pemaafan dan penerimaan diri dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani dan Subandi (2010). Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani dan Subandi (2010) melihat pengaruh terapi pemaafan dalam menigkatkan penerimaan diri pada penderita kanker payudara. Selain itu, penelitian dilakukan oleh Zhafira (2019) juga menggunakan variabel yang sama yakni penerimaan diri dan pemaafan. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Zhafira (2019) melihat Pengaruh Pemaafan dan Dukungan Sosial dalam meningkatkan penerimaan diri pada wanita tuna susila di balai rehabilitasi sosial Watunas Mulya Jaya. Terakhir penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah, Bashori dan Hayati (2019) yang menjadikan penerimaan diri sebagai variabel tergantung.

2. Keaslian Teori

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani dan Subandi (2010) menggunakan teori dari Johnson (1993) dan Enright (2002). Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah, Bashori dan Hayati (2019) menggunakan teori dari Enright (2002). Terakhir penelitian yang dilakukan oleh Zhafira (2019) yang menggunakan teori dari McCullough (2000).

Sedangkan, penelitian ini menggunakan teori dari Sheerer (Cronbach, 1963) dan Thompson, dkk (2005).

(22)

3. Keaslian Responden

Responden yang digunakan dalam penelitian Rahmadani dan Subandi (2010) adalah wanita penderita kanker payudara, menjalani rawat jalan untuk tritmen penyakit kanker yang diderita, mampu berativitas sehari-hari, tingkat pendidikan minimal SMA atau sederajat, serta memiliki skor pemaafan dan penerimaan diri yang rendah dan/atau sedang pada pengukuran sebelum intervensi. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah, Bashori dan Hayati (2019) Partisipan pada penelitian ini adalah Orang dengan HIV/AIDS yang tinggal Yogyakarta dengan kriteria terdiagnosa atau status HIV/AIDS Positif stadium 1-2, memiliki penerimaan diri dalam kategori rendah atau sedang, beragama Islam. Terakhir penelitian yang dilakukan oleh Zhafira (2019) menggunakan responden wanita tuna susila yang mengikuti program rehabilitasi di Balai Rehabilitasi Sosial Watunas Mulya Jaya. Sedangkan penelitian ini menggunakan responden ODHA yang tergabung di salah satu KDS di kota Manokwari.

4. Keaslian Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian Rahmadani dan Subandi (2010) adalah skala yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek dari Johnson (1993). Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah, Bashori dan Hayati (2019) menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari SelfAcceptance Scaleyang disusun oleh E.L. Philipsdan Expressed Acceptance of Self Scale yang disusun oleh E. M. Bergeryang telah dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesia oleh Praptomojati (2015). Sedangkan alat ukur yang digunakan

(23)

dalam penelitian ini adalah skala penerimaan diri dari Djalaluddin (2018) yang mengacu pada aspek dari Sheerer (Cronbach, 1963) dan skala pemaafan dari (Rahmandani, 2010) yang dimodifikasi dari The Heartland Forgiveness Scale/HFS.

(24)

10

A. Penerimaan Diri 1. Pengertian Penerimaan Diri

Shereer (Cronbach, 1963) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah bagaimana individu dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan individu terhadap kelebihan sekaligus menerima kelemahan tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan untuk terus- menerus mengembangkan diri. Ryff (1989) mendefisikan penerimaan sebagai sebuah keadaan dimana individu berpikiran positif terhadap diri sendiri, mengakui dan mengakui berbagai aspek dalam diri termasuk kualitas baik dan buruk yang ada didalam diri dan memandang positif terhadap kehidupan yang telah dijalani.

Schultz (1991) menyatakan orang yang menerima dirinya adalah orang yang dapat menerima kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan tanpa keluhan maupun kesusahan. Menurut Supratikna (1995) menerima diri adalah penghargaan yang tinggi bagi diri sendiri. Hal ini berarti individu dapat menerima kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Penghargaan yang tinggi bukan berarti memiliki sikap tinggi hati, melainkan dapat menghargai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki serta tidak mencela kekurangan yang dimiliki.

Coleridge (1997) menyatakan penerimaan diri bukan berarti bersikap pasrah, tetapi menerima identitas diri secara positif, tidak menurunkan pandangan tentang

(25)

diri dan harga diri dan bahkan dapat meningkatkannya. Menurut Sartain (Handayani, 2000) penerimaan diri adalah kesadaran individu untuk menerima dan memahami dirinya apa adanya. Penerimaan diri menurut Pannes (Sari, 2002) adalah kesadaran diri individu tentang karakteristik yang dimiliki baik yang dimiliki secara pribadi maupun kesediaan dalam menjalani kehidupan seseuai dengan karakteristik yang dimiliki.

Chaplin (2005) menjelaskan penerimaan diri sebagai sikap merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat, serta pengetahuan- pengetahuan tentang keterbatasan diri. Menurut Hurlock (2006) menjelaskan bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi kekurangan individu tersebut dapat berpikiran logis tentang baik dan buruknya sebuah masalah yang terjadi tanpa menimbulkan perasaan, permusuhan, perasaan rendah diri, malu dan rasa tidak aman. Menurut Florentina (2008) penerimaan diri adalah kemauan untuk menerima diri yang mencakup keadan fisik, psikologis sosial, dan pencapaian diri dalam kelebihan maupun kekurangan.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah kemampuan untuk menerima kekurangan maupun kelebihan yang ada didalam diri setiap individu. Selain itu, berdasarkan beberapa yang telah disampaikan, peneliti memilih teori dari Shereer (Cronbach, 1963) sebagai acuan dalam penelitian ini.

(26)

2. Aspek-aspek Penerimaan Diri

Aspek-aspek penerimaan diri menurut Sheerer (Cronbach, 1963) terdapat beberapa aspek penerimaan diri, yaitu :

a) Individu mempunyai keyakinan akan kemampuan diri dalam menjalani kehidupan. Contohnya adalah individu merasa percaya diri dalam menyelesaikan masalah dan dalam menjalani kehidupannya.

b) Adanya anggapan berharga pada diri individu sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain. Contohnya adalah individu tidak merasa rendah diri karena ia sederajat dengan orang lain yang juga memiliki kekurangan dan kelebihan.

c) Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. Contohnya adalah individu memiliki keberanian untuk menghadapi dan menyelesaikan segala masalah yang timbul akibat perilakunya.

d) Individu dapat menerima pujian atau kritikan secara objektif. Contohnya adalah ini individu mau menerima pujian, saran dan kritikan dari orang lain untuk pengembangan kepribadiannya.

e) Individu tidak menyalahkan dirinya sendiri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya. Contohnya adalah individu mengerti apa saja kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya serta tidak menyalahkan diri sendiri terhadap kekurangan yang dimilikinya.

f) Individu tidak menganggap dirinya aneh dan tidak merasa ditolak orang lain.

Contohnya adalah individu tidak merasa sebagai seseorang yang menyimpang, sehingga individu tidak akan merasa ditolak oleh orang lain.

(27)

g) Tidak merasa malu akan keadaan dirinya. Contohnya adalah individu percaya diri dengan kelebihannya dan tidak malu terhadap kekurangan yang dimilikinya

Jersild (dalam Melinda, 2013) juga menjeleskan tentang aspek penerimaan, sebagai berikut:

a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan

Individu yang memiliki penerimaan diri berfikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain.

Individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan dapat berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.

b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain

Individu memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak mempunyai penerimaan diri.

c. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri

Seorang individu yang biasanya merasakan infioritas adalah individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang relistik atas dirinya.

d. Respon atas penolakan dan kritikan

Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun demikian individu mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan atau bahkan mengambil hikmah dari kritikan tersebut.

(28)

e. Keseimbangan antara real self dengan ideal self

Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik dalam batas-batas memungkinkan individu ini mungkin memiliki ambisi yang besar, namun tidak mungkin mencapainya walau dalam waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Oleh karna itu dalam mencapai tujuannya individu mempersipkan konteks yang mungkin dicapai untuk memastikan dirinya tidak akan kecewa saat nanti.

f. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain

Hal ini berarti apabila seseorang individu menyayangi dirinya maka akan lebih memungkinkan untuk menyayangi orang lain.

g. Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri

Menerima diri dan menuruti diri merupakan hal yang berbeda. Apabila seseorang individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu memanjakan dirinya. Individu yang menerima dirinya akan menerima dan bahkan menuntut pembagian yang layak akan sesuatu yang baik dalam hidup dan tidak mengambil kesempatan yang tidak pantas untuk memiliki posisi yang baik atau menikmati sesuatu yang bagus. Semakin individu menerima dirinya dan diterima orang lain, semakin individu berbaik hati.

h. Penerimaan diri, spontanitas dan menikmati hidup

Individu dengan penerimaan diri mempunyai lebih banyak leluasa untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa

(29)

menikmati sesuatu yang dilakukannya. Akan tetapi, juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.

i. Aspek moral penerimaan diri

Individu dengan penerimaan diri bukanlah individu yang berbudi baik dan bukan pula individu yang tidak mengenal moral, tetapi memiliki fleksibilitas dalam pengaturan hidupnya. Individu memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa nantinya, dan tidak menyukai kepura- puraan.

j. Sikap terhadap penerimaan diri

Menerima diri merupakan hal yang penting dalam kehidupan seseorang. Individu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, mungkin dalam keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain.

Berdasarkan beberapa aspek yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini mengacu pada aspek-aspek yang dikemukan oleh Sheerer (Cronbach, 1963) yaitu Individu mempunyai keyakinan akan kemampuan diri dalam menjalani kehidupan, Adanya anggapan berharga pada diri individu sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain, Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya, Individu dapat menerima pujian atau kritikan secara objektif, Individu tidak menyalahkan dirinya sendiri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya, Individu tidak menganggap dirinya aneh dan tidak merasa ditolak orang lain, Tidak merasa malu akan keadaan dirinya.

(30)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan diri

Menurut Hurlock (1974) penerimaan diri dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya adalah :

a) Self-understanding (Pemahaman tentang diri sendiri).

Pemahaman diri adalah kemampuan untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuan didalam diri. Ditandai dengan keaslian, bukan kepura-puraan tapi kenyataan, bukan ilusi tapi kebenaran, bukan dusta tapi keterusterangan, dan bukan tipu daya. Individu yang mampu memahami dirinya sendiri tidak hanya bergantung pada kapasitas intelektualnya saja melainkan juga bergantung pada kesempatan untuk self- discovery. Jadi, semakin individu memahami dirinya, maka semakin ia dapat menerima dirinya.

b) Realistic Expectations (Harapan yang Realistis).

Harapan yang realistis timbul ketika individu mampu menentukan harapan yang sesuai dengan pemahaman dan kemampuannya, tanpa diarahkan oleh orang lain untuk mempengaruhinya. Hal ini terkait dengan selfsatisfication (kepuasan diri) yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri.

c) Absence of Enviromental Obstacles (Ketiadaan Rintangan dari Lingkungan).

Ketidakmampuan individu dalam mencapai tujuannya yang realistis bisa datang dari lingkungan dimana seseorang tidak memiliki kontrol, seperti diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, atau agama. Ketika ini terjadi, individu akan sulit untuk menerima dirinya. Namun, apabila hambatan ini dihilangkang dengan adanya dorongan dari orang tua, guru, teman, atau pimpinan kerja, maka individu tersebut dapat mencapai kesuksesannya meraih harapan realistisnya.

(31)

d) Favorable Social Attitudes (Sikap Sosial yang Baik)

Individu yang memiliki pengalaman sikap sosial yang menyenangkan diharapkan dapat menerima dirinya. Terdapat tiga kondisi utama yang mengarahkan pada evaluasi sosial yang menyenangkan, yaitu: pertama, ketiadaan prasangka terhadap seseorang atau anggota keluarganya; kedua, memiliki keterampilan sosial seperti yang dimiliki anggota kelompok lain; ketiga, kesediaan untuk menerima adat istiadat kelompok dalam berpakaian, berpenampilan, berbicara, dan berperilaku.

e) Absence of Severe Emotional Stress (Ketiadaan Stres Emosional yang Berat) Stres emosional dapat menyebabkan gangguan pada keseimbangan fisik dan psikologis. Hal ini dapat menyebabkan individu berkerja kurang efisien dan memengaruhi dalam bereaksi pada orang lain. Dengan tidak adanya stres emosional yang berat, akan membantu individu dalam bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia.

f) Preponderance of Successes (Kesuksesan Besar)

Keberhasilan atau kesuksesan yang dialami oleh individu akan mengarahkannya pada self-acceptance. Sebaliknya, individu yang mengalami kegagalan akan mengarahkannya pada self-rejection.

g) Identification with Well-Adjusted People (Identifikasi Individu dengan Penyesuaian Diri yang Baik)

Individu yang mengidentifikasikan dirinya bersama orang-orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, cenderung dapat mengembangkan sikap-sikap

(32)

positif terhadap dirinya dan perilakunya akan mengarah pada penilaian diri dan penerimaan diri yang baik.

h) Self-Perspective (Perspektif Diri)

Individu akan dapat melihat dirinya sebagaimana orang lain melihatnya. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman dan belajar. Sehingga, usia dan tingkat pendidikan berperan penting dalam mengembangkan perspektif dirinya. Perspektif diri yang luas akan membantu individu memiliki pemahaman diri yang lebih baik.

i) Good Childhood Training (Pelatihan Masa Kecil yang Baik)

Penerimaan diri individu ditentukan dari penyesuaian hidup yang dilakukan di masa kecil. Meskipun penyesuaian diri seseorang dapat berubah secara radikal seiring berlangsungnya kehidupan.

j) Stable Self-Concept (Konsep diri yang stabil)

Individu dengan konsep diri yang stabil ditandai dengan ketika ia melihat dirinya dengan cara yang sama hampir di setiap waktu. Bila individu tidak memiliki konsep diri yang stabil, ia akan sulit menunjukkan pada orang lain siapa ia yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan ia melihat dirinya baik di waktu tertentu dan tidak baik di waktu lainnya, gagal dalam menggambarkan dirinya secara jelas, ragu akan dirinya, dan cenderung kepada penolakan diri

B. Forgiveness (Pemaafan) 1. Pengertian Forgiveness (Pemaafan)

McCullough dkk. (2003) menjelaskan bahwa pemaafan adalah motivasi untuk mengubah seseorang agar tidak membalas dendam dan mengurangi dorongan

(33)

untuk memelihara kebencian kepada pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Menurut Enright et al (2001) Forgiveness adalah kesediaan untuk melepaskan hak yang dimiliki individu untuk membenci, memberikan penilaian secara negatif, dan perilaku yang tidak berbeda terhadap orang lain yang menyakiti kita secara tidak adil, serta membantu perkembangan kualitas-kualitas rasa belas kasihan, kedermawanan, dan bahkan cinta bagi orang tersebut. Thompson, dkk (2005) mendefinisikan pemaafan sebagai perbaikan secara interpersonal dan intrapersonal (dalam diri) agar seseorang dapat memaafkan secara total. Selain itu pemaafan pada seseorang merupakan proses respon pada kesalahan yang dilakukan, agar respon tersebut dapat berubah dari negatif ke netral kemudian positif.

Strelan dan Covic (2006) mendefinisikan pemaafan sebagai sebuah proses menetralkan sumber stres yang dihasilkan dari suatu hubungan interpersonal yang menyakitkan. Menurut Wardhati dan Faturochman (2006) pemaafan adalah upaya membuang keinginan membalas dendam dan sakit hati yang bersifat pribadi terhadap pihak yang bersalah atau orang yang menyakiti dan mempunyai keinginan untuk membina hubungan kembali. Snyder dan Lopez (2007) pemaafan sebagai upaya untuk menempatkan peristiwa pelanggaran yang dirasakan sedemikian rupa hingga respon seseorang terhadap pelaku, peristiwa, dan akibat dari peristiwa yang dialami diubah dari negatif menjadi netral atau positif. Menurut Nashori dkk, (2011) pemaafan adalah kesediaan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak menyenangkan yang bersumber dari hubungan interpersonal dengan orang lain dan

(34)

menumbuhkan pikiran, perasaan, dan hubungan interpersonal yang positif dengan orang lain yang melakukan pelanggaran.

2. Aspek-aspek Forgiveness (Pemaafan)

Menurut Thompson, dkk (2005), aspek-aspek pemaafan dibagi menjadi tiga yaitu:

a) Pemaafan pada Diri Sendiri

Pemaafan pada diri sendiri adalah keadaan dimana individu dapat melepaskan dirinya (menerima) karena kesalahan yang telah dilakukan. Individu dikatakan memafkan diri sendiri ketika mudah mengakui kesalahan yang dilakukan, maupun menghentikan segera pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, ucapan-ucapan, atau tindakan-tindakan menyalahkan diri, mampu memahami dan menerima kesalahan yang pernah dilakukan, belajar menjadi lebih baik setelah mengalami pengalaman buruk, serta dapat merasa nyaman kembali seiring berjalannya waktu.

b) Pemaafan pada Orang Lain

Pemaafan yang tidak hanya sekedar ucapan maaf antara kedua pihak. Namun lebih pada pengambilan keputusan terkait apa yang dilakukan selanjutnya.

Pemaafan terhadap orang lain dipandang sebagai suatu proses dimana ada keterlibatan berkelanjutan melalui reaksi interpersonal, serta mengembangkan dan memelihara hubungan sosial dalam konteks kesalahan interpersonal. Selain itu dikatakan bahwa orang lebih cenderung untuk memaafkan orang lain, jika hubungannya sudah dekat, berkomitmen, dan memiliki kepuasan tersendiri.

(35)

c) Pemaafan Pada Situasi

Pemaafan pada situasi dianggap unik karena situasi diasumsikan sebagai tanggapan negatif bagi orang yang mempunyai masalah yang serius pada situasi tertentu. Seperti situasi yang tidak dapat dikendalikan oleh dirinya sendiri seperti penyakit, nasib, bencana alam, perasaan marah, sedih dan pikiran mengenai situasi yang telah menghancurkan hidupnya sendiri dan menganggap hidupnya tidak layak lagi. Selain itu, individu mampu melepaskan pikiran-pikiran negatif atas peristiwa- peristiwa buruk dan mampu berdamai serta dapat melihat sisi positif dan mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi. Pemaafan pada situasi dapat dilakukan dengan mengubah respon atau sudut pandang dari negatif ke netral atau potitif.

C. ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) 1. Pengertian ODHA

Menurut Nurbani (2013) ODHA adalah singkatan dari Orang Dengan HIV/AIDS, sebagai pengganti istilah penderita yang mengarah pada pengertian bahwa orang tersebut sudah secara positif didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS. Di Indonesia, istilah ODHA telah disepakati sebagai istilah untuk mengartikan orang yang terinfeksi positif mengidap HIV/AIDS.

2. Pengertian HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan

(36)

tubuh manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum tentu membutuhkan pengobatan. Meskipun demikian, orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks berisiko dan berbagi penggunaan alat suntik dengan orang lain. Sedangkan Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena kekebalan tubuh yang menurun yang disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran penernaan, otak dan kanker (KPAD Kab. Jember, 2015).

3. Cara Penularan

Menurut (Nursalam and Kurniawati, 2007), Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu:

a) Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS b) Ibu pada bayinya.

c) Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS.

d) Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril.

e) Alat-alat untuk menoreh kulit seperti alat tajam dan runcing yang meliputipisau, silet, maupun jarum. Menggunakan jarum suntik secara bergantian, jarum suntik yang dipakai di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User (IDU)) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU

(37)

secara bersamasama juga menggunakan tempat pencampur, pengaduk, dan gelas pengoplosan obat, sehingga berpotensi tinggi menularkan HIV.

HIV tidak menular melalui peralatan makan, handuk, pakaian, toilet, sapu tangan yang dipakai secara bersama-sama, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, berpelukan dipipi, gigitan nyamuk, maupun berhubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS.

4. Masalah yang dialami ODHA

Menurut Nurbani (2013) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa permasalahan yang dialami oleh ODHA meliputi permasalahan psikologis, permasalahan sosial, maupun permasalahan biologis.

a. Permasalahan Psikologis

Permasalahan psikologis yang timbul seperti depresi, ansietas, gangguan kognitif, gangguan psikosis, hingga gangguan kepribadian, merasa dirinya tidak berguna, takut, sedih, tidak ada harapan, dan merasa putus asa.

b. Permasalahan Sosial

Permasalahan sosial yang sering timbul pada ODHA adalah seperti bentuk diskriminasi, stigmatisasi, perceraian, pemberhentian dari pekerjaan, beban finansial yang harus ditanggung oleh ODHA serta dijauhi oleh kerabat dekat.

c. Permasalahan Biologis

Permasalah Biologis yang dialami ODHA adalah berupa infeksi oprtunistik gejala simptomatik yang berhubungan dengan AIDS, efek samping dari obat ARV, serta sindrom pemulihan kekebalan tubuh.

(38)

D. Hubungan pemaafan dengan penerimaan diri pada ODHA

Menurut WHO (Nasrodin, 2007) ketika individu pertama kali mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV, sebagian besar akan mengalami perubahan dalam karakter psikososialnya seperti depresi, stres, merasa kurang mendapatkan dukungan sosial, dan perubahan perilaku. Menurut Sodroski dkk (Ogen, 2007) stres dapat menyebabkan peningkatan proses replikasi virus HIV. Joerban (Gusti, Farlina, & Alfitri, 2015) mengungkapkan, hampir 99% penderita HIV/AIDS mengalami stres berat atau depresi berat pada saat mengetahui dirinya mengidap penyakit AIDS. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, individu harus mampu memprediksi tingkat stresnya dengan melakukan penyesuaian diri, sehingga virus-virus tersebut tidak mereplikasi terus menerus.

Perubahan kondisi fisik dan psikis penderita HIV/AIDS memberikan dampak negatif terhadap perkembangan psikologisnya seperti penolakan (denial) terhadap diagnosis, kemarahan (anger), penawaran (bargaining), dan depresi yang pada akhirnya pasien harus sampai pada titik dimana mereka harus menerima kenyataan (acceptance) (Burhan et al., 2014; Sarafino, 1998). Hasan (2008) mengungkapkan bahwa para ODHA memiliki tiga tantangan utama, yaitu menghadapi reaksi terhadap penyakit yang mengandung stigma, kemungkinan waktu kehidupan yang terbatas serta mengembangkan strategi untuk mempertahankan kondisi fisik dan emosi (Putri & Tobing, 2016). Kilici mengatakan dengan mengenal dan menerima diri sendiri, baik kelebihan maupun kekurangan yang ada di dalam dirinya, seorang individu dapat mengembangkan

(39)

dirinya (Ceyhan & Ceyhan, 2011). Mengenal diri merupakan salah satu cara yang dapat membantu individu memperoleh self knowledge dan self insight yang sangat berguna bagi proses penyesuaian diri yang baik dan merupakan salah satu kriteria mental yang sehat (Handayani, Ratnawati, & Helmi, 1998). Pengetahuan tentang diri ini akan mengarah pada self objectivity dan penerimaan diri. Menurut Chaplin (2000) penerimaan diri merupakan sikap merasa puas dengan diri sendiri, kualitas- kualitas dan bakat-bakat sendiri, serta pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri. Snyder dan Lopez (2007) menjelaskan bahwa penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri, dan merasa positif terhadap masa lalunya. Penerimaan diri memegang peranan penting dalam menemukan dan mengarahkan seluruh perilaku, sehingga sedapat mungkin individu harus mempunyai penerimaan diri yang positif (Rakhmat, 2001).

Terkait Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pemaafan merupakan salah satu upaya yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi emosi negatif dan meningkatkan penerimaan diri, sebab menyalahkan diri sendiri ataupun orang lain atas penyakit tersebut justru dapat menurunkan kualitas si penderita. Pemaafan dapat membawa seseorang pada berbagai pengertian baru, penerimaan, kreativitas, dan pertumbuhan, sehingga rasa sakit akibat peristiwa yang dialami berkurang atau tidak lagi dirasakan (Enright, 2001). Thompson, dkk (2005) mendefinisikan pemaafan sebagai perbaikan secara interpersonal dan intrapersonal (dalam diri) agar seseorang dapat memaafkan secara total. Selain itu pemaafan pada seseorang merupakan proses respon pada kesalahan yang dilakukan, agar respon tersebut dapat berubah dari negatif ke netral kemudian positif. Terdapat beberapa aspek

(40)

pemaafan yang dapat mempengaruhi penerimaan diri pada ODHA, yang pertama adalah pemaafan pada diri sendiri yang diartikan sebagai keadaan dimana individu dapat menerima kesalahan dan menghentikan pemikiran negatif serta tindakan yang menyalahkan diri sendiri. Kaitannya dengan penerimaan diri yaitu dengan memaafkan diri sendiri membuat ODHA menilai dirinya sendiri dengan pandangan yang positif dan tidak menyalahkan diri sendiri atas keterbatasan yang dimiliki, melainkan dapat menerima kekurangan dan berfokus kepada kelebihan yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani dan Subandi (2010) bahwa terdapat perubahan cara berpikir mengenai dirinya yang menjadi lebih optimis dan percaya diri dalam banyak hal, selain itu perubahan emosi juga dirasakan menjadi lebih positif karena tidak menyalahkan diri sendiri, menerima kondisi fisik yang lemah dan dapat mengambil hikmah dari berbagai hal yang telah terjadi. Selain itu menurut Romerro dkk, (2006) penderita penyakit serius perlu diikuti dengan sikap memaafkan khususnya terhadap diri sendiri dan kekurangan yang dimiliki.

Aspek kedua adalah Pemaafan pada orang lain, yaitu Pemaafan yang tidak hanya sekedar ucapan maaf antara kedua pihak. Namun lebih pada pengambilan keputusan terkait apa yang dilakukan selanjutnya. Kaitannya dengan penerimaan diri yaitu dengan memaafkan orang lain bagi ODHA akan membuat hati dan pikiran menjadi lebih tenang, yang berefek pada meningkatnya imunitas, sehingga dapat menekan perkembangan virus yang ada di dalam tubuh. Imunitas yang baik dapat mencegah terjadinya infeksi opurtunistik pada ODHA, sehingga kondisi tubuh akan menjadi lebih sehat. Melihat kondisi tubuh yang lebih sehat dapat meningkatkan

(41)

tingkat penerimaan diri pada ODHA. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Worthington dan Scherer (2004) bahwa pemaafan dapat mempengaruhi ketahanan dan kesehatan fisik dengan mengurangi tingkat permusuhan, meningkatkan system kekebalan pada sel dan neuro-endokrin, membebaskan antibody dan mempengaruhi system syaraf pusat.

Aspek ketiga adalah Pemaafan pada situasi, diasumsikan sebagai tanggapan negatif bagi orang yang mempunyai masalah yang serius pada situasi tertentu.

Seperti situasi yang tidak dapat dikendalikan oleh dirinya sendiri seperti penyakit, nasib, bencana alam, perasaan marah, sedih dan pikiran mengenai situasi yang telah menghancurkan hidupnya sendiri dan menganggap hidupnya tidak layak lagi.

Kaitannya dengan penerimaan diri yaitu dengan memaafkan situasi yang terjadi saat ini atau penyakit yang diderita, ODHA mampu melepaskan pikiran negatif yang diakibatkan oleh peristiwa maupun pengalaman buruk yang dialami serta mampu berdamai serta dapat melihat sisi positif dan mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi. Hal ini sejalan dnegan penelitian yang dilakukan oleh Walton (2005) mengemukakan bahwa pemaafan merupakan salah satu cara seseorang untuk dapat menerima dan membebaskan emosi negatif seperti depresi, rasa marah, bersalah, malu akibat ketidakadilan, dan perbaikan hubungan interpersonal dengan berbagai situasi masalah.

E. Hipotesis

Ada hubungan positif antara pemaafan dan penerimaan diri pada ODHA.

Semakin tinggi nilai pemaafan, maka semakin tinggi pula penerimaan diri pada

(42)

ODHA. Begitupula sebaliknya, jika semakin rendah nilai pemaafan, maka semakin rendah pula penerimaan diri pada ODHA.

(43)

29

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Variabel Tergantung : Penerimaan Diri 2. Variabel Bebas : Forgiveness (Pemaafan)

B. Definisi Operasional 1. Penerimaan Diri

Penerimaan diri individu merupakan skor responden yang diperoleh dari hasil mengisi skala penerimaan diri. Skala penerimaan diri yang digunakan pada penelitian ini adalah skala yang mengacu pada aspek penerimaan diri dari Sheerer (Cronbach, 1963). Skala ini terdiri dari 24 aitem, yang meliputi 7 aspek yakni memiliki keyakinan dalam menjalani kehidupan, adanya anggapan berharga pada diri individu yang sederajat dengan orang lain, berani memikul tanggung jawab, dapat menerimana pujian atau kritikan secara objektif, tidak menyalahkan diri sendiri atas keterbatasan yang dimilikinya maupun mengingkari kelebihannya, tidak menganggap dirinya aneh dan tidak merasa ditolak orang lain serta tidak merasa malu akan keadaan dirinya. Tujuan dari skala ini untuk melihat tingkat penerimaan diri yang dimiliki oleh responden penelitian. Semakin tinggi skor yang dimiliki responden penelitian maka semakin tinggi penerimaan diri yang dimiliki,

(44)

begitu pula sebaliknya semakin rendah skor responden maka semakin rendah penerimaan diri yang dimiliki oleh responden penelitian.

2. Forgiveness (Pemaafan)

Forgiveness (Pemaafan) merupakan skor responden yang diperoleh dari skala pemaafan Rahmandani tentang pengaruh terapi pemaafan dalam meningkatkan penerimaan diri penderita kanker payudara (2010) yang dimodifikasi dari The Heartland Forgiveness Scale/HFS (Thompson dkk, 2005). Skala Pemaafan ini terdiri dari 15 aitem, yang meliputi beberapa aspek forgiveness (pemaafan) yakni, pemaafan pada diri sendiri, pemaafan pada orang lain, dan pemaafan pada situasi. Tujuan dari alat ukur ini untuk mengetahui tingkat pemaafan yang dimiliki oleh subjek penelitian. Semakin tinggi skor yang dimiliki subjek maka semakin tinggi pemaafan yang dimiliki subjek dan begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor subjek maka semakin rendah pemaafan yang dimiliki oleh subjek penelitian.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah ODHA (orang dengan HIV/AIDS) yang tergabung dalam sebuah KDS di Manokwari, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan total 62 orang.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini dengan melakukan wawancara dan pengisian kuisioner oleh responden. Teknik pengumpulan data

(45)

menggunakan skala Likert. Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala penerimaan diri dan skala pemaafan yang dimodifikasi dari The Heartland Forgiveness Scale/ HFS. Berikut skala yang digunakan:

1. Skala Penerimaan Diri

Skala penerimaan yang digunakan diadaptasi dari skala milik Djalaluddin (2018) yang diadaptasi dari Masyitah (2012). Skala penerimaan diri terdiri dari 24 aitem dengan koefisien reliabilitas (α = 0,912), digunakan untuk mengungkapkan penerimaan diri yang dimiliki responden terkait keyakinan akan kemampuan menjalani kehidupan (3 aitem), adanya anggapan berharga pada diri individu sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain (3 aitem), berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya (4 aitem), individu dapat menerima pujian atau kritikan secara objektif (3 aitem), individu tidak menyalahkan dirinya sendiri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya (3 aitem), individu tidak merasa dirinya aneh dan tidak merasa ditolak orang lain (3 aitem), tidak merasa malu akan dirinya (5 aitem). Aitem dari skala ini terdiri dari 11 aitem favorable dan 11 aitem unfavorable. Jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan akan dibuat berdasarkan frekuensi yang dirasakan responden. Jawaban favorable akan bergerak dari angka nol (sangat tidak yakin), angka satu (tidak yakin), angka dua (kadang-kadang), angka tiga (yakin), angka empat (sangat yakin). Sedangkan untuk jawaban unfavorable akan bergerak dari angka empat (sangat tidak yakin), angka tiga (tidak yakin), angka dua (kadang-kadang), angka satu (yakin), angka nol (sangat yakin). Selanjutnya penilaian dalam skala ini berdasarkan rating scale yang terdiri dari lima jenjang penilaian dengan besar 1

(46)

sampai dengan 5 untuk keseluruhan aitem. Berikut ini merupakan blue print skala penerimaan diri:

Tabel 1.

Blue Print Skala Penerimaan Diri

2. Skala Forgiveness (Pemaafan)

Skala Pemaafan yang digunakan adalah skala yang disusun oleh (Rahmandani, 2010) yang dimodifikasi dari The Heartland Forgiveness Scale/HFS (Thompson dkk, 2005). Skala ini terdiri dari 15 aitem dengan koefisien reliabilitas (α = 0.855) digunakan untuk mengungkapkan pemaafan yang dimiliki responden penelitian terkait diri sendiri (5 aitem), orang lain (5 aitem), situasi (5 aitem). Aitem

Aspek Butir Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable Keyakinan akan kemampuan

menjalani kehidupan.

24 2, 15 3

Adanya anggapan berharga pada diri individu sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain

1, 9, 19 - 3

Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.

16, 21, 23

14 4

Individu dapat menerima pujian atau kritikan secara objektif.

6, 13 7 3

Individu tidak menyalahkan dirinya sendiri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya.

18 17, 20 3

Individu tidak menganggap dirinya aneh dan tidak merasa ditolak orang lain

12 3, 22 3

Tidak merasa malu akan keadaan dirinya

8, 10 4, 5, 11 5

Total 13 11 24

(47)

dari skala ini terdiri dari 8 aitem favorable dan 7 aitem unfavorable. Jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan akan dibuat berdasarkan frekuensi yang dirasakan responden. Jawaban favorable akan bergerak dari angka satu (sangat jarang terjadi), angka dua (jarang), angka tiga (kadang-kadang), angka empat (sering), angka lima (sangat sering terjadi). Sedangkan untuk jawaban unfavorable akan bergerak dari angka lima (sangat jarang terjadi), angka empat (jarang), angka tiga (kadang-kadang), angka dua (sering), angka satu (sangat sering terjadi).

Selanjutnya penilaian dalam skala ini berdasarkan rating scale yang terdiri dari lima jenjang penilaian dengan besar 1 sampai dengan 5 untuk keseluruhan aitem. Berikut ini merupakan blue print skala pemaafan:

Tabel 2.

Blue Print Skala Pemaafan

Aspek Butir Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable

Diri sendiri 4, 10, 13 1, 7 5

Orang lain 2, 8, 14 5, 11 5

Situasi 6, 12 3, 9, 15 5

Total 8 7 15

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas alat ukur

Validitas alat ukur mengacu kepada sejauh mana interpretasi skor alat ukur didukung oleh bukti-bukti empiris yang relevan dengan apa yang seharusnya diukur. Untuk mengevaluasi alat ukur dalam penelitian ini, peneliti mengacu pada pendapat Cook, Brisme dan Sizer (2006) bahwa untuk mengevaluasi alat ukur, (a) alat ukur harus reliabel, (b) isi dan konstrak dari alat ukur harus menggambarkan

(48)

apa yang harus diukur. Pengujian validitas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah content validity. Content validity digunakan untuk memvalidasi skala penerimaan diri dan skala pemaafan.

Berikut ini adalah langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam melakukan validitas alat ukur penelitian:

a. Meminta professional judgment yaitu dosen pembimbing skripsi untuk mengidentifikasi aitem-aitem yang ada di alat ukur berisi aitem-aitem yang benar- benar berhubungan dengan tujuan pengukuran dan sudah mewakili semua aspek teoritis yang mendasari konstrak alat ukur.

b. Melakukan uji coba terhadap alat ukur.

2. Reliabilitas alat ukur

Reliabilitas alat ukur mengacu pada konsistensi atau keajegan dari hasil pengukuran. Tinggi rendahnya reliabilitas alat ukur ditunjukan oleh koefisien cronbach α, yang bergerak dari 0 sampai 1. Koefisien reliabilitas cronbach α akan dihitung dengan menggunakan program SPSS 25.0 for windows.

F. Metode Analisis Data

Setelah data dari kuisioner terkumpul, peneliti kemudian melakukan analisis data penelitian menggunakan statistik deskriptif dan statistic inferensial. Statistik deskriptif digunakan untuk memperoleh informasi sederhana mengenai variable dan responden penelitian. Sedangkan statistik inferensial digunakan untuk menunjukan hasil dari hipotesis yang telah di ajukan. Analisis data statistik dilakukan dengan menggunakan program komputer Statistical Product and Service

(49)

Solution (SPSS) version 25.0 for windows. Uji statistik yang dilakukan dalam penelitian ini berupa uji normalitas, uji linearitas, dan uji hipotesis. Uji hipotesis dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu, Product Moment Pearson dan Spearman- rho. Product Moment Pearson digunakan untuk menguji hipotesis, apabila hasil uji normalitas dan linearitasnya signifikan atau telah memenuhi syarat parametik.

Sedangkan Spearman-rho digunakan untuk menguji hipotesis apabila uji normalitas dan uji linearitasnya tidak signifikan, dengan kata lain apabila syarat parametik tidak terpenuhi.

(50)

36

A. Orientasi Kancah dan Persiapan 1. Orientasi Kancah

Penelitian tentang pemaafan dengan penerimaan diri pada ODHA dilakukan di sebuah Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) di kota Manokwari. Jumlah anggota yang tergabung didalamnya berjumlah total 73 orang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki, dengan responden yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 62 orang. Anggota yang tergabung didalam KDS ini memiliki latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari pasangan suami istri, pekerja seks, pekerja kantoran, mahasiswa, maupun LGBT. Selain itu, peneliti juga menemukan beberapa kasus yang diketahui menyebabkan ODHA di KDS ini terinfeksi diantaranya adalah terjadi kasus pemerkosaan yang dilakukan kepada salah satu responden ketika berumur 15 tahun, yang kemudian baru diketahui beberapa tahun kemudian bahwa responden mengidap HIV/AIDS ketika dilakukan pemeriksaan di puskesmas.

Selain itu, kasus lain yang cukup banyak terjadi adalah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV melalui suaminya, kasus ini cukup banyak didapati di KDS.

Peneliti memilih responden karena mereka telah tergabung dalam satu komunitas, sehingga memudahkan dalam melakukan wawancara dan pengisian kuisioner. Selain itu, di KDS pada khususnya dan Kabupaten Manokwari pada umumnya belum pernah dilakukan penelitian mengenai hal tersebut. Sedangkan, jumlah kasus HIV/AIDS di daerah ini cukup tinggi.

(51)

2. Persiapan Penelitian

Sebelum melakukan pengambilan data, peneliti melakukan persiapan administrasi dan alat ukur.

a) Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian diawali dengan mengajukan surat permohonan ijin penelitian kepada Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia yang telah disetujui oleh dosen pembimbing kepada Kantor Badan KESBANGPOL (Kesatuan Bangsa dan Politik) Kabupaten Manokwari sebagai syarat untuk melakukan pengambilan data penelitian di Manokwari., dengan nomor 38/Dek/70/Div.Um.RT/1/2020 tertanggal 23 januari 2020. Kemudian, menindak lanjuti surat ijin yang peneliti berikan, KESBANGPOL mengeluarkan surat ijin untuk melakukan penelitian di Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) di kota Manokwari.

b) Persiapan alat ukur

Tingkat reliabilitas alat ukur dapat diketahui dengan mengikuti pedoman klasifikasi yang dinyatakan oleh Koestoro, Budi, dan Basrowi (2006) sebagai berikut:

Tabel 3

Kriteria Validitas

0.8 – 1.000 Sangat Tinggi 0.6 – 0.799 Tinggi

0.4 – 0.599 Cukup Tinggi 0.2 – 0.399 Rendah

< 0.200 Sangat Rendah

(52)

Pada tabel diatas diketahui bahwa kriteria validitas terbagi menjadi lima kategori yaitu, sangat tinggi (0.8-1.000), tinggi (0.6-0.799), cukup tinggi (0.4- 0.599), rendah (0.2-0.399) dan sangat rendah (<0.200).

Pada penelitian ini, peneliti mengunakan tryout terpakai. Metode ini merupakan metode yang tidak menggunakan uji coba skala. Metode ini memungkinkan kuisioner hanya disebar satu kali. Alasan peneliti menggunakan metode ini karena keterbatasan responden yang bergabung dalam penelitian ini.

Alhasil, data pada tryout terpakai akan sama dengan data primer. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala penerimaan diri dan skala forgiveness (pemaafan). Skala penerimaan diri yang digunakan merupakan adaptasi dari skala milik Amaliyah (2018) berdasarkan aspek-aspek dari aspek penerimaan diri dari Sheerer (Cronbach, 1963). Skala ini terdiri dari 11 aitem favorable dan 11 aitem unfavorable. Sementara itu, skala forgiveness (pemaafan) yang digunakan adalah skala yang disusun oleh (Rahmandani, 2010) yang dimodifikasi dari The Heartland Forgiveness Scale/HFS berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Thompson dkk (2005). Skala ini terdiri 8 aitem favorable dan 7 aitem unfavorable.

c) Hasil uji coba alat ukur

Setelah memperoleh data dari tryout terpakai, maka proses selanjutnya adalah melakukan seleksi terhadap aitem-aitem, uji validitas dan uji reliabilitas pada skala penerimaan diri dan skala forgiveness (pemaafan). Seleksi aitem bertujuan untuk menyaring aitem-aitem yang berkualitas agar alat ukur yang digunakan dalam penelitian memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Tahapan

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Goleman (2006) individu yang mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan lebih kritis dan rasional dalam menghadapi berbagai macam masalah, sehingga individu yang memasuki

Adapun aspek-aspek penerimaan adalah (1) mempunyai keyakinan akan kemampuan dalam menghadapi kehidupan, (2) sikap dan perilakunya lebih berdasarkan nilai- nilai dan standar yang

Hurlock (1976) menambahkan bahwa artinya individu tersebut memiliki percaya diri dan lebih memusatkan perhatian kepada keberhasilan akan kemampuan dirinya

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat peneliti pahami bahwasanya kemampuan bersosialisasi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk menjalani kehidupan

hal tersebut akan menjadi masalah disaat individu merasa bahwa internet dapat membuat lebih nyaman dan percaya diri dalam melakukan interaksi menggunakan internet

aspek percaya diri yang menjelaskan bahawa individu masalah pendengaran ini mempunyai keyakinan dan kekuatan dalaman yang rendah terhadap diri sendiri dan faktor

Aspek-aspek penerimaan diri adalah ketika individu mempunyai keyakinan dan kemampuan untuk menghadapi permasalahan yang dimiliki yaitu individu yang memiliki internal locus of control

Lebih lengkap Fatimah 2006 menyebutkan bahwa karakteristik individu yang percaya diri yaitu 1 percaya akan kemampuan diri sendiri, 2 menunjukkan diri yang baik dengan keyakinan dalam