• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun sedang dilakukan,

khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah eksistensi dan kekuatan alat bukti alas hak berupa akta pelepasan hak dengan ganti rugi yang dibuat dihadapan Notaris atau Camat di Kabupaten Deli Serdang.

Namun penulis ada menemukan tesis atas nama:

1. Gloria Gita Putri, NIM: 037011029, dengan judul: Pertanggung-jawaban Notaris terhadap Akta yang Mengandung Sengketa (Studi di Kota Medan). 2. Juniaty Berliana Barus, NIM: 037011042, dengan judul: Peranan Notaris

Dalam Kaitan dengan Pengurusan Piutang Negara (Studi Kasus di KP2LN). 3. Zulfahmy, NIM: 027011067, dengan judul: Kekuatan dan Kelemahan dari

Akta Perjanjian Jual Beli yang Dibuat Notaris (Studi Kasus di Kota Medan). 4. Tony, NIM: 037011101, dengan judul: Pemberdayaan Notaris sebagai

Mediator Dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa (Studi di Kota Medan). 5. Mirza Baharsan, NIM: 047011045, dengan judul: Identifikasi Faktor-faktor

Penyebab Terjadinya Sengketa Atas Akta Jual Beli yang Dibuat oleh Notaris (Kajian Putusan Suatu Penelitian di Pengadilan Negeri Medan).

Dari penelusuran terhadap tesis tersebut, ternyata bahwa bahasan dari permasalahan yang diajukan berbeda dari penelitian tesis yang pernah dilakukan, sehingga dengan demikian maka penelitian ini adalah asli, serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Jual beli mempunyai sifat konsensuil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1458 KUHPerdata, menyebutkan bahwa hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli dengan dilakukan perbuatan hukum lain yaitu dengan penyerahan yuridis, seperti yang terdapat pada Pasal 1459 KUHPerdata.

Pasal 1459 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli, selama penyerahannya belum

dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 6169 KUHPerdata yang mensyaratkan

bahwa penyerahan dalam rangka jual beli harus dilakukan dengan akta otentik

sebagaimana yang dinyatakan lebih lanjut dalam Pasal 620 KUHPerdata.10

Adapun maksud dan tujuan penyerahan dilakukan dengan akta otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 620 KUHPerdata adalah dalam rangka untuk membuat alat bukti. Akta sengaja dibuat untuk dapat dijadikan alat bukti tentang suatu peristiwa hukum dan ditandatangani. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa: “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik maupun dengan

tulisan-tulisan di bawah tangan”.11 Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, maka akta

berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan menghindari

9

R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, hal. 305.

10

Ibid., hal. 152.

11

sengketa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pembuatan akta harus sedemikian rupa sehingga apa yang diinginkan untuk dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang dibuat.

Pasal 1 ayat (1) UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang yang ditetapkan oleh Undang-undang untuk membuat akta otentik. Kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik meliputi 4 hal, yaitu:

1. Notaris berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat.

2. Notaris berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa

akta itu dibuat.

3. Notaris berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat.

4. Notaris berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta.

Apabila salah satu dari persyaratan di atas tidak dipenuhi, maka akta yang dibuat menjadi tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan apabila akta ditandatangani oleh para pihak.

Disinilah letak arti pentingnya dari profesi Notaris, bahwa ia karena Undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang mutlak. Dalam pembuktiannya apa yang tersebut dalam akta otentik pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha.

Notaris sebagai pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan penetapan, sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Dengan perkataan lain, wewenang Notaris bersifat umum (regel) sedangkan wewenang pejabat lain adalah pengecualian.

Dalam hal kewenangan utama Notaris adalah untuk membuat akta otentik, maka otensitas dari akta Notaris tersebut bersumber dari Pasal 1 UUJN, dimana Notaris dijadikan sebagai Pejabat Umum (Openbaar Ambtenaar) sehingga dengan demikian akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata.

PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang dimaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Kepala BPN. Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala BPN untuk melaksanakan kewenangan tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Kewenangan PPAT sebagaimana yang dimaksud dalam PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah untuk membuat akta peralihan hak atas tanah-tanah yang telah memiliki hak atau tanah telah bersertipikat. Sedangkan peralihan hak atas tanah yang dibuat dengan akta Notaris adalah untuk tanah yang belum bersertipikat. Jadi

pengertian peralihan hak tanah disini adalah peralihan penguasaan tanah oleh seseorang kepada orang lain dalam rangka untuk mendapat manfaat dari tanah tersebut.

Hak atas tanah merupakan hak atas sebagian tertentu permukaan bumi dan ruang yang terbatas, karena hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tubuh bumi yang dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya dengan pembatasan Pasal 4 UUPA ayat (1) yaitu sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan dalam batas-batas menurut UUPA dan Peraturan lainnya yang lebih tinggi.

Hak atas tanah yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan salah satu hal yang diatur dalam Hukum Agraria dan didasarkan pada hukum adat yang disediakan dalam Hukum Tanah Nasional.

Menurut ketentuan Pasal 16 UUPA dikenal beberapa macam hak atas tanah. Hak-hak yang dimaksud adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Pengertian hak atas tanah-tanah yang belum bersertipikat lebih mengacu kepada hak seseorang yang telah meperoleh manfaat dari tanah yang dikuasai oleh

negara. Dalam hal ini tanah tersebut masih dalam kekuasaan negara dan seseorang dapat menggarapnya untuk diusahakan dengan izin mengelola.

Tanah tersebut dapat beralih kepemilikannya setelah terlebih dahulu dimohonkan haknya untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat sehingga tanah tersebut beralih menjadi tanah hak milik. Seseorang yang telah menjadi pemegang hak atas tanah tidak dapat memberikan hak miliknya kepada orang lain dengan begitu saja karena hak tersebut merupakan kewenangannya namun yang dapat dilakukannya adalah mengalihkan atau melepaskan hak atas tanah yang dimilikinya.

Dengan melepaskan haknya itu, tanah yang terlibat menjadi tanah negara,

yaitu dikuasai langsung oleh negara. Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain selain negara yang berhak atas tanah tesebut. 12

Untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal mengalihkan hak atas tanah,

baik tanah yang telah memiliki hak maupun tanah yang langsung dikuasai oleh Negara (belum terdaftar haknya) sebaiknya dilakukan dihadapan seorang pejabat umum yaitu Notaris atau PPAT untuk dibuatkan dengan akta otentik agar memperoleh kekuatan pembuktian yang sah.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering orang membuat surat tanah untuk dipergunakan dengan maksud mendapatkan kepastian hukum mengenai suatu

12

AP. Parlindungan. Konversi Hak-hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju Bandung. 1997. hal. 135.

perbuatan atau peristiwa yang dilakukan. Surat atau tulisan tersebut akan dipergunakan sebagai alat bukti yang disebut dengan akta.

Akta sengaja dibuat untuk dapat dijadikan alat bukti tentang suatu peristiwa hukum dan ditandatangani. Hal ini sesuai dengan Pasal 1867 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut : ”pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata tersebut di atas maka akta dibuat sebagai tanda bukti yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan menghindari sengketa. Sehubungan dengan hal tersebut maka pembuatan akta harus sedemikian rupa sehingga apa yang diinginkan untuk dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang dibuat.

Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan surat dalam 3 (tiga) jenis, yaitu :

1) Akta otentik

Akta yang perbuatannya dilakukan oleh atau dihadapan seorang pejabat umum. Akta otentik akan menjadi sah secara hukum apabila akta tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai alat bukti yang sah sehingga mempunyai kekuatan pembuktian hukum yang sempurna dan mempunyai kekuatan mengikat kepada pihak-pihak yang menandatangani akta itu.

2) Akta di bawah tangan

Akta yang dibuat tidak dihadapan atau oleh pejabat umum tetapi sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti.

3) Surat biasa

Surat biasa dibuat oleh yang bersangkutan tetapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat bukti dikemudian hari. Oleh karena itu surat-surat yang demikian itu dapat dipakai sebagai alat bukti tambahan atau dapat juga dikesampingkan dan sama sekali tidak dipergunakan.

Kewenangan Notaris dan PPAT dalam membuat akte otentik dibidang pertanahan merupakan wujud dari pelaksanaan ketentuan Pasal 19 UUPA yang berbunyi sebagai berikut :

(1)Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran

tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketantuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2)Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :

a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai latar

pembuktian yang kuat.

Tanggung jawab Notaris terhadap pembuatan akta yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat atau dikenal dengan akta

pelepasan hak dan ganti rugi adalah begitu besar, dimana akta tersebut dapat dijadikan sebagai bukti untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan untuk menghindarkan perselisihan atau sengketa dikemudian hari, maka pembuatan akta tersebut harus dibuat sedemikian rupa sehingga apa-apa yang ingin dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang telah dibuat.

Menurut ketentuan Pasal 16 UUPA dikenal beberapa macam hak atas tanah. Hak-hak yang dimaksud adalah hak-hak atas tanah yang telah bersertipikat yang haknya tidak pernah berakhir atau yang disebut dengan hak milik (diatur dalam Pasal 20 UUPA). Ada juga hak atas tanah bersertipikat yang haknya dapat berakhir sampai jangka waktu yang ditentukan, termasuk didalamnya Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Sewa, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan sebagainya.

PP Nomor 37 Tahun 1998 menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang dimaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/ pertanahan (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Pejabat)”. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, yang dimaksud dengan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pejabat lain yang membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah, adalah pejabat dari Kantor Lelang, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, dan Panitia Ajudikasi.

Ketentuan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu:

(1) PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri,13

(2) Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara,

(3) Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, PPAT dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

13

Menteri yang dimaksudkan oleh Pasal 7 ayat (1) adalah Menteri Negara Agraria. Oleh karena pada saat ini tidak ada lembaga Menteri Negara Agraria, tetapi yang ada adalah Badan Pertanahan nasional (BPN). Dengan demikian, kata Menteri pada Pasal 7 ayat (1) harus dibaca Kepala Badan Pertanahan Nasional.

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Yang menjadi PPAT disini adalah seseorang yang merangkap menjadi Notaris atau mantan pejabat dari Badan Pertanahan Nasional setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.

2. PPAT Sementara.

PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT sementara ini adalah Kepala Kecamatan. 3. PPAT Khusus.

PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu. PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukkannya.

PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, sedangkan PPAT sementara diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang mendapatkan limpahan

kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional. Ketentuan tentang penunjukkan PPAT sementara dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah Kabupaten/Kota yang formasi PPAT-nya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT sementara. 2. Surat Keputusan Penunjukan Camat sebagai PPAT sementara ditandatangani

oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional.

3. Untuk keperluan penunjukan sebagai PPAT Sementara, Camat yang bersangkutan melaporkan pengangkatannya sebagai PPAT Sementara kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan salinan atau foto copy keputusan pengangkatan tersebut.

4. Penunjukkan Kepala Desa sebagai PPAT sementara oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah diadakan penelitian mengenai keperluannya berdasarkan letak desa yang sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah yang sudah terdaftar di wilayah desa tersebut.

Dengan berlakunya PP Nomor 24 tahun 1997 maka setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk Pemerintah.

Perbuatan jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu cara peralihan hak atas tanah dari pihak penjual kepada pihak pembeli tanah. Peralihan

hak-hak kepemilikan atas tanah tidak hanya meliputi jual beli saja tetapi peralihan hak atas kepemilikan juga dapat terjadi karena hibah, tukar menukar, pemasukan ke dalam perseroan terbatas, pemisahan dan pembagian, akta pembagian atas harta warisan. Sedangkan yang dimaksud dengan pembebanan hak, termasuk didalamnya akta pemberian Hak Tanggungan (sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996) yang sebelumnya berlaku ketentuan Hypotheek dan Credietverband.

Perbuatan jual beli dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara sukarela.14

Pengertian jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1547 KUHPerdata dikaitkan dengan jual beli tanah adalah bahwa jual beli tanah merupakan sesuatu perjanjian dengan mana penjual mengikat dirinya untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual sesuai dengan harga yang telah disetujui.15

Jual beli dalam pengertian ini baru suatu kewajiban tertentu yang harus dilakukan, maka pengertian jual beli tersebut masih bersifat “obligatoir” saja. Bersifat obligatoir artinya jual beli tersebut belum memindahkan hak milik. Penyerahan (levering) adalah perbuatan hukum yang memindahkan hak milik itu. Selanjutnya mengenai pemindahan hak milik (levering) ini KUHPerdata

14

Mariam Darus Badrulzman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1981, hal. 25.

15

menganut sistem causal, artinya pemindahan hak milik secara juridis (levering) adalah sah apabila ia berdasarkan suatu titel yang sah dan dilakukan oleh orang yang berhak memindahkan milik yang pada umumnya si pemilik sendiri. Dianutnya sistem causal ini oleh KUHPerdata disimpulkan dari kata-kata Pasal 584 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan “titel” adalah perjanjian obligatoir-nya, yaitu jual belinya, tukar-menurkarnya, hibahnya dan sebagainya. Dengan demikian maka apabila perjanjian obligatoir tersebut batal atau dibatalkan, atau apabila orang yang menyerahkan barangnya tidak berhak memindah-tangankan barang tersebut, maka pemindahan hak milik menjadi batal.16

Dengan berlakunya UUPA maka semua ketentuan dalam Buku II KUHPerdata sekedar hanya mengenai bumi dan air telah dicabut kecuali mengenai hipotik. Mengenai tanah, sudah ada hukum nasional yang seragam tersusun atas dasar-dasar dan asas-asas hukum adat.

Dalam sistem hukum adat dikenal dan berlaku asas perlindungan si pembeli yang beritikad baik, asas mana berlaku dan dipegang teguh baik terhadap barang bergerak maupun tanah. Jual beli menurut hukum adat adalah suatu transaksi tunai (kontan), bahkan perkataan “jual” lebih tertuju pada pengalihannya hak milik (overdracht) dari pada tertuju kepada perbuatan semacam perjanjian

obligatoir menurut konstruksi hukum Barat.17

16

R. Subeki, Perbandingan Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 34.

17

Dalam hukum Adat, jual beli tanah merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan membayar sejumlah harga pada saat bersamaan dilakukan secara tunai dan terang. Tunai artinya ketika jual beli dilakukan, penjual menyerahkan haknya untuk menguasai atau mengusahakan atas tanah tersebut kepada pembeli dan penjual menerima pembayaran harganya dari pembeli, maka pembuatan jual beli tersebut dianggap telah selesai. Terang dalam pengertian jual beli menurut Hukum Adat termasuk juga telah diserahkannya secara fisik benda yang dibeli itu yang dalam hal ini adalah tanah.

Di dalam Hukum Adat, sistem yang dipakai berkenaan dengan peralihan hak atas tanah umumnya terjadi seketika pada saat pembayaran harga tanah tersebut diserahkan oleh pembeli.

Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam jual beli tanah diantaranya:

a. Subjek jual beli

Pihak penjual dan pembeli merupakan subjek dari jual beli. Apabila tanah yang akan dijual telah mempunyai sertipikat maka pemegang hak atas tanahnya harus membawa sertipikat aslinya, tetapi seandainya tanah yang akan dibeli itu belum mempunyai sertipikat tanah maka harus dilengkapi dengan beberapa syarat antara lain surat keterangan Lurah atau Kepala Desa dan sebagainya atau mungkin juga dengan surat kuasa jika pembeli menguasakan kepada orang lain atau jika penjual menguasai juga kepada orang lain.

Seorang penjual sebagai pemilik dari sebidang tanah, ia berhak untuk menjual sendiri tanah tersebut, tentu saja dengan memperhatikan keadaan atau status dari tanah tersebut. Jika kedudukan tanah tersebut termasuk dalam harta bersama dalam suatu perkawinan, maka suami istri secara bersama-sama bertindak sebagai pihak penjualnya. Seorang istri tidak berwenang bertindak sendiri sebagai pihak penjual untuk menjual tanah tersebut karena untuk melakukan suatu tindakan hukum seorang istri harus memperoleh bantuan atau persetujuan dari suaminya atau dengan perolehan persetujuan atau kuasa dari

Hakim pengadilan.18

Apabila pemilik sebidang tanah berjumlah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu adalah keduanya secara bersama-sama, boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual sedangkan satu orang lagi dapat memberikan kuasa tetapi harus dengan adanya surat kuasa.

Demikian juga jika tanah tersebut merupakan milik bersama karena adanya pewarisan, untuk itu diperlukan surat keterangan waris dari instansi yang berwenang yaitu dari Pengadilan Negeri untuk orang pribumi yang beragama

18

Ini diatur dalam Pasal 108 KUHPerdata dengan memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) bahwa seorang wanita bersuami dibenarkan untuk melakukan suatu tindakan hukum tetapi sepanjang tindakan hukum itu berhubungan dengan harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan maka harus memperoleh persetujuan dari suaminya. Demikian juga sebaliknya. Pasal 36 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga menentukan bahwa setiap tindakan hukum berupa tindakan pemilikan yang hendak dilakukan oleh seorang subjek hukum yang sudah kawin haruslah dilakukan dengan akta yang bersangkutan dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pasangannya. Maka jika suami atau istri dari penghadap tidak dapat menghadap Notaris pada saat pembuatan akta maka dapat diusahakan surat persetujuan atau kuasa tertulis dari yang bersangkutan.

Kristen, sedangkan surat keterangan waris yang dibuat oleh Notaris diberikan terhadap Golongan Tionghoa dan biasanya untuk golongan orang pribumi yang beragama Islam dapat dibuat sendiri oleh semua ahli waris dengan diketahui oleh Lurah atau dibuat oleh Camat atau oleh Pengadilan Agama setempat.

Apabila salah seorang penghadap yang termasuk dalam ahli waris