EKSISTENSI DAN KEKUATAN ALAT BUKTI ALAS HAK
BERUPA AKTA PELEPASAN HAK DENGAN GANTI
RUGI YANG DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS
ATAU CAMAT STUDI DI KABUPATEN
DELI SERDANG
NASKAH PUBLIKASI
Oleh :
H E L E N A
NIM: 067011002
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
EKSISTENSI DAN KEKUATAN ALAT BUKTI ALAS HAK
BERUPA AKTA PELEPASAN HAK DENGAN GANTI
RUGI YANG DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS
ATAU CAMAT STUDI DI KABUPATEN
DELI SERDANG
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
H E L E N A
NIM: 067011002
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL TESIS : EKSISTENSI DAN KEKUATAN ALAT BUKTI ALAS HAK BERUPA AKTA PELEPASAN HAK DENGAN GANTI RUGI YANG DIBUAT
DIHADAPAN NOTARIS ATAU CAMAT STUDI DI KABUPATEN DELI SERDANG
NAMA : HELENA
NIM : 067011002
PROGRAM STUDI : MAGISTER KENOTARIATAN
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN. K e t u a
Chairani Bustami, SH, SpN, MKN. Syafnil Gani, SH, M.HUM.
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN. Prof.Dr.Ir. T. Chairun Nisa B, MSc.
Telah Diuji pada
Tanggal : 27 Desember 2007
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN, Anggota : Chairani Bustami, SH,Sp.N, MKN,
Syafnil Gani, SH,M.Hum
EKSISTENSI DAN KEKUATAN ALAT BUKTI ALAS HAK BERUPA AKTA PELEPASAN HAK DENGAN GANTI RUGI YANG DIBUAT DIHADAPAN
NOTARIS ATAU CAMAT STUDI DI KABUPATEN DELI SERDANG
HELENA*
MUHAMMAD YAMIN**
CHAIRANI BUSTAMI**
SYAFNIL GANI**
INTISARI
Peranan seorang notaris adalah sangat penting dalam pembuatan sebuah akta pelepasan hak atas tanah yang belum bersertipikat, yaitu memberikan kepastian hukum dan alat bukti yang sah. UUJN telah memberikan mengenai kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta-akta otentik dan juga memberi kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f. Kewenangan Notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan sebagaimana yang dimaksud dalam UUJN adalah dalam rangka turut serta menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dibidang hukum pertanahan nasional yang merupakan tujuan pokok dari UUPA. Oleh karena itu perlu penelitian mengenai kekuatan alat bukti alas hak berupa akta pelepasan hak dengan ganti rugi yang dibuat dihadapan notaris dan eksistensinya di Kabupaten Deli Serdang.
Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan cara menggambarkan atau menelaah dan memberikan penjelasan dengan menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai peralihan hak-hak atas tanah yang belum bersertipikat yang dihubungkan dengan pembuatan akta yang dilakukan dihadapan Notaris di Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa:
1. Eksistensi Notaris membuat akta pelepasan hak dengan ganti rugi atas tanah yang belum bersertipikat adalah: berdasarkan Pasal 1 UUJN, berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf F UUJN yang mengatur wewenang notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan tanah, berdasarkan pada Pasal 1457 KUH Perdata mengenai pengertian jual beli tanah, berdasarkan yurisprudensi. Eksistensi Notaris telah dapat diterima oleh masyarakat, dibuktikan dengan peningkatkan alas hak yang digunakan masyarakat untuk pendaftaran tanah di BPN Deli Serdang setiap tahun berupa akta Notaris. Hal ini berarti bahwa eksistensi Notaris pada masyarakat umum mulai meningkat seiring dengan peningkatan manfaat ekonomis dari tanah.
2. Akta pelepasan hak dengan ganti rugi yang dibuat oleh Notaris merupakan akta
otentik dengan demikian mempunyai kekuatan hukum sebagai alat pembuktian.
*
Mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pascasarjana USU.
**
Akta pelepasan hak dengan ganti rugi yang dibuat oleh Notaris diterima oleh BPN Deli Serdang sebagai alas hak untuk pendaftaran tanah.
3. Dalam prakteknya di Kabupaten Deli Serdang, banyak akta-akta pelepasan hak
dengan ganti rugi atas tanah yang belum mempunyai alas hak yang jelas atau belum mempunyai sertipikat dan masih merupakan tanah negara yang dialihkan atau diganti rugikan oleh dan di hadapan Camat. Sebagai akta di bawah tangan, akta yang dibuat oleh Camat tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti. Akibatnya adakalanya akta tersebut di kemudian hari dapat menimbulkan terjadinya konflik antara para pihak maupun terhadap pihak ketiga. Kenyataan yang ditemukan penulis di Kabupaten Deli Serdang, surat yang dibuat oleh Camat dianggap sah bahkan surat pengakuan pernyataan penguasaan fisik yang dibuat oleh pihak yang berhak dengan sepengetahuan kepala desa dianggap sah dan dapat diterima oleh pihak BPN apabila pihak pemilik hak atas tanah yang baru hendak mendaftarkan tanahnya untuk memperoleh kepemilikan hak atas tanah.
Akhirnya disarankan agar masyarakat diberikan pemahaman yang terpadu oleh BPN mengenai eksistensi dan fungsi Notaris sebagai pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta otentik karena akta tersebut dibuat berdasarkan ketentuan UU seperti yang diatur dalam UU No. 30/2004 mengenai UUJN dan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang mutlak yang diatur oleh UU. Meskipun akibat hukum dari akta yang dibuat dihadapan Notaris adalah legal (sah) namun ada baiknya Notaris selalu bertindak profesional dengan menggunakan prinsip kehati-hatian dalam menerima seluruh alat bukti yang diberikan oleh para penghadap agar Notaris terlepas dari perbuatan yang dapat merugikan semua pihak.
Kata kunci : Akta Notaris
Pelepasan hak atas tanah
THE EXISTENCE AND THE ESSENCE OF EVIDENCE TOOL AS BASE RIGHT WITH A DEED RELEASING RIGHT BY INDEMNITY
PREPARED BEFORE NOTARY OR CAMAT CASE STUDY ON KABUPATEN DELI SERDANG
HELENA∗
MUHAMMAD YAMIN ** CHAIRANI BUSTAMI**
SYAFNIL GANI **
ABSTRACT
The role of notary held is very important in setting up a deed releasing right upon a land has not any certificate yet, by there give law assurance and as proof tool legally. UUJN regulations has provided it with authority over notary for producing an authentic deed and also there give an authority to set a deed pertaining to Lands refers to the content of Article 15 verse (2) point f. The notary authority to set up a deed regarding to Lands refers to the intention of UUJN regulations is to allow them involving to let a certain, order and law protection on the national land law as the main purpose of UUPA Agrarian regulations. In connecting with it, it is required highly specific study about the essence of proof tool as basic right with a deed releasing right by an indemnity prepared before notary and how the existence found in Deli Serdang District.
In order to study it, there has been conducted a research based normative juridical even with describe it out or interpret and give explanation, of course to analyze the regulation rules be valid regarding the transformation of rights upon land having no any certificate yet connected with the producing deed established before a notary in Deli Serdang District. Refers to the study there showed the result as :
1. The existence of Notary prepare a deed releasing right with an indemnity upon a land having no certificate yet, it should be based on Article 1 UUJN regulations, refers to Article 15 verse (2) point F UUJN regulations rule the authority of a notary in setting up a deed pertaining to the land, referred to Article 1457 KUH Perdata Codes regarding the meaning of selling-buying of land based on jurisprudence. The existence of Notary, public has accepted welcome, for it is proved a tend increasing demand a right basic the people hold for registering the land on BPN Deli Serdang year by year with a notary deed. It means that the existence of Notary by public got trend to increase along with improving its economy merits of land.
2. Deed of releasing right with indemnity prepared by Notary is recognized an
authentic deed in such way it has its law power as proof. The deed of releasing
right with indemnity prepared by Notary received properly by BPN Deli Serdang as right base for registering the land.
3. In practicing, on Deli Serdang District, there are many found the deeds releasing right with indemnity upon land having no any base right with them or having no any certificate yet and it seemly as state land took over or compensated by and before Camat, it is known under hand which deed prepared by Camat however having no any law power as evidence tool, with a consequence once time later the deed sometime may cause occurrence conflict between those side or over the third side. In actually, as writer found on Deli Serdang District, the documents prepared by Camat is assumed legal even the letter of recognition declaring hold controlling it physically issued by the holder right under acknowledged by Kepala Desa is considered legal and the BPN Authority could receive it if the side of right newly owner truly on the land will register his land for having right ownership over the land.
At last, it is suggestible for people let know and understand it more integrated by BPN Agency about the existence and the function of Notary as the legal authority in preparing the deed authentic for the deed is provided based on the UU regulations rule as refers to the UU Regulations No. 30/2004 pertaining UUJN and it should be referred as evidence tool absolutely regulated by UU. Although its legal consequence of the deed produced by Notary is perhaps legal but preferable Notary should be always take action professional by adopting a carefully principle in receiving all evidence tools given by those appears for Notary free from any action may loose all sides.
Keywords : Notary deed
KATA PENGANTAR
Dengan iringan doa dan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dan
karena izinNyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai salah
satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
(MKn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
Adapun judul tesis ini adalah “Eksistensi dan Kekuatan Alat Bukti Alas
Hak Berupa Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi yang Dibuat Dihadapan Notaris atau Camat Studi di Kabupaten Deli Serdang”.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,
dorongan moril, masukan dan saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Ucapan terimakasih khususnya penulis
sampaikan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof.Dr. Muhammad
Yamin, SH,MS,CN, Ibu Chairani Bustami, SH,Sp.N, MKN, dan Bapak Syafnil
Gani, SH,M.Hum, atas kesediannya membantu dalam rangka memberikan
bimbingan dan petunjuk serta arahan kepada penulis demi kesempurnaan
penulisan tesis ini. Berkat bimbingan, petunjuk dan arahan yang diberikan
sehingga telah diperoleh hasil yang maksimal.
Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para
konstruktif terhadap penyempurnaan tesis ini sejak tahap kolokium dan seminar
hasil sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih terarah.
Dalam menyelesaikan tesis ini bukan tidak banyak cobaan, rintangan dan
tantangan yang penulis hadapi, namun penulis rela menempatkan semua itu
menjadi pelajaran tersendiri dalam hati penulis. Penulis sangat menyadari bahwa
penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan dan menerima saran-saran maupun
kritikan yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.
Tidak semua nama bisa penulis sebutkan, namun penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof.Dr.Ir. Chairun Nisa B, MSc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktur beserta seluruh staf atas
bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn).
2. Bapak Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.
3. Ibu Chadijah Dalimunthe, SH,M.Hum dan Bapak Dr. Pedasteran Tarigan,
SH,MS, sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan dan arahan
4. Para bapak dan ibu dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara khususnya pada Program Studi Magister Kenotariatan, yang
membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan studi, atas jasa dan budi para bapak dan ibu dosen saya
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.
5. Para pegawai/staf pada Program Studi Magister Kenotariatan yang selalu
membantu penulis dengan sepenuh hati, terutama dalam kelancaran
administrasi yang dibutuhkan.
6. Para Notaris di Kabupaten Deli Serdang, Kepala Kantor BPN Deli Serdang
Bapak Mangapul, SH, dan para staf, Kepala BPS, para Camat se Kabupaten
Deli Serdang yang telah bersedia penulis wawancarai dan memberikan
informasi serta telah menjawab seluruh pertanyaan sehubungan dengan data
yang dibutuhkan dalam penulisan tesis ini.
7. Teristimewa buat suamiku tercinta Ir. Jannen Pardosi dan kedua anakku
Cinthya Stephanie dan Brian Kevin, yang telah banyak memberikan dorongan
baik secara moril maupun materil, terutama dukungan doa dan pengertian
yang begitu besar kepada saya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini tepat pada waktunya.
8. Rekan-rekan pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU Medan
per satu yang telah memberikan bantuan, semangat, dorongan, motivasi
kepada penulis dalam penyelesaian studi.
Akhirnya dengan rendah hati dan penuh rasa hormat yang sangat
mendalam, penulis sampaikan terimakasih kepada yang terhormat dan sangat
terpelajar para pendidik dan pengajar penulis. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa
senantiasa memberkati kita.
Amin !
Medan, Desember 2007
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : HELENA
Tempat/Tgl. Lahir : Kutacane, 18 Oktober 1968
Alamat : Jl. Bunga Mawar XXI Blok C No. 8
Kecamatan Medan Selayang II Medan
Pekerjaan : Pegawai Notaris
Nama Ayah : A.M. Panjaitan, SH.
Nama Ibu : N.M. Saragih
Pendidikan :
1. Sekolah Dasar Perguruan Katolik Kotacane Aceh Tenggara, Tamat tahun
1981.
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri Kutacane, Aceh Tenggara, Tamat
tahun 1984.
3. Sekolah Menengah Atas YP Pembangunan Medan, Tamat tahun 1987.
4. Fakultas Hukum Universitas Medan Area, Tamat tahun 2000.
5. Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN... ii
PENITIA PENGUJI TESIS... iii
INTISARI ... iv
BAB II. EKSISTENSI NOTARIS DALAM MELAKUKAN PEMBUATAN AKTA PELEPASAN HAK DENGAN GANTI RUGI DI KABUPATEN DELI SERDANG ... 14
A. Gambaran Umum Status Tanah di Kabupaten Deli Serdang... 14
B. Permasalahan Umum Status Hak Atas Tanah di Deli Serdang.. 16
C. Kewenangan Notaris Melakukan Pembuatan Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi terhadap Tanah yang Belum Bersertifikat ... 17
A. Kekuatan Hukum Alat Bukti Alas Hak yang Dibuat
Dihadapan Notaris ... 24
B. Akibat Hukum dari Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi Atas Tanah yang Dibuat Dihadapan Notaris ... 26
BAB IV. KEWENANGAN CAMAT DALAM PEMBUATAN SURAT KETERANGAN PELEPASAN HAK ATAS TANAH ... 29
A. Tugas dan Kewenangan Camat Dalam Pembuatan Surat Keterangan Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi terhadap Tanah yang Belum Bersertifikat... 29
B. Kekuatan Alat Bukti Alas Hak yang Dibuat oleh Camat ... 36
C. Akibat Hukum Surat Keterangan Pelepasan Hak Atas Tanah yang Dibuat oleh Camat ... 38
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39
A. Kesimpulan... 39
B. Saran ... 42
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah sangat erat hubungannya dengan manusia, bahkan dapat dikatakan
setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Tanah adalah tempat pemukiman
umat manusia disamping sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencari
nafkah melalui usahatani dan perkebunan. Setiap orang memerlukan tanah, tidak
hanya pada masa hidupnya, tetapi juga pada masa meninggalnya manusia masih
berhubungan dengan tanah. Oleh sebab itu tanah merupakan kebutuhan vital
manusia.
Nilai ekonomis tanah yang terus meningkat setiap saat menyebabkan
seringnya terjadi masalah tanah. Salah satu diantara masalah pertanahan yang
dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat adalah persoalan hak atas tanah.
Banyaknya permasalahan-permasalahan dibidang pertanahanan yang timbul pada
saat ini disebabkan karena tidak dilaksanakannya peraturan-peraturan dibidang
pertanahan tersebut sebagaimana mestinya.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat dalam lima
tahun terakhir ini, pengaduan yang menyangkut persoalan sengketa tanah
menempati posisi lima besar dari seluruh kasus yang ditangani. Tingginya kasus
telah tersertifikasi. Seperti yang disampaikan oleh Sudaryatmo dari Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam diskusi mengenai mafia tanah yang
diadakan di Jakarta pada tanggal 09 Februari 2004, yaitu : ”Jangankan yang tidak
bersertipikat, yang jelas-jelas memiliki sertipikat tanah pun bisa menimbulkan
masalah”.1
Rendahnya kemauan masyarakat untuk melaksanakan pendaftaran tanah di
Indonesia selama ini tidak bisa dilepaskan dari peran BPN selaku lembaga yang
memiliki otoritas dibidang pendaftaran tanah. Masyarakat masih beranggapan
bahwa apabila ingin mengurus pendaftaran tanah di BPN sangat sulit dan tidak
jelas prosedurnya. Selain kendala pengurusan pendaftaran di BPN, faktor biaya
cukup tinggi untuk melakukan pendaftaran tanah juga turut mempengaruhi minat
masyarakat untuk melakukan pendaftaran tanah. Akibat dari sulitnya prosedur
pendaftaran tanah di BPN dan memerlukan biaya yang cukup tinggi, maka
sebagian masyarakat di Indonesia tidak mau mendaftarkan tanahnya untuk
dikonversi menjadi hak menurut Undang-Undang Pokok Agraria, demikian juga
dengan kegiatan peralihan hak-hak atas tanah tersebut. Oleh karena itu perlu
kemauan dan kesadaran seluruh bangsa Indonesia untuk memahami dan
menjalankan dengan sebaik-baiknya peraturan-peraturan dibidang pertanahan
agar dapat tercipta suatu kepastian hukum yang dapat mengantisipasi setiap
permasalahan-permasalahan dibidang pertanahan.
1
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 disingkat dengan
UUPA yang disahkan pada tanggal 24 September 1960 dalam Lembaran Negara
No. 104 tahun 1960 yang merupakan tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia
dalam hal penyusunan Hukum Agraria Nasional. Selain telah menumbangkan
puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan
tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan
sengketa-sengketa tanah yang telah ada di Indonesia.
Di dalam memori penjelasan atas rancangan UUPA disebutkan tujuan
pokok dari UUPA, adalah :
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional yang
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam Hukum Pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.2
Tujuan pokok dari UUPA itu sendiri adalah dalam rangka mewujudkan
ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : ”Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat”.3
Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan yang mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
2
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan. Jakarta. 2005. hal. 216.
3
mengenai bumi, air dan ruang angkasa di Indonesia berkewajiban untuk
memperhatikan berbagai kepentingan mengenai penguasaan dan penggunaan
hak-hak atas tanah dewasa ini.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi seluruh rakyat Indonesia maka Pemerintah akan melakukan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) UUPA, yang menyebutkan bahwa “untuk menjamin kepastian
hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah, yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah”.4
Adapun Peraturan Pemerintah, disingkat PP, untuk pelaksanaan
pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur dalam UUPA adalah PP Nomor 10
Tahun 1961 yang mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1961 yang kemudian
disempurnakan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 yang berlaku pada tanggal 8
Oktober 1997.
Sebelum UUPA berlaku, pendaftaran tanah yang kita kenal adalah hanya
pendaftaran untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Barat, seperti hak Eigendom, Erfpacht, Opstal dan sebagainya
yang pendaftarannya dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster).
Sedangkan pendaftaran tanah untuk golongan Bumi Putera tidak ada suatu
ketentuan hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform yang mengatur,
4
walaupun ada kita temukan beberapa pendaftaran secara sporadis, akan tetapi
masih sederhana dan belum sempurna, seperti Grant Sultan, Grant Controleur,
Grant Deli Maatschappij, dan lain-lain yang sudah berkembang dan menirukan
sistem pendaftaran kadaster.
Pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia sebagaimana
diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 belum dapat terlaksana sebagaimana
mestinya. Hal ini disebabkan beberapa kendala seperti luasnya letak geografis
Indonesia, sehingga memakan waktu yang lama untuk dilaksanakannya
pendaftaran tanah seluruh wilayah, faktor biaya untuk pendaftaran tanah yang
cukup tinggi, tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah dan
sulitnya pendaftaran tanah di BPN.
Apabila kita melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat pada saat ini
masih saja kita temukan di tengah-tengah masyarakat surat-surat tanah yang
dibuat oleh Camat maupun oleh Lurah atau Kepala Desa. Surat yang dibuat oleh
Camat maupun oleh Lurah atau Kepala Desa tersebut adalah untuk menciptakan
bukti tertulis dari tanah-tanah yang mereka kuasai, tanpa melalui prosedur
sebagaimana yang ditetapkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997. Tanah-tanah
tersebut ada yang belum dikonversi atau tanah-tanah negara yang telah diduduki
oleh rakyat, baik dengan sengaja ataupun diatur oleh Lurah/Kepala Desa ataupun
oleh Camat, seolah-olah tanah tersebut telah merupakan hak seseorang ataupun
Sebagai contoh masih berlangsungnya praktek pembuatan surat-surat tanah
diluar ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997 yaitu seperti yang ada di daerah
Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Deli Serdang. Para Camat sering
mengeluarkan surat yang berkenaan dengan tanah yang dikenal dengan istilah
“SK Camat”. SK Camat dibuat dengan berbagai judul, seperti: Surat Pelepasan
Hak Atas Tanah dengan Ganti Rugi, dan lain-lain. SK Camat yaitu surat yang
dibuat oleh Camat baik sebagai bukti hak ataupun sebagai bukti peralihan hak atas
tanah sehubungan dengan adanya jual beli tanah. Surat-surat kepemilikan dan
peralihan hak atas tanah yang dibuat dalam bentuk SK Camat tersebut masih
berlaku di masyarakat sehingga dapat dipergunakan sebagai jaminan/agunan
untuk memperoleh pinjaman di Bank Pemerintah atau Bank Swasta. Yang
menjadi permasalahan adalah kekuatan hukum atas akta yang dibuat oleh Camat
karena Camat bukan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, sesuai
dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
Ada beberapa pengertian yang berhubungan dengan kedudukan tanah,
yaitu tanah yang bersertipikat dan tanah yang tidak bersertipikat. Tanah yang
bersertipikat artinya tanah yang telah memiliki hak dan telah terdaftar di Kantor
Pertanahan setempat, hal ini dibuktikan dengan telah diterbitkannya buku tanah
PP Nomor 24 Tahun 1997 menerangkan bahwa “buku tanah adalah
dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek
pendaftaran tanah yang sudah ada haknya”.5 Di dalam Pasal 1 ayat (20)
menyebutkan bahwa “sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, seperti Hak Pengelolaan, Tanah
Wakaf, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan Hak Tanggungan yang
masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”.6 Sertipikat tanah
yang diberikan itu akan memberikan arti dan peranan penting bagi pemegang hak
yang bersangkutan yang berfungsi sebagai alat bukti hak atas tanah.
Namun dengan adanya sertipikat bukanlah jaminan bahwa tanah tersebut
tidak ada sengketa, tetapi dengan adanya sertipikat tersebut dapat dijadikan
sebagai pegangan dan kepastian hak atas subjek tanah tersebut bahwa tanahnya
telah diukur, telah ditentukan batas-batasnya oleh yang berwenang untuk itu dan
telah memberikan hak prerogatif terdaftar atas nama pemilik.
Apabila seseorang bermaksud untuk mengalihkan hak atas tanah dan atau
bangunan yang dimilikinya, biasanya dapat dilakukan dengan cara jual beli, hibah,
tukar menukar, pemisahan pembagian harta warisan dan sebagainya.
Untuk memperoleh kekuatan hukum dalam mengalihkan hak atas tanah,
maka sebaiknya semua perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan Notaris
dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk dibuatkan akta otentiknya.
5
Namun apabila peralihan hak atas tanah tidak dilakukan dihadapan pejabat
yang berwenang akan tetapi hanya dibuat dengan cara ditulis diatas kertas segel
atau kertas yang bermaterai, maka hal itu merupakan perbuatan hukum peralihan
hak atas tanah dalam bentuk akta dibawah tangan, yaitu hanya berupa catatan dari
suatu perbuatan hukum. Sebagai contoh dapat dilihat terhadap tanah-tanah yang
tidak mempunyai sertipikat (SK Camat, SK Bupati, SK Gubernur, Tanah Grant),
jika hendak melakukan perjanjian jual beli dengan akta otentik, maka hal itu
merupakan kewenangan dari Notaris untuk membuat akta otentiknya dan akan
dibuatkan dengan Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi.
Akta Notaris dengan judul Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi lazimnya
digunakan terhadap tanah yang tidak bersertipikat. Hal ini disebabkan karena
tanah tersebut belum dimiliki dengan hak tertentu oleh seseorang dan status
kepemilikan tanah tersebut merupakan tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
Terhadap tanah yang tidak bersertipikat atau tanah yang dikuasai oleh negara,
maka seseorang hanya boleh menguasainya untuk diusahakan sehingga mendapat
manfaat dari tanah tersebut. Apabila dilakukan jual beli terhadap tanah tersebut
berarti terjadi peralihan hak dari penjual kepada pihak pembeli yang diikuti
dengan pembayaran sejumlah uang sebagai bentuk ganti kerugian atas peralihan
hak atas tanah tersebut. Perlu ditegaskan dalam hal ini bahwa peralihan hak yang
dimaksud dalam jual beli ini adalah peralihan hak dalam arti hak menguasai dan
Demikian juga apabila diatas tanah tersebut terdapat bangunan, dan atau
tanaman yang turut diperjualbelikan, maka hal ini dapat juga dilakukan
pembuatan aktanya dengan cara melepaskan hak atas bangunan dan atau tanaman
dan membayar sejumlah uang sebagai bentuk ganti kerugian terhadap bangunan
dan atau tanaman tersebut.
Pasal 1868 Kitab Undang-udang Hukum Perdata disingkat KUHPerdata
sebagai dasar hukum Akta Notaris menyatakan bahwa: “Akta otentik adalah suatu
akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana
akte dibuatnya.”7 Apabila suatu akta dibuat bukan oleh atau di hadapan pejabat
umum atau pejabat yang berwenang lainnya menurut udang-undang, maka akta
tersebut bukan akta otentik.
Ketentuan di atas menerangkan bahwa pihak yang berwenang membuat
akta otentik adalah pejabat umum. Selanjutnya mengenai pejabat umum tersebut
dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 pada tanggal 6 Oktober
2004 tentang Jabatan Notaris, selanjutnya disingkat UUJN sebagai pengganti dari
Reglement of Het Notaris Ambt in Indonesia (Stb. 1860; 3) atau di Indonesia
disebut dengan Peraturan Jabatan Notaris, selanjutnya disingkat PJN, bahwa
Pejabat Umum yang dimaksud adalah Notaris.
Dalam Pasal 1 UUJN menyebutkan bahwa, “Notaris adalah Pejabat Umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini”.8
UUJN telah memberikan mengenai kewenangan kepada Notaris untuk
membuat akta-akta otentik dan juga memberi kewenangan untuk membuat akta
yang berkaitan dengan Pertanahan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 15
ayat (2) huruf f.
Kewenangan Notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan sebagaimana yang dimaksud dalam UUJN adalah dalam rangka turut
serta menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dibidang hukum
pertanahan nasional yang merupakan tujuan pokok dari UUPA.
Peranan seorang notaris adalah sangat penting dalam pembuatan sebuah
akta pelepasan hak atas tanah yang belum bersertipikat, yaitu memberikan
kepastian hukum dan alat bukti yang sah dan Notaris tentunya akan dihadapkan
kepada fungsinya agar memberikan pelayanan kepada semua pihak yang
menghadapnya sehingga para pihak bisa saling percaya dan dapat bekerja sama
dalam mencegah terjadinya suatu persoalan antara para pihak di kemudian hari.
8
Dalam hal mana Notaris harus selalu netral dan berupaya untuk mencarikan jalan
keluar bagi para pihak.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi
pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana eksistensi Notaris dalam pembuatan akta pelepasan hak dengan
ganti rugi terhadap tanah yang belum bersertipikat di Kabupaten Deli
Serdang?
2. Bagaimana kekuatan hukum alat bukti alas hak berupa akta pelepasan hak
dengan ganti rugi yang dibuat dihadapan Notaris ?
3. Bagaimana kewenangan Camat dalam pembuatan akta melepaskan hak
atas tanah yang belum bersertipikat di Kabupaten Deli Serdang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan
yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui eksistensi Notaris dalam menyelesaikan masalah alas
hak atas tanah melalui prosedur pembuatan akta pelepasan hak dengan
2. Untuk mengetahui kekuatan hukum alat bukti alas hak berupa akta
pelepasan hak dengan ganti rugi yang dibuat dihadapan Notaris.
3. Untuk mengetahui kewenangan Camat dalam pembuatan akta melepaskan
hak atas tanah yang belum bersertipikat.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis
Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberi manfaat dalam bidang ilmu
pengetahuan Hukum Perdata terutama yang berhubungan dengan Hukum
Perjanjian yaitu perjanjian jual beli terhadap tanah yang belum bersertipikat.
2. Secara Praktis
Diharapkan akan bermanfaat bagi para Notaris dalam hal pembuatan akta
tersebut dan bagi masyarakat sebagai masukan untuk pengetahuan tentang tata
cara dan fungsi eksistensi Notaris dalam pembuatan akta khususnya pelepasan
hak dengan ganti rugi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada
penelitian yang menyangkut masalah eksistensi dan kekuatan alat bukti alas hak
berupa akta pelepasan hak dengan ganti rugi yang dibuat dihadapan Notaris atau
Camat di Kabupaten Deli Serdang.
Namun penulis ada menemukan tesis atas nama:
1. Gloria Gita Putri, NIM: 037011029, dengan judul: Pertanggung-jawaban
Notaris terhadap Akta yang Mengandung Sengketa (Studi di Kota Medan).
2. Juniaty Berliana Barus, NIM: 037011042, dengan judul: Peranan Notaris
Dalam Kaitan dengan Pengurusan Piutang Negara (Studi Kasus di KP2LN).
3. Zulfahmy, NIM: 027011067, dengan judul: Kekuatan dan Kelemahan dari
Akta Perjanjian Jual Beli yang Dibuat Notaris (Studi Kasus di Kota Medan).
4. Tony, NIM: 037011101, dengan judul: Pemberdayaan Notaris sebagai
Mediator Dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa (Studi di Kota Medan).
5. Mirza Baharsan, NIM: 047011045, dengan judul: Identifikasi Faktor-faktor
Penyebab Terjadinya Sengketa Atas Akta Jual Beli yang Dibuat oleh Notaris
(Kajian Putusan Suatu Penelitian di Pengadilan Negeri Medan).
Dari penelusuran terhadap tesis tersebut, ternyata bahwa bahasan dari
permasalahan yang diajukan berbeda dari penelitian tesis yang pernah dilakukan,
sehingga dengan demikian maka penelitian ini adalah asli, serta dapat
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Jual beli mempunyai sifat konsensuil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1458 KUHPerdata, menyebutkan bahwa hak atas tanah yang dijual baru berpindah
kepada pembeli dengan dilakukan perbuatan hukum lain yaitu dengan penyerahan
yuridis, seperti yang terdapat pada Pasal 1459 KUHPerdata.
Pasal 1459 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Hak milik atas barang
yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli, selama penyerahannya belum
dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 6169 KUHPerdata yang mensyaratkan
bahwa penyerahan dalam rangka jual beli harus dilakukan dengan akta otentik
sebagaimana yang dinyatakan lebih lanjut dalam Pasal 620 KUHPerdata.10
Adapun maksud dan tujuan penyerahan dilakukan dengan akta otentik
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 620 KUHPerdata adalah dalam rangka
untuk membuat alat bukti. Akta sengaja dibuat untuk dapat dijadikan alat bukti
tentang suatu peristiwa hukum dan ditandatangani. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa: “pembuktian
dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik maupun dengan
tulisan-tulisan di bawah tangan”.11 Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, maka akta
berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan menghindari
9
R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, hal. 305.
10
Ibid., hal. 152.
11
sengketa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pembuatan akta harus
sedemikian rupa sehingga apa yang diinginkan untuk dibuktikan itu dapat
diketahui dengan mudah dari akta yang dibuat.
Pasal 1 ayat (1) UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum
yang berwenang yang ditetapkan oleh Undang-undang untuk membuat akta
otentik. Kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik meliputi 4 hal, yaitu:
1. Notaris berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat.
2. Notaris berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa
akta itu dibuat.
3. Notaris berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat.
4. Notaris berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta.
Apabila salah satu dari persyaratan di atas tidak dipenuhi, maka akta yang
dibuat menjadi tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang
dibuat di bawah tangan apabila akta ditandatangani oleh para pihak.
Disinilah letak arti pentingnya dari profesi Notaris, bahwa ia karena
Undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang mutlak.
Dalam pembuktiannya apa yang tersebut dalam akta otentik pada pokoknya
dianggap benar. Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat
pembuktian untuk suatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk
Notaris sebagai pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai
perbuatan, perjanjian dan penetapan, sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu
peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau
orang lain. Dengan perkataan lain, wewenang Notaris bersifat umum (regel)
sedangkan wewenang pejabat lain adalah pengecualian.
Dalam hal kewenangan utama Notaris adalah untuk membuat akta otentik,
maka otensitas dari akta Notaris tersebut bersumber dari Pasal 1 UUJN, dimana
Notaris dijadikan sebagai Pejabat Umum (Openbaar Ambtenaar) sehingga dengan
demikian akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut
memperoleh sifat akta otentik seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868
KUHPerdata.
PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa setiap perjanjian
yang dimaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas
tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan
pejabat yang ditunjuk oleh Kepala BPN. Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala BPN
untuk melaksanakan kewenangan tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). Kewenangan PPAT sebagaimana yang dimaksud dalam PP Nomor 37
Tahun 1998 adalah untuk membuat akta peralihan hak atas tanah-tanah yang telah
memiliki hak atau tanah telah bersertipikat. Sedangkan peralihan hak atas tanah
pengertian peralihan hak tanah disini adalah peralihan penguasaan tanah oleh
seseorang kepada orang lain dalam rangka untuk mendapat manfaat dari tanah
tersebut.
Hak atas tanah merupakan hak atas sebagian tertentu permukaan bumi dan
ruang yang terbatas, karena hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang
untuk mempergunakan sebagian tubuh bumi yang dibawahnya dan air serta ruang
yang ada diatasnya dengan pembatasan Pasal 4 UUPA ayat (1) yaitu sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah yang bersangkutan dalam batas-batas menurut UUPA dan Peraturan lainnya
yang lebih tinggi.
Hak atas tanah yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan salah satu hal
yang diatur dalam Hukum Agraria dan didasarkan pada hukum adat yang
disediakan dalam Hukum Tanah Nasional.
Menurut ketentuan Pasal 16 UUPA dikenal beberapa macam hak atas
tanah. Hak-hak yang dimaksud adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan,
hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dengan
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan
dalam Pasal 53.
Pengertian hak atas tanah-tanah yang belum bersertipikat lebih mengacu
negara. Dalam hal ini tanah tersebut masih dalam kekuasaan negara dan seseorang
dapat menggarapnya untuk diusahakan dengan izin mengelola.
Tanah tersebut dapat beralih kepemilikannya setelah terlebih dahulu
dimohonkan haknya untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat sehingga
tanah tersebut beralih menjadi tanah hak milik. Seseorang yang telah menjadi
pemegang hak atas tanah tidak dapat memberikan hak miliknya kepada orang lain
dengan begitu saja karena hak tersebut merupakan kewenangannya namun yang
dapat dilakukannya adalah mengalihkan atau melepaskan hak atas tanah yang
dimilikinya.
Dengan melepaskan haknya itu, tanah yang terlibat menjadi tanah negara,
yaitu dikuasai langsung oleh negara. Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak
lain selain negara yang berhak atas tanah tesebut. 12
Untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal mengalihkan hak atas tanah,
baik tanah yang telah memiliki hak maupun tanah yang langsung dikuasai oleh
Negara (belum terdaftar haknya) sebaiknya dilakukan dihadapan seorang pejabat
umum yaitu Notaris atau PPAT untuk dibuatkan dengan akta otentik agar
memperoleh kekuatan pembuktian yang sah.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering orang membuat surat tanah untuk
dipergunakan dengan maksud mendapatkan kepastian hukum mengenai suatu
12
perbuatan atau peristiwa yang dilakukan. Surat atau tulisan tersebut akan
dipergunakan sebagai alat bukti yang disebut dengan akta.
Akta sengaja dibuat untuk dapat dijadikan alat bukti tentang suatu
peristiwa hukum dan ditandatangani. Hal ini sesuai dengan Pasal 1867
KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut : ”pembuktian dengan tulisan
dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah
tangan”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata tersebut di atas maka akta
dibuat sebagai tanda bukti yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa
hukum dengan tujuan menghindari sengketa. Sehubungan dengan hal tersebut
maka pembuatan akta harus sedemikian rupa sehingga apa yang diinginkan untuk
dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang dibuat.
Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
membedakan surat dalam 3 (tiga) jenis, yaitu :
1) Akta otentik
Akta yang perbuatannya dilakukan oleh atau dihadapan seorang pejabat
umum. Akta otentik akan menjadi sah secara hukum apabila akta tersebut
telah memenuhi persyaratan sebagai alat bukti yang sah sehingga mempunyai
kekuatan pembuktian hukum yang sempurna dan mempunyai kekuatan
2) Akta di bawah tangan
Akta yang dibuat tidak dihadapan atau oleh pejabat umum tetapi sengaja
dibuat untuk dijadikan alat bukti.
3) Surat biasa
Surat biasa dibuat oleh yang bersangkutan tetapi pada asasnya tidak
dimaksudkan sebagai alat bukti dikemudian hari. Oleh karena itu surat-surat
yang demikian itu dapat dipakai sebagai alat bukti tambahan atau dapat juga
dikesampingkan dan sama sekali tidak dipergunakan.
Kewenangan Notaris dan PPAT dalam membuat akte otentik dibidang
pertanahan merupakan wujud dari pelaksanaan ketentuan Pasal 19 UUPA yang
berbunyi sebagai berikut :
(1)Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketantuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai latar
pembuktian yang kuat.
Tanggung jawab Notaris terhadap pembuatan akta yang berkaitan dengan
pelepasan hak dan ganti rugi adalah begitu besar, dimana akta tersebut dapat
dijadikan sebagai bukti untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan
untuk menghindarkan perselisihan atau sengketa dikemudian hari, maka
pembuatan akta tersebut harus dibuat sedemikian rupa sehingga apa-apa yang
ingin dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang telah dibuat.
Menurut ketentuan Pasal 16 UUPA dikenal beberapa macam hak atas
tanah. Hak-hak yang dimaksud adalah hak-hak atas tanah yang telah bersertipikat
yang haknya tidak pernah berakhir atau yang disebut dengan hak milik (diatur
dalam Pasal 20 UUPA). Ada juga hak atas tanah bersertipikat yang haknya dapat
berakhir sampai jangka waktu yang ditentukan, termasuk didalamnya Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Sewa, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan
sebagainya.
PP Nomor 37 Tahun 1998 menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang
dimaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah,
menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan
pejabat yang ditunjuk oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/
pertanahan (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Pejabat)”.
Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, yang dimaksud dengan Pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan
Dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
ditegaskan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu
menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Pejabat lain yang membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan
tertentu dalam pendaftaran tanah, adalah pejabat dari Kantor Lelang, Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf, dan Panitia Ajudikasi.
Ketentuan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Pasal
7 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu:
(1) PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri,13
(2) Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT
Sementara,
(3) Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, PPAT dibedakan
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
13
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat
akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Yang menjadi PPAT disini adalah
seseorang yang merangkap menjadi Notaris atau mantan pejabat dari Badan
Pertanahan Nasional setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh Badan
Pertanahan Nasional.
2. PPAT Sementara.
PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT. PPAT sementara ini adalah Kepala Kecamatan.
3. PPAT Khusus.
PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT
tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah
tertentu. PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan
hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukkannya.
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional,
sedangkan PPAT sementara diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor
kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional. Ketentuan tentang
penunjukkan PPAT sementara dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah Kabupaten/Kota yang
formasi PPAT-nya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT sementara.
2. Surat Keputusan Penunjukan Camat sebagai PPAT sementara ditandatangani
oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atas nama
Kepala Badan Pertanahan Nasional.
3. Untuk keperluan penunjukan sebagai PPAT Sementara, Camat yang
bersangkutan melaporkan pengangkatannya sebagai PPAT Sementara kepada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi melalui Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan salinan
atau foto copy keputusan pengangkatan tersebut.
4. Penunjukkan Kepala Desa sebagai PPAT sementara oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional setelah diadakan penelitian mengenai keperluannya
berdasarkan letak desa yang sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah yang
sudah terdaftar di wilayah desa tersebut.
Dengan berlakunya PP Nomor 24 tahun 1997 maka setiap perjanjian yang
bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk Pemerintah.
Perbuatan jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu cara
hak-hak kepemilikan atas tanah tidak hanya meliputi jual beli saja tetapi peralihan
hak atas kepemilikan juga dapat terjadi karena hibah, tukar menukar, pemasukan
ke dalam perseroan terbatas, pemisahan dan pembagian, akta pembagian atas
harta warisan. Sedangkan yang dimaksud dengan pembebanan hak, termasuk
didalamnya akta pemberian Hak Tanggungan (sesudah berlakunya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996) yang sebelumnya berlaku ketentuan Hypotheek
dan Credietverband.
Perbuatan jual beli dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai suatu
perbuatan dimana seseorang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang yang
dikehendaki secara sukarela.14
Pengertian jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1547 KUHPerdata
dikaitkan dengan jual beli tanah adalah bahwa jual beli tanah merupakan sesuatu
perjanjian dengan mana penjual mengikat dirinya untuk menyerahkan hak atas
tanah yang bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan dirinya untuk
membayar kepada penjual sesuai dengan harga yang telah disetujui.15
Jual beli dalam pengertian ini baru suatu kewajiban tertentu yang harus
dilakukan, maka pengertian jual beli tersebut masih bersifat “obligatoir” saja.
Bersifat obligatoir artinya jual beli tersebut belum memindahkan hak milik.
Penyerahan (levering) adalah perbuatan hukum yang memindahkan hak milik itu.
Selanjutnya mengenai pemindahan hak milik (levering) ini KUHPerdata
14
Mariam Darus Badrulzman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1981, hal. 25.
15
menganut sistem causal, artinya pemindahan hak milik secara juridis (levering)
adalah sah apabila ia berdasarkan suatu titel yang sah dan dilakukan oleh orang
yang berhak memindahkan milik yang pada umumnya si pemilik sendiri.
Dianutnya sistem causal ini oleh KUHPerdata disimpulkan dari kata-kata Pasal
584 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan “titel” adalah perjanjian obligatoir-nya,
yaitu jual belinya, tukar-menurkarnya, hibahnya dan sebagainya. Dengan
demikian maka apabila perjanjian obligatoir tersebut batal atau dibatalkan, atau
apabila orang yang menyerahkan barangnya tidak berhak memindah-tangankan
barang tersebut, maka pemindahan hak milik menjadi batal.16
Dengan berlakunya UUPA maka semua ketentuan dalam Buku II
KUHPerdata sekedar hanya mengenai bumi dan air telah dicabut kecuali
mengenai hipotik. Mengenai tanah, sudah ada hukum nasional yang seragam
tersusun atas dasar-dasar dan asas-asas hukum adat.
Dalam sistem hukum adat dikenal dan berlaku asas perlindungan si
pembeli yang beritikad baik, asas mana berlaku dan dipegang teguh baik terhadap
barang bergerak maupun tanah. Jual beli menurut hukum adat adalah suatu
transaksi tunai (kontan), bahkan perkataan “jual” lebih tertuju pada pengalihannya
hak milik (overdracht) dari pada tertuju kepada perbuatan semacam perjanjian
obligatoir menurut konstruksi hukum Barat.17
16
R. Subeki, Perbandingan Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 34.
17
Dalam hukum Adat, jual beli tanah merupakan perbuatan hukum
pemindahan hak atas tanah dengan membayar sejumlah harga pada saat
bersamaan dilakukan secara tunai dan terang. Tunai artinya ketika jual beli
dilakukan, penjual menyerahkan haknya untuk menguasai atau mengusahakan
atas tanah tersebut kepada pembeli dan penjual menerima pembayaran harganya
dari pembeli, maka pembuatan jual beli tersebut dianggap telah selesai. Terang
dalam pengertian jual beli menurut Hukum Adat termasuk juga telah
diserahkannya secara fisik benda yang dibeli itu yang dalam hal ini adalah tanah.
Di dalam Hukum Adat, sistem yang dipakai berkenaan dengan peralihan
hak atas tanah umumnya terjadi seketika pada saat pembayaran harga tanah
tersebut diserahkan oleh pembeli.
Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam jual beli tanah
diantaranya:
a. Subjek jual beli
Pihak penjual dan pembeli merupakan subjek dari jual beli. Apabila tanah
yang akan dijual telah mempunyai sertipikat maka pemegang hak atas tanahnya
harus membawa sertipikat aslinya, tetapi seandainya tanah yang akan dibeli itu
belum mempunyai sertipikat tanah maka harus dilengkapi dengan beberapa syarat
antara lain surat keterangan Lurah atau Kepala Desa dan sebagainya atau mungkin
juga dengan surat kuasa jika pembeli menguasakan kepada orang lain atau jika
Seorang penjual sebagai pemilik dari sebidang tanah, ia berhak untuk
menjual sendiri tanah tersebut, tentu saja dengan memperhatikan keadaan atau
status dari tanah tersebut. Jika kedudukan tanah tersebut termasuk dalam harta
bersama dalam suatu perkawinan, maka suami istri secara bersama-sama
bertindak sebagai pihak penjualnya. Seorang istri tidak berwenang bertindak
sendiri sebagai pihak penjual untuk menjual tanah tersebut karena untuk
melakukan suatu tindakan hukum seorang istri harus memperoleh bantuan atau
persetujuan dari suaminya atau dengan perolehan persetujuan atau kuasa dari
Hakim pengadilan.18
Apabila pemilik sebidang tanah berjumlah dua orang maka yang berhak
menjual tanah itu adalah keduanya secara bersama-sama, boleh seorang saja yang
bertindak sebagai penjual sedangkan satu orang lagi dapat memberikan kuasa
tetapi harus dengan adanya surat kuasa.
Demikian juga jika tanah tersebut merupakan milik bersama karena adanya
pewarisan, untuk itu diperlukan surat keterangan waris dari instansi yang
berwenang yaitu dari Pengadilan Negeri untuk orang pribumi yang beragama
18
Kristen, sedangkan surat keterangan waris yang dibuat oleh Notaris diberikan
terhadap Golongan Tionghoa dan biasanya untuk golongan orang pribumi yang
beragama Islam dapat dibuat sendiri oleh semua ahli waris dengan diketahui oleh
Lurah atau dibuat oleh Camat atau oleh Pengadilan Agama setempat.
Apabila salah seorang penghadap yang termasuk dalam ahli waris
merupakan anak di bawah umur maka anak di bawah umur tersebut harus diwakili
oleh orang tuanya atau walinya. Untuk golongan hukum tertentu perbuatan hukum
tersebut hanya dapat dilakukan dengan berdasarkan penetapan Hakim.
Selanjutnya bagi pihak penjual yang dinyatakan pailit, yang dalam
melakukan tindakan hukum yang bersangkutan harus diwakili sepanjang tindakan
hukum tersebut menyangkut dengan harta kekayaannya oleh Curator atau
Curatrice-nya yang Balai Harta Peninggalan yang dalam wilayah kerjanya si
pailit itu berdomisili.19
Terhadap orang yang dinyatakan berada di bawah pengampunan (Onder
Curatele Gesteld), maka yang bertindak mewakili sebagai penjual adalah
pengampunya. Khusus bagi golongan hukum yang tunduk kepada BW (Burgelijke
Wetbook), maka pengampunya harus mendapat izin dari Pengadilan Negeri
dimana ia berdomisili.
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dimana seorang memberikan
kuasa kepada orang lain yang menerima kuasa sebagai atas namanya untuk
19
menyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792 KUHPerdata).20 Dari pengertian
pemberian kuasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerima kuasa berhak untuk
dan atas namanya bertindak mengurus kepentingan pemberi kuasa.
Dalam hal pemberian kuasa ini, pemberi kuasa dapat memberikan
kekuasaan yang sifatnya khusus dalam suatu urusan seperti yang dirumuskan
dalam Pasal 1795 KUHPerdata, pemberian kuasa dapat dilakukan secara umum
meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.21
Kuasa dapat diberikan oleh seseorang kepada orang lain untuk dan atas
namanya dalam melakukan tindakan-tindakan hukum atau menerima
pernyataan-pernyataan.22
Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum atau akta di
bawah tangan bahkan dalam sepucuk surat ataupun hanya secara lisan saja.
Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari
pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa (Pasal 1793 KUHPerdata).
Mengenai berakhirnya kuasa diatur dalam Pasal 1813 KUHPerdata,
yaitu:23
a. Ditariknya kembali kuasa yang telah diberikan oleh pihak pemberi
kuasa.
b. Penghentian kuasa oleh pihak pemberi kuasa.
c. Dengan telah meninggalnya, pengampunan atau pailitnya si pemberi
kuasa maupun si penerima kuasa.
20
Habib Adji, Pemahaman Terdapat Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 44.
21
Ibid., hal. 9.
22
Effendi Perangin-angin, Op. cit., hal. 90.
23
d. Dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.
Kuasa dimaksudkan untuk memberikan wewenang kepada seseorang untuk
mewakili atau bertindak untuk dan atas nama orang yang memberikan kuasa itu.
Kuasa dapat dicabut atau ditarik kembali oleh si pemberi kuasa bilamana kuasa
tersebut terkandung dalam suatu perikatan atau merupakan suatu perikatan yang
lebih luas.
b. Objek jual beli
Objek jual beli adalah tanah, dalam praktek disebut jual beli tanah. Secara
hukum disebut dengan jual beli hak atas tanah, maksudnya hak atas tanahnya yang
dijual bukan tanahnya. Seseorang yang hendak menjual tanahnya tentu telah
mengetahui baik secara fisik maupun status hukum dari hak atas tanah yang akan
dijualnya. Sedangkan tujuan si pembeli hendak membeli hak atas tanah adalah
supaya pembeli dapat menguasai dan mengusahakan atau mempergunakan hak
atas tanah yang dibelinya. Karena yang dijual adalah hak atas tanah, maka harus
diketahui secara pasti jenis tanah yang bagaimana yang menjadi objek jual beli
itu.
Untuk tanah khususnya tanah yang belum bersertipikat dapat diketahui
dengan mempergunakan ketentuan-ketentuan tentang perubahan hak-hak atas
Mengenai jual beli atas tanah, sering kali bangunan dan atau tanaman di
atas tanah tersebut turut menjadi objek. Maka sebelum pembuatan akta otentik,
harus jelas disebutkan secara tegas apakah objek bangunan dan atau tanaman di
atas tanah tersebut turut dijual atau tidak karena dalam UUPA berlaku asas
pemisahan horizontal. Dalam hal ini jika suatu tanah dijual bukan berarti
bangunan yang ada di atasnya juga turut dijual kecuali jika ada diperjanjikan.24
Apabila kita melihat peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat
yang dilakukan oleh Camat maupun Notaris yang pada hakekatnya merupakan
perbuatan jual beli, akan tetapi pada pelaksanaannya oleh para Camat dan Notaris
dilakukan dengan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi. Hal ini
disebabkan karena tanah tersebut belum bersertipikat maka jual beli tanah tersebut
tidak dapat dilakukan sebelum tanah tersebut dikonversi menjadi tanah hak milik.
Jual beli hanya dapat dilakukan atas tanah yang bersertipikat dan dibuat dengan
akta otentik oleh PPAT.
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan
hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya
dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Salah satu kunci yang juga
cukup menentukan dalam perbuatan hukum di atas adalah yang berkenaan dengan
24
ganti rugi dalam pelepasan hak atau pembebasan tanah itu merupakan imbalan
sebagai pengganti nilai tanah yang diserahkan oleh pemilik atau pemegang hak
atas tanah. Mengenai pencabutan atau pelepasan hak atas tanah, AP. Parlindungan
menyatakan :
Orang yang dicabut haknya itu tidak berada dalam keadaan lebih miskin ataupun menjadi lebih miskin setelah pencabutan hak tersebut, ataupun akan menjadi miskin kelak karena uang pembayaran ganti rugi itu telah habis karena dikonsumsi. Minimal dia harus dapat dalam situasi ekonomi yang sekurang-kurangnya sama seperti yang dicabut haknya, syukur kalau bertambah lebih baik.25
Sejalan dengan pendapat di atas, Boedi Harsono merumuskan bahwa baik
dalam perolehan tanah atas dasar kata sepakat maupun cara pencabutan hak,
kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang
layak, sehingga keadaan sosial dan keadaan ekonominya tidak menjadi mundur.26
Dengan demikian maka pemberian ganti rugi ini harus betul-betul mampu
mengantisipasi munculnya kemiskinan dalam masyarakat, bukan penyebab
timbulnya kemiskinan baru.
Pasal 1 ayat (7) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 menunjukkan
ganti rugi sebagai pengganti atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan atau
benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah. Prinsip yang terkandung dalam pasal di atas adalah
25
A.P. Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah, Suatu Perbandingan, Mandar Maju, Bandung, 1993, hal. 5.
26
Boedi Harsono, Kasus-kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan, Suatu Tinjauan
penghormatan hak-hak yang sah atas tanah. Hal ini merupakan asas universal
sebagaimana yang telah dituangkan antara lain dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 1973 dan Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1993, Keputusan
Presiden Nomor 53 Tahun 1989 dan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.
Prinsip perundang-undangan Indonesia tidak mengenal pensitaan tanah. Artinya
pencabutan hak atas tanah, pembebasan tanah harus dengan suatu ganti rugi yang
layak.27
Berdasarkan ketentuan tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa ganti
rugi merupakan suatu imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah yang
telah dilepas atau diserahkan. Kegiatan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
sebagai dasar hukum materilnya adalah hukum perdata yang terletak pada bidang
hukum perikatan. Perbuatan hukum untuk melepaskan hubungan hukum
pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya, tergantung kepada ada
tidaknya kesepakatan atau persetujuan diantara kedua belah pihak. Hal ini berarti
bahwa kesepakatan hukum tersebut harus memperhatikan syarat-syarat yang
ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya suatu perjanjian/
persetujuan harus dipenuhi 4 syarat yaitu :
1. Adanya kesepakatan atau persetujuan antara pihak-pihak yang membuat
perjanjian (konsensus).
27
Pasal ini menyebutkan bahwa sahnya suatu perjanjian/perikatan yang dibuat
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : Adanya kesepakatan mereka
yang mengikat dirinya. Syarat ini merupakan awal dari terbentuknya
perjanjian yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian
yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu, timbulnya kata sepakat tidak
boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan dan
kekeliruan (Pasal 1322 KUHPerdata).
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity);
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak secara hukum telah dewasa atau
cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUHPerdata
yang disebut sebagai pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
adalah: orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada di bawah
pengampunan.
3. Suatu hal tertentu (a certain subject matter);
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah
disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah suatu objek perjanjian dan isi
perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas dan tegas.
4. Suatu sebab yang halal (illegal cause).
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan
Dua syarat yang pertama dinamakan sebagai syarat subjektif, karena
mengenai orang atau subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat
yang terakhir dinamakan syarat yang objektif karena mengenai perjanjian itu
sendiri dan mengenai objek perbuatan hukum yang dilakukan.
Syarat subjektif dan syarat objektif harus dipenuhi dalam suatu perjanjian,
apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka persetujuan tersebut dapat dibatalkan
atau diminta pembatalannya kepada Hakim oleh pihak-pihak yang
berkepentingan. Sepanjang tidak dimintakan pembatalan kepada Hakim maka
persetujuan itu tetap mengikat bagi pihak-pihak sebelum lewat waktu 5 (lima)
tahun sebagaimana disebut dalam Pasal 1454 KUHPerdata. Sedangkan apabila
syarat objektif tidak dipenuhi maka persetujuan itu batal demi hukum artinya dari
semula dianggap tidak pernah ada persetujuan.
Persetujuan kehendak mengenai pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
yang diatur dalam UUPA, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1971, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1973, Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN)
Nomor 15 Tahun 1975 dan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1973 harus
dilakukan dengan musyawarah. Prinsip musyawarah untuk mencapai kesepakatan
antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah merupakan
unsur essensial, maka oleh karena itu perbuatan hukum untuk hubungan
pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya tergantung ada tidaknya
perbuatan hukum tersebut harus memperhatikan syarat-syarat sebagaimana yang
ditentukan pada Pasal 1320 KUHPerdata.
Syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang disebut
di atas merupakan syarat materil yang harus dipenuhi dalam rangka musyawarah
untuk mencapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang
memerlukan tanah, mengenai bentuk besarnya ganti rugi.
2. Kerangka Konsepsi
Dalam rangka penelitian tesis ini maka perlu ditegaskan konsepsi sebagai
suatu defenisi operasional atas beberapa variabel yang digunakan untuk
mendukung judul dalam penelitian ini, sehingga dengan demikian tidak akan
menimbulkan beda tafsir atas sejumlah variabel dimaksud. Disamping itu dengan
adanya penegasan kerangka konsepsi ini akan diperoleh suatu persamaan
pandangan baik dari aspek kaedah kebangsaan maupun dari aspek yuridis.
Beberapa kerangka konsepsi dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang yang ditetapkan oleh
Undang-Undang untuk membuat akta otentik.
2. Peralihan hak atas tanah adalah perubahan status kepemilikan, penguasaan,
peruntukan atas tanah yang dilakukan dengan jual beli, hibah, tukar
menukar, pemasukan ke dalam perseroan, pemisahan dan pembagian, atau
3. Sertipikat adalah surat tanda bukti hak atas tanah yang diberikan oleh
negara kepada pemegang hak atas tanah sebagaimana ditetapkan dalam
UUPA.
4. Tanah yang belum bersertipikat adalah tanah yang tidak dipunyai dengan
sesuatu hak tertentu oleh seseorang, tanah tersebut dikuasai langsung oleh
negara. Penguasaan tanah oleh seseorang hanya sebatas untuk memperoleh
manfaat dari tanah yang dikuasainya saja.
5. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan Pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar.
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat analitis, maksudnya bahwa penelitian ini merupakan
penelitian yang menggambarkan atau menelaah dan memberikan penjelasan
dengan menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai
peralihan hak-hak atas tanah yang belum bersertipikat yang dihubungkan dengan
pembuatan akta yang dilakukan dihadapan Notaris di Kabupaten Deli Serdang.
Dalam hal ini akan dilakukan suatu analisis terhadap berbagai aspek