• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Outsourcing di Indonesia

3. Keberadaan Outsourcing di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah

Dalam rangka menghindari kesimpangsiuran dan perbedaan cara pandang antara kalangan pekerja dan pengusaha dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Undang-Undang Ketenagakerjaan pada 17 Januari 2012 yang lalu, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menindaklanjuti putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 itu melalui Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 diarahkan untuk melindungi pekerja, namun kalangan buruh merasa belum cukup. Tenaga outsourcing dalam pekerjaan yang sifatnya bukan borongan atau tidak selesai dalam sekali waktu tetap diperbolehkan. Inilah yang merisaukan kalangan pekerja dan menilai putusan Mahkamah Konstitusi makin melegalkan praktik outsourcing.

Ada tiga hal penting yang dikritik,56

56

Putusan MK Dianggap Makin Melegalkan Outsourcing, diakses dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f1f92ad10d9b/putusan-mk-dianggap-makin-melegalkan-outsourcing. Diakses terakhir kali tanggal 01 Februari 2012

pertama, putusan Mahkamah Konstitusi semakin mengukuhkan keberadaan outsourcing dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja masih tetap bekerja di perusahaan penyedia (agent) tenaga kerja bukan di perusahaan pengguna tenaga kerja (user). Kalangan serikat pekerja

menginginkan outsourcing yang bergerak di bidang penyediaan pekerja/buruh (bukan borongan) dihapuskan. Sehingga pekerja bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan secara langsung tanpa outsourcing. Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi memang memperkecil jarak keuntungan yang diperoleh pekerja outsourcing dengan pekerja tetap dengan jenis pekerjaan sama. Meminimalisir diskriminasi sangat penting, sehingga prinsip equal job equal pay dapat diterapkan, tetapi tetap saja pekerja outsourcing sulit beralih posisi menjadi pekerja di perusahaan pemberi pekerjaan. Ketiga, posisi tawar pekerja outsourcing sangat lemah terutama dalam membentuk serikat buruh. Ketika pekerja outsourcing ingin menuntut kenyamanan di tempat kerja, pekerja bingung akan menuntut kemana perusahaan penyedia atau pemberi pekerjaan.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011, menyatakan bahwa ada 2 (dua) model yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja outsourcing yaitu Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini menyiratkan bahwa setiap pekerja outsourcing terjamin kedudukannya dalam perusahaan pengguna karena pengalihan perlindungan/ kerja bagi pekerja/buruh outsourcing kepada perusahaan outsourcing lainnya. Akan tetapi masalah kemudian timbul secara yuridis, yaitu siapakah sebenarnya para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, sebab seperti dikemukakan sebelumnya, perjanjian kerja outsourcing dilakukan antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja outsourcing, di samping sifat dan jenis pekerjaan outsourcing pada dasarnya bukan untuk pekerjaan pokok dan oleh karenanya disubkontrakkan.

Bagi perjanjian kerja yang sudah disepakati dengan pekerja outsourcing sebelum diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. B.31/PHI.JSK/I/2012.

Pada lain sisi, bagi pekerja outsourcing, sebenarnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini dianggap makin melegalkan outsourcing di Indonesia, dan terutama tidak disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi maupun Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengenai pekerjaan apa saja yang dapat di outsourcingkan.

Perusahaan penyedia jasa sangat tergantung kepada kebutuhan perusahaan pengguna dalam memberikan suatu pekerjaan bagi pekerja. Model kontrak outsourcing berpeluang memunculkan sengketa perburuhan, hal ini terjadi karena Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang khusus mengatur mengenai status

pekerja dari perusahaan penyedia jasa. Konflik hubungan kerja ini bahkan terus berlanjut hingga terjadi perselisihan hubungan industrial yang dibawa hingga tingkat kasasi. Pada umumnya dalam beberapa kasus,57

Pro kontra pekerja outsourcing ini sampai sekarang menjadi dilematis karena di satu sisi secara efisiensi, pekerja outsourcing dipandang pengusaha sebagai salah satu jalan ke luar dalam mencari tenaga kerja yang aman dan di sisi lain kedudukan bagi pekerja dengan bekerja secara outsourcing tidak menentu terutama oleh karena hampir secara keseluruhan, pekerja outsourcing bekerja dengan dasar PKWT. Hampir di semua lini pekerjaan dapat dimasuki oleh pekerja outsourcing dewasa ini termasuk pekerjaan pokok, yang sebenarnya dilarang oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Oleh karena terikat PKWT, maka sudah menjadi rahasia umum jika pekerja

pengadilan tidak dapat memenangkan pekerja outsourcing yang meminta dipekerjakan kembali di perusahaan pemberi pekerjaan maupun apabila diputus hubungan kerjanya dilakukan prosedur PHK seperti yang diatur dalam undang-undang, karena pada dasarnya secara hukum hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja, bukan dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Kalaupun di dalam ketentuan undang-undang diatur bahwa pekerja outsourcing dijamin hak-haknya oleh perusahaan penyedia jasa namun apabila terjadi pelanggaran hal tersebut tidak serta merta menyebabkan kedudukan mereka secara yuridis dapat berubah.

57

Beberapa kasus, a.l. adalah tahun 2002 pekerja di PT Tri Patra Engineer and Contractor menolak PHK yang dilakukan terhadap mereka dan minta dipekerjakan kembali di PT Caltex Pacific Indonesia, karena menganggap PT TPEC bukan majikan mereka sebagai perusahaan penyedia jasa, juga kasus PHK karyawan outsourcing PT Bakrie Tosan Jaya berdasarkan Putusan Kasasi MA No 192 K/PHI/2007 yang memenangkan termohon kasasi PT Bakrie Tosan Jaya sebagai perusahaan pengguna yang menolak memberikan kompensasi PHK kepada karyawan outsourcingnya.

outsourcing masuk, ke luar dan kembali lagi bekerja di perusahaan pengguna yang sama bertahun-tahun dengan sistem outsourcing.

Permasalahan lain dalam hubungan hukum berupa hubungan kerja adalah mengenai sanksi. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Hal ini secara yuridis disadari amat rawan bagi pekerja untuk menuntut hak-haknya secara hukum, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja dalam undang-undang tersebut. Oleh karenanya wajar apabila terjadi pekerja yang bekerja terus menerus dengan sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan kemudian dialihkan menjadi pekerja outsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya lebih mudah dihindari oleh perusahaan pemberi kerja.

Bergantungnya perjanjian kerja bagi pekerja outsourcing dengan perjanjian kerjasama antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dapat ditarik analogi seperti hubungan accessoir dalam kedua perjanjian tersebut. Artinya perjanjian kerja outsourcing sangat bergantung pada perjanjian kerjasama perusahaan pemberi pekerjaan dan penyedia jasa. Apabila perjanjian kerjasamanya berakhir sebelum waktu yang diperjanjikan, maka perjanjian kerja outsourcing juga dengan demikian menjadi berakhir bersamaan dengan berakhirnya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kerjasama antara perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan penyedia jasa.

Konsekuensi apabila perjanjian kerja waktu tidak tertentu tidak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian kerja berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang No. 13 Tahun

2003 tentang ketenagakerjaan, maka perjanjian kerja waktu tertentu berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan dengan demikian para pekerjanya bukan lagi menjadi pekerja kontrak tetapi di angkat menjadi pekerja tetap. Masa kerja pekerja tersebut pun dimulai sejak pertama kali pekerja tersebut diterima bekerja, akan tetapi ketentuan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membatasi pekerja yang bekerja dengan dasar perjanjian kerja waktu tertentu secara terus menerus dan demi hukum akan berubah status menjadi pekerja tetap serta ketentuan mengenai pekerja outsourcing yang kedudukannya dapat beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna apabila terjadi pelanggaran ketentuan Pasal 65 dan 66 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut mengenai penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, mengakibatkan akal-akalan yang terjadi selama ini adalah mempekerjakan mereka kembali dengan status pekerja baru dengan memberikan masa jeda selama beberapa bulan sebelum pekerja tersebut dipekerjakan kembali. Hal tersebut di atas tentu sangat merugikan pekerja, sebab status dan kedudukan pekerja menjadi tidak jelas serta tidak ada kepastian hukum bagi pihak pekerja itu sendiri.

Keluhan lain datang dari pihak perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing. Hampir semua perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing mengeluhkan kemampuan dan kompetensi pekerja outsourcing yang rendah di samping apabila pekerja outsourcing dari perusahaannya melakukan tindakan pidana dalam perusahaan atau pelanggaran lain yang merugikan perusahaan pemberi pekerjaaan, maka perusahaan outsourcing yang menanggungnya. Hal tersebut menjadi berat, oleh

karena tindakan pelanggaran yang dilakukan pekerja outsourcing tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Sulitnya memperoleh pekerja yang berkualitas baik secara akademis, teknis dan mental kepribadian juga masih menjadi masalah bagi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

Keluhan terakhir akhirnya tetap datang dari pekerja outsourcing yang semula berstatus sebagai pekerja kontrak bertahun-tahun dengan pembaharuan kemudian beralih menjadi pekerja outsourcing yang dalam kontraknya harus menawarkan jasa dan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang memberatkan.58

Menurut analisa peneliti model outsourcing yang pertama dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 yaitu dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), lebih efektif diterapkan pada outsourcing pekerja/buruh karena pada umumnya outsourcing pekerja/buruh

Sebagian pekerja outsourcing ini cenderung lebih memilih bekerja kontrak dibandingkan dengan bekerja secara outsourcing karena kemudian menjadi lebih tidak jelas mengenai hak dan kedudukannya.

58

Kasus pekerja wartawan korespondensi kontrak PT Tempo Interaktif area Jawa Tengah yang beralih status menjadi pekerja outsourcing, Purwokerto, Oktober 2011.

digunakan untuk jenis pekerjaan yang tetap ada seperti security dan cleaning service sehingga job security dan pengembangan karir dari pekerja outsourcing bisa terlaksana dengan baik dengan demikian tidak adalagi perbedaan dalam hal keamanan kerja dan pemenuhan hak-hak normatif yang diatur dalam Undang-Undang antara pekerja/buruh dari perusahaan pemberi pekerjaan dengan pekerja/buruh outsouricng.

Model outsourcing yang kedua dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 yaitu bagi hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing yang menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing (Transfer Of Undertaking Protection Of Employment) untuk objek kerja yang sama lebih efektif diterapkan dalam outsourcing pekerjaan. Dengan adanya pengalihan perlindungan bagi pekerja outsourcing akan memberikan jaminan akan kelangsungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati dari awal, dengan demikian walaupun terjadi penggantian perusahaan pemborong pekerjaan sebelum habis masa perjanjian pemborongan pekerjaan para pekerja/buruh outsourcing tetap akan dipekerjakan oleh perusahaan pemborong pekerjaan lainnya yang menggantikan perusahaan pemborong sebelumnya sampai perjanjian pemborongan pekerjaan selesai sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Dalam amar putusannya pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 disebutkan perjanjian kerja waktu tertentu dalam pasal 65 ayat (7) dan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia pekerja/buruh, namun tidak dijelaskan konsekuensi hukum atas tidak dimilikinya kekuatan hukum yang mengikat atas perjanjian kerja waktu tertentu tersebut hal.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi selaku pelaksana teknis mengenai ketenagakerjaan dalam Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. B.31/PHI.JSK/I/2012 hanya mempertegas Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai konsekuensi hukum yang ditimbulkan akibat putusan tersebut. Hal inilah yang menurut peneliti Putusan Mahkamah Konstitusi malah semakin membuat binggung para kalangan baik pengusaha maupun pekerja, yang seharusnya hal ini tidak boleh sampai terjadi karena masalah ketenagakerjaan merupakan hal yang sangat penting dan menyangkut harkat hidup orang banyak.

B. Pelaksanaan Outsourcing antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS