• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Outsourcing di Indonesia

2. Outsourcing Menurut Peraturan Perundang - Undangan

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 1601b KUH Perdata mengatur perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang ke satu, pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Perjanjian pemborongan ini yang kemudian setelah keluarnya Undang-undang Ketenagakerjaan dikenal dengan istilah penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan yang populer dimasyarakat dengan istilah outsourcing pekerjaan.

Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil, artinya perjanjian pemborongan itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antar kedua belah pihak yaitu pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong mengenai pembuatan suatu karya, harga borongan atau kontrak dan lamanya jangka waktu pemborongan serta sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam perjanjian tersebut.

Pihak pemborong mengikatkan diri kepada pihak pemberi borongan untuk menyelesaikan suatu borongan tertentu, dan sebagai imbalan atas penyelesaian tersebut, pihak pemborong mendapat prestasi harga tertentu sebagai upah. Upah tertentu dalam pemborongan ini tidak hanya dimaksudkan semata-mata hanya upah yang ditentukan lebih dahulu, tapi harus diartikan lebih luas dari pada itu yaitu: meliputi upah yang dapat ditentukan kemudian.44

Prestasi upah yang diterima pemborong dalam pemborongan kerja, tergantung pada objek kerja yang diborongkan. Bisa saja pemborong hanya menyediakan bahan-bahan atau barang-barang borongan, namun bisa juga sekaligus pemborong itu sendiri yang menyediakan bahan dan menyiapkan kerja borongan. Seperti memborong bangunan rumah. Seorang pemborong hanya ditugaskan untuk menyediakan bahan bangunan saja, sedang pembangunan rumah diserahkan kepada pemborong lain. Tetapi bisa juga sekaligus bahan bangunan dan pembangunan rumah diserahkan kepada seorang pemborong.45

Apabila pemborong diwajibkan/ ditugaskan menyediakan bahan dan melakukan pekerjaan, dan pekerjaannya musnah sebelum diserahkan kepada pihak

44

M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Jakarta: Alumni, 1986), hal 258.

45

yang memborongkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan pemborong, namun jika pemborong hanya diwajibkan untuk melakukan pekerjaan saja dan pekerjaannya musnah, maka pemborong hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya (Pasal-Pasal 1605 dan 1606 KUH Perdata), ketentuan ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahan-bahan dari pihak yang memborongkan ditanggung oleh pihak yang memborongkan pekerjaan.46

Apabila pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, oleh Pasal 1607 disebutkan bahwa jika musnahnya pekerjaan itu terjadi diluar sesuatu kelalaian dari pihaknya pemborong, sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedang pihak yang memborongkan tidak telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, maka si pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali apabila musnahnya barang (pekerjaan) itu disebabkan oleh suatu cacat dalam bahannya.47

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua belah pihak menderita kerugian akibat kejadian yang tak disengaja yang memusnahkan pekerjaan itu: pihak yang memborongkan kehilangan bahan-bahan yang telah disediakan olehnya sedangkan pihak pemborong kehilangan tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menggarap pekerjaan. Pihak yang memborongkan hanya dapat menuntut penggantian kerugiannya apabila dapat membuktikan adanya kesalahan dari pemborong, sedangkan pihak pemborong hanya akan dapat menuntut

46

R. Subekti , Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal 65

47

harga yang dijanjikan apabila berhasil membuktikan bahwa bahan-bahan yang disediakan oleh pihak yang memborongkan mengandung cacat yang menyebabkan kemusnahan pekerjaannya.48

Jika suatu pekerjaan dikerjakan sepotong demi sepotong (sebagian demi sebagian) atau seukuran demi seukuran, maka pekerjaan itu dapat diperiksa sebagian demi sebagian. Pemeriksaan tersebut dianggap terjadi (dilakukan) untuk semua bagian yang telah dibayar apabila pihak yang memborongkan tiap-tiap kali membayar pemborong menurut imbangan dari apa yang telah selesai dikerjakan (Pasal 1608). Ketentuan ini mengandung maksud bahwa sebagian pekerjaan yang sudah dibayar itu menjadi tanggungan pihak yang memborongkan apabila terjadi suatu peristiwa (diluar kesalahan salah satu pihak) yang memusnahkan bagian pekerjaan itu.49

Ada beberapa prinsip yang diatur oleh KUH Perdata yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan antara lain sebagai berikut50

1) Ketika kesepakatan dalam pemborongan pekerjaan telah terjadi dan pekerjaan telah mulai dikerjakan maka pihak yang memborongkan pekerjaan tidak bisa menghentikan pemborongan pekerjaan;

:

2) Dalam hal pemborongan pekerjaan berhenti akibat meninggalnya si pemborong, pihak yang memborongkan wajib membayar kepada ahli waris si pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan;

48

Ibid.

49

Ibid

50

3) Tanggung jawab terhadap orang-orang yang dipekerjakan dalam pemborongan pekerjaan berada pada pihak pemborong;

4) Buruh berhak menahan barang kepunyaan orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada barang tersebut sampai biaya dan upah – upah yang dikeluarkan untuk barang itu dipenuhi seluruhnya, kecuali bila pihak yang memborongkan telah memberikan jaminan untuk pembayaran biaya dan upah- upah tersebut.

b. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat disebut sebagai suatu kodifikasi dari berbagai ketentuan ketenagakerjaan yang sebelumnya terpisah-pisah. Sebelum Undang-Undang ini berlaku, ada sekitar lima belas ordonansi dan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku untuk mengatur ketenagakerjaan. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini, maka kelima belas ordonansi/peraturan tersebut telah dinyatakan tidak berlaku.51

Ketentuan yang mengatur outsourcing ditemukan dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan menentukan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dari perumusan Pasal 64 tersebut di atas, dalam kaitan ini terdapat 2 (dua) macam perjanjian yaitu:

51

1) Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, yaitu suatu perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.

2) Perjanjian Penyediaan Jasa Buruh/Pekerja, yaitu perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menyediakan pekerja/buruh kepada perusahaan yang akan menggunakan pekerja/buruh.

Perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 65. Pengaturan perjanjian pemborongan pekerjaan dalam Pasal 65 ini terdapat kejanggalan. Hal ini tercermin dalam Pasal 65 ayat (2) huruf b yang menentukan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat bahwa pekerjaan itu harus dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Ketentuan pasal ini menimbulkan kritik karena bagaimana mungkin perusahaan yang telah menyerahkan pelaksanaan pekerjaan kepada orang lain masih memiliki kewenangan untuk memberikan perintah baik langsung maupun tidak langsung terhadap pekerjaan yang telah diborongkan kepada perusahaan lain.52

Pelaksanaan penyerahaan sebagian pekerjaan melalui penyedia jasa pekerja/buruh dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat antara lain:

1) Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis;

2) Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

52

a) Bagian pekerjaan yang tersebut dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b) bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidaklah menghambat proses produksi secara langsung; dan

c) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.

Semua persyaratan di atas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat di outsourcing-kan. Kemudian persyaratan lainnya menurut Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah bahwa perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya sehingga pekerja/buruh menjadi terlantar, oleh karena itu memiliki badan hukum menjadi sangat penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab.53

Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan juga mengatur masalah perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja, dimana sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi kerja agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh

53

Aloysius Uwiyono, Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi , Vol 22 No. 5, (Jakarta : Jurnal Hukum Bisnis, 2003), hal. 12.

baik diperusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat kerja upah, perlindungan kerja yang lebih rendah.54

Pada perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh, sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh perusahaan pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, tetapi untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Selain itu penyerahan sebagai pekerjaan melalui penyediaan jasa pekerja/buruh harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

2) Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 Undang-Undang No.13 tahun 2003 dan/ atau perjanjian kerja waktu tidak tentu yang dibuat secara tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak;

3) Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; 4) Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara

54

tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ketenagakerjaan.

Penyedia jasa pekerja/buruh harus merupakan usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Dalam hal terjadi pelanggaran antara lain :

1) Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja outsourcing merupakan pekerjaan inti dan bukan penunjang;

2) Tidak adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja secara tertulis, baik itu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT);

3) Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan lain yang bertindak sebagai penyedia jasa pekerja/buruh tidak dibuat secara tertulis; 4) Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak berbadan hukum dan tidak

memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan, yang artinya segala tanggung jawab ketenagakerjaan seperti pemenuhan hak-hak normatif yang berkaitan dengan pekerja/ buruh sepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan pemberi pekerjaan.55

55

3. Keberadaan Outsourcing di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah