Keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga di RW 04 ditinjau melalui kerangka analisis Longwe. Kerangka analisis tersebut terdiri atas 5 tingkatan kesetaraan, yaitu: kesejahteraan, partisipasi, kesadaran kritis, akses, dan kontrol (Handayani, Sugiarti 2005). Lima tingkatan tersebut saling berhubungan, menguatkan, dan berhubungan hierarkhis. Setiap tahapan tersebut harus dilewati untuk mencapai keberdayaan.
Tingkat Kesejahteraan Perempuan
Kesejahteraan para perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di RW 04 Desa Gunungsari, dilihat melalui pendapatan dan kesadaran lingkungan. Pendapatan dihitung dari total pemasukan uang yang didapat perempuan dari hasil kerja nafkah, sosial, pengelolaan sampah, dan sumber lain. Selanjutnya, kesadaran lingkungan diukur melalui tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan yang telah dilakukan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Hal ini sesuai dengan tujuan program pengelolaan sampah rumah tangga, yaitu untuk meningkatakan kesadaran lingkungan, mengoptimumkan pengelolaan sampah menjadi produk yang bermanfaat, dan memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat, dan menciptakan lingkungan bersih dan sehat.
Gambar 5 Persentase tingkat kesejahteraan perempuan peserta
Gambar 5 menunjukkan mayoritas (77%) perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga memiliki tingkat kesejahteraan tinggi. Para perempuan ini sangat antusias terhadap kegiatan lingkungan. Mereka rutin melakukan berbagai bentuk pelestarian lingkungan seperti memilah sampah, mendaur ulang, kerja bakti untuk kebersihan lingkungan, dan menanam pohon. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan salah satu peserta yang mengatakan:
“…Hampir semua ibu-ibu di sini antusias mengikuti kegiatan-kegiatan terkait lingkungan. Ketika ada program pengelolaan sampah, para kader dan ibu-ibu lain
33
memisahkan sampah organik dan anorganik di masing-masing tempat sampah yang telah disediakan. Kemudian sampah anorganik dikumpulkan ke bank sampah dan dijual pada pengepul. Sampah plastik yang bisa digunakan untuk kerajinan tangan, dibuat tas, dompet, dan lain-lain. Tidak hanya itu, ketika ada bantuan berupa bibit tanaman dari CSR, semua ibu-ibu dibantu bapak-bapak ikut kerja bakti untuk menanam pohon…”-F (44 tahun), warga RT 04.
Selain itu, mereka juga memiliki pendapatan di atas rata-rata (Rp927 067), meskipun lebih banyak didapatkan selain dari program pengelolaan sampah rumah tangga. Namun, jika dibandingkan dengan UMR Bogor (Rp2 242 240) pendapatan para peserta masih banyak yang jauh di bawah rata-rata. Pendapatan perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga ini yang terendah sebesar Rp27 000, sedangkan yang tertinggi sebesar Rp6 075 000. Namun, mereka yang mendapatkan hasil dari daur ulang sampah hanya 6 orang. Jumlahnya pun tidak terlalu besar. Pendapatan dari hasil daur ulang sampah per bulannya hanya berkisar antara Rp15 000 sampai Rp100 000. Peserta mengatakan pendapatan dari hasil penjualan daur ulang sampah tidak terlalu banyak atau bahkan tidak menghasilkan sama sekali, karena penghasilan dari bank sampah dan penjualan kerajinan tangan masuk ke kas RT. Uang tersebut digunakan mereka untuk membeli inventaris RT seperti kompor, piring, gelas, dan alat-alat lain. Seperti halnya yang dikatakan oleh seorang responden, sebagai berikut:
“…Uang dari hasil bank sampah dan penjualan kerajinan tangan jarang masuk kantong pribadi, biasanya uang tersebut masuk ke kas RT untuk membeli piring, kompor, dan lain-lain. Peralatan itu nantinya digunakan untuk acara RT, bisa juga untuk warga yang mau selametan, tapi ga punya perlengkapannya bisa pakai kompor dan piring RT...”-EG, warga RT 04.
Meskipun kebanyakan warga antusias untuk melakukan pelestarian lingkungan, namun masih ada (23%) peserta yang memiliki kesejahteraan rendah. Mereka memiliki pendapatan dan kesadaran lingkungan rendah. Mereka sudah jarang melakukan daur ulang bahkan memilah sampah organik dengan anorganik.
Hal ini disebabkan petugas sampah dari Unit Pelayanan Kebersihan (UPK) Desa Gunungsari yang juga merupakan bantuan dari CSR, tidak mengangkut sampah dengan benar. Sampah yang telah dipilah oleh warga, ketika diangkut dengan truk dicampurkan lagi antara yang organik dengan yang anorganik. Hal inilah yang membuat semangat para peserta turun. Seperti yang diutarakan oleh seorang responden, sebagai berikut:
“…Sebetulnya walaupun warga kadang malas mendaur ulang sampah, tapi mereka tetap melakukan pemilahan sampah sebelum dibuang. Namun, sejak petugas UPK mencampurkan sampah yang telah dipilah di truk, saya dan warga yang lain jadi males untuk memisahkan sampah lagi. Kita jadi ngerasa percuma udah milah-milah…”- H (44 tahun), warga RT 08.
Tingkat Akses Perempuan
Tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga dinilai dari frekuensi pendampingan dan pelatihan yang didapatkan. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP, kesempatan untuk mendapat pendampingan dan pelatihan lebih banyak dimiliki oleh kader. Hal ini karena, mereka menjadi sasaran utama untuk mengajarkan hasil pendampingan dan pelatihan yang telah didapatkan kepada peserta lain.
Penyelenggaraan pelatihan lebih banyak dilakukan pada awal kegiatan. Mereka mendapat pelatihan dari ahli yang difasilitasi pelaksanaannya oleh CSR. Pihak CSR menyiapkan ahli, tempat, transport, dan konsumsi untuk para pesertanya. Bahkan salah satu peserta mengatakan setiap diadakan pelatihan selalu diberikan uang. Uang tersebut sebagai bentuk dukungan kepada mereka yang sudah mengikuti pelatihan.
Setelah para peserta program lingkungan CSR ini mendapat pelatihan, mereka harus dapat mengembangkannya sendiri. Namun, pihak CSR tidak melepas mereka begitu saja, mereka akan tetap mendapat pendampingan rutin. Pendampingan tersebut berupa monitoring.
Gambar 6 Persentase tingkat akses perempuan peserta
Gambar 6 menunjukkan sebagian besar (60%) peserta memiliki tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan rendah. Artinya frekuensi pelatihan dan pendampingan yang diikuti adalah 1-2 kali dalam setahun. Para peserta terutama kader sebenarnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat pendampingan dan pelatihan. Namun, waktu dari pendampingan dan pelatihan sering berbenturan dengan kegiatan lain, sehingga mereka tidak mengikuti pelatihan dan pendampingan tersebut. Hal ini seperti yang dikatakan oleh salah satu peserta, sebagai berikut:
“…Sebenernya pelatihan dari CSR Indocement itu diperuntukkan untuk semua peserta. Saya sendiri waktu itu udah diajak sama Bu RW, tapi kebetulan saat itu saya
35
Selain itu, tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan rendah juga dipengaruhi adalah keaktifan dalam organisasi masyarakat. Seorang warga bahkan mengatakan pendampingan dan pelatihan tersebut lebih diperuntukkan bagi kader-kader. Hal ini diungkapkan oleh satu responden, sebagai berikut:
“…Saya cuma ikut pelatihan sekali ke Mampang, terus saya udah ga pernah lagi ketemu pihak CSR. Saya ngerasa kegiatan itu lebih diutamakan untuk kader-kader, karena setiap ada pendamping dari CSR yang mau mantau yang dikasih tau hanya kadernya aja. Saya yang bukan kader jarang dikasih tau…”- LEJK (44 tahun), warga RT 06.
Tingkat Kesadaran Kritis Perempuan
Kesadaran kritis merupakan tahap ketiga dari proses pemberdayaan perempuan. Pada tahap ini, perempuan dinilai dari kesadaran bahwa peran gender merupakan hasil budaya yang bisa diubah. Selain itu, perempuan menyadari bahwa pembagian kerja harus lebih adil antara laki-laki dan perempuan.
Pada program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari, kesadaran kritis kurang menjadi perhatian. Aspek ini baru dilihat pada saat akan mengukur tingkat keberdayaan perempuan. Para peserta dinilai sikap terhadap isu ketimpangan gender dalam sosial dan ekonomi. Isu sosial terkait dengan pembagian kerja dan dominasi kepemimpinan laki-laki, sedangkan isu ekonomi terkait pembedaan pendapatan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu pekerjaan yang sama.
Gambar 7 Persentase tingkat kesadaran kritis perempuan peserta
Gambar 7 menunjukkan perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga mayoritas (70%) memiliki tingkat kesadaran kritis tinggi. Artinya sebaigan besar peserta tidak menyetujui adanya diskriminasi yang dialami perempuan. Mereka telah menyadari bahwa pembagian peran gender bukanlah sesuatu yang alami, sehingga dapat diubah menjadi lebih adil.
Ketidakadilan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga ini sebenarnya bukan antara perempuan dan laki-laki, tapi antara peserta kader dan non-kader. Menurut peserta yang bukan kader, program ini lebih banyak diperuntukkan untuk para kader. Para kader lebih banyak memiliki kesempatan dibandingkan dengan yang bukan kader. Selain itu, para peserta non-kader ini jarang terlibat diskusi dengan pendamping, sehingga kebanyakan dari mereka hanya ikut pada saat pelaksanaan. Hal ini seperti yang dikatakan salah satu responden, sebagai berikut:
“…Menurut saya, program ini lebih banyak diperuntukkan untuk kader. Meskipun saya peserta program pengelolaan, tapi saya jarang didampingi sama CSR. Waktu itu pernah ketemu orang CSR saat ada pelatihan aja, tapi setelah itu jarang, karena saya juga setiap diajak rapat di pendopo jarang ikut. Saya sih mikirnya kalo ada rapat untuk ngerencanain kegiatan itu tugasnya kader, saya ikut pelaksanaannya aja…”-Ibu SSL (38 tahun), warga RT 01.
Tingkat Partisipasi Perempuan
Paritisipasi peserta dalam program dilihat dari keikutsertaannya dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Hal ini juga dapat menjadi indikator bagaimana keterlibatan perempuan dalam mengikuti setiap tahapan tersebut. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga ini pihak CSR selalu berdiskusi dengan para peserta dalam setiap tahapan program. Mereka melalui ketua kader RW 04 sekaligus ketua UPPKS selalu mengundang peserta untuk hadir ke Rumah Seni dan Budaya (RSB) atau pendopo untuk berdiskusi.
Gambar 8 Persentase tingkat partisipasi perempuan peserta
Gambar 8 menunjukkan mayoritas (53%) perempuan peserta memiliki tingkat partisipasi tinggi. Mereka kebanyakan mengikuti tahap perencanaan dan pelaksanaan program pengelolaan sampah rumah tangga. Umumnya mereka yang mengikuti perencanaan dan implementasi adalah kader-kader RT.
37
Sementara itu, sebagian peserta mengikuti seluruh tahap program yaitu perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Mereka yang mengikuti seluruh tahapan adalah kader-kader RT dan RW. Hal ini karena mereka lebih sering mengikuti program pengelolaan sampah. Mereka tidak hanya aktif dalam kegiatan bank sampah dan daur ulang, tapi mereka juga aktif mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh CSR PT ITP.
Selain itu, masih ada (47%) perempuan peserta yang memiliki tingkat partisipasi rendah. Mereka hanya mengikuti implementasi program. Kebanyakan dari mereka adalah peserta yang tidak terlibat dalam organisasi kemasyarakatan. Mereka memiliki pandangan bahwa yang harus mengikuti seluruh tahapan program adalah kader. Para peserta yang bukan kader hanya menunggu berita dari kader untuk pelaksanaan kegiatan. Hal ini seperti yang diungkapkan seorang responden, sebagai berikut:
“…Saya sih ga pernah ikut rapat ngerencanain kegiatan itu. Saya hanya ikut pelaksanaannya aja. Biasanya yang wajib ikut rapat itu kader, nanti kader-kader itu
yang akan memberi informasi terkait pelaksanaan program…”-SS (44 tahun), warga
RT 05.
Tingkat Kontrol Perempuan
Kontrol merupakan tahapan tertinggi dari proses pemberdayaan perempuan. Ketika sudah mencapai tahap ini perempuan dapat dikatakan sudah berdaya. Tahapan ini dapat terwujud ketika tidak ada pihak-pihak yang mendominasi. Kontrol pada program lingkungan CSR ini dinilai dari kuasa untuk menentukan kebutuhan kegiatan, pemanfaatan bantuan, dan pengambilan keputusan forum Bilikom. Pada pengambilan keputusan, lingkupnya tidak hanya ada program, melainkan kekuasaan perempuan dalam menentukan arah pembangunan desa melalui forum Bilikom. Forum Bilikom merupakan kegiatan diskusi antara pemerintah desa, CSR PT ITP, dan warga yang dilakukan sebanyak 4x dalam setahun. Hal yang dibicarakan adalah bantuan CSR perencanaan kegiatan apa yang dapat memenuhi kebutuhan desa serta diakhir nanti akan ada evaluasi.
Gambar 9 menunjukkan sebagian besar (90%) perempuan peserta masuk kategori tingkat kontrol terhadap penentuan kebutuhan, pemanfaatan bantuan program, dan pengambilan keputusan pembangunan desa rendah. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga di RW 04 Desa Gunungsari, kegiatan lebih banyak diikuti oleh kader. Mereka yang bukan kader, lebih sedikit memiliki suara untuk menentukan kebutuhan, pemanfaatan bantuan program, dan pengambilan keputusan dalam forum Bilikom. Hal ini karena mereka tidak hadir mengikuti setiap tahapan program.
Tingkat kontrol tinggi hanya dimiliki oleh 10 persen peserta program. Hal ini karena, kontrol juga dipengaruhi oleh jabatan dalam organisasi yang diikuti. Menurut para peserta yang juga seorang kader, mereka memiliki suara untuk mengusulkan kebutuhan program dan pemanfaatan bantuan, tapi untuk mengambil keputusan dalam forum itu dimiliki oleh ketua kader RW 04. Meskipun mereka memiliki kontrol untuk keputusan tersebut, tetapi sebenarnya yang memiliki kontrol penuh untuk memberi bantuan dan pendanaan dimiliki oleh pendamping CSR. Hal ini seperti yang diungkapan seorang responden, sebagai berikut:
“…Walaupun saya ikut rapat dan punya suara untuk usul, tapi keputusannya pada akhirnya ditentukan oleh Ibu RW (ketua kader RW). Keputusan itu nantinya akan diajukan kepada pendamping CSR. Ujung-ujungnya tetep mereka yang punya kuasa
penuh untuk kasih bantuan apa engga…”-Ibu SW (47 tahun), warga RT 03.
Selanjutnya, keikutsertaan dalam Bilikom hanya dilakukan oleh sebagian kecil peserta perempuan. Mereka yang dapat mengikuti dan mengambil keputusan di Bilikom adalah ketua kader RW 04, Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) dan guru yang mewakili sekolahnya.
Ikhtisar
Keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari sudah sampai pada tahap partisipasi. Pada tingkat kesejahteraan, kesadaran kritis, dan partisipasi perempuan peserta mayoritas masuk kategori tinggi. Namun, di tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan peserta didominasi oleh kategori rendah. Hal ini karena peserta program memiliki kesempatan untuk mendapat pendampingan dan pelatihan, tapi mereka seringkali tidak menghadiri kegiatan tersebut, karena kegiatannya berbenturan dengan kegiatan lain.
Sementara itu, pada tahap kontrol didominasi kategori rendah. Hal ini karena kontrol terhadap penentuan kebutuhan dan pemanfaatan bantuan program ada pada ketua kader RW 04. Selain itu, pada forum Bilikom tidak diikuti oleh seluruh peserta program pengelolaan sampah rumah tangga. Mereka yang mengikuti forum Bilikom hanyalah ketua kader RW 04, BPD dan seorang guru yang mewakili sekolahnya.