• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT

4.3. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Minyak Goreng Indonesia

Industri minyak goreng yang berbahan baku minyak kelapa sawit merupakan komoditi yang paling penting bagi Indonesia, maka pemerintah merasa perlu untuk turut mengatur sistem tata niaga kelapa sawit beserta produk turunannya terutama crude palm oil (CPO). Wujud campur tangan pemerintah ini ada tiga, yaitu :

1. Pengaturan alokasi CPO

2. Pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik

3. Pembatasan dan pelarangan ekspor CPO

Kebijakan mengenai tata niaga minyak kelapa sawit khususnya CPO dan PKO pertama kali dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 1978 dan terus diperbaharui hingga sekarang. Tujuan utama penetapan kebijakan-kebijakan tersebut adalah untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap stabil, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri menjadi stabil. Karena industri minyak goreng merupakan industri yang paling banyak mengkonsumsi CPO dibandingkan industri hilir pengkonsumsi CPO lainnya, seperti: margarin, sabun, oleochimical, dan lain-lain.

Tata niaga CPO dan PKO pada mulanya diatur pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi pada tahun 1978 untuk tujuan ekspor. Selanjutnya, masih pada tahun yang sama, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu menteri perdagangan dan koperasi, menteri pertanian dan menteri perindustrian yang berisi tentang pengaturan sistem tata niaga minyak sawit baik di dalam negeri maupun untuk kepentingan ekspor.

Selanjutnya, dalam teknis pelaksanaan sistem tata niaga minyak sawit untuk perdagangan dalam negeri, Surat Keputusan Bersama tersebut diperkuat dengan kebijaksanaan pedoman dan pelaksanaan teknis yang diatur dalam Keputusan Dirjen Perdagangan dalam negeri yang dikeluarkan pada tahun 1979 dan 1983. Surat keputusan ini mengatur tentang syarat-syarat penyerahan, pengangkutan, teknis pelaksanaan dan sebagainya.

Setelah penyediaan bahan baku CPO bagi industri minyak goreng di dalam negeri cukup, maka sejak tanggal 3 Juni 1991 sistem tata niaga kelapa dan kelapa sawit dibebaskan. Seandainya terjadi kekurangan bahan baku minyak goreng, maka produsen bebas mengimpor CPO dan bea masuk 5 persen. Akibat kebebasan sistem tataniaga kelapa dan kelapa sawit tersebut serta didukung oleh naiknya harga CPO di pasar internasional, maka terjadilah kelangkaan di dalam negeri.

Pemerintah pada bulan Juli 1992 melalui Paket Deregulasi menetapkan bahwa minyak goreng kelapa sawit masuk ke dalam daftar negatif investasi (tertutup) bagi semua investasi, baik untuk pemodal asing (PMA), pemodal dalam negeri (PMDN) maupun non-PMA/PMDN. Investasi diizinkan bila dilakukan

secara terpadu dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit atau dengan penyediaan bahan baku sekurang-kurangnya 65 persen dari hasil produksinya yang diekspor. Sementara itu tarif bea tambahan yang semula 20 persen dihapuskan agar produsen dalam negeri dapat bersaing dengan produk-produk luar yang masuk.

Keberhasilan ekspor CPO dengan pembebasan sistem tata niaga serta didukung oleh naiknya harga CPO di pasaran internasional kembali mengakibatkan terjadinya kelangkaan CPO di dalam negeri bagi pemasok bahan baku khususnya industri minyak goreng. Pada tahun 1994 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai pajak ekspor (PE) progresif untuk CPO dan produk turunannya melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan.

Peran pemerintah pada pertengahan tahun 1995, dalam menstabilkan harga minyak ditingkatkan lagi melalui kerjasama dengan perusahaan perkebunan negara menghimpun stok CPO dan selanjutnya bekerjasama dengan industri minyak goreng swasta melakukan operasi pasar minyak goreng pada saat menjelang tahun baru dan hari besar agama.

Untuk memberikan kesempatan kepada PMDN, sejak bulan Maret 1997, pemerintah membekukan sementara investasi PMA dalam bidang perkebunan kelapa sawit, sedangkan izin bagi investasi PMA di proyek minyak kelapa sawit mentah (CPO) dibatasi.

Pada bulan Juli 1997 memasuki masa krisis moneter, pemerintah menurunkan PE CPO dan produk turunannya dari sekitar 10-12 persen menjadi 2-5 persen secara advalorem. Sistem perpajakan ini menekankan struktur tarif PE

yang diharmonisasikan dengan memberikan beban yang lebih besar pada ekspor bahan baku dan beban lebih ringan pada ekspor barang jadi.

Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan pada bulan Desember 1997, pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pajak ekspor tambahan (PET) yang diberlakukan mulai tanggal 17 Desember 1997. Kemudian untuk mengamankan persediaan minyak goreng di dalam negeri terutama menjelang hari besar agama, maka pemerintah melalui SK Menperindag mengatur alokasi pasokan dalam negeri yang diberlakukan mulai tanggal 19 Desember 1997. Selain itu pemerintah telah menunjuk 17 kelompok perusahaan kelapa sawit untuk memberikan kuota 80 persen produksinya untuk industri minyak dalam negeri. Bagi perusahaan yang melanggar kuota tersebut, pemerintah meningkatkan PET sesuai dengan SK Menteri Keuangan tersebut yaitu berkisar antara 28-30 persen. Tarif PE tersebut dikenakan dengan catatan harga minyak goreng dalam negeri mencapai Rp.1.250/kg dan besarnya ditetapkan bervariasi 40-70 persen. Besarnya tarif PE dari tiap-tiap jenis dikelompokkan ke dalam enam tingkat tarif yang didasarkan pada perkalian besarnya tarif dengan selisih harga ekspor (HE) dan harga dasar (HD) yang telah ditentukan.

Pada tanggal 24 Desember 1997, pemerintah menetapkan larangan ekspor melalui SK Dirjen Perdagangan dalam negeri sebagai tindak lanjut kebijakan pembatasan ekspor sebelumnya. Selanjutnya dalam rangka mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri, pemerintah melalui Surat Menteri Kehutanan dan Perkebunan tanggal 22 April 1998, mengatur beberapa hal, yaitu mengenai penyaluran CPO PTPN kepada perusahaan pengolah CPO yang telah ditunjuk,

pendistribusian minyak disalurkan oleh BULOG, pembatalan kontrak serta pengaturan pembayaran minyak goreng secara cash flow.

Tingginya harga CPO dipasar internasional pada pertengahan tahun 1998 serta rendahnya nilai kurs rupiah terhadap US$ kembali mendorong lajunya ekspor CPO. Hal ini tentu saja kembali mengakibatkan langkanya pasokan CPO dalam negeri. Oleh karena itu, pada bulan Juli 1998 pemerintah menaikkan PE CPO yang semula 40 persen menjadi 60 persen.

Setelah dianggap pasokan CPO sudah menutupi permintaan dalam negeri sehingga harga minyak goreng menjadi kembali turun. Pada awal tahun 1999, pemerintah kembali menurunkan PE CPO yang semula 60 persen menjadi 40 persen. Namun pemerintah melarang ekspor CPO produksi PTPN.

Pada tanggal 3 Juni 1999, pemerintah kembali menurunkan PE CPO sebesar 10 persen, yaitu yang semula 40 persen turun menjadi 30 persen. Menurut Depperindag, tujuan penurunan PE CPO ini adalah sebagai latihan untuk mengamankan harga minyak dalam negeri. Selanjutnya penurunan akan dilakukan secara bertahap setelah mengkaji kondisi pasar dalam negeri dan pasar internasional.

Pemerintah menggunakan pajak ekspor minyak sawit sebagai alat menstabilkan harga di dalam negeri dan untuk membatasi ekspor. Namun, kebijakan tersebut tidak efektif. Hal tersebut terlihat dari harga minyak goreng didalam negeri yang tetap tinggi. Namun, pada saat pajak ekspor diturunkan menjadi 10 persen, harga minyak sawit di pasar dunia cenderung menurun. Salah satu penyebab tidak efektifnya pajak ekspor disebabkan banyaknya beredar

minyak sawit ilegal di pasar dunia yang sebagian besar diduga selundupan dari Indonesia.

Pemerintah kembali menurunkan PE minyak sawit menjadi 5 persen pada bulan September 2000. Pada tahun 2001 PE kembali diturunkan menjadi 3 persen. Penurunan pajak ekspor tersebut antara lain dimaksudkan untuk menghadapi ketatnya persaingan ekspor minyak sawit terutama Malaysia. Pemerintah Malaysia bahkan melakukan terobosan besar dengan mengijinkan ekspor 500.000 ton minyak sawit tanpa dikenakan pajak dan menberikan kredit sebesar US$ 400 juta kepada negara pembeli.

Pada Juni 2007 pemerintah kembali menaikkan PE CPO dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen, dan terus meningkat hingga 7,5 persen pada September, dan mencapai 10 persen pada November 2007. Kenaikan PE CPO ini justru menaikkan tingkat penyelundupan CPO ke luar negeri sehingga kebijakan ini tidak efektif.

Dalam bidang pengembangan industri minyak goreng, minyak goreng berbasis kelapa jauh lebih baik daripada yang berbasis kelapa sawit jika dilihat dari sisi pengembangan usaha perkebunan rakyat. Hal ini terjadi karena perkebunan kelapa didominasi oleh usaha perkebunan rakyat, sedangkan perkebunan kelapa sawit didominasi oleh usaha perkebunan besar (PTP dan Swasta). Industri minyak goreng berbasis kelapa jauh lebih tepat untuk mendorong pengembangan industri kecil dibandingkan dengan industri minyak goreng kelapa sawit. Industri minyak goreng sawit cenderung berskala besar dan terintegrasi secara vertikal dengan usaha perkebunan. Industri ini muncul karena

adanya skala ekonomi yang sangat besar. Di sisi lain, industri minyak goreng kelapa berskala kecil atau bahkan diusahakan oleh rumah tangga pedesaan.

Skala usaha kecil dan penggunaan teknologi yang sederhana membuat industri minyak goreng kelapa lebih intensif menggunakan tenaga kerja dibandingkan dengan minyak goreng sawit. Akibatnya dalam hal distribusi pendapatan lebih baik jika dibandingkan dengan yang berbasis kelapa sawit.

Dilihat dari sisi efisiensi ekonomi, industri minyak goreng berbasis kelapa kurang efisien dibandingkan industri minyak goreng berbasis kelapa sawit. Hal ini terjadi karena industri minyak goreng berbasis kelapa sawit umumnya berskala besar dan terintegrasi vertikal. Oleh karena itu, industri ini dapat menangkap skala ekonomi usaha (economies of scale) maupun ekonomi cakupan usaha (economies of scope). Selain itu, industri minyak goreng berbasis kelapa sawit pada umumnya menggunakan teknologi modern yang jauh lebih efisien dibandingkan teknologi tradisional yang umumnya digunakan oleh industri minyak goreng kelapa. Oleh karena itu, industri minyak goreng berbasis kelapa sawit lebih sesuai untuk pengembangan industri yang bersifat promosi ekspor.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, pemerintah dihadapkan pada beberapa dilema yang sulit diputuskan. Pertama, pilihan antara pengembangan industri minyak goreng berbasis kelapa atau industri minyak goreng yang berbasis kelapa sawit. Kedua pilihan ini sama-sama mempunyai keunggulan dan kelemahan. Apabila dilihat dari segi pengembangan usaha perkebunan rakyat, industri minyak goreng berbasis kelapa jauh lebih baik daripada yang berbasis kelapa sawit. Hal ini terjadi karena perkebunan kelapa

didominasi oleh usaha perkebunan rakyat, sedangkan perkebunan kelapa sawit didominasi oleh usaha perkebunan besar (PTP dan Swasta).

Kedua, pilihan sulit antara pengembangan industri minyak goreng berbasis kelapa dengan berbasis kelapa sawit dilihat dari segi pengembangan perekonomian nasional. Apabila dipilih perekonomian berbasis kerakyatan maka industri minyak goreng berbasis kelapa lebih tepat tetapi dilihat dari segi pengembangan industri berdaya saing tinggi, maka industri minyak goreng berbasis kelapa sawit lebih sesuai. Keputusan yang lebih sesuai dalam menghadapi dilema ini adalah kebijakan netral sehingga kekuatan pasarlah yang akan menentukan arah pengembangan industri minyak goreng.

Ketiga adalah dilema pilihan instrumen kebijakan untuk pengelolaan (stabilisasi) harga minyak goreng domestik yaitu antara operasi pasar menggunakan stok penyangga minyak goreng melalui impor minyak goreng atau dengan menggunakan pengaturan produksi minyak goreng.

Dokumen terkait